26 [AB] - Berkumpul di Rumah Rama
Lingka memasuki rumahnya dengan muka tertekuk dalam-dalam. Ia tidak akan mau lagi jika Abraham mengajaknya keluar. Bilangnya ingin membeli lemari saja, nyatanya cowok itu mengajak Lingka ke toko baju, toko aksesoris, dan juga restoran, dengan bermacam-macam alibi.
Ingin Lingka ikut mencarikan kado untuk adik sepupunya lah, perutnya kelaparan, jika Lingka tidak ingin makan, maka Abraham tidak akan kuat menggendongnya jika pingsan.
Bukannya Lingka malas bersama Abraham tetapi ia merasa bersalah karena tidak bisa membalas perasaan cowok itu. Waktu sudah lama berlalu, namun mengetahui Abraham masih terjebak dengan perasaannya, Lingka tidak bisa berhenti merasa bersalah.
Ia sangat bersyukur mempunyai teman sekaligus ketua kelas yang peduli, bertanggung jawab, dan tegas. Nilai plus Abraham cukup tampan bila dibandingkan dengan Bisma. Dari fakta tersebut saja bisa membuat beberapa cewek merasa jatuh hati. Anehnya Lingka belum bisa.
"Non Lingka baru pulang," sapa Bi Iyem yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu karena sudah tidak ada pekerjaan lagi.
Pukul empat sore. Lingka merobohkan badannya ke sofa lain. "Ternyata lama juga aku tadi ya, Bi."
"Mau minum, Non?" tanya Bi Iyem sambil bersiap untuk berdiri.
"Nggak usah, Bi. Udah kembung perutku."
"Lah, Non Lingka kenapa, toh? Kok murung gitu?"
Lingka menggeleng pelan menjawab dan mengerucutkan bibir mengingat Kit tidak menghubungi atau pun sekedar menanyakan kabarnya. Akan menjadi bonus tak terduga jika Kita mengajaknya jalan.
"Oh iya. Tadi ada yang kesini lagi. Cowok juga," ujar Bi Iyem membuat badan Lingka tegak. Ia meringis merasa bahwa kemungkinan besar sosok yang ada di dalam pikirannya lah yang telah datang.
"Siapa, Bi?" tanya Lingka pelan.
Bi Iyem meringis, "Bi Iyem nggak nanya," ujar Bi Iyem sambil meringis. Ketika melihat bahu Lingka merosot, Bi Iyem kembali berkata, "Dia tadi telepon Non Lingka. Tapi nggak diangkat katanya."
Lingka membulatkan mata seketika. Dengan gesit cewek itu mengeluarkan ponsel dari totebag yang dibawanya dan melihat dua panggilan tak terjawab.
K I T
Matanya terbuka lebar. Benar! Ini Kit!
Ia memukuli kepalanya pelan karena berpikiran buruk tentang cowok itu. Siapa bilang Kit tidak menghubunginya? Cowok itu mencarinya ke rumah, menelepon, dan akhirnya pulang tanpa bertemu dengannya.
Cewek itu merutuki dirinya sendiri. Ini salahnya karena tidak membuka ponsel sama sekali!
"Oh iya! Ada lagi." Bi Iyem menatap Lingka sebelum melanjutkan, "Dia nulis pesan di buku catatan." Bi Iyem menunjuk buku kecil di atas meja.
Lingka menghela napas panjang sebelum meraih buku itu. Duduk tegap, membuka halaman terakhir yang berisi tulisan tangan Kit.
"Yahh. Tau gini mending aku sama Kit aja tadi, Bi." Bahu Lingka merosot lagi.
Bi Iyem yang melihat itu memperoleh kesimpulan singkat.
Lingka tidak suka dengan cowok yang pertama datang menjemputnya, tetapi suka pada cowok yang datang terakhir, yang Lingka panggil dengan nama Kit.
•••
"KIT, HAPE LO BUNYI!" Teriakan Arga, segera memasuki indera pendengaran Kit yang saat ini sedang berlari mengejar bola yang dikuasai lawan.
Refleks, langkahnya berhenti. Cowok itu berbalik untuk menatap Arga yang memegang ponselnya sambil digoyang-goyangkan.
"GUE ANGKAT, YA?" tawar Arga supaya teleponnya tidak keburu mati.
"JANGAN, WOY!" Kit berlari cepat menghampiri. "Lo gantiin gue sana," suruh Kit seenak jidat membuat Arga mencibir. Tetapi karena satu tim, Arga setuju dan berlari memasuki lapangan.
Kit menangkap ponselnya yang sengaja dilemparkan oleh Arga. Hampir tidak bisa tertangkap, Kit menatap Arga dengan tatapan-Awas lo!-
Sayangnya bukan takut, Arga hanya menertawakannya.
Kit meletakkan ponselnya yang sudah tidak berdering ke tempat duduk sebelum mengelap peluhnya yang keluar dengan deras. Mengambil botol minuman di sampingnya yang entah milik siapa. Diteguknya sampai tersisa setengah.
Ponselnya kembali berbunyi. Ia bisa menebak, siapa sang penelepon ini. Ketika cowok itu melihat layar ponsel, tebakannya benar. Itu Lingka.
"Halo," sapa Kit terlebih dahulu.
"Halo, Kit."
"Ya," balasnya singkat. Ia akan berpura-pura marah sekarang.
"K---kamu tadi ke rumahku, ya?" tanya Lingka terdengar tidak enak. "Aku tadi keluar," lanjutnya dengan suara yang lebih pelan dari sebelumnya.
"Iya aku tau. Kamu sama Abraham, kan?" tanya Kit sambil menghela napas. Sepertinya ia tidak perlu berpura-pura marah. Nyatanya ia tidak marah, hanya Tidak suka saja mengetahui Lingka pergi bersama Abraham.
"Loh, kok kamu tau, sih?" tanya Lingka dengan nada cepat. Sepertinya cewek itu takut Kit akan marah.
Kit tersenyum misterius, "Aku keturunan cenayang," ucapnya berhasil menghibur Lingka.
"Nggak lucu."
"Nggak usah manyun-manyun, deh. Udah jelek, tambah jelek." Kit tertawa setelah mengatakannya.
Mendengar tawa Kit, Lingka merasa tidak enak. "Kit... sorry, ya? Kamu tadi nunggu lama."
"Oh, kamu mau ucapan maaf itu aku terima?" Kit tersenyum licik. "Satu permintaan dan kamu harus turutin."
Di seberang sana, bibir Lingka semakin mengerucut mendengar ucapan Kit. Ini namanya senjata makan tuan!
Karena tidak punya pilihan, dan merasa bersalah, Lingka akhirnya mengiyakannya dengan nada kelewat pasrah.
"Setiap minggu malem, aku, Farel, Rey selalu main ke rumah Rama. Kamu tau, kan Rey turnamen, olimpiade. Dia karantina enggak mungkin besok bisa ikutan. Kalo Farel besok ada acara keluarga. Dia nggak bisa dateng. Sebenernya nggak masalah juga, sih buat aku," ucap Kit masih belum sampai pada intinya. Lingka tetap diam karena mengetahui akhir penjelasan Kit belum terungkap. "Tapi yang jadi masalah itu, besok Thalita ada di sana juga. Aku yakin itu dua bersaudara bakal lupa sama kehadiran aku." Kit mendengus. Ia baru tahu dari Farel jika hubungan Rama dan Thalita hanya settingan. Benar saja perasaannya waktu itu yang merasa janggal dengan gerak-gerik Rama dan Thalita.
"Jadi, besok jam tujuh malem, gue jemput di rumah lo, ya?"
•••
"Ini beneran rumah Rama?" tanya Lingka heran. Ia menatap Kit yang kini memasang skraf multifungsi berwarna navy di dahinya. Entah mengapa Kita menjadi terlihat lebih tampan sekarang.
"Iya lah. Kenapa emang?" Kit mengalihkan pandangan menatap Lingka setelah selesai membenahi skraf-nya.
Melihat skraf itu sedikit miring, Lingka tersenyum. Ia menjinjit dengan tangan yang terulur merapikan skraf itu agar membuat Kit terkihat lebih tampan.
Kit terpaku. Tatapannya jatuh pada Lingka yang tersenyum. Ketika Lingka menurunkan tatapannya dari skraf, tatapannya malah bertemu dengan Kit.
Hening, tidak ada yang berusaha mengalihkan pandangan sampai Lingka tersadar lebih dahulu. Keduanya bergerak salah tingkah sebelum Lingka mencairkan suasana canggung dan mendebarkan itu. "Rumah Rama gede banget. Serem lagi," ujar Lingka sambil bergidik. "Kayak rumah vampir."
"Hus!" Kit mengetuk helm yang dipakai Lingka pelan. "Buruan lepas helm! Kamu mau masuk sana pake helm?" suruh Kit dengan sedikit candaan yang membuat Lingka tertawa tak percaya.
Cewek itu menggelengkan kepala dan melepas helm yang dipakai, lalu mengikuti Kit berjalan menuju pintu masuk.
Tidak ada yang mengeluarkan suara sampai ketika Kit ingin memecah keheningan, suaranya kembali ditelan melihat pemandangan dari pintu utama rumah Rama yang terbuka lebar. Bahkan Lingka pun membulatkan mata dan tercengang.
Di sana, ada tiga orang. Dua dari mereka, Lingka mengenalnya. Itu Thalita dan Rama. Dan ibu-ibu yang duduk di sofa besar berwarna merah, Lingka tidak mengenalnya tetapi berpikir bahwa wanita itu mungkin saja ibunya Rama.
Tapi bukan itu yang membuat mereka merasa ingin pingsan di tempat. Melainkan kelakuan Thalita dan Rama!
Thalita dan Rama ada di atas karpet lantai yang berwarna maroon, Thalita tidur di pangkuan Rama yang memainkan ponselnya. Kaki cewek itu berada di atas paha ibu-ibu yang saat ini memarahi Rama karena terus-menerus menggoda Thalita.
"Tante, ini, nih! Rama! Cemilan aku dimalingin!" Thalita merengek dengan kaki yang bergerak-gerak di atas paha ibu Rama.
"Apaan. Yang beli siapa coba?" tanya Rama sewot.
"Lo kan beliin buat gue, sih!" Thalita yang merasa kesal, melemparkan cemilan kesukaanny tepat ke muka Rama.
"Anjir! Berani ya lo!"
"ADUUH. SAKIT TAU! KALO MAU MINGGIR BILANG-BILANG. KEJEDUK NIH!" teriak Thalita marah karena Rama menarik kakinya yang dijadikan bantal oleh Thalita.
"AW. LO KOK JAMBAK-JAMBAK GUE, SIH?" Kali ini giliran Rama yang berteriak.
Thalita tertawa puas. Melihat tangan Rama terayun, cewek itu segera berteriak, "APA LO? BERANI LO?"
Rama mengambil setoples cemilan yang 'katanya' milik Thalita itu. Ia langsung melemparkannya pada Thalita.
"RAMA!!" Thalita terlihat benar-benar kesal saat ini. Bahkan jika Lingka yang berada di posisi Thalita, ia juga akan marah sedemikian rupa. Cemilan kesukaannya, dilemparkan dan mendarat dengan berantakan di badannya. Benar-benar tak terbayang. Makanan enak, kesukaannya, terbuang sia-sia! Walaupun bisa memasukkannya kembali ke dalam toples, tetapi itu membuang-buang waktu, menambah pekerjaan saja!
Lingka melihat Thalita mengangkat toples kosong dan melemparkannya pada Rama. Cowok itu memekik. "ADUH!! RESE YA LO! PANTES! GIMANA JENAR MAU SUKA SAMA MACAN KAYAK LO!"
"STOP!" Bentak Ibu Rama membuat Thalita dan Rama kicep. "Kalo mau berantem di belakang aja. Jangan di sini. Mama lagi liat sinetron, nih."
"Alaah. Dasar ibu-ibu. Sukanya liat sinetron. Mendingan baca tata tertib lalu lintas deh, Te. Biar nggak langsung nyebrang sembarangan. Biasanya kan emak-emak kayak gitu."
Lingka langsung menatap Thalita horor dengan telapak tangan kanan yang menutup mulutnya.
"Woy. Gitu-gitu juga mak gue. Dasar kecoa."
"Lo curut."
"Gue barbie."
"Amit-amit."
"Ini dua anak kenapa, deh? Di sekolah kalem, tentrem, damai, tapi yang gue liat sekarang... kontras banget!" Lingka menggelengkan kepala tak percaya. Ini bahkan lebih dahsyat daripada pertengkaran Thalita dan Jenar di dalam kelas.
"Loh, Kit sejak kapan ada di sini?" Suara ibunya Rama menginterupsi segala pemikiran Lingka yang tidak begitu jelas.
"Kit, kita ke gap ngintip," bisik Lingka membuat Kit tertawa.
Thalita dan Rama membulatkan mata melihat kedatangan sahabatnya yang tiba-tiba, seperti hantu.
"Halo, Tante Marisa. Kita berdua baru dateng, kok. Baru banget," ucap Kit. "Ya, kan?" tanyanya pada Lingka, supaya lebih meyakinkan.
"Iya," jawab Lingka sambil tersenyum kalem.
"Wah. Ini siapa? Pacarnya Kit, ya?"
Lingka meringis, bingung menjawab apa. Melihat Kit hanya tersenyum, cewek itu membuka suara. "Buk---"
"Bukan, Ma. Ini pacarnya Rama. Kenalin dong. Namanya Lingka." Rama tiba-tiba membuat pengakuan palsu sambil merangkul bahu Lingka.
Cewek itu langsung membulatkan matanya horor. Belum sempat ia bersuara, Kit sudah menyela ucapan Rama terlebih dahulu.
"Apaan, sih. Lepasin tangan lo," ujar Kit sambil menepis tangan Rama. "Pacar-pacar. Tuh. Pacar asli lo udah mau marah," lanjut Kit sambil menunjuk Thalita dengan dagunya. Nada cowok itu terdengar menyindir ketika berkata 'pacar asli'. Ia sedikit kesal karena dibohongi sahabat sendiri. Untung saja hanya masalah sepele.
Rama tertawa terpingkal-pingkal. "Tuh, kan. Tuh, Ling! Kit suka sama lo, tuh."
Lingka hanya menanggapi Rama dengan pandangan polos.
"Apa? Liat aja tuh wajahnya Kit," ucap Rama sambil tertawa.
Lingka menatap Kit dengan pandangan menelisik. Apa benar? Jantung Lingka berpacu cepat. Iya, Kit hanya butuh waktu. Lingka juga butuh waktu untuk menanyai Kit tentang masa lalunya.
Lingka terus bergeming menatap Kit sampai suara lembut Tante Marisa memasuki indera pendengarannya, "Udah lah. Udah. Kamu suka banget, sih gangguin temen-temen kamu. Ayo, Kit, Lingka, masuk. Pak Surip tadi udah nyiapin barbekyu-nya di taman belakang."
Lingka mengalihkan pandangan menatap Marisa, mengangguk sambil tersenyum canggung. "Makasih, Tante."
Ketika cewek itu mulai memasuki rumah yang dominan berwarna merah itu, sebuah kenyataan atau mungkin hanya sekedar ekspetasi, terlintas dalam benaknya.
Tidak ada cowok, selain Kit yang anti mainstream bisa membuatnyya merasa begitu nyaman seperti ini. Tidak ada cowok, selain Kit, yang dengan tega meninggalkannya sendirian di alun-alun ketika tengah malam, Tidak ada cowok selain Kit, yang bisa masuk retak kecil di dalam benteng hatinya yang selalu dijaga dan dipantaunya.
Saat ini, Kit sedikit demi sedikit berhasil menembus benteng pertahanan miliknya setelah bertahun-tahun ia bangun. Cowok itu hampir menguasai seluruh hatinya.
Hanya Kit, satu-satunya yang berhasil.
Sebuah perasaan cinta yang dulu sirna, perlahan-lahan menjalar lagi di hatinya. Mencoba beradaptasi pada lingkungan yang gersang dan sepi. Mencoba memberi hujan dan berusaha untuk menyatu seperti simbol YinYang.
•••
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro