Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2 - KARAN'S AVIOPHOBIA


Dua puluh tiga bulan yang lalu ...

Seorang pria bertopi kep biru tua memiringkan tubuhnya untuk berjalan di lorong pesawat sambil menenteng weekender Brics berwarna cokelat muda. Menghindari beberapa penumpang yang masih sibuk mengatur barang bawaan, matanya tidak beralih dari nomor-nomor yang tertera di atas kursi. Begitu menemukan nomor yang dicari, dia memastikan sekali lagi bahwa angka yang sedang ada di hadapannya sesuai dengan yang tertera di boarding pass. Setelah memasukkan lembaran kertas ke dalam saku kemeja, dia segera meletakkan tas ke dalam overhead compartment.

"Excuse me."

Karan mengangkat wajahnya yang tertekur. Jemarinya sedang memilih playlist yang akan dia dengarkan selama penerbangan saat telinganya menangkap permintaan singkat dari pria yang berdiri di sebelah tempat duduknya.

"My seat is over there," tunjuknya ke kursi yang berada di dekat jendela sambil tersenyum ramah.

Karan hanya mengangguk sebelum bangkit dari kursi yang berdekatan dengan lorong. Hampir seluruh penumpang sudah menempati tempat duduk masing-masing, terlepas dari beberapa orang yang masih sibuk mengambil atau mengembalikan sesuatu ke dalam tas yang mereka letakkan di overhead compartment. Setelah pria yang menginterupsinya menemukan posisi duduk yang nyaman, Karan kembali duduk.

Dia bertanya dalam hati bagaimana tubuh jangkung pria di sebelahnya bisa tahan duduk tanpa mampu menggerakkan kaki dengan leluasa. Jarak antara seat di pesawat ini tidak bisa dibilang luas. Penerbangan dari Kuala Lumpur menuju Denpasar memang tidak lebih dari tiga jam, tapi jika badan Karan lima belas sentimeter lebih tinggi, dia tidak akan sabar menanti pesawat mendarat atau memilih tempat duduk dengan leg room yang lebih luas.

Karan memasang kembali sabuk pengaman sebelum dilanjutkannya memilih playlist yang sempat tertunda saat mendengar sebuah gumaman pelan. Dari sudut matanya, dia menangkap pria di dekat jendela menopang dagu, sementara pandangannya tidak lepas dari gumpalan awan pekat yang menggantung di langit Kuala Lumpur sejak pagi tadi. Bahkan gerimis sempat mewarnai perjalanan Karan menuju bandara dari hostelnya di daerah Bukit Bintang. Begitu selesai check-in, dia segera membuka aplikasi prakiraan cuaca di ponsel dan desah khawatir lolos dari mulutnya. Dengan panik yang makin bertambah, Karan memberanikan diri bertanya kepada petugas maskapai tentang kemungkinan ditundanya penerbangan akibat cuaca buruk. Kepastian yang didapatnya—pesawat akan tetap berangkat sesuai jadwal—membuat Karan semakin resah.

Announcement yang dikumandangkan kapten pesawat, kemudian safety demo yang diperlihatkan lewat video tetap tidak mempan mengalihkan pikiran Karan. Jantungnya berdegup tidak beraturan ketika dirasakannya pesawat mulai bergerak pelan. Dengan cepat Karan memasang earphone lalu menekan tombol play. Suara Paul Simon yang tidak pernah gagal menentramkan gelisahnya, kali ini dikalahkan oleh rasa takut. Karan menarik napas dalam dan mulai menghitung berbarengan dengan embusannya, teknik yang dipercaya banyak orang mampu mengurangi gugup serta panik. Memejamkan mata, jemari Karan mencengkeram sandaran lengan dengan erat. Saat dirasakannya pesawat bersiap take off, Karan menguatkan pejaman mata. Pikirannya mulai dipenuhi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa menimpa pesawat ini. Aku harusnya nggak menuruti saran Alya untuk pergi ke KL, sesal Karan dalam hati. Keringat mulai mengaliri lengan dan punggungnya, terlepas dari suhu di dalam pesawat yang cukup dingin.

Dengan satu helaan napas panjang, Karan membuka mata setelah dirasanya pesawat berada dalam posisi stabil. Dibasahinya tenggorokan begitu melihat lampu tanda sabuk pengaman padam, tapi dibiarkannya benda itu terpasang di pinggang. Karan menjadikan celana hitamnya sasaran untuk mengeringkan telapak tangan yang basah oleh keringat, serta meredakan sedikit nyeri akibat memegang lengan kursi terlalu kencang.

Sesaat kemudian, Karan merasakan tepukan pelan di pundak yang membuatnya melepaskan earphone sebelum memalingkan wajah. Pria di sebelah Karan menatapnya khawatir.

"Are you okay?"

Karan mengangguk pelan sebagai jawaban. "I have a fear of flying. Taking off and landing are my least favorite part," ujarnya sambil mengusap tengkuk. "And turbulence, too," tambahnya.

"Pernah ada kejadian buruk?"

Meski dengan logat khas bule yang masih sangat kental, Karan bisa memahami pertanyaan yang diajukan dalam bahasa Indonesia oleh pria asing ini.

"Kamu bisa bahasa Indonesia."

Dia menelengkan kepala sambil mendekatkan ibu jari dan telunjuknya di depan Karan. "Sedikit. Masih belajar."

"Tapi dari mana kamu tahu saya orang Indonesia?"

Pria itu tersenyum tipis. "I heard you were mumbling in Indonesian."

Karan menggumamkan kata oh pelan sebelum menghela napas. "Ayah meninggal dalam kecelakaan pesawat ketika saya berumur 12 tahun. Sejak saat itu, saya jadi seperti trauma naik pesawat," terang Karan. "To answer your previous question."

"I'm sorry to hear that."

Karan mengangguk pelan.

"Kamu butuh minum," ucap pria itu sembari mengambil botol kecil air mineral dari keranjang yang ada di depannya dan mengulurkannya ke Karan.

Karan menggeleng pelan. "Saya sudah mendingan sekarang, terima kasih. Lagipula itu air minum kamu."

"Saya nanti minta lagi ke flight attendant. You need it more than I do at the moment."

Meski sudah menolak dengan halus, Karan mendapati posisi lengan lawan bicaranya belum berubah.

"Don't worry. Saya enggak taruh apa-apa di minumannya," tambahnya begitu melihat air mineral yang disodorkannya masih belum berpindah.

Setelah menimbang cukup lama—dan meyakinkan dirinya untuk memercayai apa yang didengarnya—Karan akhirnya meraih botol air mineral dalam genggamannya dan langsung meminumnya. Dengan dua kali tegukan, Karan menandaskan isinya. Senyum tipisnya mengembang begitu mengetahui pria di sebelahnya mengacungkan jempol.

"Thank you," ucap Karan.

"Dad used to hold my hand every time we took a plane when I was a kid. Mungkin waktu saya umur enam atau tujuh tahun. Saya takut juga terbang, tapi begitu masuk junior high school, Dad stopped karena saya udah enggak takut lagi."

"Saya nggak sering naik pesawat karena ketakutan ini. I still haven't found the remedy."

"Harus sering terbang dong supaya takutnya hilang."

Tawa kecil keluar dari mulut Karan begitu mendengar kata 'dong' diucapkan dengan logat khas bule. "Naik pesawat nggak semurah naik taksi atau becak."

"What is bejak?" tanyanya sambil mengerutkan kening.

"The Indonesian version of rickshaw," jelas Karan.

"Bejak, right?"

Karan menggeleng. "Be-cak, dengan 'c' bukan 'j'."

"Becak," ulangnya pelan setelah tawa kecilnya mereda. "Apa yang kamu biasa lakukan biar takutnya hilang?"

Karan mengangkat iPod-nya. "This has always been my one and only savior."

"Saya enggak suka denger musik di pesawat. I prefer to watch movies."

"Oh, silakan kalau kamu mau nonton film. Saya nggak mau ganggu."

"Enggak ganggu kok. Saya udah tonton all the movies they have dan enggak ada film favorit saya."

Bola mata Karan kontan membesar. Sebagai orang yang jumlah kepergiannya ke bioskop bisa dihitung dengan jari, Karan tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar fakta pria ini justru sudah menonton semua film yang disediakan maskapai asal Belanda yang mereka tumpangi.

"Kamu pasti punya banyak waktu luang sampai semua film yang ada sudah kamu tonton."

"I studied film in New York and watching movies was part of the study," jawabnya sambil menunjukkan senyum tiga jari.

"Ah, I see."

"What about you?"

"Saya kenapa?" ulang Karan, tidak memahami pertanyaan yang diajukan kepadanya.

"Suka nonton film?"

Karan meringis sebelum menggeleng. "I'm not really into film."

Ekspresi yang diberikan teman mengobrol Karan ternyata lebih heboh daripada keterkejutan yang ditunjukkan Karan saat dirinya mengetahui film dalam penerbangan ini sudah dilalap habis oleh lawan bicaranya. "What? Are you serious?"

Karan mengangguk.

"I've never met anyone who doesn't like movies. Film-film box office?" Karan menggeleng. "Superhero movies? Atau ... fantasi seperti Harry Potter dan Lord of The Rings? Kamu pasti nonton Harry Potter."

Gelengan Karan menimbulkan decak serta erangan pelan, hingga membuat Karan meringis.

"You need a moviecation."

Karan mengerutkan kening mendengar istilah yang diucapkan pria itu. "Moviecation?"

"Movie education. C'mon! Let me show you! Turn on your screen."

Karan hanya berjengit saat melihat tempat duduk kosong yang ada di antara mereka terisi oleh pria yang terlalu bergairah untuk memberinya moviecation. Aroma campuran rempah-rempah dan bunga melati yang menghampiri indra penciuman Karan membuatnya secara tidak sadar mendekatkan tubuh untuk menghidu lebih dalam wangi hangat yang langsung disukainya. Setelah layar di depan tempat duduk masing-masing menyala, Karan mendapati teman seperjalanannya menggosokkan kedua telapak tangan dengan penuh semangat.

"Let's start your moviecation!" serunya.

Dan mereka pun mulai menelusuri setiap judul film dari berbagai genre yang tersedia di in-flight entertainment. Karan tidak hanya mendengarkan dengan saksama sinopsis singkat film-film yang judulnya terdengar begitu asing di telinga, tetapi juga mengajukan pertanyaan demi pertanyaan yang muncul karena rasa penasaran.

Karan tidak menghitung waktu yang mereka habiskan untuk moviecation karena terlalu larut dalam diskusi tentang jalan cerita film yang menarik perhatiannya. Ketika makan malam disajikan, moviecation yang diberikan Oscar—nama pria itu—tetap berlanjut. Karan beberapa kali menggeleng heran ketika Oscar memberitahunya tentang trivia di balik produksi film hingga penghargaan yang diraih. Terlepas dari kantung hitam yang menggelayut di bawah mata serta rambut hitamnya yang berantakan, Oscar tetap terlihat menarik dengan garis rahang yang tegas. Rambut-rambut halus yang mulai tumbuh di bawah hidung mancung serta di sekitar bibirnya pun tidak lepas dari perhatian Karan. Tidak bisa ditemukannya kata lain untuk menggambarkan Oscar selain menarik. Passion yang diperlihatkan Oscar melalui penjelasannya tentang film yang tidak satu pun pernah ditonton Karan, menjadikan sosoknya semakin menyenangkan.

Mengetahui hanya kurang dari satu jam waktu yang mereka miliki, Karan mengalihkan obrolan hingga Oscar akhirnya mengakhiri moviecation setelah memberikan beberapa rekomendasi film untuk Karan tonton.

"Selalu senang tiap ke Bali."

"Saya belum pernah ketemu orang yang nggak suka Bali."

"I have. Mereka bilang Bali kotor, mahal, dan terlalu ramai. Kalau cuma ke Kuta, Legian, atau Ubud, ya ramai dan mahal, dong. They should have gone to the east, west, or north Bali and their opinion would change. Saya saja mau banget pindah ke Bali. Jakarta is just too crowded," keluh Oscar.

"Kamu tinggal di Jakarta?" tanya Karan dengan nada terkejut.

Sejak obrolan mereka dimulai, tidak satu kali pun Oscar menyebutkan tentang domisilinya. Bukannya fakta itu punya arti signifikan bagi Karan, hanya saja dia tidak mengira Oscar tinggal di Jakarta.

"Kenapa kaget?"

"Karena kamu tinggal di Indonesia."

Oscar sedikit memiringkan tubuh hingga mereka harus berbagi lengan kursi. "Ibu orang Indonesia, she was born, raised, and grew up in Jakarta sebelum bertemu Dad di Manchester during her post-graduate. Fast forward four years after their first meeting, they got married, and I was born two years later. Mereka tinggal di Bali sekarang."

Karan hanya mengangguk setelah mendengar penjelasan Oscar. "Itu sebabnya kamu bisa bicara bahasa Indonesia."

Pertanyaan Karan menimbulkan seringai jenaka di wajah Oscar. "Tapi masih belum bagus," jawab Oscar. "Saya tahu sedikit tiap ada yang bicara pakai bahasa Indonesia, tapi masih susah banget kalau ingin bales. My vocabulary needs improvement," tambahnya.

"Kamu nggak lahir dan besar di Indonesia berarti?"

Oscar menggeleng. "Saya lahir di Inggris, terus pindah Chicago waktu tujuh tahun, then we moved to Beijing, sebelum saya pindah ke New York buat belajar. Tiap libur sekolah saya terus pulang ke Jakarta bersama Ibu. Waktu anak-anak, sering dengar Ibu bicara bahasa Indonesia dan saya selalu coba bicara pakai Indonesia, tapi udah lama enggak dipakai jadi mau banget belajar lagi."

Meski susunan kalimat Oscar sedikit membuat Karan ingin mengoreksi, dia memutuskan untuk tidak menyela.

"Kamu panggil Ibu kamu dengan sebutan ... Ibu?" tanya Karan setelah menyadari beberapa kali Oscar menyebut kata Ibu.

Oscar mengangguk mantap, ada kebanggaan yang tidak mampu disembunyikannya. "Iya, sejak anak-anak saya panggil Ibu, tapi panggil Bapak dengan Dad."

Karan tersenyum lebar. "Terdengar aneh."

"Everyone keeps saying that. Ibu cerita kata pertama yang saya ngomong adalah Ibu. So I'm stick to Ibu."

"Bapak kamu nggak pernah protes karena kamu panggil beliau dengan Dad?"

"What is beliau?"

"Oh, it's a pronoun in Indonesian to refer to someone older or someone we respect. It's very formal word," jelas Karan ketika sadar Oscar belum sepenuhnya menguasai bahasa Indonesia.

"I see," balas Oscar. "Terima kasih, Karan."

"Sama-sama."

"To answer your previous question about my Dad, no, he is happy with the way I call him."

Mereka diam ketika tanda sabuk pengaman di atas tempat duduk kembali menyala, sebelum diikuti pengumuman bahwa pesawat akan mengalami sedikit turbulensi. Karan dengan segera mencengkeram lengan kursi sekuat tenaga, matanya terpejam, tubuhnya menegang dan degup jantungnya mengencang. Begitu pesawat mulai berguncang, Karan berharap bisa meluapkan ketakutannya melalui air mata, tetapi dia masih berusaha menahannya. Saat guncangan pesawat tidak juga mereda, Karan merasakan tepukan di punggung tangannya.

"You're going to be fine."

Karan mengabaikan kalimat Oscar karena saat ini yang dipedulikannya hanyalah agar turbulensi segera berakhir dan pesawat bisa mendarat dengan sempurna di Bali tanpa gangguan. Ketakutan yang dirasakan Karan membuat pikirannya menampilkan momen-momen bahagia dalam kehidupannya, serta beberapa sesal yang selama ini menggelayutinya. Sesal karena belum menceritakan kepada Zola tentang Binar, sesal karena meninggalkan Jogja hanya karena mentalnya tidak cukup kuat untuk tetap berada di kota kelahirannya.

Jika pesawat ini jatuh, aku akan pergi seperti Ayah, pikir Karan.

Sesaat kemudian, dirasakannya cengkeraman lembut pada pergelangan tangannya. Meski tahu siapa yang melakukannya, tapi Karan tetap tidak mampu membuka mata. Yang bisa dilakukannya hanya menelan ludah serta meracau dalam hati.

"You can punch me later on, if what I'm doing now offended you, but at this moment, it scares me seeing you like that."

Karan hanya mengangguk pelan sementara tangannya digenggam semakin menguat.

Ketakutan masih begitu menguasai Karan hingga dia tidak merasakan pesawat yang mulai menurunkan ketinggian. Keringat kembali mengaliri punggung dan lengannya. Pejaman matanya menguat saat guncangan kecil kembali dirasakannya. Telinganya bahkan tidak mampu menangkap pengumuman yang menyatakan bahwa pesawat akan segera mendarat.

"We'll be landing soon."

Dari beberapa kesempatan Karan memilih untuk naik pesawat—yang bahkan bisa dihitung dengan jari—belum pernah dirinya mengalami apa yang sedang menimpanya saat ini. Penerbangan sebelumnya selalu dilalui tanpa ada orang yang berbaik hati menanyakan bagaimana dirinya ketika pesawat lepas landas atau mendarat, apalagi memegang tangannya seperti yang dilakukan Oscar. Ketakutannya memang tidak berkurang, tetapi mengetahui ada orang lain yang peduli padanya—sekalipun mereka baru saja saling mengenal—membuat Karan merasa tidak sendirian.

Saat dirasakannya ban pesawat sudah menyentuh runway, Karan membuka mata perlahan. Setelah membasahi tenggorokan dan menarik napas panjang, Karan mengarahkan pandangannya ke Oscar. Meski sudah tidak sekencang tadi, masih dirasakannya genggaman tangan Oscar pada pergelangan tangannya.

"Thank you," ucap Karan lirih.

Oscar hanya mengangguk sebelum melepaskan genggaman tangan mereka untuk meraih satu botol air mineral dan mengulurkannya ke Karan. "Minum dulu."

Jika sebelumnya Karan ragu untuk menerimanya, kali ini dia meraihnya dengan segera. Begitu air dingin membasahi tenggorokannya, Karan merasa sedikit lebih baik. Apalagi saat pesawat berhenti dengan sempurna, Karan menunduk sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Rasa lega menyelimutinya. Another flight, another fear has passed, batinnya. Ketika dia mengangkat wajah, beberapa penumpang mulai berdiri dan mengambil barang-barang mereka dari overhead compartment, tetapi Karan masih belum beranjak dari tempat duduknya.

"Kamu baik-baik saja?"

Karan mengangguk pelan sementara ekor matanya menangkap tangan Oscar yang mulai melepaskan sabuk pengaman.

Ketika mengangkat wajah, didengarnya Oscar mengulangi pertanyaannya. "Are you sure you're okay, Karan?"

"Saya ... baik-baik saja sekarang. Terima kasih sekali lagi."

"Jadi kamu enggak akan pukul saya?" tanya Oscar.

Senyum tipis tersungging di bibir Karan sebelum dia menggeleng. "Nobody ever did that to me, Oscar, and even though it didn't lessen the fears, at least I didn't feel alone."

Oscar memberikan cengiran lebarnya. "Glad to hear that," balasnya. "Kamu keluar sekarang?"

Karan mengalihkan tatapannya ke seisi pesawat yang masih dipenuhi para penumpang yang sedang menunggu pintu pesawat dibuka serta suara ponsel yang dihidupkan.

"Saya nggak suka berdesak-desakan. Saya bisa jadi penumpang yang terakhir keluar dari pesawat. I'm in no rush."

"I know exactly why. Saya juga selalu tunggu penumpang turun dulu."

Begitu antrian penumpang mulai berkurang, Karan melepas sabuk pengamannya meski ada keengganan yang teramat besar untuk beranjak. Karan bukan orang yang percaya pada kebetulan, hingga kemungkinan bertemu Oscar lagi sangatlah kecil. Namun yang sudah dilakukan Oscar—mulai dari moviecation hingga genggaman tangannya saat turbulensi tadi—jelas tidak akan dilupakannya. Kenyataan sudah menunggunya saat ini, dan tidak ada yang diinginkan Karan selain sampai di indekos sesegera mungkin agar dirinya bisa tidur.

Karan bangkit dan langsung meraih ransel yang dibawanya ke Kuala Lumpur. Dirinya bersumpah tidak akan naik pesawat lagi dalam waktu dekat. Ketakutannya masih terlalu hebat untuk ditaklukkan. Disampirkannya satu-satunya tas yang dibawanya setiap kali bepergian sebelum tatapannya beralih ke Oscar yang sedang menekuri ponsel.

"I think I'm leaving now, Oscar. Do you want to walk to the gate now, or ...?"

"Oh!" seru Oscar sebelum dia mengangkat wajah. "I'm going to sit here for another minute."

"Okay, then," ujar Karan sambil mengulurkan tangannya. "It's a pleasure meeting you, Oscar. Thank you for the moviecation and ... for what you did. It meant a lot."

Oscar menyambut uluran tangan Karan dan menjabatnya erat. "No problem, Karan. But you have to watch the movies!"

"I said I'll try," ulang Karan tanpa bisa menyembunyikan senyumnya.

"Kalau kita ketemu lagi, saya tanya kamu sudah tonton filmnya atau belum. I won't ask how you are doing because I believe you'll be fine."

Mereka berdua berbagi tawa sebelum Karan mengangguk. "Akan saya ingat." Setelah jebatan tangan mereka lepas, Karan memasukkan tangannya ke saku celana. "Okay, see you next time? Whenever it might be?"

"Yes, never say never. Take care."

"You too, Oscar. Bye!"

Dan Karan pun akhirnya berjalan menjauh dari tempat duduk yang selama tiga jam bukan hanya memberinya pengetahuan baru tentang film, tetapi juga pengalaman yang akan sulit dilupakannya. Langkah mantapnya benar-benar berbanding terbalik dengan ketakutan yang tadi begitu menguasainya. Senyum yang diberikan pramugari di dekat pintu keluar dibalas Karan dengan senyum lebar dan sebuah anggukan.

"It's nice seeing you again, Bali!" seru Karan pelan sambil mengamati langit Bali yang bukan hanya gelap karena malam, tapi juga menampakkan awan yang menandakan hujan mungkin akan turun sebentar lagi. Karan pun mempercepat langkahnya.

***

Mungkin ada yang familiar dengan part ini, karena memang sebelumnya saya sudah unggah versi cerpennya di ANTOLOGI. Ada banyak perbedaan tentu saja, terutama dari sudut pandang dan interaksi antara Oscar dan Karan.

Medianya adalah The Sound of Silence milik Simon & Garfunkel.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro