Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27 [AB] - Ketimpuk Mangga

Thalita dan Lingka saat ini sibuk mengipasi dan membalik daging barbekyu, namun Lingka malah melamun dengan tangan yang entah mengipasi apa.

Thalita yang berdiri di depan Lingka tersenyum licik, hendak mengerjai. Salah sendiri saat bersenang-senang seperti sekarang, Lingka malah mengisinya dengan kegalauan.

"Ya ampun, Ling! Ini! Yang ini gosong! Cepetan! Balikin!" pekik Thalita panik.

"Hah! Iya. Aduh! Nah. Aw, panas! Tuh, tuh. Udah." Lingka yang kaget dan tidak fokus langsung panik sendiri. Ketika melihat daging yang ditunjuk Thalita sudah dibaliknya tadi tidak gosong, Lingka segera menatap Thalita dengan mata yang terbuka lebar. Bibirnya mencebik kesal. "Ih, mana? Nggak gosong juga! Awas lo, ya! Liat aja nanti. Gue racunin makanan lo!" ancam Lingka kesal.

Thalita tertawa puas. Temannya yang satu itu memang gampang sekali dibuat panik.

"Eh, mau kemana lo?" tanya Thalita ketika melihat Lingka beranjak meninggalkannya sendiri. Ia menghalangi jalan Lingka, menahannya agar tidak pergi.

"Gue gerah, Thal. Lo gantiin gue bentar, ya?" Lingka memelas.

Melihat dahi Lingka penuh keringat, Thalita menganggukkan kepalanya setuju. Ia hampir ketakutan setengah mati karena takut Lingka marah karena ia mengerjainya tadi.

Sambil mengipasi daging, tatapan Thalita jatuh pada Kit yang tadi mengambil sepiring buah dari dalam rumah, lalu mendudukkan diri di sofa panjang berwarna merah terang. Lingka juga melangkahkan kakinya menuju sofa panjang yang diduduki Kit.

Thalita dibuat tersenyum tipis. "Enak banget ya kisah cinta kalian berdua. Lah gue? Boro-boro cuma sekedar cinta bertepuk sebelah tangan. Eh dianya juga menjauh dan bersikap seolah nggak kenal lagi sama gue!"

"Elo mulut bodoh!" Thalita memukul bibirnya. "Ngapain sih lo ngaku kalo suka sama Jenar? Gila aja sih lo! Sekarang mau gimana? Dia menjauh, nggak kenal gue lagi!" Thalita memelototi daging-daging di depannya.

"Aishhh!!" Thalita mengipasi daging keras-keras. Mengabaikan Rama yang memprotesnya akibat asap mengepul yang dibuatnya berlari ke arah Rama.

Mengerucutkan bibir, Thalita melempar kipasnya dan menghampiri Rama dengan kaki yang menghentak keras. Semua yang dilakukannya selalu salah.

Dengan tenang, ia mendudukkan diri. Tugasnya digantikan dengan Pak Surip yang memang sejak dulu selalu ikut ketika ada pesta barbekyu.

"Eh, Ram. Tetangga lo masih bunting?" tanya Kit yang berhasil didengar Thalita.

"Mbak Echa maksud lo?" Rama balik bertanya dengan tatapan aneh. "Ngapain lo nanya-nanya mbak Echa?"

"Mau gue ambilin mangga lagi," jawab Kit santai sambil menunjuk pohon mangga dengan buah yang lebat.

"Gila aja, lo. Ngapain lo harus repot-repot? Lo suka ya sama Mbak Echa-Mbak Echa itu?" tanya Thalita yang sudah mendudukkan diri di samping Rama. Daging yang tadi dipanggang Pak Surip sudah matang. Pak Surip memberikannya pada Thalita namun Rama segera merebutnya setelah mengucapkan terima kasih dengan senyuman lebar.

Pak Surip yang mengambil bagiannya dan meletakkannya di atas piring, segera berpamitan masuk agar tidak menganggu para kaum muda.

Rama mengangguk dan mengucapkan terima kasih sekali lagi setelah meletakkan daging matang di atas meja. Cowok itu menjulurkan lidah untuk mengejek Thalita yang masih kesal. Mengejek saudara yang kesal akan suatu hal kecil, menurutnya sangat menyenangkan.

"Ih! Sedari tadi Lo buat gue kesel! Males gue!" Thalita beranjak. Hendak pergi, namun dengan gerakan cepat Rama menarik tangannya. Membuat cewek itu terpaksa duduk lagi di atas sofa yang sama dengan saudaranya yang menjengkelkan.

Tak mau melihat wajah Rama yang minta dicakar, Thalita mengalihkan pandangan pada Lingka yang terpingkal-pingkal. "Hah, ini memang kamu, Kit. Suka sama mbak-mbak bunting," ujar Lingka setelah berhasil menetralkan tawanya.

"Kamu inget?" tanya Kit membuat Thalita menatap cowok itu dan Lingka secara bergantian, dengan kelopak mata yang membesar. Apa yang mereka berdua bicarakan?

"Iya. Aku inget," jawab Lingka sambil mengangguk yakin, membuat Thalita heran.

"Inget apa?" tanya Thalita menyelidik. Bahkan Rama yang ada di sampingnya juga menatap Kit tak percaya. Walaupun Kit badboy, tidak mungkinkan sahabatnya itu berani melakukan perbuatan 'itu'?

"Jangan-jangan... lo pernah dibuat bunting sama Kit, ya?" tanya Rama menyelidik membuat Thalita memukul kepala cowok itu keras. Bagaimanapun, Thalita akan marah jika Lingka mendapat tuduhan seperti itu.

Lingka membulatkan mata horor, "Enak aja lo! Gue buat cewek kayak gitu, ya!"

Kit berdecak, "Pikiran lo jauh banget tau, nggak." Tatapan tajamnya merasuk pada setiap pembuluh darah Rama, membuat cowok itu meringis.

"Terus apa? Percakapan kalian berdua tadi absurd tau." Rama masih tidak menyerah untuk mendapatkan jawaban dari kebingungannya.

"Dulu gue sempet cerita sama Lingka kalo kita pernah nyolong mangga buat tetangga lo yang nyidam! Terus dia juga ada ngatain gue, suka sama mabk-mbak Bunting itu." Kit menjelaskan dengan jengkel. Mulut Thalita dan Rama membulat membentuk huruf O besar, merasa puas kebingungannya terjawab dengan jelas.

"Lagian Mbak Echa udah ngelahirin kali. Anaknya cowok. Namanya Adinata Halim," ujar Rama.

"Ya udah kalo gitu buat gue sendiri aja," ucap Kit sambil berdiri, berniat memanjat pohon mangga.

Lingka memekik girang, "Aku juga mau!"

Thalita memperhatikan Lingka dan Kit yang berjalan ke arah pohon mangga. Keduanya entah mengapa membuat Thalita iri. Walaupun memang belum ada kejelasan hubungan, Lingka dan Kit masih berhubungan dengan baik. Sangat berkebalikan dengannya dan Jenar. Thalita menggelengkan kepala, karena lagi-lagi cowok tidak punya perasaan itu hinggap di pikirannya.

"Kamu mau ngapain?" tanya Kit ketika menyadari bahwa Lingka mengikutinya.

"Kamu mau manjat, kan? Aku mau nangkepin mangga," jawab Lingka polos.

"Aku nggak yakin, sih." Kit ragu-ragu. "Tapi ya udah. Pokoknya kamu hati-hati." Finalnya. Lingka menggangguk.

"Seharusnya kamu yang hati-hati." Perkataan Lingka membuat Kit tersenyum.

"Woy-woy! Jadi enggak, nih? Jangan pacaran di sini!" Rama yang sedari tadi ada di dekat keduanya segera menyuarakan ketidaksukaan ketika melihat adegan manis yang membuatnya hendak muntah.

"Gue saranin mending lo duduk aja deh, Ling." Rama mengingatkan.

"Kenapa, sih? Gue pengen," jawab Lingka ngotot, membuat Rama akhirnya pasrah. Ingat, jika sesuatu yang buruk terjadi, maka itu bukan salah Rama. Ia sudah mengingatkan.

"Oke. Terserah lo aja, pokoknya gue udah ngingetin," balas Rama santai. Ia mendongak, menatap Kit yang kelihatan badan dan kakinya saja. Terdengar suara grasak-grusuk dedaunan sebelum suara Kit mulai terdengar.

"Ling, tangkep!"

"Ya." Dengan gesit cewek itu menangkap mangga yang dilemparkan Kit dari atas pohon. Lalu ia menghadap Rama dan melempar mangganya sambil berkata, "Ram, tangkep."

Refleks, Rama menangkap lemparan mangga itu. Alisnya mengernyit. "Woy. Gue cuma mau liat, doang! Ngapain gue jadi ikut kerja?"

Thalita yang hanya diam saja menyaksikan aksi salur-menyalur antara ketiga temannya itu, terkekeh geli karena Rama masih saja cemberut.

Dibandingkan ketiganya, Thalita yang paling kaya di sini. Dengan santai cewek itu menikmati daging yang tadi dipanggangnya bersama Lingka dan Pak Surip.

Kit memanggil Lingka lagi agar cewek itu siap ketika mangga dilemparkannya. "Ling."

"Ram."

"Ling."

"Ram."

Lingka mendongak, melihat Kit yang kini hanya kelihatan kakinya saja. Grusak-grusuk yang terdengar semakin ramai, tetapi Kit masih belum melemparkan mangga lagi.

"Kit, mana?" tanya Lingka. "Masih ada lagi?" lanjutnya.

"Ada. Nih." Kit melemparkan satu mangga kepada Lingka. Tapi sayangnya cewek itu tidak berhasil menangkap mangga dari Kit. Untuk pertama kalinya, Lingka membungkuk untuk mengambil mangga yang jatuh.

Thalita yang masih setia mengunyah daging tiba-tiba membulatkan mata ketika melihat beberapa mangga, kira-kira tujuh, hendak turun dari atas pohon ke tempat dimana Lingka masih memperhatikan mangga yang setengah penyok akibat mendarat di tanah.

Dengan segera Thalita berteriak, "LING! AWAS ATAS LO!"

"AAADUUUUUUH!" Lingka mengaduh kesakitan.

Thalita menepuk jidatnya sambil meringis.

Terlambat! Sudah terlambat!

"SAKIT!" teriak Lingka lagi sambil memegangi kepalanya yang tidak sengaja menjadi sasaran.

Suara panik Kit dari atas sana terdengar. "Ling? Kamu nggak pa-pa?" Kepalanya melongok ke bawah, melihat Lingka yang mendudukkan diri di atas tanah berumput dengan pasrah.

Thalita menelan daging yang ada di mulutnya terlebih dahulu sebelum menyusul Rama yang sudah berjongkok di dekat Lingka. "Sakit, ya?"

Lingka menggeleng. "Nggak sakit banget, sih."

"Ling, lo nggak pa-pa?" tanya Thalita cemas. Ia paling takut jika Lingka sudah memegangi kepalanya. Sahabatnya itu sering pingsan karena mengidap fertigo semenjak kelas sepuluh. Pokoknya setiap Lingka memegangi kepala, atau berkata telinganya tidak mendengar apa-apa, cewek itu pasti pingsan. Thalita hafal itu.

"Nggak. Nggak pa-pa. Cuma pusing aja," ucap Lingka sambil berdiri dibantu Thalita.

"Tuh, kan. Pokoknya tadi gue udah ngingetin, ya?" Rama geli sendiri melihat Lingka yang tak berdaya.

"Lo nggak bakal pingsan kan, Ling?"

"Apaan, sih Thal. Enggak, kok. Percaya sama gue," jawab Lingka sambil berdiri dibantu Thalita.

BLUK

Kit menjatuhkan diri dari atas pohon.

"Kit, lo tuh ya! Jadi cowok jail banget, sih! Kalo mau bercanda jangan kelewatan. Lingka itu punya fertigo. Kalo kepalanya kena benturan dikit aja, bisa jadi pusingnya bakal keterusan!" Thalita memarahi Kit dengan nada tinggi. "Dan Lingka sering pingsan kalo dia bilang dia lagi pusing!"

Kit menatap Lingka dengan pandangan bersalah. "Maaf, aku nggak sengaja." Kit benar-benar menyesal. "Sakit?" tanyanya sambil mengelus puncak kepala cewek itu.

Sebelum Thalita membuka mulutnya untuk menyatakan ketidakpercayaan
dan ketidakpuasannya pada jawaban Kit, Rama sudah menghentikannya. "Kit emang nggak sengaja, Thal. Lo sabar dulu, kek. Gue tau banget Kit itu kayak gimana. Dan kejadian barusan itu udah sering terjadi. Mungkin ini yang kelima kalinya," jelas Rama yang hanya dibalas dengan alis Thalita yang terangkat lebih tinggi.

"Lo masih nggak percaya? Lo tadi denger nggak Kit bilang gini, Aku nggak yakin, sih. Tapi ya udah. Pokoknya hati-hati. Lo pasti denger, kan? Maksud ucapan Kit tadi itu ya ini," ujar Rama dengan tatapan---Plis, lo percaya sama gue dan jangan buat masalah sama Kit. Kalo nggak, gue nggak tau hidup lo bakal kayak apa!---

Akhirnya Thalita menghela nafas pelan, "Setidaknya tadi lo jelasin, kek. Biar Lingka nggak ikut-ikutan acara salur-menyalur kayak tadi," ujar Thalita pada Kit membuat cowok itu hanya membalasnya dengan tatapan datar, merasa jengkel karena Thalita terus mengoceh.

"Maaf, Ling. Aku kira kamu udah siap nangkep mangganya tadi."

Thalita tertawa tak percaya.

Apa dia bilang? Siap nangkep mangganya tadi? Ya gila aja. Itu tadi tujuh mangga yang jatuh bersamaan. Nangkep semuanya? Nggak mungkinlah!

"Udah-udah. Ngapain, sih berantem?" tanya Lingka kesal.

"Kit, aku maafin, kok. Thal, Kit nggak sengaja. Lagian pusing gue udah ilang, kok. Orang cuma satu mangga aja yang kena kepala gue," ujar Lingka membuat Thalita sedikit lega. Ia melirik Kit yang mengabaikannya dan memilih untuk memunguti mangga yang jatuh.

"Ram, lo ambilin pisau sana," suruh Kit saat mereka berempat sudah duduk di sofa dengan posisi yang masih sama seperti awal.

"Ogaaah. Lo ambil sendiri aja di dapur," suruh Rama dengan tangan yang sibuk pada layar ponselnya.

"Pake pisau itu aja kenapa, sih." Thalita menunjuk pisau yang telah digunakan untuk memotong daging.

"Ya nggak pisau daging juga kali," sahut Lingka sambil terkekeh. "Gue aja yang ngambil. Boleh, nggak?" tawarnya.

"Ya boleh lah," jawab Rama sambil mendongak sejenak dari ponselnya.

"Emang lo tau tempatnya?" tanya Thalita.

"Ya, nggak, sih. Kan gue bisa tanya."

"Pinter. Ya udah, gih. Sana buruan," usir Thalita membuat Lingka melemparkan sendok bersih kearahnya.

"Curut. Gue kira lo mau ngambilin pisaunya," ujar Rama menyindir.

Thalita mencibir. Kenapa tidak Rama saja yang mengambilkan pisaunya? Cowok itu kan yang paling tahu di sini. Bilang saja jika dia malas.

"Kit, lo cinta sama Lingka?" tanya Thalita serius.

Kit mengangkat bahunya. "Nggak tau."

"Gue serius!" ucap Thalita kesal.

"Gue bener-bener nggak tau," balas Kit yang tak kalah kesalnya. Ia paling tidak suka membahas tentang cinta. Masa lalunya walaupun masih terbilang remaja belum matang, sudah kelewat buruk.

"Ok-oke. Gini. Apa yang lo rasain waktu lo bareng sama Lingka?" Thalita tidak menyerah. Ia ingin menjadi mak comblang di sini.

Kit berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Ya seru, sih. Dia biasanya suka cari topik pembicaraan baru kayak tadi---" Belum selesai berkata, ucapannya sudah dipotong dengan kesal.

"Bukan itu maksud gue!" ucap Thalita menggeram, menahan kekesalan yang semakin memuncak. "Maksud gue pas lo sama Lingka lagi berduaan gitu. Bukan bareng-bareng! Cuma berdua aja. Lo, sama Lingka. Nah, apa yang lo rasain?" tanya Thalita berusaha menjabarkan maksudnya dengan perlahan-lahan agar mudah dipahami oleh Kit.

Thalita tidak habis pikir. Kata Rama, Kit lebih jenius daripada Rey. Thalita meragukan itu sekarang.

Dulu ia sempat bertanya-tanya ketika Rama mengatakan itu padanya. Dua kemungkinan yang terlintas, Rama memang serius atau hanya memberi kode pada Thalita jika semua yang dikatakannya adalah salah.

Dan yang terlihat benar saat ini adalah kebalikannya, yang berarti Kit lebih bodoh daripada Rey. Walaupun ia berpikir keras, ia sama sekali tidak menemukan jawaban yang tepat. Perbandingannya antara 50 : 50.

Seri.

Tapi kini Thalita mendapat jawabannya.

Kit, lebih bodoh daripada Rey.

"WOY! LO DENGERIN NGGAK, SIH?"

Thalita berjingkat kaget, menutupi telinga kirinya yang berdengung-dengung sebelum menatap Rama horor.

"NGGAK USAH TERIAK DI TELINGA GUE JUGA KALI!!" Thalita balik teriak tepat di depan wajah Rama yang menutupi kedua telinganya.

"Buset! Jijik lo, ah! Jigong lo muncrat-muncrat di wajah gue!"

Thalita menjulurkan lidahnya tak peduli.

"Lo dengerin Kit ngomong, nggak?" tanya Rama.

"Ngomong apa emang?"

"Tuh, Kit. Lo nggak didengerin, tuh. Wah. Parah." Rama memanas-manasi.

"Oh iya, apa yang lo rasain waktu lo bareng sama Lingka?" tanya Thalita.

Kit menatap Thalita tidak suka. "Gue udah jawab tadi."

"Kan gue nggak denger."

"Nyaman," jawab Kit singkat karena tidak ingin semakin ribut.

Thalita merenung sejenak, kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. "Selain nyaman? Lo suka nggak, sih sama Lingka?"

"Suka."

Thalita melebarkan bola matanya. Sebenarnya dia tahu, tapi ketika jawaban itu keluar dari mulut Kit langsung, rasanya seperti tidak mungkin. Ini Kit, loh. Kata Rama cuma punya mantan satu. Banyak yang berusaha mendekatinya, tetapi semua seperti daun berguguran. Cowok itu tidak pernah mempedulikan mereka. Tetapi sekarang, ketika Thalita mendengar sendiri bahwa Kit menyukai seseorang dan yang disukainya adalah teman dekat Thalita, seperti tidak percaya.

"Lo nggak mau nembak dia gitu?"

"Belum," jawab Kit tanpa ragu.

"Kenapa? Kit, gue yakin Lingka juga suka sama lo. Selama ini Lingka nggak pernah mau buka hatinya buat cowok itu karena dulu dia pernah kecewa. Dia pernah kehilangan. Dia pernah cinta sama sahabatnya sendiri karena ulah usil sahabat cowoknya itu. Namanya Bagas."

"Tuh cowok pernah bilang cinta sama Lingka. Begitu Lingka mulai cinta sama Bagas, eh cowok brengsek itu malah pacaran sama Adis, sahabat Lingka yang satu lagi."

"Lo tau? Lingka pernah bilang kalo kehilangan seseorang yang bahkan belum menjadi miliknya itu sakitnya dua kali lipat daripada kehilangan seseorang yang sudah menjadi miliknya. Kalo lo nggak mau nembak Lingka dan hanya menunjukkan rasa suka lo sama dia, dia bakalan mikir yang nggak-nggak lagi, Kit. Ketakutannya bakal tumbuh lebih besar lagi."

Kit menatap Thalita sambil mencerna setiap perkataan yang keluar dari mulutnya.

Kini, Kit akhirnya tahu.

Bukan hanya dirinya yang terjebak oleh rasa sakit masa lalu, tetapi Lingka juga.

•••

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro