Chapter 56
telat up yang sangat lama (。ŏ_ŏ)
sorry..
"Oh ya. Daripada lo mengumpat, mending lo gunain mulut lo buat jawab pertanyaan dari gue," lanjut Samuel.
Aldo bergerak cepat membalikkan posisi, duduk di atas perut Samuel yang terbaring di lantai. "Gak semudah itu lo dapetin jawaban dari gue!"
Samuel mendengkul punggung Aldo dan memukul keras tengkuknya, hingga posisi kembali seperti semula.
'Kalau gue buang-buang waktu buat basa-basi, si sialan ini bakal terus mengelak,' batin Samuel.
"Sebegitu dendam'kah lo sama keluarga Lea?"
"Bukan urusan lo." Aldo terus berontak.
"Gue bilang itu urusan gue! Makannya gue tanya!" geram Samuel.
Sambil menahan sakit dipangkal lengan, Aldo dengan otak cerdiknya berpikir untuk bisa membalikkan keadaan.
'Gue harus cepet bunuh si sok pahlawan ini!' batin Aldo geram.
"Apa karena aksi pembunuhan lo pada Tiara terpergok Larissa?" Samuel menekan kepala Aldo ke lantai.
"Apa karena aksi pembunuhan lo pada pacar Larissa, terpergok sama dia?" Samuel menyayat leher belakang Aldo, membuat aliran kecil dari darah yang menetes ke lantai.
Dada Aldo bergemuruh. Bayangan masa-masa Sd, saat ia bermain dihalaman belakang rumah Larissa bersama Tiara kembali muncul dipikirannya.
Flashback 8 tahun yang lalu.
Seorang bocah lelaki, yang masih mengenakan seragam putih-merah dengan rompi berwarna merah. Mengayun pelan tali ayunan yang tengah diduduki seorang bocah perempuan yang menggunakan seragam sama sepertinya.
Beberapa menit yang lalu, tawa keduanya terdengar begitu renyah dan menyenangkan. Hingga suara pecutan dan tangis kesakitan dari dalam rumah membuat keduanya terdiam dengan pikiran mereka masing-masing.
"Aldo?"
"Hem?"
"Om Lea kenapa menyiksa Ica terus ya? Kasian tau, Icanya..."
"Tiara mau pulang? Aldo anterin deh."
"Enggak, Tiara mau nungguin Ica. Nanti pasti Ica bakal dateng kesini sambil nangis, Tiara mau meluk Ica."
Aldo kecil tersenyum simpul. Keheningan kembali terjadi, suasana siang yang teduh karena gumpalan awan membentang menutupi sinar matahari yang ingin memberikan panasnya pada bumi.
Aldo menatap kaca lebar dihadapannya dengan tatapan kosong, sembari terus mengayun ayunan Tiara. Jeritan serta rintihan dari Larissa kecil yang tengah disiksa, membuat otaknya tak nyaman. Ia memfantasi diri tengah menyiksa seseorang dan jeritan korbannya begitu menenangkan baginya. Ia tertawa kegirangan melihat tubuh korbannya dipenuhi sayatan yang menghasilkan tetesan darah dari luka.
"Aldo, hei?"
"Aldo!" pekik Tiara saat Aldo malah asik terbengong.
"Eh iya?" tanya Aldo gelagapan.
"Aldo dari tadi Tiara panggil gak nyaut. Kamu kenapa? Khawatir ya sama Ica? Aldo tenang ya, Tiara juga khawatir kok sama Ica. Kita berdoa aja, semoga Ica baik-baik aja. Aldo tau kan, kalau Ica itu anak yang kuat!" tutur Tiara antusias.
Aldo menatap dalam pada Tiara yang masih membelakanginya. "Tiara," panggil Aldo.
"Hem, kenapa Al?" Tiara menoleh.
"Ada yang aneh sama aku," resah Aldo.
"Aneh kenapa?" tanya Tiara mengerjap bingung.
"Kamu sakit?"
Aldo menggeleng.
"Kamu kegerahan ya?"
Aldo menggeleng.
"Kamu mau pup?"
Aldo menggeleng.
"Kamu lapar?"
Aldo menggeleng.
"Kamu mau pulang kerumah?"
Aldo menggeleng.
"Kamu mau nemuin Ica?"
Aldo kembali menggeleng yang membuat Tiara jengkel.
"Grrhh! TERUS KENAPA?!" teriak Tiara dengan mata berkaca-kaca, karena marah.
"Aku pengen..." Aldo menghentikan ucapannya.
"Pengen apa?" Tiara memiringkan kepalanya.
Aldo menggeleng. "Ah lupain aja," ucapnya tertawa garing. Tiara berdehem singkat.
"Aws, sakit..."
"Maaf," ucap Aldo.
Tiara terisak. "Aldo, sakit ... shh AW!" jerit Tiara.
Aldo tersenyum simpul, tampak menikmati aktivitasnya. Ia kembali menekan kuku ibu jari dan telunjuknya ke leher belakang Tiara. Mencubit, hingga leher putih itu terluka dan mengeluarkan darah meski tak banyak.
Tiara menoleh pada Aldo, dan berusaha menyingkirkan tangan Aldo dari jangkauan lehernya.
Aldo refleks mendorong Tiara hingga tersungkur ditanah.
"Aldo jahat..." cicit Tiara ketakutan.
Aldo memungut ranting kecil sepanjang jari tengahnya. Ia menusukkan ujung ranting yang runcing dibetis Tiara.
Gadis kecil itu menangis dan merintih, yang entah kenapa hal itu membuat hati Aldo merasa senang. 'Ada apa denganku?' batinnya bingung.
Tanpa menghiraukan perasaan itu, yang jelas Aldo senang dan merasa tenang. Ia kembali menggores luka ditubuh kecil Tiara dengan benda apapun yang ada di sekitarnya. Pensil, ranting, batu, penggaris, dan balok kayu ia pergunakan sebagai media kesenangannya pada Tiara yang sudah kehilangan kesadaran akibat pukulan balok kayu pada kepalanya serta darah yang keluar banyak dari tubuhnya.
Suara isak lirih terdengar dari arah depan, kian terdengar begitu jelas. Aldo tak menghiraukan, ia dengan senang hati menancap dan mencabut pensil ke perut Tiara yang sudah tak memakai baju.
Satu tancapan, dua tancapan, tiga tancapan, hingga beberapa kali ia mengulang. Tak terhitung.
"Aldo--?"
Aldo kecil mendongak, mendapati Larissa yang menatapnya dengan tubuh gemetar.
"Ica?" Aldo menatap jasad tiara yang telah bersimpah darah. Rasa penyesalan menerpa hatinya, tapi tak dipungkiri bahwa tadi ia bahagia.
"Aldo, kamu ... Tiara..."
Aldo menggeleng kuat. "Enggak Ica, kamu salah faham, aku enggak ... Ica aku, ini, ini bukan aku," gugup Aldo.
Larissa mundur saat Aldo mendekat kearahnya.
"Pembunuh..." lirih Larissa menatap kecewa pada Aldo, sahabat kecilnya.
"Ica, aku minta maaf, sungguh. Aku, aku tak tau, ini ... ini bukan salahku." Aldo tampak resah.
Larissa dengan kaki pincangnya berbalik hendak berlari menjauh, tapi Aldo menjambak rambutnya hingga ia duduk bersimpuh.
Larissa meringis. "Sakit..."
"Ica, aku ... aku suka mendengar suara rintih kesakitan. Aku, tak tau ini kenapa, tapi..." Aldo mencubit kencang pipi Larissa hingga memerah dan tampak lebam.
"Hei! Den lepasin non Larissa!" seru tiga orang pria berbadan kekar. Anak buah Ayah Larissa yang berjaga disana.
Aldo menjauhkan dirinya dari Larissa. "Ica, Maaf..."
Larissa menggeleng, ia berlari ke dalam rumah dengan isak tangis tersedu.
"Apa yang kamu lakukan?!" bentak salah satu orang tersebut pada Aldo.
Aldo berkaca-kaca. "Aku, aku tak tau," lirihnya, sebelum pergi berlari ketakutan. Keluar dari halaman belakang Larissa melalui pagar belakang yang terbuka sedikit.
Dapat Aldo dengar, teriakan pria-pria tadi yang dalam pikirnya pasti mereka syok melihat mayat Tiara.
"Apa yang aku lakukan?" gumam Aldo. Ia jadi teringat Larissa, sahabatnya itu telah melihat aksinya.
'Aku takut dipenjara, bagaimana ini?' batin Aldo.
Flashback off.
"Apa yang lo pikirin bangsat!" geram Samuel melihat tatapan kosong Aldo.
Aldo merintih saat pisau lipat Samuel menggores dalam pipinya kirinya.
"Bener kan ucapan gue, kalau lo yang ngebunuh Tiara sama Rio!"
Aldo berbalik dengan sekuat tenaga. "KALAU IYA KENAPA HA?!" teriaknya membalikkan keadaan menjadi dia yang duduk di atas perut Samuel.
"Kenapa?" desis Samuel, menatap tajam Aldo.
"Karena gue pengen!" Aldo tersenyum remeh.
"Terus kenapa lo malah nargetin Larissa, sialan!" Samuel menancapkan pisaunya ke dengkul Aldo yang lengah.
"Anjing!" umpat Aldo sembari melayangkan tinjuan dirahang tegas Samuel.
Samuel yang tak terima menendang kepala belakang Aldo, hingga ia lepas dari kungkungan lawannya itu.
"Hasrat iblis lo yang membuat lo ngebunuh sahabat lo sendiri!" kecam Samuel, memegang erat pisau lipatnya.
"Bukan urusan lo!" Aldo menatap berang lawannya.
"Bukannya, lo sahabat kecil Larissa? Kalau iya, kenapa lo tega ngebunuh pacar Larissa. Rio!" Samuel tak gentar terus menguak jawaban dari sang pemeran utama kejahatan.
Aldo berjalan mendekat. "Karena gue pengen, lagipula..."
Samuel menaikkan alis kiri ke atas menunggu lanjutan kalimat yang digantung.
"Gue gak rela cowok lain deket-deket sama milik gue!"
Betapa gelinya lantunan kalimat tersebut bagi Samuel, membuatnya jijik dan ingin sekali melayangkan guci keramik yang ada disudut ruangan kewajah Aldo.
Samuel berdecih, "Milik lo? Atas dasar apa mengklaim Larissa jadi milik lo?" Samuel menampakkan ekspresi wajah yang aneh, terkesan ilfeel dan geram pada Aldo.
"Karena gue cinta sama dia!" tekan Aldo.
Samuel tertawa sumbang. "Mencintai heh? Mana ada! Lo cuma dendam sama dia, dan mana ada cinta yang pengen ngebunuh objek cintanya! Gelo!"
"Karena gue cinta sama dia makannya gue mau dia mati, supaya enggak ada yang bisa miliki dia kalau gue juga gak bisa miliki dia!" seru Aldo.
Kali ini Samuel menaikkan kedua alisnya ke atas. Tak lama, senyum miring yang sangat merendahkan tersungging disana.
"Mantan ketos pintar, kesayangan para guru. Lo tau?"
Aldo memiringkan sedikit kepalanya kesamping.
"Balon kecil yang ditiup sampai besar, terkesan hebat karena bahan setipis itu bisa mengembang begitu besar. Ah ya, lemparkan jarum kebalon tersebut."
Samuel merapatkan tangan lalu memisahkan. "Duar!"
"Balonnya meledak, dan tak ada isinya sama sekali selain serpihan kulit balon yang bercecer mengenaskan. Dan itu lo," ucap tenang Samuel.
"Boleh saja segudang prestasi lo miliki, tapi otak lo yang bodoh membuat semuanya jadi hampa." Samuel tersenyum mengejek.
Aldo mengepalkan kedua tangannya marah.
'Jebakan satu masuk,' batin Samuel berseru.
"Lo bilang diawal kalau lo pengen ngebunuh Larissa karena dendam sama dia. Terus tadi lo pengen ngebunuh Larissa karena alasan tak logis lo itu! Bukankah lo termasuk definisi orang bodoh yang pandai membual?" ucap provokasi Samuel.
Raut wajah Aldo bersemu merah, ia merasa dipermainkan oleh teman satu sekolahnya itu. "Lo yang bodoh karena gak bisa ngerangkai semua untaian kejadian. Padahal gue yakin kalau lo udah tau semua akar masalah yang menimpa Rissa lo itu!"
Samuel terkekeh, "Ya, dan akar masalah dia itu lo!"
*****
BERSAMBUNG
masih benang kusut :;(∩'﹏'∩);:
jangan lupa tinggalkan jejak yaa..:)
See u next chapter :3
-1430 kata-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro