
16
Kinan menoleh dengan cepat. Alisnya tertaut saat melihat pria yang bertampang sinis itu menatap mereka dengan tak bersahabat. "Bukan urusan Anda kami mau pergi ke mana," balas Kinan ketus.
Pemuda itu tak terlihat terganggu sama sekali dengan tingkah Kinan. Ia menatap Daniella lurus ke dalam matanya hingga Daniella merasa seolah pria itu ingin membaca seluruh isi hati dan pikirannya. Gadis itu segera membuang muka dan memutus kontak mata yang membuatnya tak nyaman itu.
"Aku bisa mengantarkan kalian ke sana," ungkap pemuda itu dengan nada yang lebih tenang. Walau tak bersahabat, tetapi tak lagi ada nada permusuhan di sana.
Daniella menatap pemuda itu curiga. Apa maksudnya itu? Padahal tadi ia terlihat tak begitu senang dengan pembicaraan mengenai rumah jagal. Akan tetapi, langsung berubah pikiran tanpa ada alasan apa pun? Sungguh mencurigakan!
"Maaf, tapi kami bisa pergi sendiri. Anda bisa mengurus urusan Anda sendiri saja," tolak Daniella sopan.
Kinan langsung menoleh ke arahnya dan menatapnya tajam. Daniella mengangkat sebelah alisnya tanda tak mengerti. "Kau gimana sih, Dan? Kau mau ke sana, tapi gak tahu tempatnya. Giliran ada yang baik mau nganterin ke sana, kau malah tolak," sungut Kinan sebal.
Namun, saat ini Daniella lebih sebal dengan tingkah Kinan. Kinan selain tak tahu kapan harus berhenti menggunakan mulutnya, pun tak tahu kapan harus memutar otaknya untuk membaca situasi. Benar-benar gadis yang bodoh, omel Daniella dalam hari.
"Mau kami, Bang. Abang tahu tempatnya, 'kan?" ucap Kinan bersemangat sembari menatap pria itu dengan mata berbinar senang.
Daniella menghela napas lelah. Kinan benar-benar tak bisa dihentikan. Sudahlah, percuma saja menghentikan gadis itu. Ia pasti akan melakukan semua hal sesukanya. Sebaiknya, Daniella ikuti saja sembari memantaunya dalam diam.
Pemuda itu tersenyum tipis. Namun, senyum itu terlihat seperti seringaian mengerikan di mata Daniella. Gadis berkulit sawo matang itu sempat bergidik ngeri saat tatapan mereka kembali bertabrakan. Entah mengapa, ia merasakan firasat buruk.
"Kau yakin? Sepertinya teman kau gak senang, tuh." Pemuda itu menunjuk Daniella dengan dagunya.
Kinan mengibaskan tangannya penuh semangat. "Biarin aja dia, Bang. Gak usah abang hiraukan dia. Lagian, dia pasti juga bakal ikut, kok. Dia kan punya kerjaan di sana," jelas Kinan tak acuh.
Daniella mendengkus sebal. Ia tak tahu bagaimana caranya Kinan bisa tiba-tiba akrab dengan pemuda tak dikenal itu. Ia sama sekali tak peduli. Toh, setelah ini, mereka-ia dan pria itu-tak akan pernah bertemu lagi.
"Nama abang siapa?" tanya Kinan dengan nada yang terdengar centil di telinga Daniella.
Daniella mendecih pelan. Namun, sedetik kemudian, tubuhnya terasa kaku akibat tatapan tajam dari pria berwajah tegas itu. Daniella segera membuang muka dan memelankan langkahnya, membuat jarak di antara mereka bertiga semakin jauh.
"Carlo," ujar pria itu pelan. Walau pelan, suaranya terdengar begitu jelas sehingga Daniella pun bisa mendengarnya.
Daniella mencatat nama tersebut dalam hati. Bisa saja ia memerlukannya nanti kalau terjadi apa-apa. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, yang terlihat hanyalah pohon-pohon serta ilalang kering yang sudah tinggi. Tempat ini sangat jauh dari rumah-rumah penduduk lainnya. Seberkas rasa takut mulai menghantui Daniella.
Tanpa bisa dicegah, semua artikel pembunuhan yang sempat ia baca mendadak muncul di otaknya. Selain itu, ada juga artikel-artikel pemerkosaan yang muncul tumpah tindih dengan artikel pembunuhan tersebut. Semua pikiran negatif menyerang otaknya hingga ia merasakan kesulitan untuk menggerakkan kakinya.
"Oi! Dan! Kenapa kau berhenti?" Teriakan Kinan menarik kembali Daniella ke Bumi.
Daniella menggeleng pelan. Ia menatap jarak mereka sudah terpisah cukup jauh, mungkin sekitar 8 meter. Daniella pun tergagap. "Oh? Eh? Itu ...." Mata Daniella menatap ke bawah dan langsung melihat kakinya. "Itu! Sepatu! Iya! Tali sepatuku lepas tadi," seru Daniella gugup.
"Sepatumu tak bertali, tuh," balas Carlo dingin.
Daniella menarik kedua sudut bibirnya canggung. Bodohnya ia mengatakan bahwa sedang mengikat tali sepatu padahal sepatu yang ia kenakan adalah sepatu slip on. Ia merutuki kekonyolannya akibat rasa gugup yang ia rasakan. "Bukan! Jadi tadi itu ...." Sekali lagi, Daniella memutar otaknya sekeras mungkin agar tak terlihat konyol. Walau tentu saja, ia sudah bertingkah konyol.
Akan tetapi, sepertinya ada yang aneh. Ia mengangkat wajahnya dan langsung mendapati wajah Carlo yang ada tepat di depannya. "Kenapa kau ada di sini? Bukannya tadi kau ada di depan sana?" Daniella tanpa sadar menyuarakan keanehan yang ia tangkap.
Carlo memandang Daniella datar. "Aku datang untuk menjemputmu. Akan repot kalau kau tersesat di sini," jelas pemuda berkulit putih dan bermata sipit itu dengan tenang.
Tersesat? Mata Daniella membesar. Yang benar saja! Sedari tadi mereka bahkan hanya berjalan lurus saja, tanpa melewati satu belokan pun. Hanya saja, tempat ini memang sedikit berbeda dari tempat-tempat lainnya. Di sini, tak ada mobil yang lewat. Serta, di kiri dan kanan hanya terlihat pepohonan yang besar dan ilalang-ilalang kering yang tingginya hampir sama dengan tingginya.
"Terima kasih," ucap Daniella tanpa sadar. Beberapa detik berlalu, mata Daniella membulat. Untuk apa ia berterima kasih? Memangnya apa yang sudah dilakukan pemuda itu untuknya? Bisa saja pemuda itu berniat melakukan semua hal buruk padanya. Hal-hal buruk yang tak akan pernah ia bayangkan bisa ia alami selama hidupnya.
"Buang semua pikiran tak bergunamu itu," tergur pemuda itu dengan nada dingin.
Saking dinginnya, Daniella merasakan bahwa ia hampir menggigil karenanya. Ia merasa sedikit ngeri karena pemuda itu seperti bisa membaca pikirannya. Ia pun lantas memilih untuk mengabaikan pemuda itu dan berjalan ke depan, tempat di mana Kinan tengah menunggu mereka berdua.
Di belakangnya, Carlo mengikutinya dengan langkah pelan. "Aku tak membaca pikiranmu. Semua yang kau pikirkan tergambar jelas di wajahmu," bisik Carlo pelan saat pemuda itu melewatinya.
Wajah Daniella memanas. Ia sering mendengar bahwa ia tak bisa menyembunyikan ekspresinya dengan baik. Padahal memang benar seperti itu, tetapi Kinan tak terlihat mengerti dengan ekspresinya. Itu sebabnya ia sempat lupa diri dan mengira ia bisa menutupi ekspresinya dengan baik. Namun, semua hanyalah pemikirannya yang salah.
Setelah hampir dua puluh menit mereka berjalan masuk ke dalam desa yang hampir bisa dibilang seperti hutan ini, mereka menemukan rumah yang sama persis seperti yang dilihat oleh Daniella di dalam kertas koran lama tersebut. Daniella menghela napas lega, akhirnya mereka sampai. Ia menatap Carlo sejenak dan mengucapkan terima kasih.
Daniella mengeluarkan kamera dari dalam ranselnya dan mulai mengambil gambar dari berbagai angle. Ia mengelilingi rumah tersebut dan terus mengambil foto sebanyak mungkin. Foto-foto ini akan ia pajang di dalam artikel blognya nanti. Selain itu, ia juga ingin membuat video promosi dengan foto-foto yang ia dapatkan hari ini.
Daniella duduk di bawah sebuah pohon yang rindang setelah puas mengambil foto. Ia merasa puas dengan perjalanannya hari ini. Ia sudah mendapatkan cukup banyak foto. Mungkin, untuk hari ini sudah cukup. Lagi pula, ia memang harus balik ke sini beberapa kali. Ia harus mendengar cerita-cerita mengenai tempat ini. Ia yakin, pasti ada di antara warga di sini yang dengan senang hati menceritakan hal ini padanya.
"Sudah selesai ambil gambarnya?" tegur suara bariton itu dengan nada dingin.
Daniella terlonjak dari tempatnya. Kamera yang dipegangnya pun hampir jatuh saking kagetnya ia. Beruntung kamera tersebut memiliki tali yang selalu ia gulung di pergelangan tangannya. Ia menatap Carlo dengan sebelah alis terangkat. "Kok masih di sini?" tanyanya tanpa bisa menyembunyikan kecurigaannya.
Carlo terkekeh kecil. Namun, kekehan itu-entah mengapa-terdengar seperti tawa hantu jahat yang biasa Daniella dengar di film horor. Hal itu membuat Daniella lagi-lagi merinding ngeri.
---------------------
1190.28022022
Gimana kabar kalian? Jangan lupa jaga kesehatan, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro