19 - PRETENDING
"And ... cut!"
Oscar mengembuskan napas panjang begitu mendengar teriakan sutradara. Dia menunduk sejenak, kemudian berjalan menghampiri Andy Purba—salah satu sutradara muda berbakat Indonesia—dengan langkah tegap dan senyum di wajahnya. Pendengaran Karan tidak mencapai tempat Oscar berbincang dengan sang sutradara, tetapi dia tidak bisa menahan senyum tipis menyaksikan tawa Oscar meluncur.
Adegan yang baru saja diselesaikan Oscar tidak melibatkan pemain lain, meskipun dirinya adalah satu dari lima pemeran utama sebuah drama komedi berjudul Pria-Pria Baper. Begitu mereka selesai berdiskusi, Oscar berlari kecil menghampiri Karan yang berdiri dengan lengan terlipat di dada dan bersandar pada tembok di teras belakang rumah yang dijadikan lokasi pengambilan gambar.
"What do you think?" tanya Oscar sembari meringis.
"Aku berusaha nahan ketawa supaya nggak kena semprot para kru," ucap Karan jujur.
Kening Oscar mengerut. "Semprot?"
"Being yelled at."
Belum sempat Oscar membalasnya, namanya kembali dipanggil.
Oscar menoleh dan mengacungkan ibu jarinya. "Aku cuma ada one take lagi, and then I'm done."
Karan mengangguk.
"Stay here," ucap Oscar sebelum berlalu meninggalkan Karan diikuti sebuah kedipan.
Karan menyimak gerak tubuh Oscar saat Andy memberikan arahan, sementara kru-kru lain mempersiapkan take selanjutnya. Begitu dia setuju pergi ke Jakarta untuk bertemu Farah, Oscar pun menepati janji untuk mengajak Karan ke lokasi pengambilan gambar. Perkenalan singkat sebagai teman rupanya cukup karena selama menunggui Oscar, tidak banyak pertanyaan yang diajukan kepada Karan. Pun Karan lebih banyak memilih diam dan hanya menjawab jika ditanya.
Melihat Oscar bekerja, kesulitan pria itu mengucapkan beberapa dialog panjang dan usahanya untuk menghilangkan logat bulenya, membuat Karan semakin mengaguminya. Oscar tidak malu bertanya, memastikan arahan Andy benar-benar dia pahami. Jika selama ini Karan hanya melihat antusiasme Oscar setiap kali membicarakan tentang film atau ketika dia menyelesaikan satu cerita, menyaksikannya berakting di depan kamera membuat Karan semakin yakin dunia ini adalah elemen Oscar. Sempat timbul keraguan dalam dirinya bahwa antusiasme yang diperlihatkan Oscar semata-mata karena status mereka, tetapi Karan tidak akan mengingkari, pria jangkung itu sudah mengubah hari-harinya.
***
Selama dua hari, Karan seperti berada dalam program 'Sehari Bersama Oscar James' karena setelah menyelesaikan pengambilan gambar, mereka kembali ke apartemen Oscar dan menghabiskan sisa hari dengan membantu pria itu menghafal dialog serta mengoreksi pelafalannya. Jadwal Oscar hari ini hanyalah pemotretan untuk sebuah majalah mode dan Karan pun mengiyakan ajakannya. Dibandingkan lokasi film yang dipenuhi banyak orang, suasana pemotretan yang dilakukan di sebuah club yang berada di satu hotel berbintang di kawasan Tebet jauh lebih relaks. Karan bahkan sempat bersenda-gurau dengan Satria, sang fotografer.
Jika film adalah dunia yang sangat dicintai Oscar, modeling adalah dunia yang membesarkan namanya. Menyaksikan pose demi pose yang begitu effortless dalam berbagai baju rancangan desainer, membuat perasaan Karan bercampur aduk. Tidak percaya, gelisah, rendah diri, dan bahagia saling berebut memenuhi hatinya. Dia berusaha mencari apa yang dilihat pria dengan semua kelebihan itu dalam dirinya. Namun Karan tidak berhasil menemukan jawaban.
Ejekan macam apa yang akan orang berikan jika mereka tahu Oscar bersama dengan orang sepertiku? tanya Karan dalam hati.
"Ada dua baju lagi, then I'm free," ujar Oscar pelan.
Karan hanya mengangguk dan menyaksikan langkah-langkah panjang Oscar menuju ruang ganti.
Dari tempatnya berdiri, Karan bisa melihat hasil jepretan Satria yang terpampang di layar laptop. Dia terlalu sibuk mengamati foto-foto yang baru selesai diambil hingga tidak sadar Satria memandangnya.
"Karan, lo mau gue foto sama Oscar?"
Mata Karan membesar mendengar tawaran Satria. "Saya nggak biasa difoto," tolak Karan tanpa mampu menyembunyikan keterkejutannya.
"Nggak papa. Sekali aja."
Kepanikan mulai merambati Karan hingga selama beberapa detik, yang mampu dilakukannya hanyalah menggigit bibir bawahnya. "Buat apa?" Jantungnya berdegup kencang. Karan berharap Oscar segera muncul agar bisa mengalihkan fokus Satria.
"Just for fun."
Karan langsung memasang tampang ngeri mendengarnya. For fun?
Sebelum sempat membalas, Oscar keluar dari ruang ganti mengenakan jas berwarna midnight blue, kemeja biru muda, serta celana putih. Rasa paniknya teralihkan oleh tampilan Oscar. Memang bukan kali pertama dia melihat Oscar dengan pakaian formal—ada banyak foto-foto di Instagram yang memperlihatkannya dengan setelan formal—tetapi baru sekarang dia melihatnya langsung. Semenjak mengenal Oscar, pakaian paling rapi yang pernah dikenakannya di hadapan Karan adalah kemeja.
"Kenapa ka—"
"Gue nawarin dia foto sama lo, buat fun aja, tapi dia nggak mau," timpal Satria saat Oscar menghampiri mereka dan melihat ekspresi wajah Karan berubah.
Seringai jenaka langsung terpasang di wajah Oscar begitu mendengar keterangan Satria. "Ayo dong, Karan."
Jika biasanya Karan langsung tergelak mendengar cara Oscar mengucapkan kata 'dong', kali ini dirinya hanya bisa menggeleng. "Nggak penting, Oscar."
"Ayo, Oscar."
Oscar berdecak pelan sebelum dia mengikuti arahan Satria untuk foto selanjutnya. Karan menyaksikan kedua pria itu membahas sesuatu yang tidak bisa ditangkap telinganya karena jarak yang cukup jauh.
Jika menghafal dialog dalam bahasa Indonesia masih membuat Oscar kagok, maka berpose di depan kamera tidak berbeda dengan bernapas. Oscar sangat natural sampai benak Karan kembali diisi keraguan yang mati-matian dia coba hilangkan.
***
"Kamu lebih sering diam. What's wrong?"
Karan menggeleng seraya memandang Oscar yang baru saja keluar dari walk-in cabinet dan menenteng blazer berwarna hunter green, celana abu-abu muda, serta kaus putih gading. Diletakkannya setiap item pakaian itu di atas tempat tidur sebelum menghampiri Karan dan duduk di sampingnya.
"You're easy to read, Karan. Did I do or say something wrong?"
Karan mengerjapkan mata beberapa kali kemudian menatap Oscar. "Aku masih kepikiran soal Satria."
Ketika akhirnya Satria berhasil mengambil fotonya secara candid—yang ternyata Oscar punya andil di dalamnya—Karan tidak mampu mengusir kemungkinan pria muda itu tahu hubungannya dengan Oscar lebih dari sekadar teman. Sepanjang perjalanan pulang, tidak banyak yang keluar dari mulut Karan kecuali Oscar bertanya kepadanya.
Hanya mengenakan handuk yang dililitkan di pinggang, Oscar meletakkan tangannya di atas paha Karan. Senyumnya mengembang sebelum dia berkata, "I've worked with Satria multiple times, Karan. Kalau dia tahu, then, aku belum pernah dia say anything."
"Karena mungkin kamu nggak pernah ngajak siapa-siapa?"
"Kamu overthinking."
"Kamu sama sekali nggak khawatir?"
Oscar membuang napas pelan. "Modeling is a world where sexuality has never been a problem, Karan. Kalaupun Satria tahu, I think, dia enggak akan kaget. As for being worried, karir modelku enggak akan lama begitu aku getting older. Enggak dapet kerja as a model here enggak akan jadi the end of the world for me. Movie industry is different. Enggak akan easy to start in a movie industry and it takes time and as you know, I'm not getting younger."
"Apa yang kamu lakukan kalau ada yang tahu tentang kita?"
"Enggak akan kalau kita hati-hati."
Karan menundukkan wajah karena meski mendengar keyakinan dalam suara Oscar, dia masih punya keraguan. Seberapa hati-hati kami harus bersikap? Bagaimana jika kami kepeleset dengan kehati-atian kami? tanya Karan dalam hati.
"Mungkin masuk ke dunia kamu ... it's not a great idea after all," ujar Karan setelah kembali menatap Oscar.
"Hey ... hey ... don't say that. You're just ... overwhelmed. Things will get better."
"Mungkin besok aku nggak usah ikut kamu. I can stay here with Jupiter."
"Kalau kamu get bored?"
Karan tersenyum tipis. "I'll go somewhere. Go to a café, maybe I will find some ideas."
"Tapi mau kan ke Jakarta lagi?" Ketika mendapat anggukan dari Karan, Oscar menepuk lembut tangannya. "I hope this dinner will make you relax."
"Kamu yakin nggak apa-apa aku pakai begini?"
Oscar mengamati pakaian yang dikenakan Karan, kemeja biru muda bermotif garis vertikal putih dan celana hitam.
"You look fine. Enggak perlu takut salah kostum, we're just going to have dinner with Farah. She won't criticize your sense of fashion because there's nothing to be criticized about." Oscar kemudian mendekatkan wajah untuk mengecup pipi Karan sebelum bangkit dari tempat tidur. "Kamu pasti suka Farah."
***
"Oscar told me you're a writer."
Karan tersenyum tipis menanggapi pernyataan Farah. Oscar sedang ke kamar kecil sehingga hanya dirinya dan Farah yang tertinggal di meja sebuah restoran di kawasan Senopati. Restoran yang tidak akan dimasuki Karan karena beberapa alasan. Bukan cuma namanya yang sangat asing, tetapi juga interior serta menu yang disajikan mencerminkan betapa mahal dan ekslusifnya restoran ini. Karan membiarkan Oscar memilihkan menu untuknya karena dia tidak percaya dengan instingnya sendiri.
Meski sudah diingatkan berkali-kali agar tidak merasa rendah diri, perasaan minder tetap menguasai Karan saat bertemu Farah. Wanita itu jauh lebih cantik daripada foto yang ditunjukkan Oscar. Mengenakan gaun halter neck bermotif bunga yang menyentuh lantai, rambut hitam bergelombang sepundak yang digerai, Farah mengingatkan Karan akan bintang–bintang yang menghadiri red carpet. Satu hal yang mengejutkannya adalah bahasa Indonesia Farah sangat lancar—jauh jika dibandingkan Oscar—hingga beberapa kali, Oscar meminta Karan dan Farah menggunakan bahasa Inggris agar bisa mengikuti percakapan mereka.
"Cuma penulis indie," jawab Karan.
"Indie atau bukan, menulis bukanlah sesuatu yang gampang, Karan. Harus punya imajinasi yang luar biasa," tegas Farah setelah menyesap white wine-nya.
Karan tersenyum menanggapi pernyataan Farah. "Kamu suka baca?"
"Waktu luangku selalu aku habiskan buat tidur. I read when I'm on holiday, which is twice a year, but ... I read magazine and newspaper." Farah pun menyeringai jenaka.
"Kamu pasti sibuk sekali."
Farah mengedikkan bahu. "As usual. Aku yakin Oscar jauh lebih sibuk sekarang."
"Jika apa yang aku lihat dua hari ini adalah kesehariannya, kamu nggak salah."
"Oscar ngajak kamu ke pemotretan?" Farah mencondongkan tubuh hingga kecantikannya semakin terlihat jelas dalam pantulan lampu gantung yang ada di atas meja mereka.
Karan mengangguk, sedikit terkejut mengetahui reaksi Farah. "Hari ini pemotretan dan kemarin dia ada shooting."
Senyum lebar mengembang di bibir Farah begitu Karan menyelesaikan kalimatnya. "Then I can confirm, that he likes you very much."
"Oscar introduced me as his friend. Kamu tahu di Indonesia seperti apa—"
"I know," timpal Farah. "Justru itu. Oscar orang yang sangat tertutup soal kehidupan pribadinya. Bahkan di NY yang begitu terbuka soal," Farah memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka sebelum melanjutkan, "homoseksualitas, Oscar nggak pernah ngajak siapa pun yang dekat dengannya ke acara-acara yang berhubungan dengan pekerjaan. Not even a party! Bukannya dia takut orang tahu, tapi dia selalu memisahkan dua dunia itu. He took a step further by taking you into his world."
Karan tertegun. Benarkah apa yang dikatakan Farah, atau dia bisa lihat aku masih canggung? batin Karan. Ditandaskannya air putih dalam gelas berkaki sebelum mengamati Farah yang sudah menyandarkan punggung sementara pandangannya beredar ke setiap penjuru restoran.
"Kamu kenapa nggak jadi bintang film, Farah?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Karan. Sebagian didorong oleh penasaran dan sebagian lagi oleh keinginannya mengalihkan pembicaraan mengenai hubungannya dengan Oscar.
"Aku nggak seperti Oscar, Karan. Modeling is my world and I don't want to jump at every opportunity I've got. Kalau ada tawaran di luar modeling yang cocok, aku ambil, tapi kalau nggak ada pun, aku baik-baik saja. Film selalu jadi dunia Oscar."
"Aku tahu."
"Oscar is a great looking guy, his face, his height ... it's like he was born for modeling, but he's a hard worker, too. Banyak orang berpendapat, model nggak punya kemampuan apa-apa selain apa yang udah dikasih sama Tuhan, which is something you can't choose. Oscar nggak pernah mau dilihat sebagai orang yang cuma mengandalkan penampilan. Itu alasan dia ngambil jurusan film produksi, bukannya akting."
Karan mengangguk pelan, teringat percakapannya dengan Oscar di awal pertemuan mereka tentang keengganan Oscar dipandang sebagai orang yang hanya mengandalkan fisik. Mendengarnya dari orang yang lebih mengenal Oscar, semakin meyakinkannya bahwa Oscar berbeda dari mereka yang hanya mengandalkan fisik. Namun timbul ketidakyakinan apakah mengetahuinya akan membuat percaya dirinya menurun atau sebaliknya.
"Kenapa diam?"
Karan mengembangkan senyum tipisnya, berusaha mengusir pikiran-pikiran yang mulai mengganggunya. "Aku masih ngerasa nggak pantes, Farah."
Mengungkapkan apa yang dirasakannya kepada orang yang baru dikenal bukanlah sesuatu yang sering Karan lakukan. Namun Farah adalah orang pertama dan satu-satunya diluar anggota keluarga Oscar yang mengetahui hubungan mereka.
"Karena apa? Because he's good looking, famous, or what?"
Karan menggigit bibir bawahnya sembari memainkan serbet putih di atas meja. "Semuanya." Karan berdeham pelan sebelum melipat lengannya di atas meja, dicondongkannya sedikit tubuhnya. "Aku ... terlalu biasa jika dibandingkan Oscar dalam banyak hal."
"You feel insecure?"
Karan mengangguk.
"Tiap orang akan ngerasa nggak aman dalam sebuah hubungan. Set aside everything about his looks or his career, and you will see that he is just a man, Karan. Nggak ada bedanya dengan kamu atau pria lainnya. Mungkin hubungan jarak jauh kalian punya andil atas ini. Kalau Oscar tinggal di Bali dan punya pekerjaan biasa, aku yakin kamu nggak akan ngerasa seperti itu, kan?" Dengan lembut, Farah meletakkan tangannya di atas Karan dan menatapnya lekat-lekat. "Don't let this insecurity destroys what you have with Oscar. He's happy being with you, I can see that, and I believe, you feel the same way, even though you still have doubts about yourself."
Farah dengan cepat menarik tangannya begitu mendengar langkah kaki mendekati meja mereka. Karan pun kemudian tersenyum tepat ketika Oscar kembali ada di antara mereka.
Farah berdecak. "What took you so long?"
"Aku bicara dengan Clive tadi. Sorry," jawab Oscar sambil menepuk pelan punggung tangan Karan yang masih berada di atas meja. "Kalian ngobrolin apa?"
"Karan tanya kenapa aku nggak jadi aktris. I told him, I have no talent whatsoever in acting."
"Don't you believe her, Karan. Farah nggak perlu akting karena daftar kontrak ekslusif dia udah panjang."
Balasan Oscar itu disambut Farah dengan menaikkan alis. "Said the man who once walked for Tom Ford and Karl Lagerfeld for NYFW."
Karan jelas tidak memahami kalimat yang baru didengarnya, tetapi Oscar menanggapinya dengan gelengan pelan sebelum dia menyandarkan punggung, sementara Farah menandaskan sisa wine-nya.
"Said someone who once walked with Gisele Bundchen and Doutzen Kroes," Oscar mengalihkan tatapannya ke Karan, "became the cover of Vogue Brazil, Spain, and Italy."
Selama beberapa menit, mereka berdua saling menukas dalam canda hingga Karan hanya menikmati tanpa tahu apa yang mereka ributkan. Berada di antara candaan mereka membuat Karan melupakan sejenak apa yang mengganggunya seharian ini. Masih banyak waktu untuk memikirkannya, batin Karan.
***
"I was right, Karan," ucap Oscar dengan senyum lebar yang jelas tidak ingin disembunyikannya.
"Tentang apa?"
Oscar memiringkan tubuh sebelum menyangga kepala dengan lengan kanannya. Dengan semua yang dikatakan Farah tadi, Karan bertekad menikmati kebersamaannya dengan Oscar semaksimal mungkin, menyingkirkan ragu yang selalu menghampiri setiap kali Oscar ada di sampingnya.
"Kamu dan Farah sama-sama suka, meski aku lihat, you're not yourself in the past two days. Am I right?"
"She's nice," ujarnya singkat tanpa menanggapi ucapan Oscar yang lain.
Oscar menatap Karan, seperti sadar sesuatu yang sangat berat sedang mengisi pikirannya. "Kalau kamu udah look at the ceiling dan diam kayak ini, it means you're thinking about something. What else is on your mind?"
Karan berdeham pelan sebelum menarik napas panjang. "Farah said ... you're happy being with me. I wan—"
Tawa Oscar memotong kalimat Karan. "Ha! She's absolutely right! Aku sering bilang begitu, but you doubt me!"
"Aku masih nggak yakin, Oscar. I feel ...." Karan tidak melanjutkan kalimatnya ketika tangan Oscar menyentuh pipinya, membuat pandangannya beralih dari langit-langit.
"Aku kadang berpikir, this has to do with our long distance relationship. Kamu pasti enggak akan begini if I were in Bali."
"Aku yang punya masalah, Oscar, bukan ka—"
"Kapan terakhir kamu liburan?" potong Oscar, mengabaikan protes Karan karena dia memotong kalimatnya.
"Liburan? Maksud kamu jalan-jalan?" tanya Karan.
Oscar mengangguk. "Apakah pas kita ketemu di pesawat the first time?"
"You know I hate flying."
"What do you say we go somewhere for few days?"
Karan tertegun mendengar usul Oscar. Dipandanginya laki-laki itu tanpa berkedip.
"Berdua?"
"Yes, just us."
"Why?"
Oscar malah tergelak. "Orang akan tanya kapan atau ke mana, bukan why." Oscar mendekatkan wajahnya. "It will be good for us. Kita bisa seminggu barengan terus, just us."
"Kamu pikir itu ide bagus?"
"I think it's a terrific idea, to be honest."
"Aku harus ngajuin cuti lebih dulu kalau kamu memang benar-benar pengen kita liburan bareng. Alya mungkin bisa ngatur jadwalku."
"So, is it a yes?" tukas Oscar cepat.
"Jadwal kamu sendiri gimana? You're in the middle of shooting your new film, and—"
Untuk kedua kalinya, Oscar memotong kalimat Karan, "Kita nggak akan pergi besok, Karan. I want to plan it thoroughly and make it memorable for you. I will check with Pipit to empty my schedule for, at least a week, and once I get it, I will let you know."
Karan mengangguk. Dia sendiri belum bertemu Pipit, manajer Oscar yang menangani semua kegiatannya di Indonesia. Karan tidak mampu menahan senyum saat melihat bibir Oscar tersungging begitu lebar mengetahui mereka akan merencanakan liburan bersama.
"Okay," ucap Karan.
"Now, turn around and let's sleep. It's late and I believe you're sleepy."
Tanpa diminta untuk kedua kalinya, Karan membalikkan tubuh dan sesaat kemudian, dirasakannya lengan Oscar menyusup di bawah lengannya sebelum jemari pria itu menggenggamnya. Dirasakannya bibir Oscar mendarat di tengkuknya sebelum Oscar menggesekkan pelan ujung hidungnya di leher Karan hingga membuatnya geli.
"Kita nggak akan tidur kalau kamu terus begitu."
Oscar menanggapinya dengan sebuah gumaman parau yang membuat senyum Karan kembali tersungging.
Dalam sekejap, Karan sudah mendengar napas Oscar yang teratur meski genggaman tangan pria itu masih belum lepas. Karan masih belum bisa memejamkan mata. Dipandanginya tirai jendela berwarna krem di hadapannya sambil berpikir tentang liburan pertama mereka sebagai pasangan.
Life can't be this nice to me, can it? It's just too good to be true, batin Karan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro