Arsenio #7 - Favorite Florist
Bunga itu indah, tapi hanya sementara. Ada saatnya ia layu. Namun, entah mengapa mencium aromanya saja sudah mampu membuatku tenang, walau hanya sesaat.
Terlepas dari kekesalannya, mata Arsenio terpaku pada sebuah toko bunga yang terletak di sisi kiri jalan. Lovely Florist, nama itu tertera di papan nama yang menempel di toko tersebut. Dari luar, toko bunganya terlihat ramai, padahal di dekatnya juga ada toko yang sama. Namun, entah mengapa banyak orang lebih suka berbelanja di sana.
"Kalau tempatnya ramai, biasanya barangnya bagus. Berlaku juga kali ya buat toko bunga," ucap Arsenio.
Lelaki itu membawa motornya melaju hingga sampai di depan toko bunga. Ninja miliknya diparkirkan di samping motor-motor lain yang juga terparkir dengan rapi. Kakinya melangkah masuk, membuka pintu kaca dengan bagian pinggir berwarna merah muda. Sejak pertama masuk, aroma bunga dapat terhirup olehnya.
"Mbak, bisa bantu saya? Saya mau kasih bunga untuk orang tua karena mereka sedang merayakan ulang tahun pernikahannya. Bunga apa ya yang kira-kira cocok?" tanya pria yang kira-kira berumur 30 tahun pada penjual bunga.
Sambil tersenyum, gadis itu berjalan dan meminta pria tadi untuk mengikutinya dari belakang. Tangannya dengan segera meraih beberapa tangkai bunga berwarna kuning dan putih.
"Bunga matahari dan daisy putih. Keduanya melambangkan kesetiaan dan cinta yang murni."
Pria itu mengangguk kemudian menyetujui pilihan penjual bunga. Karena ia tahu kalau gadis yang ada di hadapannya sudah jelas lebih mengerti tentang bunga daripada dirinya.
Arsenio masih berdiri di dekat pintu. Ia sangat jarang mengunjungi tempat seperti itu kalau tidak terpaksa dan ada momen tertentu seperti saat ini. Merasa kebingungan, ia pun berjalan menghampiri gadis penjual bunga. Selain itu, langsung bertanya pada ahlinya juga dapat mempersingkat waktunya dalam memilih bunga.
Langkah kakinya semakin lama membawa tubuhnya semakin dekat dengan gadis yang tadi dilihatnya dari jauh. Ada senyum yang terlukiskan di wajahnya. Seseorang yang tak kalah cantik dengan bunga-bunga yang ada di sekitarnya. Seseorang yang mampu menarik perhatian dan menghentikan pandangan Arsenio tepat pada dirinya.
"Calysta?" panggil Arsenio dengan nada yang sedikit bertanya-tanya.
Gadis yang sedang sibuk merangkai bunga itu menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Ia nyaris ingin tersenyum pada calon pelanggannya, tapi tergantikan oleh mimik wajah terkejut melihat siapa yang ada di sampingnya.
"Lo ngapain?" tanya Arsenio lagi.
Respon Calysta hanya sebatas gelengan kepala. Fokusnya kembali pada bunga yang terletak di meja depannya. Seorang pelanggan menunggunya menyelesaikan rangkaian bunga. Tentu saja gadis itu tidak mau sampai kehilangan pelanggan hanya karena berbicara dengan Arsenio di saat jam kerja.
"Orang nanya mah dijawab dong, Cal. Lo kerja di sini?"
Calysta hanya berdeham. Baginya, dehaman itu sudah cukup mewakili jawaban yang ingin didengar oleh Arsenio. Tinggal satu ikatan pita terakhir dan buket bunga tersebut bisa dibawa pulang oleh pelanggannya.
Gue dikacangin. Aish! Untung cantik ya lo, Cal. Untung lo jadi incaran gue. Arsenio membatin di dalam hatinya.
"Minggir dong," ujar Calysta sambil berusaha menggeser tubuh Arsenio dengan lengannya. Ia hendak menghampiri pria yang memesan bunga padanya.
"Permisi, Pak. Ini sudah jadi, totalnya 100 ribu." Sebuah buket bunga yang sudah cantik itu disodorkannya.
Pria itu menurunkan ponsel dari telinganya. Wajahnya tampak bingung. Berulang kali bergantian pandang antara benda persegi panjang di tangannya dan bunga yang masih digenggam oleh Calysta.
"Mbak, maaf. Kalau dibatalkan saja, bisa? Ternyata adik saya sudah memesan bunga juga. Kalau saya beli lagi, nanti rumah orang tua saya jadi taman bunga." Pria itu terkekeh untuk menutupi rasa tidak enaknya dengan Calysta.
Kekecewaan jelas terlihat di wajah Calysta. Bunga yang sudah terlanjur dipesan tentu saja tidak dapat dibatalkan. Masih mending kalau ada orang yang mau membeli bunga dengan jenis yang sama, kalau tidak? Bunga itu akan layu karena tidak laku dijual.
Dalam waktu yang cukup lama, Calysta terdiam. Antara kecewa dan berpikir apa yang harus ia lakukan sekarang atau apa yang harus diucapkannya supaya pelanggannya tidak pergi dengan tangan hampa. Sikapnya itu membuat Arsenio berjalan menghampirinya. Ia memperhatikan wajah gadis itu dan kali ini Calysta tidak melarangnya atau merasa terganggu.
"Cal?" Arsenio menjentikkan jarinya di depan wajah Calysta. "Kenapa?"
Calysta menggeleng. "Maaf, Pak. Bunga yang udah dipesan nggak bisa dibatalkan. Bukan hanya Bapak yang rugi jika seperti ini, pihak kami juga."
"Gimana ya, Mbak? Saya juga udah nggak butuh lagi. Tambah percuma kalau saya beli. Bunganya Mbak bawa pulang aja," ujar pria itu.
"Oh, jadi ada yang beli bunga, tapi nggak mau bayar?" Arsenio memajukan tubuhnya, mengangkat kepalanya dan menatap mata pria itu dalam-dalam. Ia meregangkan jemari dan tangannya.
Melihat sikap Arsenio, Calysta melihat ke arahnya dan menggeleng. Tangannya menahan tubuh Arsenio supaya mundur ke tempatnya semula. Gadis itu tak ingin melihat adegan perkelahian yang dilakukan oleh Arsenio. Meskipun ia belum pernah melihat Arsenio berantem, tapi dari penjelasan Jordan yang didengarnya sudah mampu menjelaskan bahwa lelaki yang sedang bersamanya suka berbuat onar dengan sikapnya.
Calysta mengatur napasnya. Helaan napasnya terdengar berat. "Saya di sini hanya bekerja, Pak, bukan sebagai bos. Kalau kerugian ini karena saya, berarti saya yang harus membayarkannya ke atasan. Saya kerja kan untuk dapat uang, bukan mengeluarkan uang." Calysta masih merayu pelanggannya yang sudah nyaris pergi dari hadapannya.
"Duh! Remaja sekarang susah banget kalau dibilangi. Saya bilang tidak, ya tidak. Mbak bisa pikirkan cara lain kalau memang saran saya tidak diterima. Permisi." Tubuh pria itu berbalik.
Sebuah tangan mendarat di pundak pria itu dan memaksa tubuhnya untuk berbalik kembali. Sebuah kepalan tangan bersiap dilayangkannya. Tangannya sudah gatal ingin mendarat di wajah lelaki yang menyebalkan itu. Refleks, Calysta menarik baju Arsenio dari belakang, membuat tubuhnya mundur dengan sendirinya.
"Saya tahu Bapak lebih tua dan harusnya dihormati, tapi coba tunjukkan dulu sikap yang baik supaya orang lain mau menghargai Bapak," keluh Arsenio, "dan satu lagi ... jangan pernah bicara dengan nada yang tinggi sama perempuan. Kalau Bapak berani komplain dan marah-marah, sama saya."
Calysta menyadari bahwa beberapa pelanggan yang juga ada di dalam toko bunga itu sedang memperhatikan dirinya dan Arsenio yang sedang berdebat dengan pria yang sejak tadi ingin pergi dari sana. Pelanggan yang mayoritas didominasi oleh perempuan menatap ketiganya dengan tatapan takut. Seorang pria baru saja memarahi gadis penjual bunga, sedangkan beberapa menit setelahnya ada laki-laki yang nyaris memukulnya. Siapa yang tidak takut jika melihat kejadian seperti itu di tempat yang seharusnya memiliki ketenangan?
Mau tidak mau, dengan sedikit rasa terpaksa meski hatinya masih menolak, Calysta meminta maaf pada pria itu dan mengizinkannya untuk pergi. Arsenio di sampingnya masih saja menahan emosinya yang tertahan di ubun-ubun. Sedikit lagi keluar, tapi gadis yang ada dengannya membuat Arsenio terpaksa menahan kekesalannya.
Tidak hanya pria itu yang pergi, satu per satu pelanggan yang tadi sedang memilih-milih bunga pun ikut pergi meninggalkan toko bunga tempat Calysta bekerja. Efek dari tingkah Arsenio barusan ternyata cukup besar bagi nasib pekerjaan Calysta. Meski berusaha menahan dan menjelaskan kalau Arsenio tidak seseram yang mereka lihat, tetap tak ada satu pun yang mau menetap. Memang, Calysta belum tau apakah Arsenio itu menyeramkan atau tidak. Yang ia ucapkan hanya dilontarkan secara spontan supaya mereka tidak takut. Namun, itu percuma. Kini, toko bunga itu sepi. Meninggalkan Calysta dan Arsenio beserta sekumpulan bunga yang terabaikan.
Calysta menurunkan tubuhnya. Ia terduduk dan melipat kakinya kemudian kepalanya ditenggelamkan di antara kaki tersebut. Gadis itu mengacak-acakkan rambutnya sambil berucap, "Aku harus bilang apa ke Tante nanti? Hari ini aku dikasih kepercayaan sepenuhnya untuk menjaga toko, tapi semuanya kacau."
Tak bisa hanya diam, Arsenio ikut merendahkan tubuhnya. Ia membungkuk supaya tangannya dapat menggapai tubuh Calysta. Dengan perlahan, tangannya mengelus punggung Calysta. Momen langka bagi Arsenio yang terkenal galak untuk bersikap lembut di depan perempuan.
"Nggak usah pura-pura simpati. Semua ini juga karena kamu."
"Ya, lo pikir bakal ada orang yang diam aja kalau lihat ada cewek yang dibentak? Lagi pula gue juga heran sama lo, masih aja bersikap baik sama orang kayak tadi. Coba nggak lo tahan, babak belur dia sama gue. Dia bikin hati lo sakit, gue buat tubuhnya sakit. Sama sama sakit. Impas, 'kan?"
"Masalah itu nggak harus selalu diselesaikan dengan kekerasan. Ada cara lain, bicara baik-baik misalnya."
"Oke, bicara baik-baik. Kalau kayak tadi? Udah diajak bicara, dia yang malah ngotot padahal salah. Lo masih mau diam?"
"Kalau semua orang kayak lo mah, adem ayem dunia ini," timpal Arsenio lagi, "gini deh. Toko ini sepi karena gue. Iya, gue ngaku salah. Gue beli semua sisa bunganya. Kebetulan gue ke sini juga mau cari bunga."
Mendengar perkataan yang keluar dari mulut Arsenio, Calysta mendongakkan kepalanya. Melihat kesungguhan lelaki itu dari matanya. Arsenio hanya mengangguk dan mengulurkan tangannya untuk Calysta supaya mau berdiri.
"Setuju," balas Calysta. Raut wajahnya berubah seketika. Begitu pula dengan Arsenio yang ikut senang melihat gadis itu tersenyum.
Arsenio mengacungkan ibu jarinya. "Bungkus yang rapi. Ini buat nyokap gue. Hadiah spesial. Eh ... tapi ada syaratnya."
"Curang. Tadi kamu nggak bilang apa-apa, sekarang tiba-tiba ada syaratnya. Kamu mau nipu aku?"
Lelaki itu tertawa. "Sengaja, biar lo setuju dulu baru gue kasih tahu. Kalau lo berpikir gue mau nipu karena nggak punya uang, lo salah. Uang gue bisa untuk membeli semua bunga di sini, bahkan untuk kelangsungan hidup lo selama beberapa hari juga nggak habis."
"Sombong banget, ya, kamu. Terus apa syaratnya?"
"Hari ini gue mau ke Jakarta, ke rumah gue. Lo ikut."
Mata Calysta terbelalak. Pikirnya, untuk apa dia harus ikut dengan Arsenio ke Jakarta. Tidak ada siapa pun yang dapat ditemuinya di sana, kecuali keluarga Arsenio. Lagi pula, apa yang akan dikatakannya pada ayah dan bundanya kalau ia tidak pulang ke rumah hari ini atau bahkan beberapa hari ke depan karena hari-harinya terjebak bersama Arsenio.
Ia menggeleng. "Nggak, buat apa aku ikut?"
"Lo pikir siapa yang mau bawa bunga sebanyak ini ke Jakarta sendirian? Lo ikut, pegangi bunga ini semuanya."
Apa yang dikatakan Arsenio ada benarnya juga. Tidak mungkin dirinya membawa banyak bunga sendirian sambil mengendarai sepeda motor. Bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi, kenapa harus Calysta.
"Kenapa kamu nggak ajak temanmu? Atau jangan-jangan kamu nggak punya teman? Ya, aku juga berpikir kira-kira siapa yang mau temenan sama orang kayak kamu," balas Calysta.
Arsenio mendekatkan wajahnya dengan wajah Calysta. "Bukan nggak punya teman, tapi ada teman yang lebih spesial di hadapan gue. Teman hidup."
Calysta memutar bola matanya malas. Rasanya muak mendengar tiap kata manis yang selalu dilontarkan oleh Arsenio yang justru membuatnya risih. Namun, Arsenio segera meralat perkataannya.
"Selain itu, lo kan tau cara yang baik dan benar buat memegang buket bunga supaya nggak hancur waktu sampai di tujuan. Kalau teman gue, yang ada di tengah jalan juga udah rusak, nggak pantas buat dikasih ke orang lain nanti."
"Alasan," ujar Calysta sambil berjalan meninggalkan Arsenio.
Seperti yang diucapkan Arsenio tadi bahwa ia akan membeli semua bunga yang tersisa, Calysta mulai merangkai bunga-bunga itu menjadi beberapa buket bunga yang indah. Keterampilannya membungkus dan memadukan warna bunga yang menarik memang tidak perlu diragukan. Kini, Arsenio juga jadi tau mengapa toko bunga itu begitu ramai. Keindahan bunga dan orang yang merangkainya tidak dapat dipungkiri.
Sementara Calysta menggerakan tangannya di antara bunga-bunga, Arsenio berjalan mengelilingi toko bunga untuk sekadar mengisi waktu luangnya. Ia bukanlah tipe orang yang hanya bisa berdiam diri di waktu yang begitu lama, bisa bosan.
"Ini baru tahap awal, Cal. Lo nggak tahu rencana apa yang baru terbesit di otak gue, 'kan? Seru. Pasti bakal seru." Arsenio melirik ke arah gadis yang sudah memacu adrenalinnya untuk segera mendapatkan hatinya.
Mungkin mulai sekarang gue akan suka berada di toko bunga kalau bisa menghabiskan waktu berdua sama lo dan cuma lo yang jadi florist favorit gue.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro