I. Pemuda Dari Jurusan IPA
Bukan rahasia lagi kalau Reza Arvian bodoh di pelajaran bahasa.
Baik bahasa Inggris, Prancis, bahkan Indonesia, Reza selalu mendapat nilai terendah.
Beruntung nilai IPAnya di atas rata-rata, jadi dia bisa menutupi kekurangannya. Kalau tidak, mungkin sudah lama pemuda itu ditendang dari SMAnya.
Lalu, bukan rahasia juga kalau Reza Arvian menyukai seseorang dari jurusan bahasa.
Gadis itu, Aru Altean, gadis dengan nilai bahasa yang berbanding terbalik dengan Reza. Jika nilai Reza selalu berada di urutan bawah, nilai bahasa Aru selalu berada di urutan atas.
Sangat kontras.
Bicara tentang sang gadis jurusan bahasa, Reza masih mempunyai sebuah rahasia terkait dengan gadis berambut hitam itu.
Dia, mau 'nembak' Aru sebelum valentine.
Tapi memangnya mudah nembak gadis yang rasa pekanya kurang dari 5% itu?
---
20 Januari, 2023.
"Hah~!"
Laki-laki itu menjatuhkan kepalanya ke meja, mengacak-acak rambutnya. Gadis yang duduk di depannya melihat bingung.
"Ejak? Kenapa? Tumben sampe stress banget gitu."
"Biasalah, Mona. Ejak stress lagi. Otaknya gak mampu nyerap bahasa Prancis tadi."
"Heh! Diem, Rai! Gini-gini otakku masih bisa nyerap dikit-dikit!" Yang dibicarakan mengangkat kepala. Wajahnya menunjukkan kekesalan.
"Oh? Kalau gitu, artinya 'matinée ensoleillée' apa?" Rai menyeringai. Melihat raut bingung lawan bicaranya, seringai itu bertambah lebar. "Tuh 'kan gak bisa."
"Lagian kamu- ahh! Udah deh! Ayo ke kantin aja!" ucap Reza bangkit tiba-tiba. Kedua temannya tersenyum kecil.
Kantin sekolah mereka itu luas. Setengah bagian adalah kantin indoor, dan setengah lagi outdoor. Kedua bagian itu dipisahkan oleh sebuah pintu.
Untuk Reza sih, lebih enak di luar. Banyak angin, tidak sesesak di dalam juga.
Plus, di tempat itulah dia bertemu dengan si gadis dari jurusan bahasa.
"Ejakk! Tolong pesenin es teh ya! Sama somay satu!" pinta Mona menyerahkan uangnya. Reza hanya mendengus pasrah dijadikan pembantu oleh gadis itu.
"Oh, aku nitip es coklat dong. Sama batagor." Rai tersenyum dan menyerahkan uangnya juga.
"Iya, iya. Ada lagi? Aku nggak mau balik lagi lho kalau ternyata kalian masih mau sesuatu," ucap Reza melihat kedua temannya. Yang dilihat menggeleng. "Oke."
Tanpa basa basi Reza langsung berjalan ke warung somay langganan mereka. Membiarkan kedua temannya mencari meja.
Membawa dua somay, batagor dan tiga es itu tidak mudah. Sudah dua kali dia hampir menjatuhkan makanan yang dia bawa. Mulutnya menggumamkan permintaan maaf sembari matanya melihat kesana kemari mencari Rai dan Mona.
"Ejak! Sini oi!" seruan dari Mona membuat Reza berpaling. Menghela napas lega, pemuda itu segera menghampiri mereka.
"Tumben di sini? Meja biasa ada yang make?" tanya Reza, mendudukkan dirinya di kursi kosong. "Nih, somay, batagor sama es."
"Iya. Ada kakak kelas yang nempatin. Tumben, padahal biasanya mereka gak di situ," jawab Rai. "Sip. Makasih, Jak."
"Hah? Kakak kelas? Siapa?"
"Kasih tau gak ya~? Nanti kalau dikasih tau pengen ketemu lagi," goda Mona, mulutnya membentuk seringai. Membuat yang digoda bertanya-tanya.
"Pengen ketemu? Sorry, aku udah ada yang ditaksir. Dan dia bukan kakak kelas." Reza mengernyit, dia lalu memakan somaynya.
"Iya, tau. Tapi kakak kelasnya ada hubungan sama crushmu nih."
"HAH?!"
"'Hah?' 'hah?' mulu," gumam Rai, dan perkataannya sukses membuat Mona tertawa.
"Duh, iya. Kamu tau 'kan, Aru punya kakak? Nah kakaknya itu yang ngambil meja biasa kita duluan," ucap Mona meminum esnya. "Aria Atnan, kelas tiga, jurusan IPA juga."
"Oh ... kak Aria toh," gumam Reza mengangguk.
"Waktu kelas satu dia sama kamu satu ekskul 'kan? Apa? Atletik ya?" tanya Rai. Reza kembali mengangguk.
"Iya. Tapi karena udah kelas tiga dia keluar."
"Oh." Rai meminum esnya. Tak lama, dia bangkit. "Balik ke kelas yuk? Bentar lagi bel."
"Bolos gak boleh Rai?"
"Nggak, Mona, nggak."
"Yah ...."
---
"Baik, itu saja pelajaran untuk hari ini. Jangan lupa PR untuk lusa. Silahkan pulang."
Reza menghela napas, lega akhirnya sekolah berakhir. Sekarang tinggal ekskul, dan dia akhirnya bisa kembali berduaan dengan kasurnya.
'Kira-kira hari ini ketemu sama anak teater gak ya?' batin sang pemuda berjalan ke luar kelas. Mengingat seseorang dari ekskul teater, senyumnya muncul.
"Ejak~! Hari ini ikut ekskul?"
"Yo, Endra! Ikut dong. Kamu?" Reza menatap Endra, salah satu teman ekskulnya.
"Ikut. Hari ini anak paskibra latihan! Jadi tambah semangat deh ngeliat dia~!" ucap Endra tersenyum lebar. Mendengar itu, Reza hanya mendengus. Sudah biasa dengan kelakuan temannya.
"Iya deh, si paling paskibra." Pemuda itu menggeleng. "Oh iya, kalau anak teater nanti eskul di lapangan atau aula?"
"Ehh, gak tau deh. Kata temenku yang ekskul teater sih kemungkinan di lapangan. Tapi gak tau juga," gumam Endra.
"Hah. Gimana?"
"Ya gitu."
Reza hanya menatap Endra bingung, yang dibalas tatapan bingung juga oleh temannya. Tak lama, mereka akhirnya sampai di lapangan. Mata keduanya praktis berbinar melihat ekskul apa saja yang sudah mengambil tempat di lapangan.
"Ekhem, Endra, Reza."
Sebuah suara membuat kedua pemuda itu tersadar dari lamunan. Berbalik, mereka melihat seorang gadis yang familiar.
"Ehh, hai Sarah," sapa Endra tersenyum kikuk. Yang disapa menghela napas.
"Mau sampai kapan kalian ngeliat anak paskibra sama teater hm?"
"Iya, iya. Ini udah kok." Reza mengusap lehernya. "Eh, mana yang lain, Sar?"
"Asher sama Arin katanya ada kerja kelompok, Lean sakit, kalau yang lain udah ngumpul di tempat biasa," jawab Sarah menunjuk salah satu sudut lapangan. Mendengarnya, Reza mengangguk-angguk.
"Kalau gitu ayo. Kasian itu nunggunya lama."
"Ya kalian datengnya paling lama ...."
---
"Matahari sudah terbit, jadi aku sampaikan selamat tinggal untukmu, puteri." Sosok itu membungkuk. "Jika kau tidak keberatan, maukah kau bertemu denganku lagi besok malam? Di tempat ini, di waktu ini?"
"-ak!"
"Ahaha, terima kasih. Aku sangat menghargainya!" Senyuman terbentuk di bibirnya. "Selamat malam, semoga engkau tidur nyenyak, nona."
"Ejak!"
"Hah?! Ya? Kenapa?" Reza bertanya, memutar kepalanya panik.
"Pft- sudahku bilang dia tidak fokus!" ucap Endra tertawa.
"Hah? Kenapa- oh ini giliranku?"
"Iya, Reza Arvian," balas Sarah menekan namanya. Jelas sekali dia marah. "Duh, kadang aku gak suka kalau anak teater latihan di lapangan. Kamu jadi gak fokus."
"Y-ya ... gimana ...," gumam Reza, mengusap lehernya lagi. "Lagian, kamu juga gini 'kan kalau eskul pramuka latihan?!"
"Di-diem!" seru Sarah, wajahnya memerah. Dia berdehem. "Ka-karena sudah jam segini, latihan hari ini selesai! Ingat, jangan kemana-mana. Langsung pulang!"
"Iya, Sarah. Duh, kamu ibu-able banget ya," goda Endra. Tawanya kembali meledak ketika sebuah sepatu dilempar ke arahnya.
"Kenapa aku bisa temenan sama Endra, ya?" gumam Reza tersenyum. Matanya kembali menatap tempat eskul teater berlatih. 'Oh, mereka juga sudah selesai.'
Reza mencari-cari seorang gadis yang sedari tadi menangkap perhatiannya. Dia tersenyum lagi saat melihat sang gadis. 'Aku tidak menyangka ... gadis imut seperti dia bisa memerankan sosok ksatria dengan keren ....'
Gadis berambut hitam yang sedari tadi dia perhatikan mengalihkan pandangan, menatap dirinya. Berkedip, gadis itu tersenyum dan melambai. Yang tentu saja sukses membuat Reza terkena heart attack.
'I-imut!' batin Reza tersenyum dan balas melambai. 'Duh, hatiku tidak aman dekat dengannya!'
Sepanjang sisa hari itu, perasaan Reza seratus persen baik.
Dua puluh lima hari sebelum valentine.
.
.
.
To Be Continue.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro