21 - THE TURNING POINT
Mengenakan celana panjang batik dan kaus putih tanpa lengan, Karan keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih diusapkannya ke rambut. Hari ini Bali begitu panas hingga hal pertama yang dilakukannya begitu pulang dari hotel adalah mandi dan mengabaikan rasa lapar. Karan memijat pelan pundaknya begitu meletakkan handuk di tempat jemuran yang ada di depan kamar. Merasakan sedikit embusan angin, Karan memutuskan duduk di teras, kebiasaan lama yang sudah jarang dilakukannya sejak berhubungan dengan Oscar.
Setelah kepulangannya dari Laos dan Thailand minggu lalu, satu-satunya hal yang merasuki pikirannya saat sedang sendirian adalah hari-hari yang dilewatinya bersama Oscar. Meski tidak ada keberatan menyimpan rapat hubungan mereka dari publik, bisa berjalan di pantai atau sekadar makan berdua di tempat umum tanpa ada rasa takut akan tertangkap basah adalah kemewahan. Rasa khawatir yang terus-terusan melanda mereka selama ini, seolah luruh dengan mudah begitu menginjakkan kaki di negara orang.
Karan pun tidak mampu menahan tawa kecilnya mengingat pertengkaran mereka ketika Oscar bersikeras memilih transportasi udara dibandingkan darat. Keputusan Oscar itu justru disyukurinya sekarang. Beberapa hari sesudah Karan kembali dari liburan mereka, Oscar dengan gamblang mengaku bahwa dia sengaja memilih jalur udara untuk mengurangi ketakutan Karan akan terbang. Karan sempat tertegun mendengar niat Oscar yang begitu besar demi meredakan aviophobia-nya.
Lamunannya disela oleh dering ponsel yang ditinggalnya di kamar. Sejak berhubungan dengan Oscar, Karan jarang mematikan fitur internet karena dia ingin langsung bisa membalas jika mendapat pesan dari Oscar. Akibatnya, baterai ponselnya pun cepat habis. Dengan gontai, dia berjalan memasuki kamar dan menghampiri. Tangannya dengan cekatan menyentuh layar untuk membuka sandi. Meski sudah menduga, Karan masih sedikit heran melihat notifikasi missed call dari Oscar di Whatsapp. Semalam pria itu memberitahu Karan bahwa dia akan sibuk seharian. Pesan terakhir yang diterima Karan pun sudah pagi tadi begitu dia bangun tidur. Balasan yang diterimanya dari Oscar sekadar ucapan selamat pagi diikuti emoticon loving kiss yang membuat Karan tersenyum.
Want me to call you back?
Begitu pesan terkirim, Karan duduk di tepi tempat tidur karena Oscar biasa langsung menelepon begitu membaca pesannya. Benar saja. Tidak lama kemudian, display picture dan nama Oscar terpampang di layar ponsel. Ditekannya tombol hijau sebelum menempelkan benda itu ke telinganya.
"Hey," sapa Karan. "I left my phone in the room, I was sitting outside."
"Are you home?"
"Aku baru pulang kerja setengah jam lalu. Kenapa?"
"Kamu sudah makan?"
"Belum. Males mau keluar padahal udah lapar. Mungkin sebentar lagi."
"Stay in your room."
Karan berjengit mendengar nada Oscar yang seperti memerintah. "What?" pekiknya.
"Just don't go anywhere, okay?"
Karan mengukur pelipisnya, heran dengan permintaan Oscar. "Kenapa?"
"I gotta go."
Begitu sambungan terputus, Karan menatap halaman chat-nya penuh keheranan. Diketiknya pesan untuk menanyakan maksud Oscar, tetapi setelah menunggu tiga menit dan tidak kunjung mendapatkan balasan, dia menaruh ponselnya di atas kasur. Mendengar nada buru-buru dan mendesak dalam suara Oscar, Karan tidak mampu menyingkirkan bahwa sesuatu yang buruk sudah terjadi.
Tidak lama kemudian, tubuh Karan menegang saat mendengar suara mesin motor berhenti di depan kamarnya. Dengan tergesa, dia bangkit dari tepi tempat tidur dan melangkah menuju pintu. Keningnya mengerut saat mendapati Oscar sedang membuka helm. Dirinya jelas tidak ingat Oscar mengatakan akan pulang ke Bali, apalagi hari ini.
Selain kedatangan Oscar yang tiba-tiba, perhatian Karan pun tidak luput dari tas yang tersampir di pundak Oscar. Membawa tas setiap bepergian dengan motor tidak pernah menjadi kebiasaan Oscar—setidaknya dari yang diperhatikannya selama ini—kecuali ada barang yang perlu dibawanya dari rumah. Karena saking sibuk otaknya menyusun pertanyaan mana yang harus dilontarkannya kepada Oscar lebih dulu, Karan malah hanya bisa diam mematung.
"Surprise!" seru Oscar begitu dirinya berdiri di hadapan Karan.
"What are you doing here? Didn't you sa—"
Oscar memotong kalimat Karan dengan mendorong tubuh kekasihnya masuk ke kamar dan segera menutup pintu. Satu lagi kebiasaan Oscar setiap kali datang ke indekos Karan. "Duduk dulu," ucap Oscar setelah mendaratkan satu kecupan di pipi dan mendudukkan Karan di tepi tempat tidur. Ditanggapinya kebingungan Karan dengan sebuah senyum. "Oke, sekarang kamu jawab, ini tanggal berapa?"
"Ehm ... 18 Juni. Lalu?"
Oscar melipat lengannya di dada, tatapannya yang seolah mengatakan 'You must be kidding me' tidak beranjak sedikit pun dari Karan. "Jangan bilang kamu lupa your own birthday," ujarnya setelah Karan tidak juga menjawab pertanyaannya.
Karan terkesiap. "Dari mana kamu tahu? Aku nggak pernah bilang dan kamu nggak mungkin tahu dari Facebook karena kita nggak temenan."
Kepanikan menjalari Karan karena sudah lama dia tidak peduli dengan ulang tahunnya. Sejak kepergian Binar, dia memutuskan tidak lagi menganggap ulang tahun sebagai hari spesial. Jika bukan karena beberapa teman dekat yang ingat tanggal lahirnya tanpa harus menggunakan fitur birthday reminder di sosial media—sekaligus ucapan selamat serta kue yang selalu diberikan rekan kerjanya di hotel—Karan memilih tidak merayakannya. Baginya ulang tahun hanyalah pengingat akan waktunya yang semakin berkurang di dunia ini.
Karan memang sengaja menyembunyikannya dari Oscar, dan berhasil mengelak setiap kali mendapat pertanyaan tentang hari lahirnya. Namun ucapan Oscar membuat rasa penasarannya terusik.
"Karan, siapa yang booking tiket pesawat kita ke Laos dan Thailand?" tanya Oscar sambil menaik-turunkan alisnya.
Karan sontak tergelak, menertawakan kebodohannya sendiri. Tentu saja Oscar tahu tanggal lahirnya karena memang dia yang memesan tiket penerbangan liburan mereka. Bagaimana mungkin aku sebodoh ini? rutuk Karan dalam hati.
"It's unfair," ujarnya begitu dia mampu menghentikan tawa.
"Apa yang unfair?"
"You tricked me into believing that you still didn't know about my birthday."
"I am an actor, Karan. It's my job to trick people. I did a great job, then, didn't I?"
"Dan kamu ke sini cuma buat ngingetin aku soal ulang tahun?"
Oscar, jelas sengaja mengeraskan decakannya. "Aku enggak tahu kenapa kamu harus tanya. We have to celebrate, dong!"
Karan menggeleng melihat antusiasme Oscar sementara dirinya justru bersikap tidak acuh. "Aku nggak suka ngerayain ulang tahun."
"At least, celebrate it with me. Kamu belum makan, kan? Please?"
Ada banyak alasan yang bisa diberikan Karan demi menolak ajakan pria di hadapannya, tetapi melihat Oscar yang seperti memohon, Karan tidak sampai hati menolak. "Oke, kita bisa makan malam, but no more surprises." Karan sudah bersiap bangkit untuk mengganti pakaian, tetapi ditatapnya Oscar saat satu pertanyaan lagi mengusik benaknya. "Kita mau makan malam di mana?"
"I have reserved a table in Sarong."
Karan seketika lemas mendengar nama itu. "Kenapa harus restoran seperti itu?"
Meski sudah beberapa kali diajak makan di tempat-tempat yang tidak akan pernah didatanginya seorang diri, Karan masih canggung jika harus berada di restoran seperti Sarong, yang merupakan salah satu fine dining di Bali. Dia lebih suka makan di warung pinggir jalan atau di kamarnya.
"Karena ini ulang tahun kamu. I want it to be special."
Saat Karan masih belum juga beranjak dari tepi tempat tidur, Oscar menghampirinya.
"Your birthday doesn't come every day, Karan. And it's not like I take you out every night. So, let me treat you something special tonight, okay?"
Meski keengganan menghinggapinya, Karan tahu Oscar harus terbang dari Jakarta untuk berada di hadapannya.
"Kalau saja kamu nggak tinggal di Jakarta dan harus naik pesawat buat ke sini, aku pasti nolak. But next time, please, don't do this. I don't like surprises."
"Noted!"
"Kamu nggak ganti baju?" Pertanyaan Karan itu sangat berdasar karena Oscar hanya mengenakan kaus hitam polos, jaket kulit hitam, dan celana senada.
"I brought my shirt in here," balas Oscar sambil menepuk tasnya. "Enggak mau kotor, bajunya putih."
Karan hanya mengangguk. "Aku ganti baju dulu."
***
Nyanyian Selamat Ulang Tahun segera didengar Karan begitu beberapa pramusaji menghampiri mejanya dan Oscar. Mereka memang tidak membawa kue besar, tapi hanya satu potong lemon cake yang dipesannya saat makan malam mereka berakhir. Satu lilin kecil yang sudah dinyalakan terpasang di atasnya. Wajah Karan memerah, berusaha terlihat bahagia sementara menahan rasa malu karena beberapa pengunjung Sarong memperhatikan meja mereka. Senyum Oscar justru membuat Karan berharap kerumunan kecil di sekitar mereka segera beranjak. Ketika mereka kembali berdua—setelah lilin ditiup—Karan menatap Oscar tajam.
"I told you no more surprise, Oscar."
"It's not even a surprise."
Karan mendesah kalah. Percuma dia mendebat Oscar jika suasana hatinya sedang gembira seperti ini. "Kamu kapan kembali ke Jakarta?" tanyanya setelah menyuapkan potongan pertama lemon cake.
"Besok. Malam ini kamu stay di rumah, ya?" pinta Oscar.
Permintaan yang selalu diajukan Oscar jika dia pulang ke Bali. "Aku masuk pagi besok. Aku nggak mau kamu kebangun gara-gara aku."
Oscar menunjukkan deretan gigi putihnya. "Pesawatku pergi jam tujuh pagi, jadi kita bisa bareng. I'll drop you off at your boarding house."
Mengetahui bahwa tidak genap 24 jam pria itu ada di Bali, Karan semakin merasa apa yang dilakukan Oscar berlebihan. "Kamu nggak perlu terbang ke sini buat ulang tahunku. You can just call me. I don't even mind if you didn't do or say anything because my birthday is not that important. Kenapa harus buang-buang uang, Oscar?"
Oscar tertegun mendengar ucapan Karan. Tangannya yang sedang menyendok crème brûlée membeku. Ditatapnya Karan yang sudah meletakkan garpu yang digunakan untuk menikmati kuenya. "I'm not gonna respond to that because arguing is the least thing I want at the moment. Not here, and definitely not on your birthday. Aku mau kamu ingat malam ini sebagai malam yang memorable. So, enough about that nonsense, okay?"
Menyadari apa yang sudah diperbuatnya, Karan menundukkan wajah sebelum mengutarakan permintaan maafnya. "I'm sorry. It's just—"
"It's okay. Let's just finish our meals and go home."
Tanggapan Oscar itu tidak mampu memperbaiki apa yang sudah terlanjur ada di antaa mereka. Sekalipun Oscar masih sesekali tersenyum, Karan merasa ucapannya telah merusak malam yang dipersiapkan pria itu untuknya. Mungkin keputusan untuk menginap di rumah Oscar bukanlah ide yang baik.
***
Apa yang terjadi di Sarong jelas tidak membatalkan niat Oscar meminta Karan menginap.
"Tante nggak tahu hari ini kamu ulang tahun," ucap ibu Oscar begitu mereka sampai di rumah. Karan bersikeras menyapa orang tua Oscar sekalipun ada jalan kecil yang menuju kamar Oscar tanpa harus melalui bangunan utama.
"Terima kasih, Tante. Saya juga nggak terlalu suka merayakan ulang tahun sebenarnya."'
"Ibu, where's Dad?" tanya Oscar seraya membuka kulkas untuk mengambil satu botol air putih dingin yang langsung dituangnya ke gelas. Karan menggeleng saat Oscar menawarinya.
"In his room. He's in serious conversation with a friend, so better leave him alone."
"Kita ke kamar dulu," ucap Oscar sambil berjalan menghampiri ibunya. "Night, Ibu." Oscar mendaratkan kecupan di pipi ibunya sebelum melangkah keluar. Karan mengekor setelah mengucapkan selamat malam.
Lampu taman yang menghiasi setapak kecil di sisi kolam renang membuat malam di bulan Juni itu semakin hangat. Saat Karan melepas sandalnya, Oscar sudah masuk terlebih dulu ke kamar dan membuka kemejanya. Dibukanya jendela yang dipasangi kasa agar pengap di kamarnya berkurang. Tidak lupa, Oscar juga menghidupkan kipas angin yang ada di atas tempat tidur.
Selain koleksi penguin yang tersimpan rapi di dalam lemari, kamar Oscar juga dipenuhi beberapa poster film yang semuanya sudah ditonton Karan. Satu sisi tembok dipenuhi oleh foto-foto Oscar dari berbagai tempat yang sudah dikunjunginya, termasuk saat dia melakukan sky diving pertamanya di Maladewa, serta road trip yang dijalaninya di Brazil pada ulang tahunnya ke-25.
Karan langsung duduk di single sofa yang selalu menjadi tujuan pertamanya setiap memasuki kamar Oscar. Matanya tidak beranjak dari Oscar yang sedang telentang di atas tempat tidur dengan kedua lengan dibentangkannya hingga memenuhi kasur berukuran queen miliknya.
"Shit! Aku mau lupa!" seruan Oscar itu mengagetkan Karan, terlebih saat Oscar langsung bangkit dari rebahannya dan berjalan menuju kabinet.
Saat Oscar menghampirinya sambil membawa satu kotak pipih di tangan, Karan langsung menegakkan tubuh. Terlebih ketika pria itu merendahkan tubuh di depannya, menyejajarkan pandangan mereka.
"Happy birthday," ucap Oscar sambil mengulurkan kotak bersampulkan kertas biru muda. "Bukan kado yang mahal, tapi semoga kamu suka."
Karan menelan ludah. Apa lagi ini? batinnya.
"Open it."
"Kamu nggak harus ngasih apa-apa. You've given me too much already."
"Seperti apa?"
"Liburan kita kemarin, makan malam tadi."
"You have to find better answer than that. Kita berbagi kan soal liburan?"
"More like 70-30 for me."
Oscar tergelak. "Tetap saja. Soal makan malam, I do that with my friends, jadi enggak perlu mikir itu sesuatu yang special. You are special, not the dinner or the place."
Karan memang kadang enggan membalas ucapan Oscar jika mereka sudah saling menanyai seperti ini. Bisa dipastikan dia pasti kalah. Berdeham pelan, Karan meraih kotak itu dan membukanya perlahan.
Senyum Oscar masih belum luntur, bahkan semakin melebar saat melihat ekspresi terkejut Karan. Walaupun tidak ada belalakan atau mulut yang menganga, Oscar tahu Karan tidak menyangka akan mendapati benda yang dibungkusnya. Tangannya yang sedikit gemetar, yang diikuti dengan gelengan pelan, menambah lebar senyum Oscar.
"Kamu suka?"
Karan mengangkat fountain pen—benda yang tidak pernah dipegangnya seumur hidup—di hadapan Oscar. Pena berwarna biru tua dengan ujung runcing itu terlihat mengilap terkena pantulan lampu kamar Osar. "Ini buat apa? Aku bukan orang penting yang perlu pulpen seperti ini."
Oscar menurunkan tangan Karan dan menggenggamnya. "You need it to sign your book. Kamu masih menerbitkan buku independently, for now, tapi nanti? The ideas in your head are more precious than this pen."
Karan kemudian meletakkan pena itu di atas pangkuannya sebelum jemarinya membelai lembut permukaan notebook berwarna cokelat yang terbuat dari kulit. Ada inisial nama penanya di sampul depan, disertai sebuah kutipan dari Helen Keller yang sangat disukainya.
"Jadi kamu tanya tentang kutipan favoritku untuk ini?"
Cengiran Oscar melebar diikuti sebuah anggukan.
"So you planned it weeks ago?"
"Idenya muncul pas tahu your birthday is in June. Untung ketahuan."
Karan menimbang berat notebook itu di tangannya sebelum senyumnya sendiri tersungging. "Thank you."
"The pleasure is mine."
Untuk pertama kalinya, Karan meraih Oscar dalam pelukannya, yang dibalas pria itu dengan gelak. Campuran aroma rempah-rempah dan melati yang menguar dari tubuh Oscar semakin membuat Karan menekankan hidungnya di leher Oscar. Dibelainya pelan rambut Oscar yang sudah sepantasnya dipotong dan merasakan jari Oscar mengusap punggungnya.
"Aku suka parfum ini. It reminds me of our first meeting."
"Really?"
Karan mengangguk.
"Kenapa kamu enggak bilang? I could buy you one. So you have something to sniff when I'm not around."
"It will smell different without you."
Oscar tergelak pelan. "You can take mine, I still have one full bottle in Jakarta."
Belum sempat Karan menolak, ponsel Oscar berdering.
"I have to take it, sorry."
Karan tahu, bahwa nada dering ponsel itu adalah ponsel kerja Oscar. Apa pun yang mereka lakukan—kecuali jika mereka sedang bercinta tentu saja—Oscar selalu mengangkatnya. Tidak terkecuali sekarang saat Karan masih ingin membenamkan hidungnya di tekukan leher Oscar.
Begitu pelukan mereka terlepas, Oscar bangkit menuju kabinet tempatnya biasa meletakkan ponsel. Diangkatnya telepon genggamnya sementara Karan meletakkan notebook serta fountain pen pemberian Oscar di atas nakas. Diamatinya raut muka Oscar yang berubah dan Karan tidak bisa memahami apa yang mereka bicarakan karena balasan Oscar hanyalah kalimat-kalimat pendek.
"Is everything alright?"
Oscar mengangkat lengan, meminta Karan Karan agar tidak beranjak dari tempatnya atau membuka mulut. Setelah menjauhkan benda itu dari telinga, kerutan di keningnya terlihat jelas sementara suara ketikan jarinya di atas layar ponsel terdengar terburu-buru. Oscar masih belum mengatakan sesuatu, hingga ....
"Dammit!"
Umpatan itu sontak membuat Karan terperanjat. Ada khawatir yang tidak lagi bisa disembunyikannya. Saat berniat bangkit dari sofa, Oscar sudah terlanjur berjalan menghampirinya.
"Stay there!"
Kali ini Karan semakin yakin ada yang tidak beres. Tidak pernah dilihatnya Oscar membentaknya seperti saat ini, bahkan setiap ada argumen di antara mereka, Oscar selalu bisa menahan diri.
Setelah beberapa menit, Oscar mengangkat wajah dari layar ponsel yang ditekurinya dan tersenyum. Namun, Karan belum pernah melihat senyum itu karena bukan cinta atau keramahan yang ada di sana. Jantungnya berdegup lebih kencang ketika Oscar berjalan ke arahnya.
"Someone took this and posted it on Instagram. It goes viral in just couple of hours."
Karan terpaku saat Oscar mengangkat ponsel dan mengarahkan layarnya ke Karan. Napas Karan tertahan melihat foto mereka yang sedang bergandengan tangan di bandara Suvarnabhumi. Cuaca yang mendung membuat Oscar tidak mengenakan topi kep seperti yang dilakukannya sejak mereka mendarat di Vientiane. Tidak cuma itu, Oscar juga meninggalkan kacamatanya di hotel. Foto mereka memang diambil dari jarak yang tidak terlalu dekat, tetapi wajah Oscar terlihat jelas. Siapa pun akan mampu mengenali wajah itu adalah milik Oscar James. Beruntung dirinya sedang menunduk hingga wajahnya tidak tampak, tetapi tidak bisa diragukan bahwa sosok yang bersama Oscar adalah seorang laki-laki.
Melihat foto mereka beredar di sosial media membuat kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Ketakutan mulai merambatinya.
Napas Oscar memburu sebelum dia mengangkat lengan dan dengan tenaga yang dimilikinya, melemparkan ponsel dengan sekuat tenaga. Suara logam serta kaca yang hancur saat membentur dinding terdengar nyaring di telinga Karan. Matanya mengikuti serpihan benda yang sedetik lalu masih berada dalam genggaman Oscar.
"I need to go to Jakarta, soon. I'll take you home."
Karan masih terdiam di tempatnya sementara Oscar mulai mengenakan kembali kemeja yang ditaruhnya asal di punggung kursi. Disambarnya ponsel pribadi yang masih tergeletak di atas nakas setelah mengenakan jaket. Menyadari Karan masih terdiam, Oscar menghampirinya.
"Didn't you hear what I just said, Karan?" Nada tidak sabar jelas terdengar dari suara Oscar.
Karan mengangguk pelan sebelum mengangkat wajah. Dipandangnya Oscar yang dalam waktu singkat berubah menjadi pria asing di hadapannya.
"You don't need to take me home. I'll be fine. Just ... deal with that mess."
Dengan langkah berat yang dipaksa, Karan beranjak dari sofa dan langsung berjalan keluar dari kamar Oscar.
Kado ulang tahun Karan masih tergeletak di atas nakas dan Oscar pun hanya mampu diam mematung sambil menyaksikan punggung Karan menghilang dari pandangannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro