Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25 - THE TRUTH

"KarJo!"

Deru mesin motor Karan yang belum dimatikannya tidak mampu meredam teriakan Zola. Senyum lebarnya langsung tersungging begitu melihat wajah ceria sahabatnya yang sudah lebih dari sebulan tidak dia temui. Langkah-langkah kecil Zola bahkan sudah mencapainya ketika helm yang dia pakai belum sepenuhnya dia lepas.

"Wow! Wow! Ada apa ini?" seru Karan saat kedua lengan Zola langsung merengkuh tubuhnya begitu dia turun dari motor.

"Kangen tauk!" balas Zola sambil melepas pelukannya. "Lo kok kurusan?" tanyanya seraya menepuk kedua pipi Karan. "You need to get laid, KarJo, seriously. Apa perlu gue ambil langkah drastis dengan arrange blind date buat lo? Kayaknya lo nggak akan mempan kalau nggak diancem. Beneran, deh. You need a boyfriend, KarJo!"

Karan menanggapi ucapan sahabatnya dengan sebuah decakan. "Lagi agak banyak kerjaan."

"I. Don't. Believe. You!" tukas Zola sambil mencubit pinggang Karan. "Lo butuh cowok. Titik!"

"Gimana training-nya di Istanbul?" tanya Karan mengabaikan ucapan terakhir Zola.

"Lumayan. Yuk masuk!"

Zola langsung menggandeng lengan Karan melewati pintu bercat putih dan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Karan hanya menurut saat Zola mendudukkannya di bean bag yang ada di ruang tamu. Satu yang disukai Karan dari rumah yang disewa Zola di kawasan Pemogan adalah interior serta isi rumahnya yang menampilkan kesan ringkas. Tidak ada sofa, melainkan empat buah bean bag berwarna kuning yang menghiasi ruang tamu dan satu meja bundar yang diletakan di tengah. Tidak banyak hiasan di dinding bercat biru muda selain foto-foto dan beberapa hiasan dinding etnik. Lemari kaca yang berisi suvenir dari perjalanannya ke berbagai negara membatasi ruang tamu dengan ruang tengah yang juga berfungsi sebagai ruang makan.

"Lo udah makan belum? Gue tadi bikin mi goreng."

Karan mengangguk. "Udah makan di hotel tadi."

"Gue ambilin jus mau?"

"Punya sari kedelai nggak?"

Zola berkacak pinggang. "Kalau nggak di rumah gue, di mana lagi lo bakal dapet sari kedelai?" balasnya sambil berlalu ke dapur. "Ada cerita apa selama gue pergi?" Suara Zola terdengar dari dapur sehabis dia meraih dua pak kecil minuman sari kedelai dari kulkas.

"Nggak ada yang menarik. Kita kan nggak ketemu cuma sebulanan, Zo, dan itu pun karena kamu sibuk. Lagian, kita juga Whatsaapp-an hampir tiap hari."

Karan menerima dua kotak yang disodorkan Zola dan tanpa menunggu, langsung menyobloskan sedotan dan menyeruputnya. Haus yang ditahannya sejak tadi langsung hilang begitu rasa manis dan kedelai melewati tenggorokan. Satu kotak langsung tandas sementara Zola menggeleng heran melihat kelakuan sahabatnya.

"Lo masih komunikasi sama Oscar James nggak?" Zola menyeret satu bean bag agar lebih dekat ke Karan dan langsung mendudukinya.

Jika pertanyaan itu didengar Karan saat dirinya masih menikmati sari kedelai, minuman itu bisa saja tersembur keluar akibat keterkejutannya. Sejak pertemuan mereka di penutupan Festival Maya lebih dari setahun lalu, seingat Karan, Zola tidak pernah bercerita tentang bertemu Oscar, baik secara sengaja maupun tidak. Saat hubungannya dan Oscar masih berjalan, Zola pun hanya selintasan menyinggung Oscar. Sekadar bahasan singkat yang akan dilupakannya dua jam kemudian.

"Kamu nanya orang yang salah. Memangnya aku sahabat baiknya? Ketemu dia juga cuma dua kali, terakhir pas penutupan Festival Maya dulu itu."

"Yah, kirain gue bisa tanya ke lo soal dia," ujar Zola sambil memonyongkan mulut.

Karan menggeser duduknya. Panik menyergapnya jika sampai Zola menanyakan tentang Oscar. Meski tahu arah pembicaraan Zola, Karan tetap merasa tidak siap.

"Gosipnya dia gay itu beneran nggak sih? Gue baru denger soalnya. Padahal udah lama banget kan, ya? Bulan Juni kalau nggak salah. Dih, gue kuper sampai nggak tahu padahal heboh banget di infotainment."

Karan menelan ludah sebelum mengedikkan bahu. Tenang, Karan, tenang. "Sejak kapan kamu percaya infotainment?"

"Pas ketemu dia, gaydar lo jalan nggak? Kan orang kayak kalian pasti bisa ngenalin, atau paling nggak punya kecenderungan buat tahu."

"Punyaku udah karatan mungkin karena jarang dipakai," balas Karan ringan sambil meluruskan kaki.

"Seriusan deh, KarJo, lo beneran nggak tahu?"

Karan menggeleng. "Hubungannya sama kamu apa sih kalau dia gay atau nggak? Ngaruh ke gaji kamu atau gimana?"

"Kalau dia gay, kan siapa tahu lo punya kesempatan buat jadi pacar dia."

Untuk pertama kalinya, Karan bisa tertawa karena mendengar nama Oscar setelah hubungan mereka berakhir tiga bulan lalu. "Aku dan Oscar? Dia langit dan aku bumi, Zo. Nggak usah ngayal tinggi-tinggi deh. Dunia kami itu beda jauh. Mungkin kalau aku nolong dia pas amnesia, kemungkinan itu ada."

Zola menggunakan bantal untuk memukul lengan Karan. "Tapi fotonya yang sama cowok itu nggak kayak rekayasa. Coba keliatan dikit aja wajah cowoknya. Kenapa sih dia harus nunduk kayak gitu?"

Karan kembali menelan ludah. Situasinya saat ini mengharuskannya berhati-hati menanggapi setiap keingintahuan Zola. Sahabatnya itu orang yang sangat teliti, sedikit perubahan ekspresi atau nada suaranya, Zola pasti langsung menyadarinya.

"Kamu kenapa tiba-tiba jadi kepo sama Oscar James?"

"Lo tahu gue gampang penasaran," ucap Zola sebelum meraih ponselnya.

"Makan tuh penasaran! Aku mau ke toilet," ujar Karan bangkit dari bean bag dan berjalan menuju toilet yang letaknya berada di samping kamar tidur Zola.

Sementara Karan berada di toilet, Zola membuka mesin pencari dan mengetikkan "Oscar James Gay" dan berita tentangnya langsung terpampang dalam hitungan detik. Dibukanya satu per satu tautan sebelum memperhatikan kembali foto yang digunakan media sebagai barang bukti tentang homoseksualitas Oscar. Meski tidak terlalu jelas, ada beberapa foto yang sengaja di-zoom untuk lebih mengungkap misteri pria yang digandeng Oscar. Ketika memperbesar foto pria yang digandeng Oscar, kerut Zola mengerut. Dia menelengkan kepala, memperhatikan lebih saksama foto itu.

Saat melihat Zola diam memandang layar ponselnya, langkah Karan terhenti. "Kamu ngapain?"

Zola mengabaikan pertanyaan Karan, fokusnya tidak beralih dari ponsel di tangannya. Sedetik kemudian, dia menutupi mulut dengan tangannya, kepalanya menggeleng pelan.

"Kamu kenapa, sih?" tanya Karan setelah dirinya kembali duduk.

Zola mengangkat wajah dan memperhatikan Karan. "Lo punya berapa kaus Global Movement?" tanya Zola sambil menyebut nama organisasi tempatnya bekerja.

"Cuma satu, kenapa memangnya?"

Zola mengangkat ponselnya dan mengarahkannya ke Karan. "Cowok yang sama Oscar ini pakai kaus Global Movement."

Karan teperanjat. Bukan karena foto yang sudah puluhan kali dilihatnya, tetapi detail kecil yang baru didengarnya. Jantungnya sekarang berdegup semakin kencang, sementara pandangannya tidak beranjak dari foto di hadapannya.

"Ini lo kan KarJo?"

Tidak ada yang bisa dilakukan Karan selain menelan ludah. "Yang punya kaus Global Movement kan bukan aku aja," elak Karan. "Kalian punya banyak partner dan entah berapa puluh volunteer."

"Karan Johandi, kaus Global Movement yang di foto ini cuma ada 15 biji. Gue tahu siapa aja yang punya karena gue sendiri yang distribusiin sebelum charity night. Di luar orang kantor, cuma lo yang gue kasih karena udah bantuin bikin artikel. Dan gue tahu kebiasaan orang-orang kantor yang nggak akan mau pakai kaus begituan kalau acaranya udah kelar."

Kali ini, Karan benar-benar tidak bisa mengelak. Pikirannya bergantian mencari keputusan terbaik yang bisa dilakukannya sekarang. Dengan pelan, Karan mengembuskan napas sebelum berujar, "It's over."

Tidak ada gunanya dia menyimpannya lebih lama karena cepat atau lambat, dirinya tetap akan menceritakan perihal Oscar. Namun dia tidak menyangkan hubungan yang disembunyikannya akan mampu terungkap dengan cara seperti ini.

"Holy shit! Jadi cowok ini beneran lo?" seru Zola sambil membuka mulutnya lebar-lebar. Diletakannya ponselnya di atas meja dan dipusatkannya seluru perhatiannya kepada Karan.

"Kami udah putus, Zo."

Tanpa bisa menahan diri, Zola beranjak dari bean bag dan langkah-langkah tegasnya memberitahu Karan bahwa sahabatnya sedang dikuasai rasa marah. Zola menyambar gelas yang berada di rak dan langsung mengisinya penuh dengan air minum. Dengan terburu-buru, dia menandaskan isinya sebelum kembali menghampiri Karan. "Jadi pas lo ambil cuti dan ngaku pulang ke Jogja itu lo sebenernya ke Thailand sama Oscar James? Dan selama ini lo nggak pernah cerita ke gue?"

Karan diam.

"Jawab, woy! Gue lagi ngomong sama lo!" protes Zola begitu dia kembali duduk di dekat Karan. "Lo kenapa nggak cerita?"

"Apa yang harus aku bilang, Zo?"

"BANYAK!" sembur Zola.

"Udah nggak penting lagi sekarang."

"Penting buat gue! Kok lo bisa nyimpen ini dari gue sih? Lo nggak percaya sama gue atau gimana? I feel really offended, Karan. Dan gue nggak terima apa yang dia bilang soal lo. Itu merendahkan martabat lo banget!"

Karan membiarkan Zola menumpahkan seluruh kekesalannya. Terlihat dari rambutnya yang dia gelung asal-asalan, wajahnya yang sedikit memerah, serta panggilan 'Karan' yang hanya digunakan Zola jika dia bener-benar kesal akan sesuatu.

"It was complicated, Zo. Oscar cuma terbuka sama keluarga dan teman-teman dekatnya. Kamu tahu orang kita memandang homoseksualitas seperti apa dan Oscar baru mulai karirnya. Hubungan kami benar-benar nggak ada yang tahu kecuali keluarganya dan dua teman dekatnya."

"Dan lo nggak anggep gue temen deket?"

"Aku cuma nggak bisa cerita, Zo, bukan karena nggak nganggep kamu temen deket. Coba kamu pahami posisiku."

Zola menggeleng. "Alasan lo sama sekali nggak cukup kuat. Kalau teman Oscar boleh tahu, kenapa lo nggak boleh ngelakuin hal yang sama? Gue ini sahabat lo! Lo punya sahabat deket selain gue? Setahu gue nggak ada kecuali lo punya kenalan yang memang sengaja nggak lo kenalin ke gue."

"Zo, ini nggak ada hubungannya dengan Oscar. Aku yang milih buat ngerahasiain ini dari kamu. Oscar cuma minta supaya hubungan kami nggak diketahui banyak orang. Cuma itu."

"Gue nggak ngerti lo masih belain orang kayak dia. He referred you as a retarded person! For God's sake, Karan! Gue bukan bermaksud ngehina siapa-siapa, tapi gue nggak ngerti kenapa lo setenang ini nanggepin ucapan cowok yang pernah punya hubungan sama lo."

"Dia nggak punya pilihan, Zo. Kamu nggak akan ngerti."

"Justru gue ngerti banget. Lo mau aja dianggap nggak ada demi imej dia. Mana harga diri lo? Lo nggak pernah malu sama homoseksualitas lo. Gue paham pilihan lo but nyembunyiin fakta itu dari orang-orang di hotel karena itu karir lo, tapi di luar? Lo nulis cerita gay dan lo nggak pernah ngelak kalau ada yang nanya. You just don't go around announcing you're gay. Terus, yang lo lakuin sama Oscar ini apa kalau bukan nyembunyiin identitas? Lo segitu sukanya sama Oscar sampai rela buat ngejalanin hubungan kayak begitu?" Zola menggelengkan kepala heran. "Lo udah kena santet atau apa? Lo jadi bego begini."

Karan menghela napas. "Percuma juga aku jelasin, Zo. Kamu nggak akan paham."

"Bikin gue paham!" tuntut Zola.

Karan tidak menyukai nada yang diberikan Zola. Hal terakhir yang diinginkannya saat ini adalah tuduhan tentang hubungannya dengan Oscar, terlebih dari teman terdekatnya. Hatinya belum benar-benar beranjak dari Oscar dan membicarakannya masih membuat dadanya sesak.

"I love him. As simple as that. Oscar bikin aku bahagia setelah—" Karan hampir saja menyebut nama Binar, tetapi ditahannya. Ini bukan saat yang tepat untuk menceritakan tentang Binar. "lama aku sendiri."

"Try harder. People can fall out of love as well, can't they?"

"Sekarang aku masih belum, Zo. I still love him."

"Bahkan setelah apa yang cowok brengsek itu lakuin ke lo? Jangan bilang gara-gara foto ini kalian putus karena dia takut imejnya rusak dan karirnya hancur."

Karan kembali diam.

Zola mengamati Karan lama sebelum bangkit dari duduknya dan mondar-mandir di depan Karan. "Lo ngerasa dimanfaatin dia nggak, sih? Dia bisa bilang sesuka hati soal lo di media sementara lo nggak bisa ngebela diri. Cowok banci kayak gitu masih bisa lo cintai? Cowok cakep bukan cuma dia, KarJo! Ribuan! Gue nggak bakal semarah ini kalau martabat lo nggak diinjek-injek begini. Lo sendiri malah diem aja. Gue nggak ngerti!"

"Okay, enough!" tukas Karan. "Mungkin kamu dan banyak orang nggak akan pernah ngerti karena nggak ada yang tahu hubungan kami. So let's not talk about this anymore, okay?"

"Gue cuma pengen lo sadar apa yang udah dilakuin cowok itu, KarJo."

"Aku sepenuhnya sadar apa yang udah Oscar bilang, Zo. Kamu nggak perlu ingetin lagi. Selama berminggu-minggu, aku diingatkan setiap hari dengan apa yang dia perbuat." Karan menegakkan tubuh, bersiap untuk pergi. "Tapi aku nggak bisa benci dia, Zo, karena aku masih cinta sama Oscar. Yang orang-orang lihat hanyalah permukaan Oscar. Aku nggak bisa bilang tahu semua tentangnya, tapi aku tahu apa yang sebagian besar orang nggak tahu." Karan akhirnya bangkit dari duduknya sebelum menghampiri Zola. "Kamu boleh menghakimi aku sesuka hati, itu hak kamu. Dan tolong rahasiakan ini dari siapa pun. Meski hubunganku sudah berakhir, aku akan tetap jaga apa yang selama ini jadi rahasia. Aku pulang dulu."

Karan menarik napas panjang sebelum beranjak dari hadapan Zola. Memejamkan matanya, Karan menaiki motor sebelum menghidupkan mesinnya. Apa yang terjadi dengannya dan Zola cukup membuatnya kaget—lebih karena reaksi Zola dibandingkan apa pun—dan satu-satunya hal yang bisa menyembuhkannya saat ini adalah pantai, mengabaikan mendung yang menggantung pekat.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro