Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16 [AB] - Sepatu Couple

Bulan akhirnya menampakkan sinar terang. Kit dan Lingka telah memasuki toko sepatu di salah satu mall besar di Jakarta. Keduanya terus berdebat sengit di depan pramuniaga toko, membahas model sepatu yang kiranya mengikuti trend saat ini. Ketika perdebatan mulai memanas, pramuniaga lain datang dengan tampang bingung ketika melihat cekcok antara keduanya.

"Yang ini aja. Pas, nggak terlalu norak," ujar Lingka keukeuh dengan pilihan sepatu di tangannya.

Namun, Kit meragukan pilihan cewek itu. Ia merasa bahwa sepatu di tangannya lebih bagus daripada pilihan Lingka. Cowok itu menggeleng tegas sambil menjawab, "Yang ini aja." Ia mengangkat sepatu di tangannya hingga sejajar dengan muka Lingka. Sekarang ia tidak yakin, apakah selera cewek itu bagus, atau malah lebih buruk dari seleranya sendiri.

"Ih!" Dengan kepala Lingka menyingkirkan sepatu di depan wajahnya sambil memelototi Kit tajam. "Yang ini aja, Kit. Masih jarang yang punya sepatu ini. Jadi lo nggak usah takut dikembar-kembarin sama anak lain di sekolah."

Kit melihat sepatu di tangan Lingka, kemudian bergumam pelan, "Yang ini juga jarang."

Mengamati sepatu di tangan Kit dengan teliti, Lingka meringis. "Iya juga sih," ujarnya meragu.

Melihat Lingka ragu, Ia memperhatikan kedua sepatu itu dan menimang dengan bingung. Tak kunjung mendapat pencerahan, dilihatnya pramuniaga di sampingnya yang terlihat kalem walaupun merasa risih dengan keramaian yang dibuat Kit dan Lingka. "Mbak, jadi beli yang mana?"

"Hah?" Pramuniaga itu mengernyitkan alis bingung. "Kan saya nggak pesen," ujarnya sambil menunjuk dirinya sendiri.

Lingka menghembuskan nafas lelah dengan mata bulat penuhnya yang terarah jengkel pada Kit. "Bukan gitu! Pertanyaan lo salah nada!"

"Menurut mbak bagus yang mana?" tanya Lingka yang segera dipahami oleh pramuniaga itu.

Dengan senyum kecil yang tercetak Karen amerasa geli dengan pertanyaan salah Kit, pramuniaga itu menjawab, "Dari segi harga dan bahan keduanya sama. Bahkan warnanya juga sama. Cuma, desainnya yang beda. Menurut saya, masnya lebih cocok pake yang ini," jelasnya sambil menunjuk sepatu di tangan Lingka.

"Tuh!" Lingka langsung heboh, merasa puas dengan pilihannya.

Kit terdiam. Ia menatap Lingka dan menanyakan apa yang di pikirannya. "Ukuran sepatu lo berapa?"

Walaupun heran, Lingka menjawab, "Tiga puluh delapan, tiga puluh sembilan. Lo mau ngelucu? Kan elo yang beli. Ya tanya sendiri ke diri lo ukuran sepatunya berapa."

Kit tersenyum mengejek, "Kecil banget kaki lo."

"Wah, ngajakin berantem lo. Untuk ukuran cewek, kan itu udah termasuk besar ya, mbak?" Pramuniaga itu tersenyum dan mengangguk.

"Kalo buat cewek, ini cocok, nggak?" tanya Kit tiba-tiba.

"Ya cocok mas, kan model dan desainnya yang ini bebas. Cocok buat cowok ataupun cewek."

"Oke. Saya fiks yang ini, tinggal dikerdusin. Sama satu lagi yang kayak gini persis tapi ukuran tiga puluh delapan sama tiga puluh sembilan dikeluarin dulu, ya. Buat cewek ini, nih."

"Oke, tunggu sebentar," ujarnya disertai dengan langkah kaki menjauh. Pramuniaga itu langsung kabur. Entah karena merasa tidak nyaman karena harus berurusan dengan keduanya, atau mungkin karena bersemangat karena Kit hendak membeli dua sepatu mahal.

"Eh, eh, eh, lo apa-apaan, sih. Gue nggak beli. Wah gila lo. MBAK! MBAK! ELAH MBAKNYA TADI KE ARAH MANA SIH!"

"Anggep aja hadiah kali. Ucapan terima kasih karena lo mau nemenin gue."

Lingka mengerucutkan bibirnya. "Ucapan terima kasih tinggal ngomong juga bisa kali. Pokoknya gue nggak mau. Nggak usah."

Kit berdecak. "Nurut aja, sih. Nggak baik nolak rezeki."

•••

"Senyum, dong," ujar Kit menggoda Lingka yang sedari tadi cemberut. Tangannya menenteng paper bag sepatu pemberian Kit dengan terpaksa. Ia terus mengabaikan Kit yang mengomel sampai matanya melihat tulisan besar yang terpampang. TIMEZONE.

Lingka berhenti mendadak sambil menarik baju Kit. "Gue mau terima sepatu ini asalkan dengan satu syarat."

Kit menganga tak percaya. "Lagi?"

Lingka berdecak, "Mau apa enggak?"

"Kalo lo nyuruh gue aneh-aneh kayak joget di dalem lift yang penuh ibu-ibu, atau turun lewat eskalator yang naik, gue nggak bisa penuhin."

"Ih! Gue cuma mau timezone," pinta Lingka jengkel.

Kit terdiam. Cuma mau timezone?

"Maksudnya, lo minta gue beliin timezone gitu?" Mata cowok itu membulat lebar, tidak tahu bahwa Lingka sematre ini.

"Are you fucking kidding me? Gue mau lo temenin gue ke timezone," jawabnya gemas.

Kit tertawa hambar, "Gue tau, kok."

"Lo pikir gue nggak tau kalo lo cuma ngeles. Gitu aja nggak tau. Udah ayo." Kit hanya bisa pasrah saat Lingka menariknya memasuki timezone dengan penuh semangat.

"Lo bawa funcard, fungold, atau funpremium?" tanya Lingka ssmbari menengadahkan tangan, membuat Kit heran.

"Lah, gue kira lo bawa. Gue nggak bawa lah," jawab Kit. Lingka menghembuskan napas.

"Mbak, berhubung saya udah punya fungold dan sekarang enggak bawa, saya mau funcard 200 ribu ya," ujar Lingka pada perempuan yang bertugas melayani pengunjung yang membutuhkan kartu. Mendengar ucapan Lingka, Kit melebarkan matanya.

"Buset, banyak amat! Lo mau abisin itu semua?" tanya Kit dengan mulut menganga.

"Ya enggaklah! Kan lumayan bisa dipake lagi besok-besok," jawab Lingka sambil menjulurkan lidah. "Bayarin."

"Bayar sendiri!" suruh Kit sambil mengalihkan pandangan dengan cuek.

"Pokoknya lo yang bayar!"

"Yang ngajak kesini siapa?" tanya Kit pura-pura bingung.

"Gue," jawab Lingka kalem.

"Berarti lo yang beli kartunya!" seru Kit.

Lingka merengut kesal, "Kalo lo nggak bayarin, gue balikin sepatu ini ke toko tadi. Lumayan, uangnya bisa dibuat beli saldo banyak." Lingka bersiap melangkahkan kaki menjauh dari hadapan Kit.

"WOI! Iya iya iya!"Kit menghembuskan napas panjang, "Untung duit gue cukup," gumamnya membuat Lingka menahan tawa.

Petugas yang ada di sana hanya terdiam menatap perdebatan mereka. Senyum canggung segera terpampang ketika melihat Lingka dan Kit akhirnya berhenti bertengkar.

Kit melirik Lingka yang beranjak mencari permainan yang disukainya, meninggalkan ia berdiri sendiri bermandikan tatapan perempuan-perempuan penjaga kasir.

"Pacarnya lagi PMS kali, dek."

Suara yang terdengar dari belakang membuatnya menoleh. Satpam yang terbilang cukup muda menatapnya menggoda.

Kit mendengus dan menjawab dengan ketus, "Tau apa anda soal PMS? Saya aja tidak tau." Perempuan di hadapannya dibuat menahan tawa oleh kalimat itu.

Merasa tidak nyaman dengan kilat mata satpam yang terus memperhatikan gerak-gerik Lingka, ia segera mengambil kartu yang sudah diisi saldo setelah mengucapkan terima kasih.

"Mas, tasnya sejak tadi kebuka, tolong dicek dulu siapa tau ada barang yang hilang."

Kit menaikkan satu alis, merasa heran dengan tingkah satpam yang sikapnya cenderung menyebalkan. Tidak peduli dikatakan tidak sopan pada yang lebih tua atau tidak tahu unggah-ungguh, Kit menatap satpam itu tajam. Lagipula satpam itu juga terus menatap Lingka dengan tatapan cabul.

"Nggak perlu. Kalo ada kehilangan, saya secara pribadi langsung bicara pada atasan anda, bilang petugasnya kurang kompeten. Oiya. Terima kasih atas peringatannya," ujar Kit sambil tersenyum lebar. Satpam itu masih terdiam, mencerna semua perkataan Kit yang baginya adalah petir penghancur dunia.

"Btw mas, kalo liatin cewek itu biasa aja bisa? Saya suaminya," ujar Kit dengan senyum polos.

"HAH?" Raut wajah satpam itu berubah dalam sekejap. Terpesona, bingung, heran, takut, kaget, bahkan tidak menyangka. Semuanya bercampur menjadi satu. Dua kata yang terlintas di benaknya, nikah muda?

Mengabaikan satpam yang masih tercengang, Kit berbalik dengan ekspresi puas. Detik berikutnya, cowok itu menjadi kaget dan tidak percaya dengan ucapannya sendiri.

Kalo liatin cewek itu biasa aja bisa? Saya suaminya.

Apa-apaan!

Kit dibuat takjub. Maksudnya tadi apa? Mengapa kata seperti itu bisa terlontar dari bibirnya? Masih mending jika ia mengaku sebagai pacar Lingka! Lah ini?

Apa segitu besar rasa tidak sukanya pada seseorang yang terus memperhatikan Lingka? Tapi mengapa? Apa ia cemburu?

Pah! Cowok itu tertawa kencang dalam hati, merasa tidak mungkin dirinya bisa merasakan cemburu apalagi pada Lingka. Ia menggelengkan kepala, meremehkan diri sendiri dengan mulut yang melengkung ke bawah.

"Kenapa lo? Jelek banget. Harga kartu naik?" tanya Lingka tidak enak didengar.

"Nih. Pake aja," ujar Kit sambil menyodorkan funcard.

Detik berikutnya adalah detik-detik dimana Kit merasa bahwa Lingka benar-benar cewek aneh dan berbeda dari yang lain. Sudah beberapa kali, di hari yang sama, ia dibuat takjub dengan sikap cewek itu.

Ini cewek gesit banget kalo udah excited!

Kit dibuat bolak-balik, kesana-kemari untuk mengikuti Lingka. Dari bermain basket, pukul monyet, basket lagi, dan sekarang dance. Tenaganya ekstra sekali, tidak heran ia menjadi bintang lapangan saat bermain basket.

"Kit sini. Ini kan buat dua orang. Lo harus bantuin gue," ajak Lingka.

Kit menengok ke kanan dan kiri untuk melihat situasi. Karena kebanyakan orang sibuk dengan permainannya sendiri, cowok itu langsung terjun ke lapangan. Melihat Kit mau menurutinya, Lingka terlihat senang. "Kita duel, yang paling banyak dapet poin itu yang menang!"

Kit menaikkan satu alisnya menantang. "Yang menang dapet apa? Yang kalah harus apa?"

Lingka berpikir sejenak. "Yang menang bisa pilih hadiah dari semua kupon gabungan. Yang kalah nanti pura-pura jadi petugas dan layanin pengunjung di sini."

"Hoh! Siapa takut!"

Lingka menggesek funcard dan memilih lagu Black pink, Du Du Du. Begitu permainan dimulai, keduanya mulai menginjak warna yang menyala. Merah, merah, Pi, hijau, hijau, biru.

"Aye-ayeeeee." Tak jarang Lingka bernyanyi mengikuti nada.

Saat permainan selesai, cewek itu terengah-engah, lelah. "Lo hebat juga."

"Baru tau lo? Terus tadi waktu gue tanding basket sama si Kerot nggak hebat gitu?"

"Si Kerot siapa? Lo lama-lama kayak Thalita, deh. Nama orang dituker-tuker! Namanya Viko," ujar Lingka dengan tatapan fokus pada layar yang menampakkan poin mereka. "Gue dapet 76 poin!" ujar Lingka gembira.

"Gue yang dapet 81 biasa aja," ujar Kit sambil menyeringai.

"APA?" Mata Lingka mendelik lebar sambil menatap layar. Beruntung matanya tidak jatuh ke lantai.

"Tepatin janji lo," ujar Kit dengan senyum samar.

Pipi Aluna merona merah, "Nggak. Malu! Lo boleh pilih hadiahnya, tapi gue nggak mau bersikap seolah petugas. Ini rame banget," ujar Lingka dengan bulu kuduk meremang.

"Gue nggak mau tau," jawab Kit final membuat Lingka mengerucutkan bibir. Dengan licik cewek itu berkata, "Oke. Gue mau, tapi dengan satu syarat."

Kali ini Kit yang mendelik tak percaya. "LAGI?"

Lingka tertawa, "Gue mau lo main itu," ujarnya sambil menunjuk box kaca berisi boneka dengan tangan pencakar
yang terbuat dari besi. Ada kerumunan anak kecil di sana, kebanyakan cewek.

"Lo mau boneka? Gue beliin di toko boneka yang lebih besar dari itu."

Menatap Kit datar, cewek itu menjawab, "Segala sesuatu nggak cuma bisa dibeli sama uang, Kit. Kalo ada sesuatu yang bisa lobdapetin dengan usaha lo sendiri, kenapa enggak? Hidup bukan cuma tentang membuang uang, tapi juga memeliharanya agar kelak bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Terkadang sesuatu yang didapat dari usaha lebih memuaskan hati."

Kit memejamkan mata saat mendengar itu. Benar, itu sepenuhnya benar. Kit tetap memejamkan matanya menahan tatapannya agar tidak jatuh pada Lingka. Ia tidak tahu lagi akan seperti apa tatapannya jika terlalu lama menatap Lingka.

Memuja? Kagum? Takjub? Atau mungkin... cinta? Kit menggelengkan kepala. Dalam hati ia menegaskan bahwa dirinya tidak akan bisa menjalin hubungan lagi.

Ada apa dengan hatinya? Mengapa ada semacam pedang raksasa yang siap memotong semua rasa yang hendak memasuki titik hatinya?

Mengapa tembok transparan di dalam hatinya bergetar dan runtuh sedikit demi sedikit? Kit menghela napas rendah, kembali memperbaiki dinding transparan dengan mengingat memori kelam di masa lalu. Suasana hatinya berubah, tatapan dinginnya keluar.

Lingka yang menatap Kit, merasa was-was sendiri. Ia bingung ketika melihat kernyitan dalam di dahi cowok itu. Kit sepertinya berperang melawan pikirannya sendiri. Apa yang sedang Kit pikirkan sampai ekspresinya benar-benar tidak dapat dibaca oleh Lingka? Apakah ucapannya tadi ada yang tidak sengaja menyinggung cowok itu?

Kit menatap Lingka rumit. "Ling," panggilnya pelan.

"Ya?" jawab Lingka tidak nyaman.

Cowok itu menghela napas. Ia tidak mungkin menanyakan pertanyaan memalukan, jadi ia hanya ingin menuruti permintaan cewek itu. "Oke, gue mau main itu. Tapi lo harus tepatin janji lo dulu."

Lingka mengangguk. "Satu orang aja, ya." Kit menjawab dengan anggukan pasrah.

Lingka berlari ke dekat pintu masuk. Begitu ada yang hendak memasuki timezone, ia segera berkata dengan menekan rasa malunya, "Selamat malam. Selamat datang di timezone. Ingat, timezone ya bukan friendzone. Karena timezone dengan friendzone itu berbeda. Bedanya terletak dimana? Nah, Jika timezone membawa keceriaan dan kesenangan. Maka friendzone benar-benar menyakitkan dan membawa kesedihan. Jadi jangan sekali-kali kalian bermain-main dengan friendzone, ya?" Lingka berkata dengan nada riang kepada anak kecil berusia empat tahun yang digendong ibunya yang masih muda. Begitu mendengar ucapan Lingka, ibu itu menatapnya aneh.

"Mama, apa itu plenzon? Kenapa cakit cama cedih?"

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan anak kecil itu membuat Lingka langsung meringis dan menepuk bibirnya sendiri. Ia salah bicara!

"Jangan didengerin. Kakak itu mungkin kebanyakan nonton film action. Udah jangan tanya lagi. Kamu nggak akan ngerti. Kita main aja."

"Oke," jawab anak kecil laki-laki itu riang.

Kit yang sedari tadi tergelak melupakan traumanya sejenak, langsung dicubit Lingka yang berlari menghampirinya.

"Kebanyakan nonton film action. Makanya hidup lo kebanyakan atraksi." Kit tertawa lagi. Ketika ia menatap Lingka yang pipinya seperti kepiting rebus, ia menahan tawanya dan berkata, "Don't be sad, girl. Kita main boneka sekarang."

Lingka tersenyum dan mengikuti Kit yang sudah berlari duluan. "AWAS. MINGGIR. AWAS." Tangan Kit terbuka lebar-lebar membiak kerumunan anak kecil yang sedang menonton.

Setelah anak-anak kecil itu minggir, terlihat cowok dan cewek yang sepertinya sedang kencan, hendak menggesek funcard namun ditahan oleh Kit.

"Yah, Kak! Baru mau main," ucap cowok itu sambil menatap Kit kesal.

"Apa lo? Nggak suka? Sini maju. Lo nggak tau gue pentolan sekolah? Berani lo?" tanya Kit sadis.

"Yang, jangan, yang. Udah nggak pa-pa biarin kakak itu duluan," ujar cewek di sebelahnya, berusaha menenangkan si cowok.

Begitu mendengarnya, rasa geli menggelitik seluruh tubuh Lingka. Ini cowok dan cewek yang keliatannya masih kecil sungguh pasangan kekasih? Karena merasa tidak benar, ia membuka suara. "Hayo, berani lo sama dia?" tantangnya sambil meninju lengan kiri Kit. Cowok itu mendengus dan mundur.

"Kelas berapa lo?" tanya Kit.

"Kelas 6."

Kit dan Lingka terperanjat. Kelas 6 tapi sudah sayang-sayangan? Lingka menggeleng tak habis pikir.

"Eh, tong. Lo pulang aja, gih. Udah malem. Lo masih kecil udah berani bawa anak orang pulang malem-malem. Tugas lo di rumah banyak. Belajar, cuci piring, cuci baju. Lo baju yang cuciin masih emak lo tapi udah berani pacaran?" ucap Kit sadis.

"Lo juga. Apa dia udah ijin ke orang tua lo?" tanyaKit datar, membuat cewek itu menggeleng pelan. "Mau-maunya lo diajak pergi malem-malem sama cowok yang nggak berani ijinin lo keluar. Lo nggak mikir orang tua lo di rumah mungkin kebingungan nyariin? Pulang-pulang abis lo gara-gara dia!"

Lingka membuka mulut ingin menghentikan Kit yang terus-menerus mengeluarkan kata pedas, tapi ia menutup mulutnya kembali. Mungkin dua anak ini benar-benar butuh teguran keras supaya sadar.

"Udahlah. Gue udah terlalu ikut campur. Sana, pulang!" suruh Kit pada akhirnya. Ia tidak tega melihat cewek itu ingin menangis. Ia mengalihkan pandangan pada anak-anak kecil di sisinya, "Kalo kalian kesini sama siapa?" Mungkin karena takut pada Kit, dengan sigap mereka menunjuk pada orang yang membawa mereka ke sini. Kit mengangguk puas melihat respon mereka.

"Lo mau yang mana?" tanyanya pada Lingka.

"Mana aja."

"Oke. Lebih gampang buat gue."

"Kalo lo bisa ambil salah satu boneka itu, besok gue sekolah pake sepatu ini," ucap Lingka sambil menaikkan bag paper di tangannya.

Kit menaikkan alis dengan senyum mengejek, "Itu syarat lagi?"

Lingka tertawa. "Itu permintaan."

"Permintaan sama syarat apa bedanya?"

"Ya beda. Susah jelasinnya kalo gue nggak fokus. Udah cepetan pokoknya ambilin bonekanya. Koin gue tinggal satu, nih. Koin lo kan masih utuh."

Menggesek funcard, Kit mulai mengendalikan tangan besi itu. Targetnya teddy bear warna cokelat yang setengah badannya muncul keluar. Begitu Kit menekan tombol merah, tangan itu langsung turun, dan hanya bersentuhan dengan badan teddy bear cokelat tadi. Tangan besi itu tidak mengangkatnya karena setengah badan boneka itu terapi-terapi boneka lain.

"Yah." Helaan kecewa terdengar bersamaan seperti koor paduan suara. Kit mengabaikan mereka dan mulai memasukkan koinnya lagi.

•••

Tbc

Part terrrrpanjang, ya?😄 Tunggu next chapter^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro