1 - PASTELARIA
Pandangan Karan masih belum beralih dari layar ponselnya. Sudah sepuluh menit dia diam mematung sementara toucinho do céu yang biasanya tandas dalam hitungan menit hanya diliriknya sekilas. Beberapa orang berlari kecil di luar pastelaria di Avenidos da Republica, berusaha melindungi tubuh mereka dari rintik yang turun di awal bulan Juni. Keriuhan di dalam pastelaria yang selalu membuat Karan betah berlama-lama duduk, tetap membuat pandangannya bergeming pada foto yang terpampang pada layar ponselnya. Jika saja Karan tidak mengenal pemilik akun Instagram itu, tanpa ragu dirinya pasti sudah menekan tombol hati tanpa berpikir panjang, mungkin meninggalkan komentar singkat dibarengi sebuah senyum lebar. Berkali-kali Karan menyapukan ibu jarinya di atas layar sentuh tiap kali screen timeout yang diaturnya habis hingga menampilkan kembali senyum sepasang manusia yang seperti menertawakannya.
Begitu Karan memperhatikan lebih saksama lokasi unggahan ke-867 dari akun OJams_84, napasnya tertahan. Akankah Karan menolak jika pria dalam balutan kaus merah marun di foto tersebut mengajaknya bertemu? Dia menggeleng, menjawab sendiri pertanyaan yang tidak terucap. Tembok yang dibangun Karan belum cukup kokoh menangkis pesona pria yang sekarang berada satu benua dengannya. Jika permintaan itu sampai didapatnya, Karan akan dengan segera menunggu di terminal kedatangan bandara Francisco Sá Carneiro, mengabaikan luka hatinya. Tawa getir lolos dari bibir Karan ketika sadar tidak ada alasan apa pun bagi mereka untuk bertemu. Yang menghubungkan mereka saat ini hanyalah kenangan. Perasaan yang terus menguntitnya sejak meninggalkan Indonesia masih belum bisa dilepaskannya bahkan setelah tiga bulan keberadaanya di Porto.
Karan tidak menyadari notifikasi yang masuk ke ponsel karena pandangannya teralih ke luar pastelaria saat tangisan yang cukup keras ditangkap telinganya. Dia mendapati bocah kecil yang meraung dalam gendongan ibunya sambil menunjuk tempat yang baru mereka lewati. Karan mengamati hingga sosok mereka tidak mampu lagi dicapai penglihatannya. Sebuah pesan muncul ketika Karan kembali menekuri ponselnya, dan tanpa sadar menggigit bibir bawahnya begitu mengetahui nama pengirim pesan.
Are you still having your afternoon bite?
Karan dua kali membaca pesan yang sama sebelum membanting pelan ponselnya ke atas meja. Potongan terakhir kue yang tinggal satu suapan segera ditandaskannya. Begitu kue khas Portugal itu melewati tenggorokannya, Karan membalas pesan Egil. Setelah berpikir cukup lama, dia hanya mengetikkan satu kata di kolom type a message.
Yes
Nama Egil lebih sering menghiasi kotak masuknya di Facebook, notifikasi like, atau menggunakan salah satu stiker jika tombol like tidak cukup mewakili pendapatnya dua bulan. Chat history mereka pun lebih panjang dibanding percakapan Karan dengan Zola, sahabatnya di Bali. Karan selalu mendapatkan pesan singkat berisi sapaan selamat pagi atau malam, pertanyaan sederhana yang jawabannya sudah Egil ketahui—karena Karan selalu memberikan kalimat yang tidak jauh berbeda setiap harinya—sampai membagi tautan-tautan berisi informasi yang tidak jarang membuat Karan mengucapkan terima kasih.
Sulit memungkiri ketertarikan pria jangkung itu kepada Karan. Perhatian dan sikap yang ditunjukkan Egil terlalu jelas untuk diabaikan, terlebih setelah pengakuannya beberapa minggu lalu yang membuat Karan tidak mampu berkata-kata. Namun Karan belum bisa membalas perhatian Egil dengan porsi lebih dari sekadar teman. Hatinya masih terikat dengan pria yang fotonya beberapa menit lalu menjadi pusat perhatian. Karan tidak ingin menjadikan Egil penawar atas kecewa yang masih berusaha dia sembuhkan.
Egil memang tidak berbeda jauh dengan pria-pria Skandinavia yang pernah dilihatnya— setidaknya dari segi fisik. Namun selera humor, gerakan lincahnya di dance floor serta sikap supelnya sempat membuat Karan tercengang. Karan pernah berkelakar apakah Egil memang lahir dan besar di Bergen seperti yang diakuinya, Egil membalas dengan menunjukkan paspor Norwegianya. Menyenangkan adalah satu kata sifat yang selalu digunakan Karan setiap kali mereka menghabiskan waktu bersama. Menyusuri pantai di depan apartemen Egil di daerah Póvoa sambil membicarakan hal-hal tidak signifikan atau sekadar bertemu selama satu jam pada waktu istirahat makan siang, cukup meyakinkan Karan bahwa Egil adalah sosok yang tepat menggantikan pria yang sudah semestinya dia lepaskan. Terkadang rasa bersalah menyusupi Karan karena membiarkan hubungan mereka semakin dekat sementara masih ada yang dia sembunyikan.
Seorang pria mempercepat langkah menuju bangunan kecil berpintu kayu yang berjarak seratus meter dari tempatnya memarkir mobil. Begitu kakinya melewati pintu masuk, pandangannya menyapu seisi pastelaria sebelum menggeleng pelan saat menemukan Karan. Dengan sebuah decakan pelan, dihampirinya Karan yang sedang mengamati pejalan kaki di luar sepelan mungkin. Tatapannya tidak lepas dari rambut hitam Karan yang sedikit berantakan, sementara sebuah jaket denim biru tua tersampir di kursi. Ketika jaraknya semakin dekat, dia berdeham, tetapi usahanya tidak berhasil membuat Karan mengalihkan pandangan.
"There you go again, Karan. Entah sudah berapa kali aku memergokimu melamun seperti itu. Are you okay? You're not sick, are you?"
Karan terlonjak hingga lengannya menyenggol vas berisi mawar putih yang ada di meja. Gerakan cepat tangan Egil menghindarkan Karan dari rasa malu jika tempat bunga itu sampai jatuh. Dia melirik vas bunga yang sudah jauh dari jangkauan Karan sebelum Egil menatap pria di hadapannya.
"Sekarang kamu sukses membuatku khawatir, Karan. Kamu bisa saja tertabrak mobil atau tersandung sesuatu jika melamun seperti itu sambil berjalan di jalanan Porto."
Hujan di luar membuat rambut pirang pria di hadapan Karan ini sedikit basah, tetapi wajah Egil jelas menunjukkan kekhawatiran. Karan tersenyum lebar, berharap dirinya terhindar dari celaan Egil tentang isi pikirannya. "You're over reacting, Egil. Aku baik-baik saja. Don't worry."
Karan harus menunduk sejenak untuk menghindari tatapan menyelidik Egil. Pikirannya yang kusut pasti bisa dengan mudah dibaca pria itu. Namun kening Karan seketika mengerut begitu menyadari sesuatu. Dia mengangkat wajah untuk memandang Egil.
"Dari mana kamu tahu aku ada di sini? Aku nggak ngasih tahu lagi di mana kan waktu bales pesan kamu tadi?"
Egil menghela napas sembari menyandarkan punggung sementara tangannya memainkan pak kecil gula di hadapannya. "Kamu bukan orang yang susah ditebak, Karan."
Tangan Karan mengetuk pelan permukaan meja sembari mengerucutkan mulutnya. "Egil, ada banyak pastelaria di Porto. Kamu bisa tahu aku di sini adalah sebuah kebetulan atau kamu memang punya indra keenam."
Balasan Karan membuat Egil tertawa kecil. "I don't have sixth sense, but I have a secret power."
"Aha, boleh aku tahu?" tanya Karan begitu dia melipat lengannya di atas meja.
Egil melakukan hal yang sama dengan senyum yang masih belum hilang dari wajahnya. "A power to persuade people."
Kedipan Egil membuat Karan mengerang pelan. "Mungkin aku harus berhenti ngasih tahu sedang ada di mana ke Deniz," gerutu Karan. "Pasti ada yang kamu janjikan ke Deniz. Dia nggak akan bilang tanpa iming-iming."
Egil mengerutkan hidung, wajahnya terlihat aneh hingga Karan tidak mampu menahan tawa. "Okay, I have confession to make."
"Dosa apa yang kamu perbuat kali ini?"
"Aku janji akan membelikannya satu botol Bordeaux."
"Semurah itu?" pekik Karan. "Aku nggak percaya Deniz bisa kamu suap dengan sebotol wine. Aku mungkin harus menyuapnya dengan sebotol sampanye jika itu bisa bikin dia tutup mulut."
Egil mengedikkan bahu bersamaan dengan tawanya yang menggema pelan di ruangan kecil itu. "Your roommate is cheap, Karan. Maybe you should consider having another roommate who will say no to a bottle of Bordeaux."
"I'll think about it."
"Enough about your roommate. Aku ke sini karena ada janji yang harus aku tagih dari kamu."
Karan menyatukan alisnya. "Janji?"
Karan berusaha mengingat janji seperti apa yang sudah diberikannya kepada Egil. Namun konsentrasinya sedang terbelah hingga tidak mampu menilik kembali obrolan mereka sebelum hari ini. Akhirnya Karan menyerah setelah lima menit terbuang percuma untuk menggali ingatan mengenai janji yang dimaksud Egil.
"Can you refresh my memory? Aku sama sekali nggak inget."
"Apakah sebegitu tidak pentingnya janji itu sampai kamu lupa?" Egil berdecak setelah mendengus pelan.
"Kamu tahu ada training course yang harus aku urusi pekan ini. Jangankan kamu, Deniz juga protes kenapa aku membeli mentega yang nggak biasa dia pakai kemarin."
"Oke ... oke, karena aku pria baik hati, tidak mudah marah, dan pemaaf, maka aku tidak keberatan mengingatkan janji yang kamu buat seminggu lalu."
Karan hanya mengulum senyum sambil menunggu Egil menyegarkan ingatannya.
"Ini soal Lisbon. You said you need to think about it first when I asked you last week, and it's been a week. I'm not going to leave this place without getting your answer."
Karan hanya mampu menelan ludah begitu kata Lisbon lepas dari mulut Egil.
Seminggu lalu, Egil mengajak Karan pergi ke Lisbon setelah Portugal Day. Tawaran itu muncul sesudah pengakuan Karan yang belum melihat banyak tempat sejak menginjakkan kaki di Eropa. Karan belum memiliki alasan kuat untuk menolak ajakan Egil sampai akhirnya dia meminta waktu berpikir. Pekerjaannya jelas tidak akan mempan untuk dijadikan alasan. Selama tujuh hari, pikiran Karan disibukkan dengan persiapan training course yang baru saja berakhir kemarin siang. Tidak ada porsi lebih untuk memikirkan hal lain. Egil pun tidak menyebut tentang Lisbon sekalipun mereka berkomunikasi setiap hari.
Karan masih menatap Egil sementara pikirannya menjelajahi kemungkinan yang bisa terjadi. Sebagai dua pria dewasa yang tidak tertarik dengan lawan jenis—bahkan Egil dengan jelas menunjukkan rasa sukanya—Karan percaya akan terjadi sesuatu yang mungkin akan dia sesali. Karan tidak berpikiran kuno tentang seks, tetapi bukan itu yang mengganggunya. Ada pria lain yang masih menempati hati dan pikiran Karan, dan pergi berdua bersama Egil akan membuat perlakuan tidak adil yang Karan berikan semakin besar.
Karan membasahi tenggorokan, berusaha memantapkan hati. Jika Egil ingin meminta jawabannya sekarang, maka dia harus memberikannya. "Kamu terburu-buru?"
Egil menggeleng. "Ada yang ingin kamu ceritakan?" tebaknya.
Pelan, Karan memberikan anggukan. "Mungkin setelah denger ceritaku, kamu akan lupa tentang Lisbon. Bahkan mungkin pendapat kamu tentangku akan berubah."
Egil memajukan tubuhnya hingga Karan dengan jelas bisa melihat rambut-rambut halus yang mulai tumbuh mengelilingi bibir Egil. "I'm all ears, Karan."
Karan menarik napas panjang sebelum mengembuskannya pelan. Dia berhasil menghindar setiap kali percakapan tentang kisah cintanya menjadi topik pembicaraan, bahkan Deniz pun tidak mengetahuinya. Sejak memulai volunteering-nya di OPS, belum ada seorang pun yang tahu alasan utama yang membuat Karan meninggalkan Indonesia. Namun saat ini tidak ada pilihan selain mengungkapkan kepada Egil, terlepas dari konsekuensi yang harus dihadapi Karan nanti.
"Egil, I ...."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro