Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34 [AB] - Sudah Saatnya

Istirahat kedua akhirnya tiba. Setelah suntuk siang-siang belajar di dalam kelas yang panas, Kit bersama dengan kedua sahabatnya serta Thalita, duduk satu meja di kantin yang sepi. Banyak siswa masih berada di musholah.

Sejak baru datang dan duduk di kursi tempat mereka biasanya makan, tidak ada yang berani memulai percakapan melihat raut wajah Kit yang sedari tadi suram. Mereka takut Kit meledak dan pada akhirnya memilih sibuk dengan kegiatan sendiri.

Kit memandangi arloji berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, mulai menghitung waktu. Cowok itu mengharapkan Lingka tiba-tiba muncul di hadapannya karena sudah terlalu lama menghilang.

Thalita mengaduk-aduk cokelat latte yang baru ia pesan di stand yang baru buka. Betapa senangnya cewek itu ketika mendengar ada stand sekelas kafe hadir di dalam kantin sekolahnya.

Farel memandang ke arah mbak-mbak cantik yang sibuk memecahi es batu.

Sedangkan Rama, mengutak-atik ponselnya. Entah sibuk bermain game atau chatting dengan cewek. Yang pasti tidak ada suara yang keluar dari ponselnya. Padahal biasanya ponsel Rama selalu berisik.

"Tsk!" Kit berdecak keras membuat Rama, Farel, dan Thalita memandangnya ngeri.

"Semakin hari gue semakin yakin kalo gue udah terlambat." Gumaman Kit masih terdengar samar di telinga mereka.

"Eh, gue kemaren ketemu sama Penta. Gila! Dia sama pacarnya tau nggak, sih? Gue nggak nyangka banget," ujar Thalita mencoba mencairkan suasanya yang tegang.

"Penta? Penta siapa?" tanya Farel bingung.

"Lo nggak bakal kenal. Ram, lo pasti kenal, kan?" tanya Thalita pada saudara tengilnya.

"Penta yang mana, sih?" tanya Rama sambil menaikkan alis. Perasaannya berkata bahwa Thalita salah nama lagi.

"Yang dulu pernah ngelempar bola di kepalanya Pak Suban, terus Pak Suban ngambek nggak mau ngajar dua hari."

Rama terdiam sejenak. Mencoba mengingat-ingat. "Oh, iya. Gue inget anak yang itu. Abdul Penta, kan?" tanya Rama sambil memutar bola mata. Nama panggilannya bukan Penta, melainkan Abdul!

Kit memukul meja sehingga menimbulkan suara yang lumayan kencang. Tatapan menusuknya terarah pada Thalita. "Kalo lo berisik, mending lo ke kelas, deh. Gue nggak suka bareng sama cewek berisik."

Thalita langsung kicep dengan mulut yang mengerucut. Ia tidak terima dikatai seperti itu, tetapi hendak protes pun ia tidak memiliki keberanian.

Hening sudah. Tidak ada suara yang berani memecah keheningan. Aura mencekam Kit sudah menjalar pada semua yang ada di meja itu.

Ketika Farel ingin mengatakan sesuatu kepada Kit, ucapannya hanya bisa tertelan kembali di tenggorokannya. Dering ponsel Kit yang akhirnya memecah keheningan.

+6282236365***

Kit mengernyitkan alis. Nomer siapa?
Karena ia tidak mengenali nomer itu, dan terlebih lagi cowok itu tidak ingin diganggu, ia memilih mengabaikannya.

Dua kali, tiga kali, bahkan nomer itu menelepon sampai kelima kalinya, Rama yang tidak tahan akhirnya berkata, "Kit mending lo angkat, deh. Siapa tau penting."

Ponsel Kit kembali berdering, tetapi cowok itu masih tetap membiarkannya. Tidak memedulikan semua temannya merasa terganggu.

Cowok itu menutup mata dengan kepala yang menengadah, sampai sebuah suara berat yang dikenalinya memasuki pendengaran.

"Ternyata lo di sini. Kenapa telfon gue nggak diangkat?"

Kit membuka mata. Tatapannya seketika jatuh pada wajah kesal Davin.

Kit mengerjap beberapa kali sambil memperhatikan Davin dengan setelan jas berwarna abu-abu, masih terus menatapnya.

Untuk apa Davin kemari? Apa ada kabar baik mengenai Lingka?

"Kak Davin? Lo ngapain di sini?" tanya Thalita bingung.

Rama refleks berdiri. "Kak Davin, ada apa kesini cari Kit?" Cowok itu mengetahui hubungan perusahaan Davin denhan keluarga Kit tidak baik. Jadi, pikirnya Davin hendak membuat masalah.

Tetapi sedetik kemudian Rama menatap Thalita bingung. Bagaimana bisa Thalita mengenal Davin?

Kit menegakkan badannya setelah Davin tanpa permisi duduk di sampingnya dan mencomot batagor milik Thalita dengan santai.

"Hai, Ram. Gue kesini ada urusan," jawabnya singkat. "Sama Kit. Bukan masalah pekerjaan, tapi masalah Lingka."

"Lingka?" Rama mengernyit bingung. Ia kembali duduk tetapi tatapannya mengarah pada Thalita, minta penjelasan.

"Dia kakak kandungnya Lingka," ujar Kit melihat kebingungan sahabatnya.

Farel yang sedari tadi juga bingung dan hanya menyimak tiba-tiba tersedak ludahnya sendiri. Ia menatap Davin dan Kit secara bergantian. Jadi Kit menyukai seseorang dari saingan bisnis papanya sendiri?

Farel menggelengkan kepala. Sulit, cukup sulit!

Davin mencarinya karena Lingka. Kit langsung menatap Davin serius. Apa ini saat yang dibilang Davin? Apa sudah saatnya Kit bertemu dengan Lingka?

Kit bertanya serius, "Jadi apa---"

"Nggak di sini," ujar Davin memotong pembicaraan. "Lo ikut gue. Ada yang mau gue bicarain serius."

•••

"Jadi gimana?" tanya Kit dengan nada tergesa-gesa. Baru saja keduanya sampai di taman depan sekolah, tepatnya di dekat tempat parkir. Tetapi Kit tidak bisa menahan untuk bersabar. Siang yang begitu panas juga membuat hatinya memanas, harap-harap cemas atas Davin yang mendatanginya.

"Dia suka sama lo," ucap Davin pelan.

Kit terdiam. Berusaha mencerna ucapan Davin yang begitu cepat baginya. Setelah mengerjap beberapa kali, Kit menatap Davin dengan mata yang berkilauan. "Lingka masih suka sama gue?" tanya Kit sambil berusaha menyembunyikan senyumnya. "Lo yakin, Kak?" tanyanya ingin memastikan.

Davin mendengus. "Masih suka?" Cowok itu tidak percaya, bahkan sebelum ini tampaknya hubungan adiknya dengan Kit sudah cukup jauh.

Sebenarnya Davin ingin tertawa saat melihat ekspresi Kit yang sangat kekanakan sekarang. Lihatlah! Cowok itu seperti anak kecil yang baru dibelikan balon oleh orang tuanya.

"Lingka nggak mau makan sejak kemaren. Ketakutannya bener-bener muncul lagi. Bahkan dia juga agak sedikit takut sama gue. Dia trauma, Kit. Sekali lagi gue takut dia jadi anak yang nggak stabil. Tapi yang gue inget," Davin menggantung ucapannya untuk bernapas. "Disela-sela pikirannya yang trauma, dia bilang kalo dia kangen." Davin tidak menutupi apapun. Jika Kit bisa membantu Lingka keluar dari traumanya, maka tidak masalah walaupun Kit adalah anak saingan bisnisnya.

"Ada seseorang yang buat dia masih bisa mengendalikan pikiran dan hatinya, Kit. Dan orang itu adalah elo," jelas Davin sambil menghembuskan napas pasrah. "Walaupun gue males banget berhubungan sama elo, apalagi mungkin kedepannya bakal ada hubungannya sama bokap lo juga, demi adik gue nggak pa-pa. Gue tanggung semuanya."

"Gue cuma minta satu hal sama lo. Gue minta tolong banget, tolong lo jagain dia, jangan sakitin dia karena lo tau sendiri kalo dia rentan. Jangan pernah sangkutpautin Lingka sama bisnis bokap lo. Gue nggak mau lo deketin adik gue cuma untuk mata-matain gue, ataupun perusahaan gue." Davin menekan setiap kata, berusaha membuat Kit agar mengingat apa yang dilarangnya.

"Gue nggak minta lo janji untuk penuhin semuanya. Gue cuma minta lo untuk berusaha, Kit. Berusaha penuhin semua yang udah gue sebutin tadi. Tolong bantu Lingka keluar dari traumanya," ujar Davin final. Ia merasa beban ketakutannya akan Kit sedikit berkurang ketika melihat ekspresi serius di wajah cowok yang disukai adiknya itu. Sedari tadi Kit menyimaknya dengan serius tanpa terlihat tanda-tanda bahwa cowok itu hanya main-main. Semoga pilihannya tepat.

Davin menepuk pundak Kit. "Gue punya rencana yang kemungkinan bisa buat adik gue balik lagi seperti Lingka yang biasanya."

"Gue ikutan! Gue nggak mau Lingka terus menghindari gue." Kit menatap Davin serius.

•••

Lingka berjalan mengikuti Rani. Wajahnya tertekuk kesal. Dari tadi Rani terus-menerus merengek ingin pergi ke taman kompleks bersama dengannya.

Tadinya cewek itu menolak mentah-mentah karena ia takut Rani tiba-tiba akan lahiran. Tapi setelah melihat Rani menangis dalam diam sambil mengusap-usap perutnya, akhirnya cewek itu menyerah. Lingka tidak tega melihat calon adiknya ileran karena keinginannya tidak dituruti. Apalagi karena masalahnya ada pada dirinya!

Setelah berada di taman kompleks perumahannya, ia merasakan udara yang begitu segar. Matahari sore yang berwarma kesenjaan membawa damai tersendiri. Pikirannya yang mulai jernih, menjadi lebih jernih dari sebelumnya.

Yang membuat Lingka merasa kesal, sedari tadi Rani selalu membicarakan apa yang ia lihat. Mulai dari belalang pincang, rumput kuning, daun layu, sampai kursi basah yang mungkin terkena ompol anak kecil.

Berisik. Lingka saat ini hanya butuh ketenangan agar ia bisa berpikir lebih jernih.

"Nah, Ling! Kamu duduk sini bentar, ya. Jangan kemana-mana. Aku mau beli es krim. Bentaran doang. Kamu nggak usah ikut!" Rani mengancam.

Lingka mencibir. "Siapa juga yang mau ikut. Tapi hati-hati, Kak. Jangan sampe jatoh. Ntar aku yang kena marah Kak Davin!" Cewek itu menghembuskan napas kesal, karena Rani tidak mendengarkan perkataannya dengan baik.

Akhirnya, kini Lingka bisa merasakan ketenangan!

Ah, benar! Lingka tibatiba teringat sesuatu. Ia merogoh saku celana jogernya dan menemukan sebuah kertas kecil yang membuat suasana hatinya membaik. Tidak terlalu trauma akan kejadian yang sebelumnya menimpa.

Phantom of the Darkness.

To : Lingka{}

Apa kabar? Kamu baik-baik aja?
Selalu ingat ya bahwa semua manusia di dunia ini punya ketakutannya sendiri-sendiri. Bukan hanya kamu yang menderita. Optimis. Kamu pasti bisa menghadapi semua ini.

Masih banyak di luar sana mengalami hal yang lebih buruk dari kamu, tetapi berusaha sekuat tenaga untuk memeranginya.

Kamu pasti bisa mencari cara untuk memerangi semua hal buruk yang menimpamu.

Semangat.

Aku ada selalu, di sini.

Lingka tersenyum tipis. Ia yakin ia bisa. Menyimpan kertas penyemangat itu ke dalam sakunya lagi, ia kembali duduk diam. Menatap lurus ke depan. Burung-burung yang berkicau dengan merdu membuat cewek itu menutup matanya dan bersandar santai pada bangku taman.

Terima kasih, Kit. Sudah memberikan semangat yang sangat membuat Lingka termotivasi.

"Kak, Kak!"

Lingka membuka matanya begitu ada suara anak kecil memanggil sambil menoel-noel tangan kanannya. "Iya? Kenapa?" Lingka menatap anak kecil laki-laki di hadapannya yang memakai kaos berwarna hijau sambil membawa balon.

"Buat kakak," ujar anak kecil itu sambil menyodorkan kertas dan balon yang dipegangnya.

Lingka mengambilnya. "Buat kakak? Ngapa-- loh, loh. HEY!!" Cewek itu berteriak memanggil anak kecil yang sudah berlari menjauhinya sambil ketawa-ketiwi.

Lingka mengalihkan pandangannya pada kertas yang ada di tangan kanannya.

"Eh, ada tulisannya." Lingka memutar kertas itu.

Letusin balonnya.

Hah? Letusin balonnya?

Lingka menengok ke kanan- kiri. Cewek itu berdiri, memandang ke semua sudut yang terlihat olehnya. Berusaha mencari sosok pemberi balon itu. Tidak ada siapa-siapa. Karena penasaran, ia melihat balon yang ia pegang. Ia mengguncangnya.

Eh? Ada kertas di dalamnya! Lingka mencari sesuatu yang tajam, yang bisa ia gunakan untuk mencoblos balon itu.

Lingka mengambil patahan lidi kecil di bawah kakinya dan duduk kembali di bangku taman.

Ia celingak-celinguk. Ada beberapa anak kecil di sekitarnya. Ada juga orang tua mereka. Tidak ada tanda-tanda orang mencurigakan yang memberinya balon.

Lingka mendengus jengkel. Kali ini ia penasaran sekali. Apa ini juga dari Kit? Ia mengambil ancang-ancang untuk mencoblos balon berwarna hijau polkadot itu.

Satu,
Dua,

DOOOR!!!

Suasana taman yang penuh dengan tawaan anak kecil, hening seketika. Lingka mendongak dan mendapati banyak pasang mata menatapnya aneh. Ada juga yang kaget, dan tidak suka. Lingka meringis dan memandang mereka dengan tatapan minta maaf.

Setelah itu, suasana kembali normal hingga membuat cewek itu dapat bernapas lega. Ia memungut kertas kecil yang ada di dalam balon tadi, dan membukanya dengan rasa penasaran yang tinggi.

•••

bersambung...

Vote and Comment yaa~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro