Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[1] PERTEMUAN

Arka berjalan cepat mencari ayahnya. Ia benar-benar kesal sekarang. Bisa-bisanya sang ayah menyuruhnya berguru pada Mpu Bayu Aji, orang yang terkenal sangat sakti dan pemilih dalam mencari murid. Ia tak butuh guru, ia sama sekali tak berminat meneruskan tahta Kerajaan Dunia Siluman. Lagi pula para siluman itu diam-diam selalu mengolok-olok dirinya. Lalu, buat apa menjadi pemimpin mereka?

Ia masih ingat betapa menyakitkan perkataan mereka tentang ibunya. Wanita tak tahu diri yang membuat sebagian kekuatan ayahnya dimiliki manusia, katanya.

Huh, yang benar saja! Ternyata mereka sama saja dengan manusia. Tak heran bila Arka selalu ingin menjahili mereka dengan berbagai cara. Entah dengan mengacak-acak dokumen istana, menyembunyikan barang, merecoki latihan para prajurit, hingga mengusili para dayang yang sedang memasak di dapur.

Ah ya, jangan bayangkan dunia siluman tidak butuh makan. Mereka juga butuh makan. Makanannya mirip dengan manusia, tapi terkadang beberapa unsur lain juga menjadi makanan mereka. Hal itu terlalu abstrak bagi pikiran bocah berusia delapan tahun seperti Arka.

Di Istana, ia hanya mempercayai satu orang, Ashka, kakak perempuannya. Teman bermain yang sangat baik menurutnya. Bahkan, Ashka sering mendapat masalah karena dia. Hal itu membuat perasaan Arka semakin hari semakin tidak enak. Ia merasa menyusahkan kakaknya apalagi banyak dari teman-teman Ashka yang menjauhi gadis tembam itu. Ashka menjadi kesepian seperti dirinya.

Arka menemukan ayahnya sedang duduk di pinggir danau bersama gadis kecil yang tidak lain adalah Ashka. Entah kenapa melihat mereka membuat Arka bersembunyi di balik pohon. Ia mengamati keduanya penuh heran karena biasanya sang ayah jarang sekali terlihat di luar istana bersama Ashka.

Ashka sesekali melompat-lompat girang sambil menunjuk ke arah danau sedangkan Banas hanya tertawa melihatnya. Melihat kedekatan sang ayah dan Ashka membuat Arka merasa sesak. Tidak pernah sekalipun sang ayah tertawa atas perbuatannya. Tersenyum saja tidak, teriakan dan makian yang sering terdengar di antara keduanya.

Arka keluar dari persembunyiannya lalu menghampiri Banas. Ashka yang melihat adiknya datang kemudian bersorak dan memeluknya erat. Dengan kasar Arka melepaskan pelukan itu, matanya tak lepas menatap sang ayah penuh amarah.

"Hormat saya Yang Mulia Prabu," kata Arka sambil membungkuk, "terimakasih telah membuat saya masuk ke perguruan karena memang saya ini hanyalah seorang yang dibutuhkan untuk meneruskan tahta Anda," lanjutnya.

Raut wajah Banas mengeras mendengar ucapan Arka. Ia menatap anaknya tajam. "Arka-"

"Dan untuk Yang Mulia Putri Ashka, terima kasih telah bersedia menjadi teman bermain hamba yang hina ini." Arka membungkuk lalu berlari kembali ke dalam hutan.

"Arka kembali! ARKA!"

Tak dihiraukannya panggilan sang Ayah. Arka hanya ingin terus berlari, tapi ia sadar bahwa ia diikuti. Dua prajurit dan Ashka mengejarnya. Ia butuh sendiri, tapi ayahnya malah menyuruh ketiga orang itu untuk mengejarnya.

"Arka tunggu, tolong berhenti! Dengarkan aku dulu!" teriak Ashka.

Arka berdecak, tak menyangka Ashka masih gigih mengejarnya dan mungkin dua prajurit yang ikut dengan Ashka juga sama gigihnya.

Sebuah pondok dengan ukuran sedang mulai terlihat. Di halamannya terlihat beberapa peralatan bela diri seperti pedang dari kayu, tongkat, dan orang-orangan dari jerami.

Arka segera masuk ke pondok berharap ada tempat untuknya bersembunyi. Tapi, harapannya sirna, ruang untuk perjamuan tidak memiliki tempat tertutup untuk bersembunyi. Sedangkan ruang semedi khusus milik Mpu Bayu Aji terkunci rapat. Beberapa kali ia menetuk pintu berukiran sulur tanaman itu, tapi tidak ada jawaban.

Arka mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan barangkali ada barang yang dapat ia gunakan untuk membuka pintu. Sebuah bambu berukuran sedang dia ambil lalu ia bersiap mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu.

"Apa pun yang ada di dalam, mohon maafkan saya, Empu."

Dengan satu dorongan kuat pintu itu terbuka. Mpu Bayu Aji terbangun dari semedinya dengan muka memerah akibat amarah.

"Apa yang kau lakukan, Arka?!" kata Mpu Bayu dengan suara rendah.

"Ma, Maafkan sa-"

"KELUAR! Tidak seharusnya kau di sini. Bahaya untukmu"

"Ta, Tapi-"

"Kelu-"

Dengan cepat sebuah keris menancap di dada kiri Arka. Tepat di jantungnya. Mpu Bayu segera menghampiri Arka yang terduduk di lantai, mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menarik sekaligus menyegel kekuatan keris tersebut. Sayangnya keris tersebut memantulkan kembali kekuatan Mpu Bayu hingga membuat sang Mpu pingsan dan keris itu menghilang bersama dengan tubuh Arka.

***

Beberapa tahun kemudian....

Suara pedang kayu saling bergesekan memenuhi halaman yang kini menjadi sebuah arena tanding bagi dua remaja lelaki. Mata tajam mereka saling bertumbukan, hasrat saling menjatuhkan menguar ke seluruh arena. Sang romo, Patih Matahun, berdiri tenang di pinggir arena mengawasi keduanya.

Tak... tak...

Keduanya mundur, mencoba mengambil ancang-ancang. Lelaki berambut panjang dengan ikat kepala hitam maju lebih dulu, menghunuskan pedang kayunya pada lelaki berambut pendek, tapi ditahan.

"Jangan harap kau bisa menang kali ini, Kakang." Mata Penangsang menatap tajam Buwono.

"Coba saja," ucap lelaki berambut pendek, Ronggo Buwono, dengan seringainya yang khas.

Penangsang mendorong Buwono lebih keras, lalu menghunuskan pedangnya ke bawah, mengarah ke kakinya. Buwono melompat, kemudian menghunuskan pedangnya ke kepala Penangsang. Ditahannya pedang itu, selanjutnya Penangsang menendang kaki Buwono hingga terjatuh. Kesempatan itu tak disia-siakan olehnya, dengan cepat Penangsang mengarahkan pedangnya memukul kepala Buwono. Buwono mengaduh dan terkejut saat pedang Penangsang menghunus ke arah lehernya.

"Cukup." Suara Patih Matahun menghentikan pertandingan mereka. "Latihan kali ini selesai. Kalian boleh beristirahat."

Mereka berdiri berdampingan lalu memberi hormat, "Terimakasih, Romo."

Patih Matahun mengangguk, setelah itu berjalan menuju padepokan. Penangsang dan Buwono mengembalikan pedang kayu ke tempatnya semula, kemudian pergi ke halaman belakang.

"Jadi, yang bertugas memasak hari ini adalah kau ya, Kakang," ujar Penangsang sambil merangkul pundak Buwono dan mengeluarkan cengiran khasnya.

Buwono tersenyum mengiyakan, tapi ia minta dibantu untuk menyiapkan bahan masakan karena belum terampil dalam memasak. "Oh iya, sekalian cari Kakang Maruto. Dia harus dijewer langsung sama Romo biar mau latihan!"

Penangsang hanya mengangguk sambil tertawa lepas. Kedua kangmasnya itu memang sering berkelahi dan kali ini sepertinya Buwono ingin membalas dendam kepada Maruto.

Di kebun samping ketika Penangsang ingin memetik sayuran, dia mendengar suara romonya tengah berbicara dengan seseorang. Suara lawan bicara romonya itu sangat halus sampai membuat Penangsang tersenyum.

Sepertinya Kanjeng Sunan datang berkunjung ya? pikir Penangsang yang kemudian berhenti memetik sayuran.

Saat hendak mendekat dan memberi salam kepada Sunan Kudus, Penangsang menghentikan langkahnya. Ia menajamkan telinga ketika mendengar mereka menyebut kematian ayahnya.

"Saya sudah mencoba mencari bukti mengenai kematian Raden Kikin dan semua bukti itu masih mengarah ke Raden Mukmin. Bagaimana mungkin saya tidak menaruh curiga padanya, Kanjeng Sunan?" ujar Patih Matahun.

Setelah menyeruput teh, Sunan Kudus menaruh kembali gelasnya dan tersenyum ke arah Patih Matahun. "Nakmas, saya tahu Nakmas sangat sayang pada Raden Kikin, tapi sebaiknya ikhlaskan kematian Raden Kikin. Saya hanya takut kalau apa yang Nakmas cari ternyata hanya salah paham saja," ucap sang sunan.

"Apa Kanjeng Sunan membela Raden Mukmin?" Patih Matahun memicingkan matanya kepada Sunan Kudus.

"Saya tidak membela siapapun, Nakmas. Saya hanya tidak ingin Nakmas menyimpan dendam." Lagi, lelaki berserban itu hanya tersenyum memandang sang patih perkasa tersebut.

"Tapi saya tetap tidak rela, Kanjeng! Hanya karena tahta bapaknya, Raden Mukmin sampai mau membunuh pamannya sendiri!" Suara Patih Matahun meninggi, membuat Penangsang yang mendengarnya langsung terduduk di tanah.

Pikiran Penangsang melayang pada masa kecilnya. Ia ingat ketika bertanya tentang sang ayah, ibu kandungnya hanya bisa menangis, sedangkan Patih Matahun hanya bilang kalau beliau sakit. Penangsang merasa dibohongi.

Kemudian Penangsang juga ingat ketika dirinya bertemu Raden Mukmin untuk pertama kalinya, beliau seakan menghindarinya, seakan takut hanya untuk sekadar berbicara sepatah dua patah kata saja. Benarkah beliau yang membunuh ayahnya? Penangsang masih terduduk lemas.

Penangsang tersadar ketika Buwono menepuk pundaknya. Mata bocah itu sudah berkaca-kaca dan langsung berlari meninggalkan Buwono yang berusaha memanggilnya.

Saat berlari Penangsang ingat akan kerisnya, dia menyeka air matanya lalu berlari menuju kamar. Penangsang mengambil sebilah keris dan membawanya memasuki hutan di belakang padepokan.

Kaki Penangsang yang kurus dan panjang dengan lincah melangkah di dalam hutan. Tangannya dengan sigap menyingkirkan penghalang. Sampai di depan air terjun, dia meletakkan keris itu di batu besar, kemudian dia duduk bersila di tanah.

"Wahai Keris Kyai Setan Kober, dengan ini aku menerima tawaranmu untuk menjadi lebih kuat dan berjanji setia menjadi tuanmu!" teriak Penangsang.

Keris itu secara ajaib berdiri dan mengeluarkan diri dari sarungnya, lalu menjelma menjadi seorang pemuda berkulit gelap yang duduk di atas batu dengan satu kaki diangkat. Di balik poninya yang panjang matanya menyorot tajam ke arah Penangsang.

"Aku tahu, pilihanku selalu tepat. Kupegang janjimu bocah," ucap pemuda itu sambil menyeringai. "Namaku Arka. Senang menjadi abdimu."

============================

01072021

Note:

Hai gaes, maaf ya udah nunggu lama untuk karya ini karena jujur aja nggak banyak sumber soal silsilah tokoh utama kita "Arya Penangsang". Ini yang bikin aku kesulitan sampai bosen sendiri nyarinya haha. Jadi, nanti di akhir setiap bab aku bakal sedikit curcol tentang sumber pencarian datanya ya.


=>"Tapi saya tetap tidak rela, Kanjeng! Hanya karena tahta bapaknya, Raden Mukmin sampai mau membunuh pamannya sendiri!" Suara Patih Matahun meninggi, membuat Penangsang yang mendengarnya langsung terduduk di tanah. <=

Di paragraf di atas, dijelaskan kalau Raden Kikin (ayah Arya Penangsang) adalah paman dari Raden Mukmin. Jadi, mereka itu sepupu, tapi jarak umurnya jauh.

Raden Patah punya 3 anak:
a. Pati Unus
b. Raden Kikin aka Pangeran Surowiyoto (Anak: Arya Penangsang, Arya Mataram, dan 2 lainnya yang tidak disebut karena tidak termasuk dalam cerita ini.)
c. Sultan Trenggono (Anak: Sunan Prawoto aka Raden Mukmin, Ratu Kalinyamat, Pangeran Timu, dan Mas Cempaka)

Pati Unus ini meninggal pada tahun 1521 setelah melakukan penyerangan ke Malaka yang saat itu dikuasai Portugis. Jadi, tahta Raden Patah harusnya jatuh ke Raden Kikin, tapi beliau terbunuh di tangan Raden Mukmin (katanya). Tahta Demak akhirnya jatuh ke Sultan Trenggono.

Itulah kenapa Patih Matahun curiga kalau pembunuhan Raden Kikin karena perebutan tahta dengan Sultan Trenggono.

Oke, sekian kisah intrik keluarga kerajaan ini, sampai jumpa di bab selanjutnya (/^3^)/.

Sumber silsilah:
https://id.wikipedia.org/wiki/Trenggana
https://id.wikipedia.org/wiki/Arya_Panangsang

=============

Lupa nambahin. //tepok jidat.

Bagi yang udah baca bab ini sebelumnya, kalian pasti tahu kalau lawan latihan Penangsang di awal itu harusnya Jaka Tingkir, bukan Ronggo Buwono.

Tapi, setelah 5 tahun baca sana sini, ternyata Jaka Tingkir itu umurnya lebih tuaaa dari Penangsang. Jauh malah. Lha wong beda dikit sama umur bapaknya Penangsang.

Jadi, mohon maaf atas kesotoy-an Surya di awal-awal bikin cerita ini ya gaes. Belum ngerti caranya riset dulu tuh aku (T_T). Maafkan aku yang duluuu. //dikeplak

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro