Chapter 57
Takdir ini tak adil, dimana semua orang berbahagia dengan kehidupan mereka, sedang duka kembali aku rasa. Padahal, luka yang lalu saja belum pulih sepenuhnya. Bolehkah aku mencari keadilan untukku sendiri saat takdir tak memberikan sedikitpun keadilan untuk diriku?
-Aldo-
*'*'*'*'*'
Sungguh ini part yang penuh pertimbangan, makannya males terus bawaannya badmood klo mikirin adegan apa aja yang bakal kutulis di part ini.
Happy reading!
*"*"*"
Raut wajah Aldo bersemu merah, ia merasa dipermainkan oleh teman satu sekolahnya itu. "Lo yang bodoh karena gak bisa ngerangkai semua untaian kejadian. Padahal gue yakin kalau lo udah tau semua akar masalah yang menimpa Rissa lo itu!"
Samuel terkekeh, "Ya, dan akar masalah dia itu lo!"
"APA MAKSUD LO HA?!" bentak Aldo marah.
"Gak ada, gue cuma basa-basi." Samuel tersenyum tipis. Ah, sudah berapa kali ia tersenyum dan terkekeh hari ini.
Aldo mengeraskan rahangnya marah. Hei, ia merasa dipermainkan lagi oleh tindak dan laku Samuel. 'Mati!' batinnya.
"Lo tersinggung heh? Ucapan gue gak salah kok, emang lo yang jadi akar masalah buat Larissa ... juga buat hidup lo sendiri."
"Gue gak terima penghakiman dari lo," desis Aldo.
Samuel tak menggubrisnya. "Kematian Tiara, Kematian Rio, luka Larissa, kebencian ayahnya Larissa sama Larissa, kecelakaan Levin, itu semua--"
"IYA! GUE! ITU SEMUA GUE YANG PERBUAT PUAS LO HA?!" bentak Aldo.
"....LO ENGGAK TAU SEMUA MASA LALU GUE SAMA LARISSA, JADI BERHENTI BICARA SEOLAH LO TAU SEGALANYA!"
Napas Aldo memburu. "Lo cuma tau segitu tentang masa lalu Larissa. Lo cuma tau kalau dia anak dari korban kecelakaan dan penyiksaan ayahnya. Tapi lo enggak tau semua hal yang terjadi sama dia, bersama gue."
"....Apa lo tau penyebab gue dendam sama keluarga si tua bangka Lea? Itu karena dia, penyebab dari kebangkrutan keluarga gue, si tua bangka itu juga jadi penyebab kematian orang tua gue."
Samuel menatap datar Aldo yang serius berbicara dan terlihat geram diraut wajahnya. Perkataan Aldo memang benar, ia tak tau semua masa lalu tentang Larissa dan Aldo ... lebih tepatnya, ia tak pernah mengetahui akan fakta tersebut.
"Gak lama dari waktu gue bunuh Tiara, bokap gue minta bantuan dana sama perusahaan si tua bangka Lea, buat perusahaannya yang waktu itu mengalami kerugian besar gara-gara tertipu sama rekan bisnisnya."
"....Hingga, si tua bangka Lea menyetujui permintaan bokap gue. Tapi siapa sangka?" Aldo tertawa hambar.
"Setelah perusahaan bokap gue stabil berkat suntikan dana itu, si tua bangka Lea malah mengambil alih kepemilikan perusahaan bokap gue secara paksa. Lalu, dia membuat konspirasi seolah kecelakaan mobil yang orang tua gue kendarai itu kecelakaan lalu lintas biasa padahal itu semua udah terencana. Disitulah, dendam gue mulai tumbuh buat keluarga Lea."
Ingatan Aldo kembali kemasa itu. Dimana, dia melihat darah yang melumuri tubuh dan kepala kedua orang tuanya didepan matanya sendiri. Kecelakaan beruntun yang menewaskan pengendara yang lain. Dengan tubuh kecilnya yang bergetar diatas jok mobil penumpang, Aldo melirik pintu mobil yang dibuka paksa oleh petugas. Ia dibawa menjauh, baru beberapa meter jaraknya mobil yang masih terdapat orang tuanya meledak--membakar kedua orang yang paling berharga baginya. Aldo ingat, ketika itu ayahnya masih bernapas, tapi ledakan tersebut malah membakar ayahnya hingga tewas.
Diantara tangis histeris sosok kecil Aldo, ia melirik seseorang berjaket hitam dibelakang pohon dekat kejadian.
"Perusahaan Lea yang akan menanggung tuduhan atas kehancuran perusahaan Pratama. Karena itu memang hal yang sudah seharusnya."
Hanya itu yang Aldo dengar. Sejak saat itu, ia tau bahwa kecelakaan ini hanya kebohongan semata, dan, perushaan Lea, anggota keluarga Lea, yang akan menjadi tujuan hidupnya. Kehancuran.
"Gak ada hubungannya sama Larissa," ucap Samuel datar. Menyadarkan Aldo dari lamunannya.
"Kejadian serupa yang bakal gue ulang."
Samuel mengernyit alis tak mengerti dengan ucapan Aldo.
"Gue hidup luntang lantung. Rumah gak punya, keluarga gak ada, ngemis sana-sini supaya gue bisa makan, nyuri, nyopet sampai jadi pengedar gue lakuin supaya punya uang buat hidup. Terbukti, gue bisa hidup layak dan masuk ke Smp yang sama sama Larissa dari uang itu."
"Masih gak ada hubungannya sama Larissa," tekan Samuel.
Aldo tak menggubris itu, ia kambali melanjutkan ucapannya, "Larissa semakin dingin dan benci sama gue, dan gue gak terima itu. Bisa dibilang cinta monyet, gue pikir gue cinta sama Larissa dan dia harus jadi milik gue--"
"Obsesi!" Komentar Samuel memutus ucapan Aldo.
"Semakin dia bersikap jijik dan benci sama gue, semakin tumbuh juga perasaan gue sama dia. Hingga memasuki kelas 3 Smp, Larissa dikabarkan pacaran sama Rio." Aldo terkekeh, sembari menggeleng-geleng kepala.
"Gue kasihan sama Rio, makannya gue bunuh dia. Dia cuma punya status pacaran sama Larissa, tapi gak punya hati Larissa. Larissa gak pernah cinta sama Rio. Lo tau Sam? Gue benci sama siapapun yang menaruh hati sama Larissa. Sebisa mungkin gue singkirin siapa aja yang berpotensi jadi pemilik hati Larissa. Termasuk lo, Arga, dan Levin."
Samuel menatap benci pada Aldo.
"Hell, gak gue sangka ternyata tanpa gue bertindak Arga udah mati duluan karena takdirnya yang buruk, juga Levin yang sebentar lagi akan mati karena korban salah sasaran dari rencana gue," ucap tenang Aldo yang menyulut kemarahan lawan bicaranya.
"Lo tau? Rencana gue membuat ayah membenci anaknya sendiri itu berhasil. Ya, walaupun gue harus ikut terluka karena dia selalu babak belur dan terluka karena ayahnya sendiri akibat dari rencana gue, tapi gue cukup senang."
Aldo berkata lebih jauh, tentang ia yang membuat fitnah seolah Larissa mencuri disekolah, dan diketahui ayahnya. Tentang Larissa yang seolah melakukan kesalahan lainnya sehingga lagi-lagi mendapatkan kebencian dari ayahnya yang pada dasarnya sudah membenci Larissa akibat kecelakaan yang merenggut nyawa bunda dan abang Larissa. Hingga foto yang seolah Dira dan Larissa melakukan adegan dewasa pun, adalah ia pelakunya. Ia yang mengirim foto tersebut pada Tn. Tio Leamarious--ayah Larissa.
"....Hebat kan rencana gue?" Aldo membusungkan dada bangga.
Bugh!
Uhuk!
Aldo memuntahkan seteguk darah akibat pukulan keras dari Samuel ke ulu hatinya.
"Padahal gue belum selesai bercerita, lo malah lukai gue lagi!" ucap Aldo, seraya menepis darah disudut bibirnya.
"Keterlaluan lo!" desis Samuel.
"Keterlaluan heh? Gue cuma balas dendam atas kematian keluarga gue, lo bilang itu keterlaluan? Lo ngerti rasa sakit hati gue? Lo ngerti semua luka yang bersarang dihati gue? NGGAK KAN?! BAHKAN KARENA PERASAAN BENCI DAN PERASAAN MUAK GUE SAMA TAKDIR, RASANYA GUE PENGEN BUNUH SEMUA ORANG YANG BERBAHAGIA ATAS KEHIDUPAN MEREKA! KARENA TAKDIR GAK BISA ADIL SAMA GUE, MAKANNYA GUE NYARI KEADILAN BUAT DIRI GUE SENDIRI! APA ITU SALAH MENURUT LO HA?!" teriak Aldo.
"Lo bakal hancur akibat ulah lo sendiri, dendam yang memperbudak lo!" ucap provokasi Samuel.
Aldo menyeringai. "Selagi dendam gue terbalas, menurut gue itu setimpal walaupun gue juga harus ikut hancur."
"Gue emang cinta sama Larissa, tapi gue akan lebih bahagia kalau dia meninggal dunia dengan cara yang sama." Aldo mengamati ekspresi Samuel yang kian mengeras. Ia tersenyum.
"Jika si tua bangka itu melenyapkan kedua orang tua gue dengan cara membuat mereka kecelakaan, maka dia juga harus kehilangan satu-satunya anak tersisa dengan cara yang sama. Gue adil kan? Gue kehilangan orang berharga gue lewat kecelakaan yang terencana, maka si tua bangka itu juga harus kehilangan orang yang berharga untuknya lewat kecelakaan yang terencana pula."
"Jangan berbelit!" desis Samuel.
Aldo tertawa gila. "Tapi sayang, semua rencana gue harus gagal karena pahlawan kesiangan kayak lo," ujarnya menekan.
"Karena itu sudah takdir buat lo!" geram Samuel.
"Dan takdir gue yang lain adalah membunuh lo!"
Bugh!
Aldo memukul kuat rahang Samuel, yang dibalas dengan tusukan pisau yang menggores lengan kiri Aldo. Darah merembes bersatu dengan darah dari pangkal lengan Aldo yang tadi terluka.
Aldo mendesis menahan sakit yang diterima tubuhnya berkat luka-luka sayatan dari pisau Samuel. "Pecundang!" geramnya.
"Lo yang pecundang, dan disini gue yang bakal jadi malaikat maut lo!" balas Samuel, kembali mengayunkan tangan hendak menancapkan pisau ke alat vital--dada kiri Aldo, tapi sang emou menghindar cepat.
"Gak semudah itu!" ujar Aldo.
"Tentu." Samuel menyeringai.
"Penjahat masyarakat, pengedar, pembunuh, penipu. Prestasi yang tak layak diapresiasi untuk ketua Osis kesayangan seperti lo," ucap pedas Samuel.
"Bukan urusan lo!" balas Aldo, kembali menyerang Samuel dengan tendangan lutut, yang mengarah pada perut.
Samuel menahan lutut Aldo dengan kedua tangannya, lalu menendang tubuh Aldo dari kanan kesisi kiri. "Hentikan semua rencana lo untuk membunuh Larissa, maka akan gue ampuni nyawa lo," tawar Samuel.
Aldo yang tersungkur, berdecih tak suka mendengar tawaran Samuel yang terkesan meremehkannya. "Lo yang akan mati ditangan gue!"
"Coba aja kalau lo bisa!" tantang Samuel.
Sebelum berdiri, Aldo sempat melirik potongan kayu yang ujungnya cukup runcing. Ia menyeringai jahat.
"Tentu, tentu gue bisa bunuh lo," ucapnya sembari memgambil kayu tersebut, dan berlari menghunuskannya keperut Samuel.
Samuel yang tak siap dengan pergerakan Aldo, sempat mengelak tapi tetap saja ayunan menghunus Aldo yang kuat mengenai pinggang kirinya hingga lecet dan berdarah. Samuel mendesis perih.
"Refleks yang bagus!" puji Aldo.
"Hem, terimakasih," jawab Samuel.
"Satu persatu orang terdekat Larissa mati, dan sekarang gue tinggal nyingkirin lo, lalu bunuh Larissa, terus bunuh si tua bangka itu! Tujuan hidup gue selesai!"
"Gak akan gue biarin lo nyentuh dia bahkan seujung rambutpun!" Samuel melemparkan kursi kayu disebelahnya ke wajah Aldo.
Brak!
"Shit!" umpat Aldo yang kembali tersungkur, sekarang dengan hidung dan kening yang mengeluarkan darah segar.
Samuel melangkah menuju Aldo yang masih terkapar. "Setelah lo mati, enggak akan ada lagi bahaya berarti yang mengancam keselamatan Larissa," ucapnya, bergerak cepat menusukkan pisau keperut Aldo.
Jleb!
Aldo mengerang tertahan saat pisau yang tertancap dicabut kasar oleh Samuel.
"Lo, masih membela mereka yang salah? Apa, lo enggak denger semua cerita gue diawal tadi? Disini, gue cuma nyari keadilan buat diri gue sendiri..." ucap Aldo terbata menahan sakit.
Samuel menatap datar Aldo. Dapat dilihat olehnya, bahwa dimata Aldo sama sekali tak ada kebohongan dalam setiap ucap yang keluar. Disana ia hanya mendapat ambisi dan dendam. Tapi...
"Gue enggak peduli sama apapun yang lo terima dimasa lalu, gue juga enggak peduli sama apa yang keluarga Larissa lakukan sama keluarga lo dimasa lalu. Yang jelas, sekarang, gue cinta sama Larissa dan gue mau terus lindungi dia," jawab Samuel.
"Lo terlalu dibutakan oleh cinta lo," tekan Aldo, berusaha bangkit kembali.
"Dan lo terlalu dibutakan oleh dendam gak guna lo!" balas Samuel, menginjak dada Aldo mencegahnya untuk bangkit.
"Bangsat! Tau apa lo tentang hidup gue!" Aldo berusha menyingkirkan kaki Samuel, tapi karena tenaganya yang sudah lemah, semua hanya sia-sia.
Samuel menekan lebih kuat dada Aldo. Sadis.
"Dari semua yang lo ceritain barusan, gue tau dan bisa ngumpulin semuanya. Gue gak bodoh kayak lo!" cecar Samuel.
Uhuk, uhuk!
Aldo merasa, oksigen yang masuk keparu-parunya semakin menipis, hingga ia kesulitan bernapas. Tapi, ia masih harus bertahan demi membalas perlakuan Samuel dan membalaskan dendamnya.
"Gue, gak bodoh. Uhk... lo, yang bodoh karena membela iblis seperti mereka..." ucap Aldo susah payah.
Pijakan kaki Samuel berpindah pada luka tusukan diperut Aldo, yang membuat Aldo semakin mengerang kesakitan. "Kalau mereka iblis, lalu lo apa? Sikap lo gak jauh dari iblis yang paling terkutuk sekalipun."
"....Gue gak punya banyak waktu, lebih baik lo mati sekarang." Samuel menggenggam erat pisau lipatnya.
"Gak bakal gue biarin itu terjadi, brengsek..."
Jleb!
"Eunghh..."
Lenguhan panjang keluar dari bibir Aldo saat pisau Samuel menancap tepat dijantungnya. Ini mimpi, ia tak bisa membiarkan dirinya mati sebelum membalaskan dendam kematian ayah dan ibunya. Tapi, tubuhnya sudah tak meresopon, bahkan pandangannyapun mulai mengabur dan terasa gelap. Ingatan Aldo kembali pada masa kecilnya.
"Kenapa nangis?" tanya Aldo pada seorang gadis kecil yang menangis tersedu dipinggir jalan.
"Badanku sakit..." lirihnya sambil menangis.
"Namamu siapa? Terus kenapa bisa badanmu sakit? Kamu jatuh? Kamu terluka?" tanya Aldo beruntun.
Gadis kecil itu mengusap ingusnya menggunakan punggung tangan. "Namaku, Larissa. Tadi aku habis dipukul sama Ayah, gara-gara aku tak sengaja menumpahkan air minum kesepatunya."
"Um, namaku Aldo. Maaf ya, aku gak tau harus ngapain supaya bisa bantu ringanin luka kamu gara-gara ayah kamu itu. Tapi aku cuma bisa peluk, kamu mau?"
Larissa mengerjap. "Untuk apa?" tanyanya bingung.
"Kata Mamaku, pelukan bisa menenangkan perasaan seseorang yang sedang terluka."
"Yaudah aku mau peluk," jawab polos Larissa.
"Sini, nangis sama aku sambil meluk... kata Mamaku, itu bisa cukup membantu, semoga aja."
Larissa memeluk Aldo dan menangis kencang disana, mengikuti instruksi Aldo untuk melanjutkan tangisannya. Walaupun sebebarnya, Larissa sudah tak ingin lagi menangis.
"Kamu mau gak jadi temenku?"
Larissa menghentikan tangisnya, dan mengangguk antusias.
Aldo tersenyum tipis diambang batasnya. Tiba-tiba ingatan Aldo beralih pada masa-masa ia mengenakan seragam putih-biru.
"Lo nangis?" tanya Aldo saat mendapati Larissa yang menatap kosong taman belakang sekolah dengan derai air mata.
"Pergi!" desis Larissa, setelah melirik sinis pada Aldo.
"Kenapa nangis lagi? Bokap lo?" Aldo tak pernah langsung menyerah dengan penolakan Larissa.
"Bukan urusan lo!" tekan Larissa, beranjak.
Aldo mencekal tangan Larissa. "Kapan benci itu hilang? Gue cinta sama lo Ca!"
"Sampai masa lalu bisa diulang, sampai Tiara hidup lagi, sampai pembunuh, penjahat dan sifat busuk lo sekarang berubah lagi jadi Aldo yang gue kenal dulu."
"Mustahil!" geram Aldo, mengencangkan cekalannya.
"Maka semustahil itu kebencian gue hilang buat lo! Pembunuh! Harusnya pembunuh biadab seperti lo lenyap dari muka bumi!" Sarkas Larissa, menghempaskan lengan Aldo dan pergi meninggalkan Aldo yang tengah emosi ditempatnya.
Harusnya pembunuh biadab seperti lo lenyap dari muka bumi.
Kalimat yang terus terulang dalam benak Aldo saat ini.
"Kesalahpahaman lo ngancurin diri lo, seharusnya lo pakai otak cerdas lo itu buat kehidupan lo, bukan cuma buat mata pelajaran dan nyusun rencana busuk aja!"
"Bahkan dari cerita singkat lo tadi gue bisa langsung tanggap tau siapa dalang dibalik kehancuran keluarga lo. Tapi lo?" Samuel menjeda ucapannya untuk tertawa kering.
"Lo malah terlalu buta, dan terus nargetin target yang salah. Dasar bod--"
Hanya ucapan yang dapat Aldo dengar disisa waktunya. Apakah ia salah menargetkan? Lalu, siapa sebenernya yang menjadi pelaku utama pembunuhan keluarganya?
Napas Aldo mulai berat, terasa seakan beban berat bumi menghimpit rongga dadanya hingga membuatnya sesak. Bola matanya menjuling ke atas, dibarengi dengan suara desah napas keluar yang terdengar singkat. Sekarang, napasnya benar-benar terhenti bersamaan dengan semua organ dan saraf dalam tubuhnya yang juga berhenti bekerja.
*****
BERSAMBUNG
masih teka-tekii:(
jangan lupa tinggalkan jejak..:)
See u next chapter :3
-2295 kata-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro