18 - THE LANGUAGE OF LOVE
Beberapa kali, Karan mengarahkan lirikan matanya ke Oscar yang sedang berbicara di telepon, sementara dirinya sibuk mengarang alasan ke Zola yang tiba-tiba saja mengiriminya pesan singkat untuk mengajaknya makan malam. Meski Oscar tidak keberatan jika Zola tahu tentang hubungan mereka, Karan masih belum mampu mengungkapkannya ke Zola. Dia masih ingin menyimpan Oscar sebagai sesuatu yang hanya dia ketahui.
Meski terasa asing berada di kamar Oscar saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, Karan mulai membiasakan diri. Dia memahami alasan Oscar memintanya datang, mengingat indekosnya tidak bisa dibilang privat, sementara hubungan mereka harus sangat dijaga dari publik. Namun ini pertama kalinya Karan mengiyakan ajakan Oscar menginap walaupun dia sudah sering memintanya.
Karan sudah menyiapkan alasan saat Oscar memintanya, tetapi ketika Oscar mengatakan kedua orang tuanya sedang ada di Singapura untuk menghadiri resepsi pernikahan anak salah satu kolega ayahnya, Karan mengangguk. Satu hal yang tidak pernah dilewatkan Oscar jika dia pulang ke Bali adalah mengajak Karan makan malam di rumah bersama orang tuanya, tapi Karan tidak pernah menghabiskan malam meski secara tidak langsung, kedua orangtuanya jelas tidak keberatan jika dirinya menginap.
"Semuanya baik-baik aja?" tanya Karan saat disadarinya Oscar sudah menyelesaikan percakapannya.
Oscar mendongak untuk menatap Karan. "Apanya yang baik-baik?"
Karan mengedikkan bahu. "Kamu kedengerannya cukup serius di telepon tadi."
Oscar ber-ooh sembari mengangguk. "A friend was asking for an advice and reminding me about our dinner tomorrow."
Oscar menaiki tempat tidur sebelum menelungkupkan tubuhnya di samping Karan. Disentuhnya lengan Karan sambil membelai pelan rambut-rambut halus yang tumbuh di sana. Lama Oscar melakukannya, tanpa ada kata terucap sebelum dia mengangkat wajah. Senyum di bibirnya mengembang, meski tidak selebar senyum foto-fotonya di sosial media. "Kamu senang?" tanyanya setelah menyangga kepala dengan lengan kanannya.
"Soal apa?" tanya Karan balik.
"Being with me."
Karan menarik napas dalam sambil membiarkan kepalanya bersandar ke headboard. "Kamu sering banget tanya itu."
"Aku cuma ingin make sure."
"I am glad, though sometimes, I'm still pinching myself, hoping it won't hurt."
Oscar terkekeh. "Apakah nggak akan susah kalau aku ... different? Cuma cowok biasa dengan regular job?"
Karan bukannya tidak pernah memikirkan kemungkinan itu sebelumnya. Dirinya bahkan cukup sering berandai-andai: Jika Oscar bukanlah seorang publik figur, apakah Karan akan lebih mudah memahami ketertarikan Oscar kepadanya serta hubungan mereka? Namun mendapatkan jawabannya sama sulitnya melepaskan identitas yang melekat pada Oscar.
"Aku nggak tahu. Tergantung situasinya mungkin."
"Tiap malam di Jakarta, selalu ada rasa salah sama kamu."
Mengenal Oscar lebih dekat membuat Karan terbiasa mendengar susunan kalimat bahasa Indonesianya yang tidak konsisten, kadang tepat, kadang amburadul. Meski begitu, tidak pernah terjadi salah paham karena Karan selalu bisa memahami maksud Oscar.
"Kenapa ngerasa bersalah?"
"For not being able to introduce you as my boyfriend, proudly. Setelah kamu punya hubungan dengan Binar, it sounds ... unfair."
"Kamu nggak perlu ngerasa begitu. Kita udah sering ngomongin ini 'kan?"
Satu yang menjadi bahasan mereka begitu Karan setuju meningkatkan status hubungannya dengan Oscar adalah ketidakmungkinan Oscar memperkenalkan Karan sebagai kekasih. Selalu sebagai teman. Dan Karan tidak keberatan.
"Aku tahu, cuma ... I don't know. Mungkin berbeda kalau kita ketemu dulu, sebelum masuk dunia liburan."
"Hiburan," koreksi Karan.
"Ya, hiburan," ulang Oscar sambil mengetuk pelan kepalanya dengan tangan menyadari kesalahannya. "Susah buat keluar sekarang."
"Dijalani aja, Oscar. Que sera sera."
Munafik jika Karan tidak membayangkan kemungkinan terburuk dari hubungan mereka, tetapi Karan tidak ingin membaginya dengan Oscar. Pria itu akan menganggap kekhawatiran Karan berlebihan. Namun adakah kemungkinan paling menyesakkan selain perpisahan dalam hubungan yang dijalaninya dengan Oscar? Profesi Oscar jelas menjadi momok, bahkan mungkin satu-satunya hal yang akan menghancurkan apa yang baru mereka jalani. Karan berusaha mengenyahkannya, tapi tetap bukan perkara mudah.
"Mau baca cerita untukku?" pinta Oscar tiba-tiba, sambil menunjukkan wajah memelasnya.
"Oscar, I'm not your audio book."
"That's exactly the reason! You're miles better than audio book because I can see your face and expression when you read your story."
Karan hanya mampu menggeleng heran, meski diam-diam mengulum senyum.
Meski tidak setiap malam—apalagi jika Karan mendapat shift pagi keesokan harinya atau shift malam—Oscar selalu minta dibacakan cerita. Bukan sembarang cerita, tetapi hanya cerita yang ditulis Karan. Saat pertama Oscar memintanya, Karan menolak dengan alasan suaranya tidak cukup merdu, tetapi Oscar bersikeras sampai Karan menyerah. Sejak itu, membacakan cerita untuk Oscar menjadi sebuah kebiasaan, apalagi jika Oscar sedang ada di Bali, bisa dipastikan Karan tidak akan mampu berkelit. Seperti saat ini.
"Mau cerita yang mana?" tanya Karan sambil mengulurkan tangan untuk meraih laptop yang diletakannya di atas nakas di samping tempat tidur.
"Yang baru?"
"Yang baru kan belum ditulis," balasnya begitu layar laptopnya menyala. "Beberapa minggu terakhir, belum ada satu ide pun yang aku eksekusi. Semuanya masih dalam bentuk coretan."
"Read me anything."
Karan lantas membuka folder bertuliskan STORIES dan membukanya. Karan sampai harus membuat sub-folder berisi cerita-cerita yang sudah dia bacakan ke Oscar agar tidak membacakan cerita yang sama. Begitu sub-folder bertuliskan ANTOLOGI yang sebagian besar berisi cerita pendek terbuka, dibacanya satu per satu judul cerita sebelum Oscar meminta Karan mengklik satu cerita berjudul F(L)O(V)E. Setelah menjelaskan secara singkat isi ceritanya, Karan memandang Oscar.
"Kamu mau cerita ini?"
"Yes, please." Setelah berbaring, Oscar meletakkan lengannya di paha Karan yang harus tetap duduk demi membacakannya cerita.
Karan memandangnya. "Tangannya jangan usil, ya?"
Oscar cengar-cengir. "I can't promise you that."
"Ceritanya nggak panjang."
"The less is better, then, because I can spoon you after."
Semua sentuhan yang sering diberikan Oscar memang seperti hal baru bagi Karan. Secara tidak langsung, dia harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan Oscar. Tidur setengah telanjang yang awalnya membuat jantung Karan berdegup sangat hebat, pelukan yang erat setiap kali mereka berbaring—spooning menjadi posisi favorit Oscar dan belakangan, mulai disukai Karan—kesenangannya mengelus rambut-rambut di lengan Karan seperti yang dilakukannya sekarang, sampai kecupan-kecupan kecil yang diberikannya saat Karan tidak menduganya. Dia mulai menikmatinya meski perasaan tidak nyata itu masih cukup ketat menguntit.
Karan mulai membacakan cerita tentang dua pria yang merupakan kompetitor di arena tenis lapangan, tapi menjalin hubungan asmara di luar lapangan—menjelaskan kenapa judulnya adalah gabungan antar foe dan love. Setiap ada kata yang tidak dipahami Oscar, Karan akan berhenti dan menjelaskannya dengan cara paling sederhana.
Setengah jam kemudian, Karan mematikan laptop dan meletakannya di atas nakas begitu tugasnya sebagai audio book selesai. Ditatapnya Oscar yang sepertinya betah dengan posisinya yang belum berubah sejak tadi.
"Kenapa mandang aku kayak gitu?"
"Because there's nothing or no one else to look at but you?" Oscar kemudian mengelus lembut jemari Karan. "Kamu mau ke Jakarta?"
Hal pertama yang melintas dalam pikiran Karan bukanlah menanyakan alasannya, tetapi keharusannya naik pesawat terbang. "Kamu bosen pulang ke Bali terus?"
Oscar menggeleng. "Temen lama di New York, Farah, akan ke Jakarta, tapi dia belum kasih tahu the exact date. I've told her about you and she made me promise to bring you along when we meet."
"Kamu bilang nggak ada yang tahu kamu ...." Karan sengaja tidak melanjutkan kalimatnya karena mereka sama-sama tahu kelanjutan kalimat itu.
"My good friends know about me because they have known me for years. My life in Jakarta is mostly for work, same goes for the circle of the friends that I have. Nggak semua, tapi ... sebagian."
"She knows all your dirty little secrets, then?"
Oscar tergelak. "Kamu boleh tanya apa aja sama dia. I don't mind."
"Tapi kamu tahu aku nggak suka naik pesawat."
"You're not going to fly alone. Aku pulang ke Bali dulu, terus kita ke Jakarta."
"I still have to fly alone from Jakarta to Bali."
"You're right, but I can accompany you, if you want. Just to make sure you arrive safely."
Mereka saling diam sebelum Karan mengajukan sebuah ide. "Kenapa nggak kamu ajak Farah ke Bali?"
Oscar meraih pinggang Karan, menariknya lembut hingga tubuhnya merebah. "We've talked about it, but she won't be in Indonesia for long. Kamu kalau takut, it's okay. Nggak perlu pergi ke Jakarta."
"Kalau aku ke Jakarta, boleh aku lihat kamu syuting atau pemotretan?"
"It can last a whole day. Takutnya kamu get bored."
"Aku nggak perlu nunggu seharian, kan? Just for an hour or so."
Oscar tersenyum dan mengangguk. "Tapi kita harus hati-hati." Oscar kemudian mendekatkan wajah untuk mengecup kening Karan. "But I'd love to take you. Kita tidur, ya? Udah malem banget."
Karan tidak kuasa menahan tawa kecilnya mendengar Oscar mengucapkan kata 'banget', lebih karena ekspresinya daripada cara Oscar mengucapkannya.
Oscar memberi tanda dengan jarinya agar Karan membalikkan tubuh dan Karan pun menurut. Tidak lama kemudian, dirasakannya dada Oscar menempel di punggungnya, sementara tangan pria itu memegang tangan Karan. Karan bahkan membiarkan senyumnya mengembang lebar ketika merasakan gesekan pelan ujung hidung Oscar di tengkuknya.
"Kamu tahu kenapa aku suka posisi ini?"
"Tell me," jawab Oscar dengan suara parau.
"Because I don't have to look at your face and be reminded of your perfection, while I'm ... I'm just an ordinary looking guy. It makes me ... feel less insecure."
"Then you have to work harder every time you see my face because I'm as imperfect as you are. I might have won a genetic lottery, and there is nothing I can do about it, but it's just part of who I am. If people glorify my look, it's because that's what they see, and as much as it annoys me sometimes, I can't help it. But you ... I don't want you to see me only because of this face and this body."
Karan termenung mendengar kalimat Oscar. Ini pertama kalinya Oscar menyinggung tentang fisiknya setelah di awal pertemuan mereka dulu, bahwa dia ingin dilihat sebagai aktor yang punya kemampuan berakting, bukan sekadar mengandalkan fisik semata. Karan memang tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki fisik seorang Oscar James, jadi sulit baginya membayangkan pria seperti Oscar memiliki perasaan insecurity.
Ada banyak yang ingin diungkapkan Karan, tetapi dia kemudian memutuskan untuk diam. Diraihnya tangan Oscar sebelum mengecupnya lembut.
"I know, Oscar. I know."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro