Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09 [AB] - Kelas Musuh!

Now Playing : Alessia Cara - Scars To Your Beautiful

•••

"Sering kali waktu mulai membiasakan hati, membuatnya berkembang perlahan pada kata yang dinamai cinta."

•••

"Sumpah, ya. Gue nggak tau lagi bakal dapet nilai berapa! Gue nggak belajar tadi malem, pegang buku aja enggak," keluh Thalita frustasi.

Lingka mengangguk masam. "Gue yakin semua yang ada di sini juga nggak ada yang belajar semalem," ujarnya menghibur Thalita. "Optimis aja sama jawaban lo."

"Optimis gimana?" tanya Thalita horor. "Semua soal tadi, gue nggak ada yang tau!"

Lingka meringis. Niat awalnya hanya untuk menghibur Thalita, kini malah membuat Thalita semakin frustasi. Tak ingin membuat Thalita lebih gundah gulana, ia akhirnya diam. Tersenyum pada Abraham yang menatapnya, bel pergantian mata pelajaran berbunyi.

Mata pelajaran kelas XI IPA-2 saat ini adalah Matematika Wajib. Namun karena Pak Yudono sedang ada di kantor pusat untuk mengurusi beberapa masalah, kelas mereka dibebani setumpuk tugas yang bahkan materinya belum pernah dibahas. Jam kosong yang biasanya sangat dinantikan oleh kebanyakan murid adalah momok mengerikan yang sangat ditakuti di SMA Cakrawala. Karena jam kosong artinya setumpuk tugas yang harus dikerjakan hari itu juga. Jika tidak menyelesaikannya, tamatlah riwayatmu pada esok hari.

Bayangkan, Matematika Wajib jam kosong, gunungan tugas harus selesai hari ini juga. Itu sama seperti lima tahun digantung doi, tidak ada badai, tidak ada hujan, namun tiba-tiba ditolak. Neraka!

"Pak Yudono mendadak banget, sih absennya!" Thalita yang sedari tadi badmood kembali bersungut-sungut. "Udah kayak tahu bulat aja dadakan," gerutunya keras.

"Iya. Lo tahu bulatnya," sahut Jenar sambil terkekeh mengejek. "Mirip banget lo sama tahu bulat. Sebelas dua belas. Bulet." Beberapa penghuni kelas tertawa begitu mendengar kalimat itu meluncur dengan spontan dari mulut Jenar. Berbeda dengan Thalita yang kepalanya mulai mengeluarkan asap hitam yang beraroma khas terbakar.

"IIIIIHHHHHHH LO TUH YA! JA---"

BRAAAKK!!

"Jilla! Lo apaan, sih? Kalo masuk itu yang baik! Jangan main dobrak aja! Lo gak liat gue lagi marahin Jenarto?"

Jilla yang baru memasuki kelas akhirnya menjadi bahan luapan emosi Thalita yang baru. Jilla berkedip bingung sebelum meringis, merasa tatapan Thalita kelewat seram. Ia bahkan tidak mempunyai masalah apapun dengan Thalita, namun karena tidak ingin memperpanjang masalah, ia hanya bisa pasrah sambil mengucapkan, "Sorry, gue lagi buru-buru tadi."

Thalita berdecak kesal, tidak menjawab permintaan maaf Jilla. Ia sibuk menenangkan emosi yang lepas kontrol lagi akibat Jenar.

"Guys, gue ketemu murid baru itu! Gue ketemu Kit!" Wajah Jilla bersinar bahagia. "Ganteng banget," ujarnya melting.

"HAH? YANG BENER LO?"

Seketika bangku Jilla dipenuhi oleh cewek-cewek kepo pecinta cogan. Lingka dan Thalita bahkan dibuat saling pandang, sebelum mengalihkan tatapan mereka pada Jilla yang keberadaannya sudah tertelan.

Thalita bergeser agar lebih dekat dengan Lingka sebelum berbisik, "Kemaren gue juga ketemu sama dia pas lagi barengan sama Rama. Di kelas IPA-3. Ganteng banget emang," ujar Thalita sambil tersenyum menggoda. "Sayang, kelakuannya bikin ilfeel."

Lingka terkejut sejenak. "Dia kelas IPA-3?" tanyanya mendapat anggukan pasti dari Thalita. Lingka mengangguk dengan tekad balas dendam, "Awas aja kalo gue ketemu sama dia, gue injek wajahnya!"

Thalita menatap Lingka mantap. "Gue ikut!" Ia mengalihkan pandangan melihat ke bangku Jilla yang penuh dan berisik. "Tuh. Giliran cowok aja sel sarafnya bereaksi semua. Mereka nggak tau aja kalo cowok itu penjahat," sindir Thalita yang hanya dapat didengarkan Lingka.

"Gue kasih tau mereka aja, ya?" tanya Thalita yang mulai tidak sabar.

Mata Lingka membulat. "Kasih tau apaan?"

"Ya kasih tau kalo Kit itu cowok yang hancurin diesnatalies kemaren. Kit yang dikejar-kejar polisi."

Lingka menggeleng keras. "Jangan dulu, ih!" Ia meragu.

"Lah kenapa?" tanya Thalita bingung.

"Jangan dulu. Gue pengen liat, apa bener yang dibilang Rama. Gue pengen tau, apa yang bakal dia lakuin pas ketemu sama gue." Lingka menjelaskan. Thalita akhirnya mengangguk, tidak berusaha menentang atau pun menghalangi.

"DIEM DULU!" teriak Jilla membuat fokus semuanya teralih. "Mungkin sebagian dari kalian nggak ada yang ketemu sama cowok itu kemaren karena dia cuma masuk kelas dan enggak keluar sama sekali. Kalian udah tau? Kalo dia masuk kelas XI IPA-3?"

Hening sejenak, sebelum helaan napas kecewa terdengar bersamaan. Beberapa kembali ke bangku mereka sendiri dengan muka masam, beberapa lagi masih tak menyerah.

"Terus kenapa kalo dia masuk kelas XI IPA-3? Toh dia juga anak baru, enggak tau apa-apa." Jilla berkata dengan nada suara ragu, seperti menghibur dirinya sendiri.

BRAAAAK!!

Sekali lagi pintu kelas yang didobrak kencang membuat kaget. Tatapan seluruh penghuni kelas jatuh pada sosok cewek yang tampak sangat gelisah, berdiri gemetar di depan pintu. Tatapan cewek itu jatuh pada Lingka dengan horor. "LINGKAAA!"

Semua tatapan balik menatap Lingka dengan keingintahuan tinggi. Jihan, anak kelas XI IPA 2, teman basket Lingka, mengapa mendatangi kelas mereka dengan tatapan ketakutan terarah pada Lingka? Apa yang terjadi pada teman sekelas mereka? Apa Lingka belum bayar SPP dan akan segera dikeluarkan dari sekolah?

"Jihan? Kenapa lo?" tanya Lingka dengan tatapan dalam. Suaranya terdengar dingin. Firasatnya tidak enak. Ditatapnya Jihan yang ngos-ngosan, panik, dengan baju yang sedikit basah karena di luar masih hujan deras.

Jihan menelan ludah. "L--lo, LO HARUS KE MADING SEKARANG!"

Lingka mengernyit dalam-dalam. Karena pertanyaannya belum terjawab, ia berpikir sejenak sampai suatu kemungkinan buruk tampak sangat mungkin terjadi hari ini. Matanya terbelalak. "Jangan bil---"

"YA!" Jihan mengangguk cepat, berharap Lingka tidak membuang waktu lagi.

Lingka berdiri dengan cepat. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas, lalu berkata dengan nada penuh penekanan. "Lo semua jangan ada yang ikuti gue!"

Lingka bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia tidak ingin menyeret teman-temannya dalam permasalahan pribadi yang sedang menimpanya. Ia benci seseorang ikut campur dalam urusannya karena itu menandakan bahwa ia tidak mampu.

Ia berlari keluar kelas dengan kalut. Satu hal buruk yang ada di pikirannya adalah Bianka! Iblis itu tidak main-main dengan ucapannya! Ia benar-benar mencari masalah dengan Lingka!

Lingka tidak mengkhawatirkan Jihan yang mengetahui bahwa Bianka mengancamnya untuk keluar dari ekskul basket. Karena secara tidak sengaja saat pertama kali Bianka mendatangi Lingka di ruang ekskul, Jihan masih ada di dalam, ganti baju. Jadi lah Jihan mendengar semuanya.

•••

"BRENGSEK!!"

Emosi Lingka memuncak sampai ke ubun-ubun. Ia membuka kaca mading di koridor, lalu menyobek fotonya dan kertas yang terpajang eyecatching di sana. Setelah menyobek foto itu, badannya yang masih bergetar bersandar pada dinding. Kepalanya menunduk, benar-benar tidak menyangka Bianka akan selidiki ini.

Sebuah foto berukuran 4R. Foto Lingka dan Geri, kakak kelasnya, di belakang sekolah. Geri bersandar di tembok dengan tangan berada di pinggang Lingka, sedangkan Lingka yang berada di hadapan Geri, kedua tangannya bertengger di pundak kakak kelasnya itu. Jarak wajah mereka berdua hanya satu jengkal. Di sana ada surat yang tertempel sebagai pemanis.

Ini, nih cewek liar di Cakrawala. Lingka Shalsabila. Masih SMA aja udah kayak gitu. Gimana udah besar nanti? Geri, anak tentara, aja udah berani digoda. Apalagi pacar-pacar lo.

Sekedar peringatan aja, sih. Supaya lo pasang tanda bahaya waktu lo lihat cewek ini. Cukup bermanfaat, bukan?

Oiya, gimana kalo sekolah lain tahu? Nggak bisa bayangin Cakrawala yang bersih, jadi tercemar gara-gara satu orang!

"Han, Thal, gue berani sumpah apa yang udah kalian lihat barusan enggak seperti kenyatannya! Ini editan!" jelas Lingka frustasi. Ia menatap Jihan dan Thalita yang baru saja sampai dengan tatapan ingin dipercayai.

Ia menatap Thalita yang mengumpulkan potongan-potongan foto yang telah dirobeknya paksa. Wajah terkejut yang tampak di wajahnya membuat Lingka menggigit bibir bawahnya gelisah.

Foto di tangan Thalita itu memang editan! Lingka mengingat dengan jelas seperti apa kejadian aslinya.

"Jadi lo nolak gue?" tanya Geri kaget. "Seumur-umur gue baru ditolak barusan. Sama lo."

"Kenapa lo nolak gue?" tanyanya lagi sambil melangkah satu langkah mendekati Lingka. Jarak antara mereka sekarang sebesar empat langkah. Masih cukup jauh.

Lingka menetralisir rasa bersalahnya sebelum mendongak, "Gue udah nggak bisa lagi rasain apa itu jatuh cinta. Karena menurut gue nggak ada yang namanya jatuh cinta. Yang ada cuma luka. Hati gue mati rasa. Cuma ada luka di dalamnya."

Geri menatap Lingka rumit sebelum pada akhirnya ia mencoba memahami. "Oke, makasih udah jujur sama gue. Enggak masalah, kok. Gue balik ke kelas dulu, ya."

Hanya itu! Tidak ada kejadian seperti yang ada di dalam foto keparat itu! Badan Lingka bergetar hebat, syok. Thalita yang melihat itu langsung merangkulnya untuk memberikan dukungan yang bisa membuatnya kembali tenang.

Jihan menatap Lingka sambil mengangguk. "Gue tau dan gue percaya. Gue tau kalo Bianka coba cari seribu cara buat jatuhin Lo dan akhirnya dia memilih cara ini, Lun. Tapi---" Jihan ragu-ragu lalu menghembuskan nafas pelan. "Di semua mading, di sini, kantin, koperasi, aula, lapangan indoor, dan mading pusat sekolah yang ada di lapangan ada foto lo."

"APAA?" Thalita terlonjak kaget. "Gila! Enggak bisa dibiarin! Ini namanya pencemaran nama baik!"

Lingka menatap Jihan dan Thalita. "Bisa minta tolong bantuin gue?" pintanya lirih. "Gue nggak maksa, kok. Kal---"

"GUE PASTI BANTUIN LO!!" teriak Thalita kesal. Jihan juga mengangguk.

"Gue bakal ke mading pusat," ujar Lingka dan langsung berlari menuju tempat tujuan.

Jihan dan Thalita saling pandang, kemudian mengangguk. "Gue ke kantin sama koperasi, ya." ucap Thalita.

"Berarti gue ke aula dan lapangan indoor..."

JEDYAAAAR!!!!

Gemuruh guntur memasuki indera pendengaran semua warga SMA Cakrawala, membuat kaget. Banyak siswi ketakutan. Para guru juga sudah berhenti mengajar karena melihat para murid di kelas yang tidak bisa berkonsentrasi.

Jihan dan Thalita saling memandang setelah terlonjak kaget. Mereka teringat Lingka yang tadinya menuju lapangan. Thalita memejamkan mata sejenak. "Tunggu. Kita tetep masuk ke rencana tadi. Gue yakin Lingka tau apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Gue percaya itu," ujar Thalita meyakinkan dirinya sendiri.

Ya, semoga.

•••

Lingka berdiri di pinggir lapangan. Memandangi hujan lebat seakan-akan menunjukkan bahwa langit sedang marah. Kilat petir selalu bermunculan kira-kira sekitar dua puluh detik sekali. Tatapannya terpaku pada mading di seberang sana. Mading pusat, mading yang ukurannya berkali-kali lebih besar daripada yang lain.

Yang diharapkannya, isi mading itu akan terkena guyuran air hujan. Sayangnya itu tidak mungkin terjadi karena mading itu dibuat khusus. Memandangi hujan dan teringat foto yang disebar Bianka, ia berhenti ragu-ragu. Cewek itu harus melakukannya. Harus!

JEDYAAAAR!!!!

Lingka terlonjak kaget. Ia mengepalkan tangannya dan berlari menembus lebatnya hujan. Basah kuyup. Tapi apa peduli Lingka? Ia lebih memilih basah kuyup daripada harus menjalani hari-harinya di sekolah kelak, dengan tatapan benci mengintai dimana pun ia berada.

Kini cewek itu berdiri tepat di depan mading pusat. Melihat isinya, fotonya dan Geri benar-benar ada di sini. Bahkan lebih banyak dengan varian rasa. Sungguh, Pose keduanya tidak hanya seperti di mading koridor! Bahkan ada yang lebih parah.

Ia mencoba membuka kaca sebelah kanan, tapi tidak bisa. Dikunci. Sebelah kiri, tidak bisa juga. Dikunci. Jantungnya berdegup kencang karena panik dan takut.

Bodoh! Cewek itu merutuki dirinya sendiri.
Ia jelas-jelas tahu bahwa mading pusat selalu terkunci, tapi kini ia melupakan fakta itu karena kepanikan menguasai seluruh pikirannya.

Lalu bagaimana? Lingka menunduk dan menangis gelisah tanpa suara di bawah derasnya air hujan.

Sedetik kemudian, Lingka melihat ada sepasang sepatu yang baru datang di sampingnya! Bercelana. Cowok? Siapa? Lingka mendongak sambil mengerjapkan mata yang sedikit buram karena air mata dan air hujan memenuhi bola matanya.

"Dasar ceroboh!" celetuknya sambil menatap Lingka.

Cewek itu membulatkan matanya kaget sekaligus tak percaya. Dengan suara serak ia bertanya, "Ngapain lo ada di sini?"

Itu Kit! Mereka bertemu lagi, dalam waktu dan keadaan yang lagi-lagi tidak tepat. Waktu itu Kit yang terkena masalah. Sekarang dirinya.

"Udah jangan berisik," ujar Kit melirik Lingka dengan ekor matanya.

Cowok itu membuka mading dengan kunci yang dibawanya. Lingka memperhatikan semua pergerakannya dengan hati yang kacau. Ia menatap Kit yang sama-sama terguyur derasnya hujan. Pikiran-pikiran aneh bermunculan di benaknya. Apa Kit mencoba membantunya? Atau malah ingin mengatainya, mengejek, ataupun menuduhnya sebagai cewek yang tidak-tidak?

Cowok itu membuka mading. Mengambil semua foto-foto Lingka dengan kasar. Setelah foto-foto itu mendarat di tangannya, mading ditutup lagi dan dikunci.

Lingka melihat cowok di hadapannya itu sedang mengamati semua fotonya. Bola matanya bergerak resah. Sampai ketika ia melihat Kit menyobek foto-foto itu menjadi beberapa bagian dan membuang di bawah kaki mereka, Lingka dibuat tertegun.
Sudah hancur! Hancur terkena air hujan! Kit hanya mencoba menolongnya!

KIT RAFASSYA BAGASKARA. Begitu yang tertulis di nametag cowok itu. Ia menatap Kit yang juga sedang menatapnya dalam. Saling berpandangan lama, Kit akhirnya bersuara. "Kenapa lo pelototin gue?" Ia tersenyum.

Menggeleng pelan, Lingka menundukkan kepala. Di tengah derasnya hujan, cewek itu menangis. Merasa lega pada bantuan Kit yang memberikan perasaan sentimental padanya. Semua kebencian yang dibangunnya untuk cowok itu seketika lenyap tak berbekas.

Kit mengusap wajahnya yang penuh air hujan sebelum berkata, "Ada banyak hal yang mau gue omongin ke elo, tentu enggak di sini." Kit melepas jaket biru dongker yang dikenakannya dan memberikannya pada Lingka.

"Pake." Lingka hanya terdiam menatap Kit.

Dengan tidak sabar, Kit akhirnya terpaksa berbicara terang-terangan. "Lo nggak mau badan lo diliatin anak-anak, kan?"

Terbelalak sadar, ia mengambil jaket di tangan Kit dan terburu-buru memakainya. Pipi Lingka yang memerah membuat cowok itu terkekeh. Ia menarik tangan Lingka sambil mengucapkan, "Di lantai dua sama tiga, banyak yang liatin kita dari tadi. Jangan dilihat. Lo ikut gue."

Lingka mengangguk pelan. Ia yakin Kit tidak akan aneh-aneh kepadanya walaupun Kit adalah orang aneh.

Ada yang tidak beres dengan pikiran Lingka sekarang. Ia merasa waktu sengaja mempertemukan mereka, dalam setiap waktu dan keadaan yang salah. Ia merasa akan terlibat sesuatu yang tidak biasa dengan Kit. Sesuatu yang begitu rumit.
Entahlah, itu hanya prasangkanya.

•••

A/n : Mau tau kelanjutannya? Tunggu next chapter❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro