Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12 - AND SO HE SAID IT

Deniz tidak mengalihkan tatapannya dari layar laptop saat ekor matanya menangkap Karan memasuki kantor dengan lunglai. Langkahnya terlihat berat saat menghampiri meja dan tanpa menyapa Deniz, dia langsung membanting tubuh di atas kursi hingga menimbulkan derit pelan. Karan langsung merebakan kepala di atas meja, membiarkan lengannya menutupi wajah, sedangkan tas punggungnya masih tersangkut di pundak.

"Are you okay?" Deniz akhirnya tidak tahan lagi saat Karan masih belum mengatakan apa pun dalam kurun waktu lima menit. "How did it go?"

Terdengar erangan pelan sebelum Karan mengakkan tubuhnya dan menatap Deniz. "Those kids were terrible. Ribut banget dan nggak tertarik sama sekali dengan presentasiku. Aku nggak tahu gimana Angie dan Louie bisa betah ada di sana. I almost lost my temper."

Tanggapan Deniz adalah sebuah gelak. Tangannya masih sibuk mengarahkan kursor di foto yang baru saja dia edit, mengamatinya sekali lagi, lalu dengan anggukan pelan, menyimpannya. "Setidaknya kamu tidak di sini tadi. Meeting with the staff was ... you know."

Karan mengangguk paham meski Deniz tidak melihatnya.

Meeting dengan staf inti OPS biasanya berlangsung satu jam, tetapi jika ada bahasan yang lebih serius—terutama jika OPS menjadi tuan rumah training course yang mengakomodasi puluhan anak muda dari beberapa negara Eropa—mereka bisa terjebak dalam kebosanan selama dua jam. Kali ini Karan berhasil lolos dari meeting yang tidak diragukannya membahas tentang training course bertema Art & Inclusion yang akan diselenggarakan bulan depan. Dia harus ke salah satu sekolah dasar untuk memberi presentasi mengenai Indonesia.

Salah satu program rutin OPS adalah pergi ke satu sekolah dasar yang berbeda setiap tahunnya untuk memperkenalkan para murid mengenai budaya asal para volunteer OPS. Sejak mendapatkan jadwal sebulan lalu, Karan menghabiskan hari-harinya menyusun presentasi tentang Indonesia yang bukan hanya informatif, tapi juga sederhana. Meringkas ratusan budaya Indonesia bukanlah hal mudah. Setelah dilanda frustasi karena bingung harus memulai dari mana, akhirnya Karan memutuskan mengambil satu budaya inti dari pulau-pulau utama Indonesia dan menceritakan legenda Malin Kundang, karena menurutnya legenda itu punya pesan moral yang kuat.

Meski Angie dan Louie memuji presentasinya, reaksi anak-anak yang terlalu riuh—bahkan tidak mampu menunjukkan letak Indonesia sekalipun tulisan Indonesia jelas terpampang pada peta yang dipasang oleh guru pendamping—membuat Karan tidak sabar segera kembali ke kantor dan merasa usahanya sia-sia. Dua kelas yang dihadirinya hari ini dan masih ada dua lagi minggu depan benar-benar menguras energi. Belum lagi laporan bulanan yang harus dia serahkan ke Global Movement—NGO tempat Zola bekerja dan juga yang mengirimnya ke Portugal—semakin membuat tingkat kemalasan Karan meningkat. Tidak ada kata santai selama beberapa hari ke depan.

Karan merasakan getaran ponsel yang sengaja ditaruhnya di dalam tas agar tidak memecah konsentrasinya tadi. Saat meraihnya, dia melihat Egil mengiriminya pesan singkat.

How did it go?

Don't tell me! I want to hear it in person

Want to go out for lunch and accompany me for some grocery shopping?

I've just finished my class

"Siapa? Egil?" tebak Deniz saat melihat Karan hanya menatap layar ponselnya tanpa berkedip.

"Dia ngajakin makan siang di luar," balas Karan sebelum meletakkan ponselnya dengan asal dan mengeluarkan laptop dari dalam tas. "Seberapa kaya sih Egil ini? Sampai bisa tinggal di Porto tanpa harus kerja dan sering keluar makan. It's not cheap eating out, you know," keluh Karan sambil menggeleng heran.

Deniz tergelak. Dialihkannya perhatiannya ke Karan setelah dia menyandarkan punggung dan memutar setengah kursinya. "Masih tidak mau mengakui Egil tertarik ke kamu?"

Terdengar erangan pelan Karan saat dia menghidupkan laptopnya. "Not that again, please. Udah bosen aku denger kamu ngomong itu terus."

"Cepat atau lambat, Egil akan mengkonfirmasi apa yang selama ini tidak mau kamu gubris, Karan."

"Dan saat ini, ada banyak laporan yang harus aku buat. Untuk Global Movement, hasil presentasi tadi untuk laporan ke Maia—oh, please no more," keluhnya saat membaca surel yang dikirim Edu—staf OPS yang mengurusi Art & Inclusion. "Edu minta aku bantuin dia soal aktivitas buat training yang berhubungan dengan menulis." Karan menjambak rambutnya menyadari semakin banyak tugas yang harus dikerjakannya dalam waktu bersamaan. "Beril, why did Edu ask me to help him with the training? I thought you're in charge of that," tanya Karan ke Beril yang duduk di seberang mejanya.

"Dia cuma ingin tahu pendapat kamu. You're a writer, aren't you?" balas Beril tanpa mengangkat wajah untuk menatap Karan. "Mungkin dia juga akan minta kamu buat mengisi salah satu aktivitas training."

Karan mendengus. Sengaja dia mengeraskannya agar bukan hanya Deniz yang mendengarnya, tetapi juga Beril dan Xavi, meski mereka jelas tidak terganggu. "Apa yang harus aku lakukan coba? Edu is being nonsense about this." Karan menatap Deniz yang sejak tadi seperti bahagia melihat banyaknya tugas yang dibebankan kepadanya. "Kamu kenapa senyum-senyum gitu? This is not funny, absolutely not."

"Karan, aku belum pernah lihat kamu bersikap seperti ini. Mungkin Maia dan staf lain tahu kamu selalu menyelesaikan dan melaksanakan tugas dengan baik, jadi mereka tidak perlu pikir panjang untuk memberikan kamu tugas lain."

"Kenapa sih kamu cuma ditugasi buat ngurusin foto aja?"

"Because photography is also an art, and Edu has asked me to participate in the training as well. So, you're not the only one." Deniz mengatakannya dengan ringan seolah dia menikmati apa yang ditugaskan kepadanya. "Stop complaining, it won't get any of your works done."

"Aku kadang mikir, kalau Xavi yang jadi roommate kamu dan bukan aku, dia masih betah nggak ngadepin sifat kamu yang seperti ini?"

"Yeah, I know he's an asshole, that's why I didn't want to be his roommate, Karan," sahut Xavi tiba-tiba yang disambut Deniz dan Beril dengan tawa.

"Admit it, Karan, you like being my roommate, don't you?"

Karan lagi-lagi mendengus, tapi tidak membalas kalimat Deniz karena dia tidak akan mampu menang jika harus beradu pendapat. Dengan kesal, Karan langsung membuka Youtube untuk melemaskan pikirannya.

"Jangan lupa balas pesan Egil. Mungkin suasana hati kamu akan membaik setelah ketemu dia."

Ucapan Deniz itu tertangkap oleh Karan tepat sebelum dia menyumbat telinganya dengan earphone.

Tugas-tugas itu bisa aku kerjakan nanti. Pusing! tukas Karan dalam hati sembari mengetik funny dogs di kolom pencarian Youtube.

***

"Kamu pernah ke sini?" tanya Egil begitu mereka keluar dari mobil. Setelah mengambil satu troli—pengunjung harus memasukkan koin Euro untuk menggunakannya, yang bisa mereka dapatkan saat mengembalikannya nanti—mereka menuju pintu masuk Continente, salah satu jaringan supermarket terbesar di Portugal.

"Belum, tapi kalau Continente yang biasa udah sering. Kamu sendiri?"

"Aku selalu ke Continente untuk belanja keperluan rumah, tapi aku lebih suka pergi ke pasar untuk beli bahan makanan mentah."

Gelengan Karan adalah kombinasi atau takjub dan heran, karena dia tidak pernah mendengar seorang pria mengaku suka pergi ke pasar dengan ringannya.

"Kenapa?"

"Nggak banyak cowok yang suka pergi ke pasar. Dan kamu sama sekali nggak kelihatan tipe seperti itu."

Egil tergelak. "Berarti kamu belum kenal aku dengan baik," ujarnya begitu mereka melewati pintu masuk. "Kamu perlu beli sesuatu?"

"Mungkin aku akan beli wine. Jatah di rumah kayaknya udah abis."

"Kamu sering minum wine di Indonesia?"

Karan hanya menguntit Egil yang mengarahkan trolinya ke bagian pembersih lantai. "Gajiku nggak cukup buat beli wine. Aku lebih suka minum bir, itu pun jarang. I'm more of a social drinker."

"Mahalkah wine di Indonesia?"

Karan mengangguk mantap. "For about 20 Euro, you get local wine. If you want to buy a good wine, be ready to spend at least 50 to 60 Euro."

Egil menghentikan trolinya dengan tiba-tiba untuk menatap Karan. "That can't be serious!"

"Wine nggak pernah jadi bagian dari budaya Indonesia, Egil, dan iklim di sana juga nggak begitu cocok buat minum wine. Wine hanya jadi konsumsi orang-orang yang punya duit lebih buat dihabiskan."

"Apa yang membuat kamu jadi suka wine?" tanya Egil sambil mengambil tiga roll toilet paper dan memasukkannya ke troli. "Atau kata suka terlalu kuat?" Egil tersenyum, hingga sepasang mata hijaunya terlihat semakin terang di bawah cahaya terang lampu supermarket.

"Ada saat-saat aku bisa minum wine di Bali, tapi nggak pernah suka. Deniz bikin aku jadi semakin suka sejak dia maksa aku buat minum Porto wine dan mungkin karena tradisi di sini yang sangat kental dengan itu. Aku malah takut kalau nanti jadi kecanduan dengan wine begitu kembali ke Indonesia."

"Kamu tidak akan kecanduan, Karan, mungkin sesekali kamu ingin meminumnya dan itu wajar. You're not the addictive type. Of anything." Egil menegaskan dua kata terakhirnya.

"Are you a psychic or something?"

Egil membalasnya dengan tawa yang menular ke Karan.

Mereka menyusuri bagian teh dan kopi, dan terkejut mengetahui kalau Egil tidak terlalu suka kopi biasa. Egil kemudian bercerita dia beralih ke decaffeinated coffee sejak jantungnya menjadi berdebar tidak beraturan dan membuatnya terlalu bersemangat. Dia mengambil beberapa jenis teh karena Martin bisa menghabiskan satu pak dalam seminggu sedangkan Egil berusaha belanja dua minggu sekali.

"Bagaimana ceritanya Martin bisa ada di apartemen kamu?" Meski Deniz sudah menceritakan kepadanya, Karan ingin mendengarnya langsung dari Egil.

"Oh, Marko—kakak Martin—adalah rekan kerjaku di Oslo dulu. Meski dia sudah keluar di tahun ke-4 aku bekerja di sana, komunikasi kami masih jalan. Dia tiba-tiba tanya tentang Porto dan bilang adiknya akan mengambil semester di Porto. Aku menawarkan diri begitu tahu Martin butuh akomodasi dari obrolan kami. The rest is history."

"And you're being kind by asking him to pay next to nothing." Karan ingat cerita Deniz tentang nominal yang harus Martin bayar untuk tinggal bersama Egil, sepertiga dari total sewa. Bagi Karan, jumlah itu sama sekali tidak ada artinya mengingat lokasi apartemen Egil yang benar-benar di depan pantai.

"Martin cukup menyenangkan dan aku tidak menyesal berbagi apartemen dengannya. Akan sepi jika dia sudah pergi nanti." Dia menatap Karan. "After all, he's just a university student, Karan, with limited budget. Aku cuma berharap dia akan melakukan hal yang sama kalau nanti dia sudah matang dan ada orang yang ingin meminta bantuannya."

"Dan apa yang kamu lakukan jauh lebih mulia daripada ucapanmu tentang pekerjaanku."

Egil mendorong trolinya ke bagian sereal dan mengambil satu kardus ukuran besar lantas meraih satu kotak oatmeal, quinoa, dan tepung almond dari rak lain. "I'm not extremely wealthy, but I have enough for myself. Tidak ada salahnya kan berbagi?"

"Itu organik?" Karan menunjuk tiga barang yang diambil Egil setelah dia mendongak dan membaca bahwa semua yang berada di rak ini adalah bahan organik.

"Yep! It's more a habit than anything, really. Silva—mantanku yang orang Portugis—sangat ketat soal makanan dan meski kami sudah putus, aku masih sulit menghilangkan kebiasaan."

"It's just like—" Nama Oscar sudah mencapai ujung lidahnya, tetapi Karan langsung menutup mulut. Dia belum siap memberikan penjelasan jika Egil bertanya tentang Oscar. Karan menelan kembali nama itu.

"Ada apa?"

Karan menggeleng. "Aku punya teman di Indonesia yang semua bahan makanannya harus organik. Di Bali, bahan makanan seperti ini masih mahal."

"Well, being healthy is expensive."

Karan tidak menyahut kalimat Egil, tetapi hanya mengikutinya menelusuri rak demi rak hingga Karan tidak bisa membayangkan berapa banyak yang akan dihabiskan Egil di kasir nanti.

"I think I've got everything on the list. Just bread and some olive oil, and then we're done." Egil mengalihkan tatapannya dari daftar belanjaan yang ditulisnya di ponsel. "Kamu pasti lapar. Kita bisa makan setelah ini."

Karan mengangguk. "Oke."

***

"Are you full?" tanya Egil saat melihat Karan menepuk perutnya sehabis menandaskan burger yang mereka beli. Karan menolak makan di restoran, hingga Egil akhirnya setuju untuk membeli burger dan memakannya di Parque de São Roque yang letraknya tidak jauh dari kantor Karan.

"Cuma manusia nggak normal yang nggak kenyang setelah makan burger sebesar itu, Egil."

"Berarti aku tidak normal? Karena aku masih belum sepenuhnya kenyang."

Karan membelalakkan mata, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia harusnya tahu, jika reaksi seperti itulah yang diharapkan pria yang duduk di sebelahnya karena detik berikutnya, Egil tergelak. Ada sedikit bekas saus yang menodai kaus abu-abu polosnya. Saat mata Karan menatapnya, ada dorongan untuk mengulurkan lengan dan menyekanya dengan tisu, tetapi diurungkannya niat itu.

"Apa yang paling membuat kamu kangen dengan Bali?" Egil meluruskan kaki, sementara tangannya menyingkirkan bekas makan siang mereka di tas kertas yang dia lipat dengan rapi. Dia lantas melepas kacamata hitam yang masih dipakainya dan menyangkutkannya di belahan kerah kausnya.

"My motorbike and the street food."

"Tidak kangen teman-teman kamu?"

"I don't really have that many friends in Bali, but I miss Zola. I mean, talking with her through video call and texting are different."

"Dia yang mengirim kamu ke sini?"

Karan mengangguk. "Ini pertama kalinya aku tinggal di luar negeri dan ... semua pengalaman ini memang berharga, tapi kadang susah buat nggak mikirin Bali." Karan memandang atap rumah penduduk yang terlihat dari tempat mereka duduk, di sebuah bangku merah panjang di sudut taman.

"Atau ada seseorang yang membuat kamu kangen dengan Bali?"

Karan terdiam. Hanya perkara waktu sampai dia mendengar pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum dia menatap Egil dan tersenyum simpul. "Nggak ada, Egil."

Egil menggumamkan I see lantas meraih botol minumnya. Wajahnya menunjukkan keraguan yang tidak ingin diungkapkannya. Diteguknya isinya hingga tinggal separuh. Dia beberapa kali mencuri pandang ke Karan yang diam mematung memandang langit biru dan pucuk pohon-pohon di depan mereka. "Deniz bilang kamu penulis," ujarnya sembari memandang ujung sepatunya.

Ucapan Egil berhasil membuat Karan menoleh. "Aku pengen tahu, apa lagi yang Deniz ceritakan ke kamu di belakangku."

Egil menggeleng, tapi senyum di bibirnya tersungging. "Dia cuma bilang kamu penulis dan sudah menerbitkan beberapa buku."

"Aku cuma penulis indie, Egil. Kalau kamu cari Langit Biru di Google, nggak akan ada artikel panjang tentang novel-novel yang aku terbitkan."

"Langit Biru?" tanya Egil dengan kening mengerut.

"That's my pseudonym."

"What does it mean?"

"Blue sky."

"Kenapa kamu pilih nama itu?"

Karan mengedikkan bahu. "I just love it, that's all. No particular reason."

"Will you let me read your writing?"

"Aku nggak yakin kamu akan suka."

Egil diam, tetapi wajahnya jelas menunggu Karan melanjutkan kalimatnya.

"Tulisanku nggak bagus. It's just cheesy romantic story. Dan sebagian besar tulisanku dalam bahasa Indonesia."

Egil mengerang begitu mendengar kata-kata terakhir Karan. "Can you translate one piece for me? Let me be the judge for that."

Karan memandang Egil, menahan senyum. "Aku nggak bisa janji."

"Please?" Egil menunjukkan wajah memelasnya, lengkap dengan menempelkan kedua telapak tangannya.

"Kamu lucu juga kalau melas seperti itu?"

"Kamu mau aku memohon?"

"Egil, stop!" cegahnya tanpa mampu menahan tawa saat Egil benar-benar berniat merendahkan tubuhnya dan berjongkok di depan Karan. "Aku nggak bisa janji cepat, karena tugas dari kantor bikin aku pusing."

"Kamu beruntung, Karan, karena aku orang yang sangat sabar."

Mereka terdiam, tetapi sekali lagi, Karan tidak sepenuhnya mengalihkan perhatiannya dari Egil. Diamatinya rambut pirang Egil yang sesekali dipermainkan angin, kulit pucatnya yang sekali waktu pernah dengan gamblang, Karan mengatakan bahwa Egil seperti vampir yang digambarkan di buku-buku fiksi, kedua tangan yang ditumpukannya di atas paha dengan santai, serta kemeja putih dengan motif bintang-bintang kecil yang dipakainya. Egil tampak sedang memikirkan sesuatu hingga Karan tidak mampu menahan diri untuk tidak bertanya.

"Kamu baik-baik saja, Egil?"

Egil mengangguk. "Karan ... apa reaksi kamu kalau aku bilang ... aku merasa nyaman bersama kamu? Aku menikmati semua kebersamaan kita lebih dari yang aku duga." Egil mengucapkannya dalam satu helaan napas. Ditatapnya Karan lekat-lekat, menanti reaksinya.

Senyum yang sudah setengah terbentuk di bibir Karan, pudar dengan cepat. Ekspresinya berubah menjadi campuran antara cemas, bingung, dan kaget. Keinginannya agar bisa memalingkan wajah dari Egil, gagal karena mata hijau miliknya menarik Karan begitu kuat. Ada sesuatu dalam tatapannya yang tidak bisa Karan artikan. Yang dilakukannya kemudian hanyalah menelan ludah dan menundukkan wajah.

"Aku tahu kita belum lama kenal dan mungkin kamu kaget dengan apa yang aku ucapkan. Tapi waktu tidak pernah menjadi ukuran bagiku untuk menyukai seseorang, Karan. Semakin sering kita menghabiskan waktu bersama, aku semakin merasa nyaman bersama kamu," lanjut Egil saat menyadari Karan masih belum juga mengatakan sesuatu.

Yang ada di pikiran Karan saat ini adalah kalimat yang diucapkan Deniz di kantor, tentang hanya tinggal menunggu waktu sebelum Egil mengungkapkan perasannya. Apa yang berusaha ditepisnya, sekarang tidak mungkin lagi diabaikannya.

Apa yang harus aku katakan kepada Egil?

Karan masih belum mampu mengangkat wajah sementara dia belum menemukan kalimat yang harus dikatakannya tanpa terdengar dia menolak mentah-mentah. Andai saja jejak Oscar sudah tidak lagi menguntitnya, akan lebih mudah baginya membalas ucapan Egil. Namun, jika tidak ada seorang pun yang tahu tentang Oscar di Porto, Karan ragu Egil akan mampu menggoyahkan apa yang selama lebih dari dua bulan dipegangnya erat-erat.

"Egil, I ...."

"Is there someone else?" sahutnya.

Tebakan Egil membuat mulut Karan kelu. Pikiran dan hatinya saling bertentangan. Dia jelas tidak akan menceritakan tentang Oscar sekarang, dirinya belum kuat untuk memanggil kembali rasa sakit yang berusaha disembuhkannya. Karan menarik napas panjang sebelum mengangkat wajah untuk menatap Egil.

"There isn't someone, but ...." Karan mendesah pelan. "It's ... complicated."

Di luar dugaannya, Egil justru mengembangkan senyum. Tidak lebar seperti yang biasa diberikannya, tetapi tetap sebuah senyum. Dia mengangguk pelan. "Aku tahu, Karan, segala sesuatu yang berhubungan dengan hati tidak pernah mudah. It's always complicated." Egil kemudian menyandarkan lengannya pada sandaran bangku. "Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun jika memang tidak bisa, aku tidak akan memaksa. Kamu tidak keberatan kita sering bertemu, kan?"

Karan menggeleng. Bagaimana dia keberatan atas sesuatu yang justru membuatnya bisa menyisihkan sebentar pikirannya dari Oscar?

Sulit bagi Karan untuk tidak mengingat Oscar saat ini. Apa yang dilakukan serta dikatakan Egil tidak jauh berbeda ketika Oscar mengatakan dia menyukai Karan. Yang berbeda adalah tidak ada pria yang mengisi hati Karan saat itu. Kenangan akan Binar sudah mulai memudar, sedangkan saat ini, Oscar masih terlampau kuat mengikat hatinya. Bagaimana mungkin semesta mengatur dua kejadian yang mirip dalam kehidupannya?

"Yang bisa aku bilang saat ini, aku belum bisa cerita, Egil. Dan aku masih belum bisa ..." Karan menelan ludahnya sebelum melanjutkannya, "bales apa yang udah kamu kasih." Dengan canggung, Karan memandang lengan Egil yang berada pada sandaran bangku. "I enjoy spending time with you, I really do. Mungkin ini kedengeran nggak adil buat kamu, tapi aku beneran belum bisa."

Saat Karan kembali menatap Egil, senyumnya masih belum memudar. "Asalkan aku masih boleh ketemu kamu ... itu sudah cukup untuk sekarang." Dengan cepat Egil menegakkan tubuhnya dan menepuk pahanya pelan. Ditatapnya Karan seolah pembicaraan di antara mereka yang baru saja terjadi tidak pernah ada. "Kamu harus kembali ke kantor sekarang, kan? Aku tidak mau kamu mendapat masalah dari Maia jika sampai telat sampai di kantor."

Karan hanya mengangguk, mulut dan pikirannya terlalu bertentangan untuk bisa mengucapkan sesuatu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro