29 [AB] - Konflik
Ini maksudnya kamu nyuruh aku sabar
nunggu kamu, kan?
- Lingka yang peka.
•••
TIIN.. TIIN..
Kit membunyikan klaksonnya saat melihat Lingka berdiri di depan gerbang. Ada Pak Galang sibuk menyebrangkan murid-murid yang hendak pulang.
"Wiss, motor baru, ya?" ledek Lingka saat cowok itu berhenti tepat di depannya.
Kit tertawa. "Dasar sok tahu. Ini beli udah dua tahun yang lalu kali," jawab Kit sambil memukul sepeda motor Ninja miliknya yang berwarna hitam. "Kenalin, namanya Jabrik."
Sontak Lingka tertawa. "Hai, Jabs!"
"Kamu ngapain di sini? Hari ini ada latihan basket, ya?" tanya cowok itu setelah melihat Lingka yang memakai seragam basket. Cantik. "Ayo masuk lagi. Aku temenin," lanjut Kit sambil melepas helmnya.
Cewek itu mengangguk sebelum berkata, "Tadinya mau latihan. Tapi males banget, capek. Ijin pulang, eh ternyata dibolehin. Ini mau nyebrang ke halte, sih. Nunggu bis dateng," jawabnya.
"Kenapa nggak minta dianterin pulang aja?"
"Iya. Kenapa nggak minta dianterin pulang sama gue?"
Lingka dan Kit menatap sosok biang kerok yang baru datang dengan kernyitan alis dalam.
"Damas, lo ngapain sih?" tanya Lingka sambil menggertakkan gigi.
"Nawarin lo pulang bareng lah. Mau?" tanya cowok itu. "Temenin gue makan dulu tapi. Lo mau makan apa?" lanjutnya semakin kacau.
Kit segera turun dari Jabrik dan menarik Lingka untuk berlindung di belakang punggungnya.
"Waw. Lo bodyguard barunya, ya?" sindirnya pada Kit.
"Emang apa urusannya sama lo?" tanya Kit tak kalah songong.
"Dia gebetan gue," jawab Damas dengan senyum kalem tak berdosa.
Kit menghela napas menahan emosi. "Lo gagal move on ya?"
"Gue gebetan lo? Sorry to say, tapi gue nggak punya rasa tertarik sedikitpun sama lo," ujar Lingka sambil tersenyum mengejek.
Mendengar itu, Kit menahan senyumnya. Ia menatap cewek yang sedang memegangi jaketnya dan berkata, "Bareng aku, yuk. Kayaknya bis juga masih lama, deh."
Lingka mengangguk enteng. "Ya udah, yuk. Kelamaan di sini nanti malah emosi sendiri."
Kit melirik Damas yang bermuka masam sebelum tersenyum pada Lingka.
•••
"Makasih, ya." Lingka mengembalikan helm yang dipakainya tadi sambil malu-malu.
"Santai aja kali. Aku boleh nanya?"
"Nanya apa?" tanya Lingka sedikit gusar. Perasaannya tiba-tiba takut cowok itu akan menanyakan hal-hal yang membuat canggung keduanya. Seperti, bagaimana perasaannya yang sebenarnya? Atau bahkan menyuruh Lingka mengatakannya langsung?
"Damas masih sering ganggu gitu, ya?" Dari sorot matanya kentara jelas bahwa cowok itu tidak suka.
Lingka menghembuskan napas lega setelah mendengar pertanyaannya. "Iya. Sewaktu-waktu dia bisa muncul cuma buat mancing emosi aja. Ya kayak tadi," jawab Lingka seadanya. Ia tidak akan bercerita bahwa Damas pernah mendatanginya di rumah disuruh Bianka.
"Tapi dia nggak ngelakuin sesuatu yang buruk, kan? Kalo ada apa-apa kamu langsung telfon aku aja. Dimana pun," ujar cowok itu serius.
Lingka tersenyum. "Iya, Kit. Makasih, ya. Nggak mau mampir dulu?" tawarnya.
"Sama-sama. Aku langsung pulang aja, ya. Udah sore," jawab cowok itu sambil memandang kesunyian jalan sekitar rumah Lingka.
Lingka mengangguk.
"Ya udah masuk, gih."
"Iya. Kamu duluan aja, Kit."
Kit menggeleng. "Kamu duluan."
Cewek itu terkekeh sejenak sebelum mengangguk. "Ya udah. Aku masuk ya. Hati-hati di jalan."
Kit memperhatikan Lingka yang mulai berjalan melewati taman depan rumahnya. Cowok itu kembali memakai helm hendak pergi dari sana sebelum tatapannya jatuh pada dompet putih di dekat kakinya. Ia menatap punggung Lingka lagi. Ini pasti dompetnya!
"LIING!"
Lingka sepertinya tidak mendengar. Dengan cepat Kit melepas helmnya, turun dari motor, mengambil dompet putih itu lalu berlari menyusul Lingka yang sudah membuka pintu utama rumahnya.
PRAAAANG!!!
Bunyi pecahan sesuatu segera memasuki indera pendengaran saat cowok itu memegang gagang pintu rumah Lingka yang tidak ditutup kembali oleh cewek itu.
Ia langsung membulatkan matanya. Ia tiba-tiba memikirkan Lingka yang sudah memasuki rumahnya. Jangan-jangan sesuatu terjadi padanya?
Kit mengintip lewat celah pintu yang terbuka. Melihat Lingka berdiri
mematung tidak jauh darinya dengan tatapan mata menatap lurus ke depan. Tangannya mengepal dengan gemetaran.
"GUE BARU PULANG!! CAPEK!!" Suara berat dengan kemarahan, membuat Kit menahan napas.
"MAS! JANGAN BERDALIH LAGI YA! UDAH 3 BULAN KAMU NGGAK TIDUR DI RUMAH! KAMU DI RUMAH ISTRI SIRI KAMU ITU, KAN? NGAKUU!! AKU NGGAK PERNAH IJININ KAMU NIKAH LAGI APALAGI SAMA CEWEK NGGAK BENER KAYAK DIA!!"
"CUKUPP!! LO LAMA-LAMA KURANG AJAR YA! MULUT LO UDAH KELEWATAN! SIAPA YANG NIKAH SIRI? JADI ORANG NGGAK USAH SOK TAU! SELAMA INI GUE KERJA!! BUAT LO JUGA! JAGA MULUT LO!"
"KERJA? ALASAN LO CUMA ITU-ITU AJA, TON! KERJA, KERJA, KERJA, DAN KERJA TERUS! LO PIKIR GUE CEWEK YANG MASIH SAMA KAYAK WAKTU SMA DULU? YANG POLOS, NGGAK TAU APA-APA, LO BOONGIN TERUS, IYA? LO SALAH BESAR!!"
Setelah mendengar lontaran teriakan demi teriakan dan melihat dari celah-celah, akhirnya cowok itu tahu. Orang tua Lingka sedang bertengkar hebat. Jantungnya ikut berpacu cepat. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Lingka.
PRAAANG.
Kini ayah Lingka melemparkan guci yang digapainya dari atas meja. Dan guci tersebut tepat mengenai kaki mama Lingka.
Lingka membungkam mulutnya sendiri dengan kedua tangannya erat-erat, dan mundur selangkah. Bahkan Kit sendiri mulai mengepalkan tangannya. Jika ini terus berlanjut, pasti hasilnya akan lebih parah dari kaki mama Lingka yang mulai berdarah-darah itu.
"LO YANG SOPAN SAMA SUAMI LO!"
Mama Lingka tertawa. "SOPAN? SAMA SUAMI GUE? SAMA LO MAKSUD LO? APA SEKARANG LO MASIH BISA GUE SEBUT
SEBAGAI SUAMI GUE? SUAMI GUE NGGAK KASAR KAYAK LO! DIA SELALU JAGAIN GUE DARI ORANG-ORANG YANG MAU JAHAT SAMA GUE! SUAMI GUE SETIAP HARI SELALU TELFON WALAUPUN 3 BULAN NGGAK PULANG!! LO BUKAN SUAMI GUE! LO SALAH ORANG!" Ia mulai terisak. Kekecewaan tercetak jelas pada seluruh nada suaranya.
"LO SELALU NYALAHIN GUE KARNA LO MAU NUTUP-NUTUPIN KESALAHAN LO, KAN? LO PIKIR GUE NGGAK TAU KALO LO YANG SELINGKUH DI BELAKANG GUE?? LO SELINGKUH KAN SAMA ALEX? HAHAHA! SELAMA GUE KERJA LO KEMANA AJA? LO NGGAK PERNAH DI RUMAH! LO NGGAK JAGAIN LINGKA!!"
Kit melihat Lingka berlari memasuki salah satu kamar sambil menghapus air matanya yang terus mengalir.
Ia menghela nafas panjang. Hatinya ikut bergetar melihat semua yang terjadi, mendengar keduanya saling menyalahkan satu sama lain. Ia berbalik dan berjalan menuju motornya. Tidak baik jika ia terus mendengarkan sesuatu yang ia tidak berhak tahu. Tidak berhak ia menguping dan mengetahui masalah keluarga orang lain.
Ia memasukkan dompet Lingka ke dalam saku celana abu-abunya. Menyalakan motornya dan menjauh dari rumah Lingka dengan pikiran yang berkabut hitam pekat.
•••
Lingka berlari menjauh dari rumahnya sambil memeluk bola basket yang telah ia ambil dari kamarnya tadi.
Pikirannya kembali mengingat masa-masa kecilnya yang begitu manis untuk diingat.
"Lingka mau es krim mama?"
Lingka menggeleng keras dengan ekspresi tegas. "Kalo punya sendiri, kenapa melebut milik olang lain?" sindir Lingka kecil. "Kan Lingka punya cendili mama," lanjutnya.
"Tuh, masa pinteran Lingka daripada mamanya?" sindir papa Lingka yang bernama Toni.
Sinta mengerucut sebal membuat Lingka dan Toni tertawa. "Mama jangan cembelut gitu, dong. Tuh. Jadi cantikan Lingka."
"Mama cayang nggak cama papa?" tanya Lingka membuat Sinta tersenyum.
"Ya sayang, dong. Tapi mama lebih sayang sama kamu," jawabnya sambil menjulurkan lidah kearah Toni.
"Ohh. Gitu ya sekarang," Toni pura-pura ngambek.
"Udah, ih. Udah," lerai Lingka dengan gerakan lucu. Ia menatap Toni dengan mata bulatnya yang lucu. Ia diam saja sambil menelusuri wajah papanya itu.
"Apa?" tanya Toni.
"Kalo papa cayang nggak cama mama?"
"Papa sayang banget sama mama. Sama kamu juga. Rasa sayang papa ke kalian itu besaaaaar banget. Nggak bisa diukur. Kamu lihat langit itu? Coba kamu pegang, nggak akan sampek, kan? Rasa sayang papa ke kalian berdua juga setinggi itu. Bahkan lebih. Lingka, yang harus kamu inget cuma satu hal. Apapun yang terjadi kedepannya nanti, kita harus hadapin sama-sama. Apapun yang terjadi di kemudian hari nanti, papa nggak akan ninggalin mama dan Lingka, karena apa? Karena papa cuma sayang sama kalian berdua. Papa sayaaang banget sama kalian berdua. Papa janji nggak akan ninggalin kalian berdua. Papa janji. Suatu saat nanti kalo papa lupa, tolong ingetin papa, ya?"
Lingka mengangguk mantap walaupun tidak mengerti apa yang diucapkan Toni. Yang berhasil ia tangkap hanya papanya sayang kepadanya dan mama. Selebihnya tidak ada yang berhasil ia pahami.
"Lingka yang akan ingetin papa."
Sinta dan Toni tertawa. "Emang kamu ngerti papa tadi bilang apa?" Tanya Sinta.
Lingka menggeleng polos. "Kalo Lingka udah becal nanti pasti ngelti." Mendengar itu Sinta dan Toni kembali tertawa.
"Udah. Katanya cayang, papa cuapin mama e-klimnya, dong."
Lingka terisak-isak, berlari sambil terus memegang dadanya yang terasa sakit. Bunyi geluduk yang kencang sedikit membuat Lingka bergetar. Isakannya menjadi lebih kencang seiring bertambahnya kecepatan untuk berlari.
Kali ini cewek itu sudah besar. Sudah mengerti apa maksud papanya dulu. Kali ini juga ia tahu, papanya melanggar janji dan seharusnya ia mengingatkannya.
Seharusnya ia menagih janji papanya.
Seharusnya ia tadi menampakkan dirinya.
Seharusnya tadi ia tidak melihat kaki mama berdarah karena papa. Seharusnya, seharusnya, dan seharusnya. Kenapa papa berubah?
Satu laki-laki berhasil meremukkan hatinya lagi. Dulu sahabat yang ia cintai. Dan kali ini adalah orang yang paling ia percayai sepenuh hati. Papanya sendiri.
Sebuah mantra yang dulu selalu berputar-putar di kepalanya, saat ini mulai muncul kembali. Dan ia tidak tau cara untuk menghentikannya.
Apakah salah jika ia berpikir, semua cowok sama saja?
•••
Next?
Vote dan komen dulu sebanyak-banyaknya~~
Thank you~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro