Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XXXV. Pertemuan Tak Disengaja

Krystal benar-benar menonton seorang diri dengan satu kursi kosong di sampingnya—sebab itu milik Giyan. Sepanjang pemutaran film, Krystal sangat menikmati dan terbawa suasana. Ketika adegan menyeramkan muncul, jika yang lain histeris, maka dirinya malah tersenyum kecil. Itu adalah yang ditunggu-tunggunya. Jika histeris dan menutup mata, lantas di mana letak sensasinya?

Rencananya, Krystal akan ke apartemen Berlian setelah ini. Ia telah mengirim pesan pada adiknya tersebut untuk tidak kemana-mana dan menunggunya di sana. Ia akan membawakan roti kesukaan adiknya sebagai cemilan sore mereka.

"Bu Krystal." Terdengar seseorang meneriakkan namanya di antara keramaian.

Suara yang sangat tidak asing. Suara yang biasanya menganggu. Suara milik seseorang yang tadi sempat terlintas di kepalanya. Zay.

Krystal berpura-pura tidak mendengar dan kembali berjalan menuju salah satu toko roti yang masih terletak di lantai yang sama dengan ruang pemutaran film. Kepekaan telinganya menebak bahwa suara tapak sepatu yang mendekat sembari berlari itu adalah milik lelaki yang tadi meneriakkan namanya.

"Sombong banget, Bu, pura-pura nggak dengar," ucap Zay begitu tiba di samping Krystal. Dikarenakan Krystal yang tidak menghentikan langkah, maka mereka terus berjalan.

"Saya buru-buru," cetusnya.

"Bener, dong, tebakan saya kalau Ibu pura-pura nggak dengar. Saya padahal asal ucap aja, lho," timpal Zay yang kagum dengan kehebatan menebaknya tanpa mempermasalahkan Krystal yang mengabaikannya.

Zay pun turut memperhatikan setelan yang digunakan Krystal. Ini pertama kali ia melihat Krystal mengenakan pakaian sesantai ini. Celana kulot putih, kaos putih ngepas di badan yang dibalut kemeja oversize tak berkancing. Rambut yang biasa digerai pun diikat dengan beberapa helai bagian kiri-kanan dibiarkan. Jangan lupakan, sepatu heels yang biasa dikenakan di atas sepuluh senti kini berganti dengan sepatu keds yang terlihat sangat nyaman. Penampilan Krystal hari ini benar-benar santai dan berbanding terbalik dengan kesehariannya di kantor. Ini sisi baru yang dilihat Zay, dan membuatnya semakin kagum.

Walau sudah memperhatikan penampilan Krystal sedetail itu, Zay tidak mengatakan apa pun apalagi memujinya. Krystal tidak akan butuh pujian itu darinya.

"Pak Giyan mana?" Pertanyaan itulah yang dipilihnya sebagai bahan obrolan sembari celingak-celinguk.

"Kenapa kamu nyari dia?" tanya Krystal balik tanpa menoleh. Mereka baru tiba di toko roti dan Krystal akan segera memesan. Namun, sebelum itu ia bertanya lagi pada Zay. "Kamu mau rasa apa?"

Zay yang tidak mengerti rasa yang dimaksud oleh Krystal, menelengkan kepalanya dan Krystal menunjuk ke arah papan menu yang menggantung di atas kepala mereka. Ternyata, Krystal akan membelikan untuknya juga.

"Rasa moka-kacang aja," jawab Zay tanpa menambah omongan apa pun setelahnya.

Krystal menatap Zay sejenak ketika mendengar rasa yang dipilih oleh Zay. Namun, mengabaikan isi pikirannya, ia pun memesan beberapa roti dengan rasa yang berbeda-beda, tentunya sesuai seleranya dan Berlian.

Seakan kejadian lalu terulang kembali, Zay juga kali ini seperti berperan sebagai pengawal Krystal. Ia mengikuti ketika langkah Krystal telah aktif kembali, tanpa bertanya ke mana tujuan mereka.

Tidak keluar dari gedung besar yang menjadi pusat perbelanjaan bagi masyarakat daerah ini, Krystal mendudukkan dirinya di salah satu kursi besi yang tersedia di dekat eskalator.

"Kamu kenapa ada di sini?" tanyanya sembari menyerahkan roti moka-kacang pilihan Zay. Dan untuk dirinya, ia juga mengambil roti dengan rasa yang sama.

"Saya datang ke sini dengan adik saya. Dia lagi pilih baju untuk acara penting. Karena bosan lihat dia pilih baju yang super lama dan nggak jadi-jadi, ya saya pergi keliling-keliling. Malah lihat Ibu, makanya saya sapa."

Krystal tersedak mendengar cerita singkat Zay. "Kamu ninggalin adik kamu gitu aja? Kalau dia nyariin gimana? Nggak khawatir?"

"Saya nggak ninggalin gitu aja, Bu. Saya izin, kok, tadi sama dia. Dia juga bilang akan hubungi saya kalau udah selesai. Aman," jawabnya sangat santai. Bukan karena tidak peduli, tapi Zay memang paling tidak senang diajak temani berbelanja. Terlalu lelah kakinya melangkah sementara yang ditemani tidak membeli apa pun. Ada saja alasannya; tidak cocok, warna kurang pas, lengan kependekan, terlalu sempit, kelonggaran, kepanjangan, dan lain sebagainya. Entah apa yang sebenarnya dicari oleh para perempuan ketika mereka sedang berbelanja.

"Perempuan berbelanja lama bukan karena banyak maunya, tapi mereka memikirkan akan seberguna apa barang itu ketika dibeli. Bisa saja mereka membeli apa yang ada di depan mata, tapi setelah tiba di rumah dan digantung di lemari, terabaikan begitu aja dan nggak terpakai karena ada kekurangannya. Ribet memang seleranya perempuan, tapi lebih baik ribet saat memilih daripada terbuang setelah dibeli," ujar Krystal seolah mengerti alasan Zay yang pergi meninggalkan adiknya memilih pakaian.

Zay hanya mengangguk-angguk saja walau tidak benar-benar mengerti. Mungkin saja yang begitu Krystal, tapi perempuan lainnya tidak demikian. Contoh saja adiknya Krystal sendiri, Berlian, ia membeli banyak baju dan dua hari kemudian mengeluh tidak ada baju. Menyebalkan sekali memang. Dan kelihatannya mereka memiliki kepribadian yang berbeda.

"Oh iya, kamu kenal adik saya ya?"

Baru saja diingat dalam kepala, muncul sudah pertanyaan itu di hadapan Zay.

"Berlian?" tanyanya memastikan dan Krystal mengangguk dengan atensi yang difokuskan ke arah Zay karena ingin mendengar jawaban Zay tentang hubungan mereka.

"Ya, kami saling kenal. Dia—"

"Berarti kamu pasti tahu laki-laki yang sempat jalin hubungan sama dia, kan?" potong Krystal cepat. Tujuan Krystal bertanya memanglah untuk mencari tahu tentang mantan Berlian yang telah menyakiti hati adiknya itu. Walau bagaimana pun, rasanya tidak akan puas jika ia belum melihat secara langsung sosok yang menurutnya jahat itu.

"Pacarnya?" tanya Zay gugup dengan bola mata bergerak resah.

"Mantannya," ralat Krystal. "Orang yang udah mempermainkan perasaan dia sesuka hati. Orang yang nggak punya nyali karena bisanya menyakiti perempuan setulus Berlian," hina Krystal dengan ringan.

Zay menelan ludah. Kini ia tahu apa isi pikiran keluarga Berlian tentangnya. Apa ini alasan Berlian tidak menyebutnya sebagai mantan kala bertemu kemarin? Berlian masih ingin melindunginya? Ia sungguh tidak mengerti jalan pikiran mantannya tersebut. Padahal ia tidak bertindak sejauh itu untuk menyakiti, melainkan Berlian lah yang menyakiti dirinya sendiri dengan terus melebarkan harapan padanya.

Jika sudah begini, tentu Zay lah yang salah di mata orang-orang sekeliling Berlian. Perempuan sering kali mendramatisir keadaan dan laki-laki selalu disalahkan jika terkait perasaan.

Baiklah, Zay akan ikuti alur yang telah ditetapkan oleh Berlian.

"Saya tidak mengenal mantannya. Saya dan Berlian juga tidak seakrab itu untuk mengetahui pribadi masing-masing. Kami hanya bertemu beberapa kali."

Jawaban Zay tersebut membuat Krystal melengos seakan kehilangan harapan.

"Ibu membenci mantannya?" selidik Zay lebih jauh.

Mata Krystal menyala kala pertanyaan tersebut diajukan. "Bayangkan adikmu jatuh cinta pada laki-laki itu dengan serius dan tulus. Mereka menjalin hubungan dengan baik, tanpa pertengkaran, dan tiba-tiba laki-laki itu pergi dengan alasan yang tidak logis. Alasan yang paling tidak masuk akal bagi kaum perempuan. Karena hubungan yang terlalu mulus. Sh*t."

Ini kali pertama Zay melihat emosi Krystal meluap-luap dan itu dilontarkan untuknya. Ia merasa harus meluruskan satu hal di sini. Hal yang sudah berulangkali diluruskan pada Berlian, tapi perempuan itu tidak pernah mau mengerti. Mungkin saja kakaknya yang akan mengerti.

Zay menarik napas terlebih dahulu agar bisa lebih rileks saat menyampaikan pendapatnya. "Saya kembalikan bayangannya pada Ibu. Ibu dan Pak Giyan menjalin hubungan yang sangat mulus. Tanpa pertengkaran. Apa yang Ibu lihat di sana? Mungkinkah sebuah hubungan tidak ada pertengkaran? Sekecil debu pun? Jika tidak ada, bukankah itu masalah? Dalam sebuah hubungan pasti ada kesalahpahaman karena adanya dua kepala yang akan berbeda pendapat. Jika itu tidak ada, bukankah itu maknanya ada yang tersembunyi? Bisa jadi si perempuan yang terlalu mengikuti si laki-laki sampai tidak berani mengemukakan keinginan hati. Atau bisa jadi si laki-laki yang menyembunyikan sesuatu dan berlagak memenuhi segala kebutuhan si perempuan. Apa itu bukan masalah?

"Saya dan Ibu aja yang nggak saling kenal langsung bermasalah di hari pertama bertemu, apalagi mereka yang menjalin hubungan untuk beberapa lama." Zay mengemukakan isi kepalanya dengan rasa lega sebab ia melihat raut wajah Krystal yang setuju dengan pendapatnya.

"Bisa jadi selama ini Ibu hanya mendengar sebelah pihak dari Berlian sehingga Ibu tidak tahu apa yang terjadi dalam hubungan mereka sebenarnya," tambah Zay mencoba membuka pikiran Krystal tentang hubungannya dengan Berlian di masa lalu.

Krystal tidak hanya memikirkan hubungan Berlian yang menyakitkan itu, melainkan juga tentang hubungannya dan Giyan. Tidak ada perdebatan hebat antara mereka selama bertahun menjalin hubungan. Hanya cekcok kecil atau salah paham yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Giyan selalu mengikuti isi pikirannya dan pendapatnya tanpa membantah. Apakah hubungan mereka sebenarnya mulus atau seperti kata Zay, ada masalah di dalamnya? Ia jadi meragukan hubungannya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro