24 [AB] - Flashback Aestethic
"THAL!!"
Thalita yang berjalan sendirian dengan membawa sepiring nasi pecel langsung menoleh sebelum mengernyit bingung. Tumben Kit memanggilnya? Ada apa? Walaupun bingung, Thalita tetap melangkahkan kakinya menuju meja Kit.
"Rama mana?" Pertanyaan Thalita hanya dijawab dengan gelengan singkat.
"Tumben lo... sendirian?" tanya Kit dengan kedua alis terangkat.
Thalita yang peka, langsung mengerti. "Jadi lo manggil gue mau tanya tentang Lingka?"
Kit menganggukkan kepala beberapa kali sebelum menjawab, "Gue ada urusan penting sama dia."
Urusan penting? Urusan penting apa? Thalita yang memang tipe cewek kepo langsung berpikir kemana-mana, mengingat cerita Lingka tentang hubungan tanpa status yang dijalaninya dengan Kit. Jangan-jangan Kita hendak menembak Lingka? Gila! Itu tidak mungkin!
"Woy!" Kit mengetuk meja berkali-kali untuk menyadarkan Thalita yang menggeleng tidak jelas.
Tersadar, Thalita segera menatap Kit dan menjawab, "Gue juga nggak tau. Dia nggak sekolah. Tanpa keterangan. Bahkan pas gue chat, WhatsApp-nya masih off," jawab Thalita seadanya. Ia memasukkan sesendok nasi beserta tahu ke dalam mulutnya.
"Kok bisa, sih?" tanya Kit dengan alis saling bertaut. Cowok itu tiba-tiba memikirkan sosok serba hitam yang tadi mengikutinya. Apa jangan-jangan sosok serba hitam itu menculik Lingka?!
Kit meremas telapak tangannya gelisah. Tidak mungkin, kan musuh bisnis Kiki kembali melancarkan serangan balas dendam karena Kit tinggal lagi di Indonesia?
Mengapa kesalahan papanya dari mencuri investor kaya A&L Corporation dilimpahkan kepadanya? Mengapa ia yang harus menanggung semua balas dendam itu? Apakah ini karma orang tua yang jatuh pada dirinya?
Tidak! Kit masih tidak mempercayai itu! Mungkin sosok berjubah hitam tadi orang usil? Atau mungkin... utusan Rey untuk mengawasinya? Itu mungkin saja benar! Tetapi apakah Rey sudah tau tentang dirinya yang kembali menetap di Indonesia? Selama karantina cerdas cermat luar biasa itu, Rey bahkan dilarang memegang ponselnya untuk hal-hal tidak penting. Farel dan Rama pun tidak ada yang berani memberitahu Rey.
"Elo gimana, sih. Ya mana tau! Tanya aja sama Doni," jawab Thalita sebelum memasukkan sendok penuh lagi ke dalam mulut.
"Doni siapa?" Alarm waspada di kepala Kit langsung berbunyi.
"Ituloh. Doni yang kemarin waktu upacara bersin sampe ingusnya nempel di punggung Oge," jawab Thalita dengan mata berbinar.
Namun bukannya mendapat pencerahan, kepala Kit malah menemui jalan buntu. Mengernyit tidak tahu, Kit menggelengkan kepala.
"Ih! Yang waktu praktek masak pelajaran Prakarya, tuh cowok enggak bawa bahan terus beli sayur di depan gerbang!" Thalita tidak menyerah untuk menjelaskan.
Lagi, Kit menggeleng tidak tahu. Namun gelengan kali ini terkesan pasrah.
"Susah ya ngomong sama anak baru. Nggak kenal siapa-siapa," ujar Thalita membuat Kit mengatupkan bibirnya.
Udah tau gue anak baru, kenapa lo ngomong hal-hal yang gak gue ngerti?!!!
Tatapan Kit langsung berubah dingin. Dengan nada meminta jawaban yang benar, ia kembali bertanya. "Dono siapanya Lingka?"
"Bukan Dono! Tapi Doni!" ralat Thalita. Ia menatap Kit yang menatapnya dengan ekspresi dingin sebelum gelagapan menjawab, "Oh iya! Itu si Dono tetangganya Lingka. Biasanya Lingka titip surat sama si Dono."
"Oh. Yaudah," ujar Kit, lalu beranjak pergi meninggalkan Thalita sendirian.
Thalita langsung menghela nafas lega dan kembali memakan nasi pecelnya dengan tenang.
Tatapan Kit terlalu mengintimidasi.
•••
Kit bergelung-gelung malas di kasurnya. Seragam putih abu-abu masih melekat erat di tubuhnya. Ia mengabaikan Rama dan Farel yang berisik, memainkan PS yang memang berada di dalam kamarnya.
Melihat tong sampah sudah bersih, Kit tersenyum tipis. Salah Kiki jika ia membuang uang seperti itu. Ia tidak mau dan juga tidak suka dipaksa.
Ia mendudukkan diri untuk melihat permainan kedua sahabatnya. Camilan kesukaan Kit, sudah berhamburan di karpet lantai karena ditendang kaki Rama yang terlalu bersemangat mengalahkan Farel dan memenangkan balapan mobil.
Biasanya jika sudah seperti ini, Kit akan marah dan langsung mengusir mereka agar segera pulang ke rumah. Tetapi ajaibnya, kini cowok itu sama sekali tidak memperhatikan kedua sahabatnya.
Pikirannya kemana-mana, tetapi ada satu titik sumber yang selalu sama di setiap pikiran Kit yang berbeda-beda. Lingka.
Ketika ia mendatangi Doni di kelas XI IPS 3 tadi, katanya cowok itu tidak tahu karena asisten rumah tangga Lingka tidak mendatanginya tadi pagi. Bahkan Doni baru mengetahui jika Lingka tidak masuk sekolah.
Tetapi entah kebetulan atau jodoh, Kit bertemu dengan wali kelas Lingka, Bu Muria. Katanya Lingka tidak masuk karena sedang bepergian. Asisten rumah tangganya yang menelepon Bu Muria.
Maka dari itu, kini Kit dapat menarik napas lega. Kekhawatirannya apabila Lingka diculik dan dijadikan sandera ternyata tidak benar.
Pikiran Kit kembali mengingat sosok Cinderella yang ditemuinya di dalam kelas, Cinderella yang ditinggalkannya setelah berfoto dengan anak kecil dan sengaja menyuruhnya membelikan minuman. Alun-alun. Kit ingin mengunjungi alun-alun lagi bersama Lingka, tetapi tidak dengan kostum Disneyland!
Berfoto dengan anak kecil? Mungkin ia belum sempat bercerita karena waktu itu, yang ada dipikirannya hanya kabur saja.
Ketika baru turun dari mobil, di sekitar tempat Kit memarkirkan mobilnya ada anak kecil cewek, yang umurnya kira-kira 8 tahun, duduk di kursi dalam diam dengan mulut yang mengerucut. Di samping kanannya ada ibunya yang terus mengomel, sedangkan di samping kirinya ada ayahnya yang sibuk mengelus puncak kepalanya.
Ketika ia melihat ke arah Kit dan Lingka yang tampak seperti manusia yang ada di dalam buku dongengnya, ia segera memekik girang dan berlari menghampiri. Ayahnya menyuruh anak itu untuk berfoto dengan Kit dan Lingka, dan dengan girangnya anak itu berfoto dengan kedua tokoh yang ada di dalam dongengnya sebanyak mungkin. Bahkan tanpa disadari Kit dan Lingka, anak kecil itu banyak memotret Kit dan Lingka secara candid.
Beruntung anak kecil itu memaksa Kit dan Lingka untuk memiliki fotonya juga, sebagai kenangan agar tak melupakan anak kecil yang namanya adalah Starla.
Begitu pulang dari sana, Kit membuka ponselnya dan melihat banyak foto yang dikirim Starla.
Mulai dari foto bertiga, foto Kit dan Lingka saja, sampai banyak sekali foto candid dirinya dan Lingka yang Starla abadikan. Ia tidak menyangka foto-foto itu menjadi sangat penting sekarang.
Karena selain malu untuk mengajak Lingka berfoto, ia juga akan semakin malu jika Lingka menolaknya.
Kit meraba bawah bantalnya dan mengambil ponsel. Ia melihat-lihat lagi semua foto-foto awal pertemuannya dengan Lingka. Foto-foto yang tampak manis padahal setelah itu Kit meninggalkan Lingka terdampar di alun-alun sendirian dengan pakaian aneh.
Dari sekian banyak foto, yang paling Kit sukai adalah foto dimana ia dan Lingka berada di samping mobil. Lingka berdiri dan menunduk menatap Kit yang berjongkok, dengan satu lutut menyentuh aspal. Kepalanya mendongak menatap Lingka dengan senyum mengembang di pipinya.
Kit tersenyum. Siapapun yang melihat foto ini pasti salah paham. Saat itu ia hanya sedang mengikat tali sepatunya, tetapi Lingka yang salah paham menyuruhnya agar cepat berdiri, karena malu diperhatikan banyak orang.
Cowok itu menggeser foto lagi. Terpampang jelas foto Kit dan Lingka yang sedang tersenyum menatap kamera. Kit memperbesar wajah Lingka, manis. Sampai seperti Diska.
Sadar apa yang ada di pikirannya, Kit segera menggeleng keras. Tidak seharusnya ia kembali memikirkan masa lalunya! Mungkin karena akhir-akhir ini Kit teringat luka lama, ia jadi kaki teringat dengan Diska.
Kit melemparkan ponselnya dan bergulung-gulung kesal di kasur kesayangannya. Ia sudah mengakui jika ia tertarik pada Lingka, bahkan suka. Tetapi rasa itu masih kalah dengan ketakutannya selama ini. Hal inilah yang membuatnya bingung. Ia tidak tahu lagi akan mengambil langkah apa.
Saat memejamkan mata, pikirannya mulai terbang lagi.
Sepatu. Timezone. Gesty dan kantin. Satu lagi, memberi makan ikan sebelum Lingka berkata jujur tentang perasaannya.
Mengingat sepatu couple, Kit terkekeh pelan ketika waktu itu Rama tidak bisa menyembunyikan penasarannya. Waktu itu benar-benar memalukan bagi dirinya dan Lingka yang masih belum bisa jujur pada perasaan sendiri.
Ketika Rama bertanya apa sepatu mereka berdua adalah pasangan, Lingka menjawab tidak. Rama menyuruh agar Lingka tak mengelak, tetapi cewek itu dengan ngotot menjawab ia membeli sendiri semalam.
Jawaban salah, karena Rama tahu Lingka dan Kit saat itu jalan berdua. Kit menyela dan bilang jika ia membelikan itu untuk Lingka sebagai tanda terima kasih, tetapi dengan nada ganas Rama menjawab, "Sejak kapan lo tau cara ngucapin terima kasih? Sejak kapan lo kasih hadiah buat cewek?"
Skakmat! Kit terdiam, bahkan Lingka yang sebelumnya telah membuka mulut, langsung menutup mulutnya lagi. Saat Kit memergoki Lingka sedang memperhatikannya, cewek itu langsung memalingkan pandangan dengan pipi yang merona.
Kit tertawa kecil mengingatnya. Adegan itu sangat lucu!
Kit mengambil ponselnya, Kemudian ia melemparkannya lagi. Nanti jika ia menelepon Lingka, kemudian cewek itu bertanya mengapa ia telepon, ia harus menjawan apa? Rindu? Kit bergidik geli.
Pertanyaan memasuki pikirannya.
Tadi kenapa nggak sekolah? Kamu pergi kemana?
Pertanyaan tepat!
Kit langsung mendial nomor Lingka.
Tut. Tut. Tut.
Nomor yang anda tuju tidak dapat menerima---
Tidak diangkat!
"Woi, Ram! Pinjem hape, dong."
Tanpa basa-basi Rama langsung melemparkan ponselnya sambil berkata, "Ganggu aja lo!"
Kit mengabaikannya. Ia mencari kontak Lingka, tetapi tidak ketemu.
"Lo nggak punya nomer Lingka?"
"Ada, kok."
"Lo namain apa?"
"Garong."
Kit langsung terpingkal mendengarnya.
"Garong? Hahaha. Lingka galak?" tanya Kit di sela tawanya.
"Kenapa lo namain garong?" tanya Kit penasaran. "Dia nggak galak, tuh."
"Bener nggak galak, tapi kalo lagi marah beuh, Thalita aja takut!!" jawab Rama dengan nada horor.
"Masa, sih? Perasaan waktu itu dia marah biasa aja, deh. Nggak ada serem-seremnya," ucap Kit.
"Bacot lo. Jangan banyak tanya. Wah, Rel, parah lo. Rasakan ini!" Fokus Rama teralihkan pada karakter yang dijalankannya hampir kalah.
"Kalo nggak berbakat, nggak berbakat aja, Ram." Farel terbahak.
"Ngeremehin gue lo. Boy, ayo majuh! Seraaang! Rasakan ini!"
Kit mencibir. Ia dikacangi.
Tanpa memandang Rama dan Farel lagi, ia mulai menelepon 'Garong'.
"Halo."
Kit terdiam. Ia menggerutu dalam hati.
Rama diangkat. Gue nggak. Ini namanya kalo bukan pilih kasih, apa?!
"HALO, RAM?"
"WOI. Suara gue kedengeran nggak, sih?"
"Kenapa telepon aku nggak diangkat?" Kit akhirnya mulai bersuara.
Bukannya mendapat jawaban dengan suara keras, Kit hanya mendengar keheningan di seberang sana sebelum Lingka menjawab, "Oh, k---kamu Kit. Aku kira Rama."
"Kenapa telepon aku tadi nggak diangkat?"
"Aku tadi enggak pegang hape, hehe. Enggak kedengeran soalnya cuma getar doang."
"Terus nomer kamu baru, kan? Aku belom simpen jadi enggak mau angkat."
Kit terkekeh mendengar nada suara Lingka yang ragu-ragu. "Kemaren aku udah save nomer aku tuh di hape kamu."
Lingka yang ketahuan berbohong, menggigit guling sambil menatap ponselnya yang menampakkan nomer dan nama "Rama".
Benar, Kit dan Rama sering menghabiskan waktu bersama karena mereka sahabat. Harusnya ia tadi tidak mengangkat telepon Rama juga!
"Oh, he-he. Iya. Tadi aku belajar. Besok ada ulangan."
Besok ada ulangan? Kit hampir menyemburkan tawanya. Besok hari Sabtu. Libur. Ketahuan sekali bohongnya.
"Oh, ulangan apa?" tanya Kit pura-pura bodoh.
"Ulangan biologi. Banyak banget yang harus dihafalin."
"Rel, lo inget, nggak? Tadi Thalita cerita apa ke elo? Besok ulangan biologi?" tanya Kit sengaja menggoda Lingka.
"Gila apa lo. Besok libur. Lagian yang Thalita ceritain tadi itu, kemaren ulangan Biologi dia yakin dapet nilai bobrok."
Lingka jelas mendengar semua itu. Wajahnya memerah dan guling yang tadi ia gigit sudah dilemparkannya ke lantai.
Ternyata ada Farel juga di sana! Yang lebih memalukan lagi, kebetulan sekali Thalita telah menceritakan ulangan Biologinya!
"Halo, Ling?"
"Apa? Halo? Kit? Lo ngomong apa? Nggak jelas. Di sini nggak ada sinyal. Udah dulu, ya."
TIIT.
Kit terdiam sejenak.
"Pffftt--- Hahahaha."
Tawanya menggelegar di kamar, membuat Farel dan Rama langsung mengalihkan pandangan menatap Kit.
"Kenapa lo?" tanya Farel dengan ekspresi aneh.
Kit menjawabnya dengan tawa.
"Kayaknya lo bener-bener jatuh cinta, deh. Siniin hape gue!" pinta Rama sambil menjulurkan tangan, meminta ponsel kesayangannya.
"Nih, gue udah nggak butuh," ujar Kit kurang ajar.
•••
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro