Ending
Tendangan kecil diperut, membuat ia sadar dari lamunan panjangnya. Ia mengusap lembut perut yang sudah membuncit besar itu.
"Jadilah anak baik ..." bisiknya.
Cahaya matahari sore menyorot pada sosoknya yang tengah duduk di atas kursi di depan meja bulat, tepat di atas rerumputan. Menciptakan bayangan dirinya di atas rumput hijau itu. Namun bayangannya hilang, saat seorang pemuda menghampiri dan menutupinya dari cahaya matahari. Pemuda itu datang dengan banyak ocehan.
"Lo harusnya jangan keluar rumah sendirian, gimana kalau lo ada apa-apa? Lo itu kalau mau keluar, panggil aja nama gue yang kenceng. Gue bakal tiba-tiba ada disamping lo. Hahhh udah berapa kalo gue bilang ini sama lo?"
"Gue cuma mau sendiri Fer, lagian ini cuma dihalaman belakang."
"Cuma, lo bilang? Tetep aja bahaya Larissa yang cantik. Gimana kalau lo digigit semut? Gimana kalau nyamuk pada nyium lo?"
"Berlebihan!" dengus Larissa.
Ferry menghela napas lelah. sudah tiga bulan setelah kematian Samuel, Larissa tetap saja mengurung dirinya sendiri dalam luka tanpa mau orang lain merasakan lukanya.
Larissa memutuskan untuk tinggal dirumah sederhana bergaya modern bersamanya. Dan sesekali Dira ikut menginap bersama mereka.
Mansion megah Lea, Larissa enggan kesana lagi, Larissa enggan mendiaminya. Mansion itu dipenuhi luka, hingga ia takut jika kesana hanya akan membuat lukanya semakin terbuka.
Usia kandungan yang memasuki delapan bulan itu, membuat Larissa sulit beraktivitas. Sering kali ia hanya berdiam duduk atau tiduran, karena kakinya yang sering keram tak mampu untuk diajak berdiri.
Sekarang adalah kesempatannya menikmati sore dan berjalan-jalan dengan kakinya yang tak kambuh.
Dirumah itu, Larissa menutup dirinya dari hingar bingar dunia luar. Bahkan, karena terlalu larut bersama duka, ia tak lagi mengunjungi Levin yang ia tau bahwa Levin masih koma.
Bagaimana keadaan lelaki cerewet itu sekarang? Entahlah, Larissa tak mengetahuinya dan tak ingin mengetahuinya. Ia takut jika kabar duka kembali ia terima.
Ia hanya ingin terus seperti ini, hidup yang datar dan hambar.
"Ca, jangan ngelamun terus! Ayo masuk ke dalem, ibu hamil gak boleh diluar terlalu lama, apalagi ini mau senja!"
Larissa mengikuti langkah Ferry yang menuntunnya kembali ke dalam rumah.
Sahabatnya ini, ia selalu protektif terhadap dirinya. Larissa cukup terhibur dan tak terlalu kesepian berkat adanya Ferry.
*****
Didepan jendela besar yang terbuka, cahaya jingga menyorot bebas pada seorang pemuda yang hanya terdiam menikmati kehangatannya.
Tatapannya kosong, entah apa yang ada dipikirkan. Namun hal ini sering terjadi, semenjak ia sadar dari tidur panjangnya.
Sebungkus snack kentang yang melayang ke kepalanya, membuat ia tersadar dan menatap tajam orang yang melemparnya.
"Aelah Vin, bengong mulu lo. Heran gue. Sini deh main ps sama kita-kita. Lo gak bosen apa, terus bengong kayak gitu? Lo mikirin apa sih?"
"Bener kata Jordi, daripada lo bengong, mending main ps sama kita," timpal Jordan.
"Gak ada mood," balas Levin malas, kembali menatap cahaya jingga diluar jendela.
"Biarin aja sih bro, kayak kalian gak pernah galau aja," timpal Erik yang hanya bermain hp sambil tiduran di atas kasur milik Levin.
Jordi melemparkan stik gamenya. Ia menatap pada Levin. "Lo gak mau ketemu sama Larissa? Kita tau loh, dia ada dimana."
Larissa. Benar. Gadis itu adalah orang yang selalu ada dipikirannya, bahkan sekarang pun ia memikirkan gadis dinginnya itu.
Sudah lima minggu Levin sadar dari koma, dan ia selalu merasa kosong saat Larissa sama sekali tak ada menjenguknya, bahkan tak ada saat ia pertama kali membuka mata.
"Gimana ... Gimana keadaannya?" gagap Levin menatap Jordi yang tersenyum tipis.
*****
Pagi ini, Levin berdiri didepan gerbang hitam depan rumah sederhana.
"Bener ini rumahnya?"
"Iya Levin, nanya mulu!"
Erik memencet bel disisi kanan gerbang.
Jantung Levin berdegup kencang disaat menunggu terbukanya gerbang. Gugup. Sangat gugup karena setelah sekian lama akhirnya ia dapat bertemu kekasihnya. Semoga.
Suara deret gerbang terbuka, lelaki berpakaian baju tidur mengernyit melihat banyak tamu mengunjunginya dipagi sekali.
"Loh bang Abang?"
Semua atensi menatap Ferry kaget. "Lo ngapain disini Fer? Ini bener kan rumahnya Larissa?" tanya Jordan.
Ferry menggaruk tengkuknya, "Iya sih, terus ngapain kalian kesini?"
"Ketemu Ica." Levin menerobos masuk gerbang, diikuti yang lain.
Dengan wajah cengo, Ferry menatap ke empat lelaki itu bingung. "Lah anjing gue tuan rumahnya!" gerutunya, kembali menutup gerbang.
"Kok rumahnya kecil, beneran Larissa disini Fer?" tanya Jordi, saat sampai diruang tamu.
Ferry mengangguk. "Disini nyaman, kalian duduk dulu disini, gue manggil dulu Larissa."
"Emang Larissa dimana?"
Ferry berbalik menatap Levin. "Taman belakang."
"Biar gue kesana." Putus Levin, meninggalkan Ferry yang terbengong.
"Udah Fer, biarin aja. Kasih mereka berdua privasi, mending lo duduk sama kita-kita."
Ferry menghela nafas kasar, sebelum akhirnya menyetujui ucapan Erik.
"Tenang aja, Levin gak bakal macem macem kok sama Larissa," ucap Jordi melihat kegusaran Ferry.
"Bukan gitu bang, Larissa itu udah cukup lama gak interasi sama siapapun selain gue sama Dira," balas Ferry.
Erik menepuk pundak Ferry, "Percaya sama Levin."
Sementara itu, lima langkah dibelakang Larissa, Levin terpaku dengan debaran jantung yang menggila. Larissa Ya, wanita yang ia cintai sungguh tampak cantik, dibawah matahari pagi yang masih berwarna oren. Setelah sekian lama, sosok yang amat ia rindukan ada didepan matanya.
Levin membuka mulut, namun tak sedikitpun suara yang keluar. Hanya air mata yang mewakili perasaannya.
"Hahh," hembus Levin, menyembunyikan keantuasiasan dan bahagia yang membuncah.
"Ha-hai."
Larissa tampak tak bergeming, apa suaranya kurang kencang?
"Haii." Levin menaikkan sedikit suaranya, tapi hanya ia yang mendengar. Gugup banget, astaga.
Bersama keberanian yang terkumpul sedikit, Levin mendekati Larissa. Dengan gerakan kaku, Levin mendekap Larissa dari belakang.
"Eh!" pekik Larissa meronta dari pelukan Levin.
"Shh ... Ini aku sayang," lirihnya.
Larissa membeku sesaat, sebelum berdiri dan menatap Levin dengan mata yang tergenang.
"Vin...?"
Levin tersenyum teduh, "Yes, I'm."
Isak lirih keluar dari bibir kecil Larissa sebelum ia menubrukkan tubuhnya dalam pelukan Levin.
"Shh, jangan terlalu erat, nanti dedeknya kegencet," ucap Levin terkekeh, mendekap Larissa tanpa ingin menyakiti bayi dalam kandungan wanita itu.
Larissa ikut terkekeh dalam tangisnya. Levin, lelaki paling sabar menurutnya. Tak pernah berubah, receh dalam keadaan apapun.
Selalu seperti ini dari dulu, ketika ia terpuruk, Levin yang membuatnya tertawa. Tapi bodohnya, ia mengabaikan Levin.
"I miss you."
Gumaman Levin diceruk leher Larissa.
"Gue pikir, lo ikut pergi kayak Arga sama Samuel. Gue pikir lo ikut ninggalin gue," lirih Larissa.
Levin menggeleng, "Nope! Aku gak akan pernah ninggalin kamu."
Perih mendengar kalimat itu dari orang yang selalu ia kecewakan. Larissa memejam mata menunpahkan airnya, ia semakin mengeratkan pelukannya.
"Maaf, Levin," bisiknya.
Levin mencium pucuk kepala Verra-nya. "Aku yang harusnya minta maaf. Maaf, karena aku gak ada di samping kamu, disaat kamu lagi terpuruk karena Arga dan Samuel..." ucapnya mendekap erat bahu Larissa yang bergetar.
"Jangan nangis, Ver ..."
"... Jangan nangis," bisiknya.
"Maaf, karena gue ... Lo sampai ngalamin banyak hal buruk. Maafin gue, Vin."
"Hei, lihat." Levin mensejajarjan wajahnya, menatap mata Larissa yang memerah karena tangis.
"Bukan salah kamu, emang harusnya kayak gini. Mungkin takdir ku harus seperti ini, bukan salahmu, sayang."
Larissa malah semakin terisak, sembari menggigit bibirnya menahan tangisan. Hanya air mata yang mengalir, langsung dihapus oleh ibu jari Levin. Lelaki itu tersenyum lembut menatap Verra-nya.
"Bibirnya jangan digigit gitu, nanti dedek bayi nya kesakitan. Kata orang, ikatan batin dan fisik antara ibu dan anak itu kuat loh," ucapnya, mengelus bibir Larissa.
Larissa mengecup tangan kanan Levin dipipinya. "Jangan tinggalin gue," ucapnya menatap penuh harap pada Levin, yang dibalas dengan senyuman.
"Iyaa, sayang," balasnya, kembali membawa Larissa kedalam pelukannya.
"Rindu banget." Levin semakin mengeratkan pelukannya. Hingga suara ringisan membuat ia tersadar dan menatap khawatir Larissa.
"Sakit? Maaf ya, aku gak sengaja, beneran! Dedek bayinya kegencet, maafin aku..." Levin menatap lirih pada kandungan Larissa.
"Gak apa-apa, kok. Tadi ngerasa ngilu karena baby nya nendang," ucapnya diiringi tawa kecil.
Mata Levin melotot kaget, menatap Larissa dan kandungan wanita itu bergantian. "Beneran?"
Larissa tersenyum lembut, sambil mengangguk.
"Aku, aku... Mmm..."
"Apa?" tanya Larissa menatap geli Levin.
Levin mengalihkan wajahnya menatap tak tentu arah, lalu melirik Larissa. "Aku, itu boleh?" Dagunya bergerak mengarah ke kandungan.
Larissa terkekeh melihat Levin yang masih sama seperti dulu, malu-malu dan terkadang tak punya malu. "Boleh apa?"
Levin menghela nafas, membuang rasa gugup. "Elus," ucapnya pelan.
"Hah? Apa, Levin?"
Levin berdecak kesal, juga merasa malu. "Elus perut kamu ih! Gak paham-paham sih dari tadi juga," gerutunya, berharap-harap cemas suara detak jantungnya yang kencang tak sampai ke pendengaran Larissa.
Larissa terkekeh. "Lihat sini dong, baru gue bolehin kamu elus."
Sontak Levin menatap Larissa antusias. "Boleh?"
Larissa mengangguk pelan. "Tentu."
Levin menggigit bibir bawahnya, sebelum berlutut kaku didepan perut Larissa. Ia mendongak, menatap Larissa, yang juga menatapnya.
"Apa?" Larissa menaikkan sebelah alisnya.
"Ini ..." Tangan Levin bergetar didepan perut Larissa, tanpa menyentuhnya.
"Iyaa?"
Levin menempelkan jari telunjuk kanannya ditengah perut buncit Larissa. "Perut kamu, gak akan meletus?"
Dahi Larissa tampak mengernyit, sebelum menempelkan telapak tangan kanan Levin seluruhnya di atas kandungannya. Membuat lelaki itu mematung, pertama kalinya merasakan gerakan halus dari bayi yang masih didalam kandungan.
"Baby nya gerak," lirih Levin masih shock.
"Iyaa, gimana?"
Levin berdiri, menatap Larissa dengan air mata yang mengenang. "Verra, kamu mau punya dedek bayi."
Larissa mengangguk pelan, sebelum menunduk dalam. Ia tak paham kenapa Levin bilang seperti itu disaat semua orang juga tau jika ia memang akan mempunyai bayi. Ia merasa jika bayi nya ini buah dari penghianatan ia kepada Levin, meski waktu itu ia tak memiliki niat sejahat itu kepada Levin. Mungkin ini alasan Levin berbicara seperti itu?
"Lo, sangat kecewa sama perbuatan gue dulu? Maafin gue, Vin."
"Kamu ngomong apa sih, hm?" Levin mengampit dagu Larissa dengan telunjuknya, tetapi gadis itu masih saja menghindar untuk menatapnya.
"Gak ada yang kayak gitu, yang udah terjadi biarin aja, udh masalalu. Kita lupain, ya?" ucapnya pengertian.
Larissa menatap Levin sendu. "Terus maksud lo ngomong kayak tadi, apa?"
"Hanya gak nyangka, kamu udah mau jadi seorang ibu." Levin tersenyum tulus.
"Kamu begitu banyak berubah," bisik Levin, yang tak terdengar Larissa.
"Ha?"
Levin menggeleng pelan. "Aku kangen banget, boleh peluk lagi, Ca?"
Larissa mendengus geli sambil membuka kedua tangannya. "Peluk," balasnya.
"Gemes banget," bisik Levin menenggelamkan Larissa dalam pelukannya yang hangat.
"Ca."
"Hem." Larissa menggumam di dada Levin
"Mungkin ini terlalu cepat, atau terkesan buru-buru. Tapi aku sudah memikirkan ini dengan matang semalaman." Levin menjeda ucapannya, jantungnya bertalu sangat cepat membuatnya sesak nafas.
"Kenapa?" gumam Larissa mengelus dada Levin yang terdengar bertalu ditelinganya.
Levin mengurai pelukannya dengan Larissa, menatap dalam di netra cantik Larissa. Ia menghela nafas sesaat, dan berkata dengan serius, "Vera, sayang, Larissa Leavera. Apa aku boleh jadi sosok ayah buat baby dikandungan kamu?"
Larissa tertegun, rasa sakit hati kembali merajamnya. Ia menghianati Levin, pantas kah ia mendapat keistimewaan ini? "Apa aku pantas?" lirihnya sembari memalingkan wajah.
Levin menangkup kedua pipi Larissa, menatapnya lekat. "Aku mencintaimu. Aku mencintaimu dengan semua kelebihan dan kekurangan yang kamu punya, karena itu kamu. Kamu sangat pantas, jangan berpikir yang bisa menyakiti dirimu sendiri. Kamu sangat pantas, sayang. Izinkan aku jadi ayah dari bayi itu, ya? Kita nikah, mau?"
Air mata Larissa mengenang. Ini kah lelaki yang berkali-kali ia sakiti itu? Ini kah lelaki yang ia abaikan? Ini kah lelaki yang ia jahati? Betapa tulusnya Levin padanya yang hanya bisa memberi luka untuk lelaki itu. "Aku mau. Tapi, Vin. Gimana sama orang tua kamu? Kamu tau, aku kotor-"
"Kami merestuinya, sayang."
Levin dan Larissa menoleh ke pintu belakang yang terbuka lebar, dimana orang tua levin dan sahabat mereka ada disana, entah sejak kapan.
Ny.Lysia menghampiri keduanya, diikuti sang suami. "Kami merestuinya, hiduplah sebagai putri kami, dan istri dari putra kami," ucapnya seraya mengelus lembut rambut Larissa.
Mata Larissa bergetar. "Tapi Tante aku-"
"Masalalu kamu adalah bagian dari kamu, dan kami menerimamu. Artinya kami menerima segala hal yang berhubungan denganmu, nak," sela Ayah Levin memamerkan senyum teduhnya.
"Terimakasih," lirihnya tersenyum haru.
Setelah segala kepahitan yang telah ia lalui, Larissa harap ini akan menjadi lembaran baru dalam hidupnya.
****
END-
Aku menyesal untuk luka yang aku berikan pada dua lelaki hebat dimasalalu. Hingga aku kehilangan salah satunya, menjadi penyesalan terbesarku.
Dan untuk lelaki hebat didepanku, aku akan menjadi apapun untuk kebahagiaanmu. Sebagai penebusan dosaku untukmu, juga sebagai wanita yang akan sangat mencintaimu.
-Larissa Leavera-
****
Jika kehidupan kedua, ketiga atau kehidupan yang lain itu ada, aku bersumpah.
Aku bersumpah hanya akan mencintaimu
Meski rasa sakit yang sama atau lebih kembali menjadi ujianku.
Aku memilih mati jika cintaku ternyata bukan kamu.
-Levin Dinan Mahendra-
****
Jika boleh, izinkan aku untuk terus mencintaimu.
Tak apa-apa jika aku saja yang mencintai tanpa balas dicintai olehmu.
Aku akan baik-baik saja, selama gadis itu kamu.
-Samuel Emilio-
****
Aku mencintaimu dengan bodoh
Aku sangat pengecut bahkan ketika aku tau bahwa aku tak bisa jauh darimu, tapi aku tetap menjauh darimu.
Harusnya aku tak melakukan itu, kan?
Waktu kita jadi sangat singkat, dimana ketika aku datang, aku hanya akan meninggalkanmu. Lagi.
Maafkan aku, aku meninggalkanmu, dengan 'luka nyata' yang aku tinggalkan diperutmu.
Jika kesempatan kedua itu ada, aku hanya ingin mencintaimu dengan cara yang benar.
-Arga Arkanda-
*****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro