10 - THE ACQUAINTANCE
Karan memandang Samudra Atlantik yang terlihat kelam di hadapannya. Dinginnya angin yang berembus membuat Karan beberapa kali menggigil, ditambah gemuruh gulungan ombak yang menimbulkan perasaan nyeri dalam dirinya. Namun di saat yang bersamaan, dia merasa damai karena bisa melihat lagi sesuatu yang sangat dirindukannya dari Bali. Ada godaan untuk turun ke bawah dan membenamkan kakinya di pasir, tapi mengingat tubuhnya sudah protes hanya dengan berdiri di balkon, Karan tidak yakin dia mampu menahan dingin demi menuruti egonya.
Keriuhan di dalam apartemen masih terdengar jelas. Dia menengok sekilas dan melihat Deniz masih mengobrol dengan beberapa kenalan sementara Martin duduk di sofa panjang sambil menikmati kue ulang tahun. Dia belum bertemu Egil. Dari apa yang ditemukannya begitu memasuki apartemen, Egil jelas pria mapan yang sangat rapi dan sederhana. Mungkin demi alasan pesta kecil-kecilan malam ini, tidak banyak yang bisa dilihatnya selain sofa panjang, televisi 32 inci, dan satu rak kaca di sudut ruangan yang ketika Karan hampiri, berisi buku-buku tebal berbahasa Portugis. Yang Karan tahu, Egil berasal dari Norwegia dan sedang ada di Porto untuk memperdalam bahasa Portugis. Dia tidak mengajukan pertanyaan lebih lanjut karena Deniz terlanjur menggeretnya untuk diperkenalkan kepada beberapa orang teman.
Menjadi satu-satunya orang Indonesia di OPS membuat Karan tidak kaget dengan raut muka terkejut, kekaguman, serta berbagai macam pertanyaan yang jawabannya sudah dihafalnya di luar kepala. Sejak sampai di Porto dan setiap kali bercerita perjalanannya hingga sampai di sini, Karan menjadi semacam ambassador tidak resmi untuk Indonesia. Mulai dari pertanyaan mengenai Bali—satu-satunya yang sepertinya diketahui banyak orang—pulau-pulau di Indonesia, makanan, hingga situasi politik, Karan memberikan jawaban sebaik mungkin. Acara malam ini lebih seperti potluck dinner daripada acara ulang tahun. Setiap orang membawa makanan atau minuman dan satu-satunya yang menjadi favorit Karan adalah bacalhau yang diolah menjadi bermacam-macam makanan. Sejak sampai di Porto, olahan ikan kod asin itu menjadi salah satu makanan favoritnya.
Karan menyesap bir di tangannya sambil menyandarkan punggung ke tembok. Dia bersyukur tidak ada orang lain di balkon hingga dirinya bisa menjauh sesaat dari keramaian. Dikeluarkannya ponsel dari saku celana dan satu notifikasi membuat tangannya gemetar saat dia mengaktifkan fitur internet.
OJams_84 just shared a post
Begitu dia menyentuh notifikasi dan melihat foto yang diunggah Oscar, Karan menggigit bibir bawahnya. Meski bukan kali pertama dia melihat akun Instagram Oscar sejak sampai di Porto, rasa nyeri dan rindu yang dirasakannya masih mengimpit.
Dipandanginya foto Oscar yang tersenyum lebar sambil membelai kepala Jupiter. Namun perhatian Karan teralih ke kaus yang dikenakan pria yang berjarak ribuan kilometer darinya saat ini. Kaus abu-abu tanpa lengan dengan tulisan 'Proud Daddy of Jupiter' yang membungkus tubuh Oscar adalah kaus yang diberikan Karan ketika hubungan mereka memasuki bulan keempat. Masih jelas dalam ingatannya reaksi Oscar saat Karan menunjukkan kaus yang dipesannya khusus. Dengan senyum lebar, Oscar langsung memakai kaus di hadapan Karan sebelum memeluknya dan mendaratkan kecupan di pipinya.
Karan tersenyum hampa mengingat kilatan kenangan yang mati-matian ingin disingkirkannya. Bahkan lima belas bulan telah berlalu sejak Oscar mengungkapkan perasaannya malam itu setelah mereka menonton Casablanca.
Ada godaan menekan tombol hati, tetapi Karan menguatkan hati agar tidak melakukannya. Melirik persentase baterainya yang tinggal 8%, Karan mematikan ponsel dengan cepat. Ditandaskan birnya yang tinggal sedikit sembari mengingat kalimat yang diucapkan Zola saat mengantarnya ke bandara sebulan lalu.
"Lo kudu janji sama gue bakal jadi Karan Johandi yang nggak gue kenal lagi. Install Grindr kalau perlu! Awas kalau gue nanti ke Porto dan lo bilang belum nge-bang siapa-siapa. Gue yakin cowok-cowok yang bakal lo temuin di Eropa nanti jauh lebih kece dari mantan sialan lo itu. Orang kayak dia nggak pantes lo pikirin lama-lama."
Karan menggeleng pelan karena belum satu pun dari wejangan Zola yang dia penuhi. Dating apps tidak pernah menarik minatnya, bahkan ketika dia masih di Bali. Perlu keajaiban jika dia sampai mengunduh aplikasi semacam itu di Porto.
"Karan?"
Karan terperanjat mendengar namanya dipanggil. Dilihatnya Deniz yang tiba-tiba muncul dan menutup pintu yang tadi dibukanya pelan sebelum menghampirinya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Lihat ombak."
Deniz berdecak. "Egil sudah pulang, ayo aku kenalkan."
Karan tidak menolak dan langsung mengikuti Deniz masuk sambil membawa botol bir kosongnya. Mereka langsung menuju dapur dan melihat Martin sedang berdiri memegang satu gelas red wine, sementara pria kedua—yang Karan pastikan adalah Egil—duduk dan menikmati kue ulang tahun Martin. Mengenakan kemeja polo dengan garis horizontal putih hijau, dia terlihat sangat santai. Rambut pirangnya sedikit berantakan, tetapi justru menguatkan kesan laid-back.
"Egil, let me introduce you to my roommate, Karan. Karan, this is Egil."
"Egil. Senang berkenalan dengan kamu, Karan," balas Egil sambil mengulurkan tangan setelah meletakkan garpu yang dipegangnya.
Karan mengangguk, tidak lupa tersenyum sambil menjabat tangan Egil. "Nice to meet you, Egil."
Satu yang langsung menarik perhatian Karan dan sempat membuatnya menahan napas adalah warna mata Egil. Di bawah cahaya terang lampu dapur, warna hijau yang menatapnya terlihat begitu jelas. Karan belum pernah melihat warna mata sehijau itu dalam hidupnya.
"Are you enjoying the party?"
Karan sudah membuka mulut untuk membalas kalimat Egil, tapi seorang wanita—Karan yakin namanya Freia—melenggang ke dapur dan langsung menempatkan dirinya di tengah mereka berempat.
"I'm sorry to interrupt, gentlemen, but I need to kidnap Martin and Deniz for a moment."
Tanpa menunggu persetujuan Deniz maupun Martin, Freia langsung menggandeng dua pria itu dengan kedua lengan. Siulan serta tawa Deniz dan Martin membuat Egil menggelengkan kepala dengan senyum lebar di bibirnya. Begitu mereka berlalu dari dapur, Egil memandang Karan.
"Dia selalu seperti itu, Freia maksudku."
Karan tersenyum tipis. "Apartemen kamu bagus, Egil."
"Thank you. Do you like my apartment or do you like the party?"
Saat Karan masih memikirkan jawaban apa yang harus diberikannya, Egil tergelak. Dia kemudian mengambil satu botol wine yang belum dibuka dari atas meja.
"Do you want some wine?"
"Yes, please."
Egil bangkit dari kursi dan menghampiri rak yang ada di atas kompr bertungku empat dan mengeluarkan dua gelas. Dia juga membawa corkscrew sebelum kembali duduk. "Kamu kenal Deniz dari mana?" tanyanya sambil membuka botol wine.
"Kami satu kantor."
"Aha!" serunya berbarengan dengan cork yang berhasil ditariknya. Dia menuangkan isinya ke dua gelas dan menyerahkan salah satunya ke Karan. "I see you have a noble heart, Karan."
Setelah mengucapkan terima kasih, Karan menyesap red wine lantas menatap Egil. "I don't think I'm that noble."
"Hanya orang-orang berhati mulia yang mau bekerja dengan gaji minimum dan segala keterbatasannya. Tidak setiap orang punya hati sebaik itu."
"Aku bukan sukarelawan untuk misi kemanusiaan, Egil. It's more like an office job than being noble."
Egil kembali tergelak setelah menyesap gelasnya. "I know." Pandangannya tidak beralih dari Karan. "Deniz cerita banyak tentang OPS dan menurutku, program volunteering seperti itu bagus bagi anak-anak muda. Memberikan mereka kesempatan untuk tinggal di negara lain dan belajar tentang kebudayaannya." Egil memainkan jemarinya di ujung gelas. "So, where do you come from, Karan? I know you must have been asked that question too many times."
"Aku dari Indonesia."
Raut muka Egil berubah setelah mendengar kata Indonesia hingga dia memajukan tubuhnya lebih dekat, menjadikan warna matanya terlihat semakin jelas.
"Really? I've always wanted to go back to Indonesia for a longer period of time. I was in Bali five years ago and fell in love with the hospitality of people there. I believe any other part of Indonesia is as beautiful as Bali, or maybe prettier."
Dari sekian banyak orang yang sudah ditemui Karan, Egil adalah orang pertama di luar staf OPS yang pernah berkunjung ke Indonesia. Meski sedikit terkejut, Karan senang mengetahui Egil menikmati kunjungannya ke Indonesia. Dia tidak bisa menahan senyum lebarnya.
"You're welcome in Indonesia anytime, Egil. Come and visit when I get back, I'll show you another side of Bali."
"Wait! Do you live in Bali?"
Karan mengangguk. "Hampir lima tahun."
"Now I have more reason to go back."
"Kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan di Porto? Aku dengar kamu belajar bahasa Portugis."
"That ... and spending my money," jawab Egil ringan sambil menelengkan kepala.
Selama beberapa detik Karan terpaku mendengar balasan Egil. Saat tawa Egil berderai, Karan tahu Egil tidak serius dengan jawabannya.
"You look surprised."
"You must have been extremely wealthy to be able to spend money without having to work."
Egil menyandarkan punggungnya, jemarinya mengetuk permukaan meja pelan. "Hmmm ... unfortunately, you're quite mistaken, Karan. I'm just a lower class citizen," balasnya setelah kembali menyesap red wine.
Karan hanya mampu mengangguk pelan, pertanyaan yang berebutan di kepalanya ditahannya dengan paksa.
"Kenapa Portugis? Kebanyakan orang milih Prancis, Italia, atau Spanyol," komentar Karan tanpa mengalihkan tatapannya dari Egil.
"Blame it on my Portuguese ex-boyfriend. Gara-gara dia, aku jatuh cinta dengan bahasa Portugis dan ingin tahu lebih banyak tentang budayanya. Karena bahasa Inggrisnya bagus, dia menolak mengajariku bahasa ibunya. Setelah kami putus, aku ingin lebih menguasai bahasa yang tidak pernah dia mau ajarkan. So here I am, trying to master the language." Egil menopang dagunya. "Mungkin alasanku terdengar terlalu ... aneh. Kebanyakan orang ingin melanjutkan hidup setelah putus dari pasangan mereka. Don't get me wrong, I've moved on long ago, after all, it's been two years. Tapi aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan segala sesuatu yang berbau Portugis, jadi aku keluar dari pekerjaanku dan memutuskan untuk pindah ke Porto, setidaknya selama setahun. After that, who knows?"
Karan menelan ludah mendengar pengakuan Egil. Dia tidak menyangka ada orang yang rela meninggalkan pekerjaan demi menuruti keinginan hati, apalagi keinginan yang timbul dari sebuah hubungan yang sudah berakhir. Karan tidak akan pernah bisa melakukan hal seekstrem itu.
"Deniz bilang kamu dari Norwegia."
Egil mengangguk. "Have you ever heard a place called Bergen?"
Karan menggeleng, yang diketahuinya tentang Norwegia hanyalah Oslo dan dingin.
"Salah satu alasan aku memilih Porto karena cuaca di sini jauh lebih menyenangkan daripada Norwegia. It's perfect."
"Indonesia pasti terlalu panas buat standar kamu."
Egil mendegus pelan yang disambut Karan dengan gelak. "I can stand the heat, but not the humidity. But I'd still love to come back."
"Karan!"
Karan dan Egil sama-sama mengalihkan perhatian mereka ke Deniz yang memasuki dapur dengan jaket yang disampirkannya di lengan.
"Ready to go home?"
Egil mengerutkan dahi. "Kenapa terburu-buru?"
"Aku harus memastikan Karan pulang sebelum jam 12 malam, Egil, dan kami tidak mau ketinggalan metro. One of the perks of being volunteers like us is, we can't and don't have a car."
"Memang kenapa kalau Karan tidak pulang sebelum jam 12? Will the magic disappear and turned him into an ugly frog? Ini baru jam sembilan malam. Kalian masih bisa naik night bus, kan?"
Deniz tertawa menanggapi fakta yang diutarakan Egil, sementara Karan hanya mampu tersenyum mengetahui balasan Egil.
I'm not as miserable as Cindrella, you know, gerutu Karan dalam hati.
"It's pretty late, Egil, and I believe, you need to rest." Karan akhirnya memecah kesunyian sesaat yang sempat melingkupi mereka.
"What a considerate thought," balas Egil. "Kita harus ketemu lagi karena masih banyak yang ingin aku tanyakan tentang Indonesia."
Karan mengangguk sementara Deniz memberikan tatapan yang cukup dikenal Karan sekalipun mereka baru sebulan saling kenal.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada Egil dan menolak tawarannya untuk mengantar mereka pulang, Karan dan Deniz segera keluar dari apartemen. Mereka saling diam hingga Deniz menekan tombol 1 begitu mereka sampai di dalam lift.
"Kenapa kamu menolak tawaran Egil untuk mengantar kita pulang, Karan? We don't have to jump from one metro to another and we will arrive at home quicker. Jangan berpura-pura kamu tidak kedinginan."
Karan tidak membantah ucapan Deniz, terutama tentang dingin yang membuatnya merapatkan jaket serta melilitkan syal di lehernya. "Mungkin lain kali aku akan menerimanya," jawabnya begitu kaki mereka menyentuh trotoar Avenue dos Banhos.
"So, what do you think of him?"
Karan mengedikkan bahu. "Aku belum banyak ngobrol dengan dia, jadi nggak tahu harus menilai dia seperti apa."
"Setidaknya dia ingin bertemu kamu lagi."
"What are you trying to imply, Deniz?"
"Nothing."
Karan tahu ada jawaban lebih panjang dan lengkap yang bisa didapatkannya dari Deniz, tapi Karan memutuskan untuk tidak membahasnya lebih lanjut. Yang diinginkannya saat ini adalah secepat mungkin sampai di Blue Door dan tidur.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro