Chapter 51
Takdir berkelit
Membuat kacau keadaan menjadi semakin rumit
Menyakiti, melukai banyak hati
Teguhkan hatimu
Luka ini, masalah ini, kejadian ini...
Semua akan berakhir
Bersabarlah...
Ikhlaskan air matamu yang meluruh
Sebagai tanda bahwa kau mampu
Mampu, menghadapi besarnya badai dalam hidupmu...
Semua akan berlalu...
Percayalah :)
~Ar-Sa-Le-Sa~
*'*'*'*'*
Levin dan Samuel yang tertatih berbarengan sampai di dekat Larissa. Jarak mereka dengan Latissa hanya berjarak 3 meter, dan mobil hitam sudah sangat dekat dengan gadis itu.
Tittttt
"RISSA AWAASS!"
"VERA AWAASS!"
Brak!
Levin tertabrak kencang. Tubuhnya melambung ke atas sebelum akhirnya jatuh keras dengan kepala yang membentur sudut trotoar jalan.
Darah segar nan kental keluar deras dari kepala bagian belakang Levin ... juga dahinya yang mengeluarkan darah tak kalah banyak, akibat dari kencangnya tabrakan bersama mobil hitam tadi. Wajah tampannya telah tertutup sepenuhnya oleh darah, baju formal kerja yang ia kenakan pun tak luput dari itu.
Samuel yang mendorong Larissa kepinggir, dan Samuel yang di dorong oleh Levin ke pinggir, sehingga saat itu, Levin merelakan dirinya tertabrak demi menyelamatkan super hiro yang melindungi bidadarinya.
"LEVIIINNN!" Larissa memekik histeris, dengan tubuh bergetar dan sakit yang teramat di bagian perutnya, Larissa merangkak mendekati Levin.
"Ca..." Samuel yang tak kalah syok memeluk Larissa. Air mata pemuda itu luruh mendengar pekikan kencang dari Larissa yang memanggil-manggil nama Levin.
"Levin, Sam... Le-levin... le-lepas..." racau Larissa terbata. Samuel terpaksa melepaskan pelukannya.
"Levin, hei..." suara Larissa bergetar, ia meletakkan kepala Levin dipahanya.
Larissa melihat tangannya yang dilimuri darah Levin, tubuhnya bergetar hebat. Isakan pilu lolos dari bibirnya.
"Enggak, enggak... lo, lo harus bangun... hei, ba-bangun, gue mohon..." Larissa mengguncang bahu Levin.
"Vin, lo denger gue? Bangun, gue mohon ... ba-bangun Vin."
Larissa menggeleng keras, ia semakin kencang mengguncang tubuh Levin berharap pemuda itu membuka matanya barang sekejap.
"AAAARRGGHHHH!"
"BANGUN BODOH! MAAFIN GUE! Maafin gue, ma-maafin gue... plis, bangun sayang..."
Ingatan Larissa kembali pada saat Levin bermanja kepadanya, merengek hingga menjadi konyol hanya untuk membuatnya tersenyum. Hatinya sakit, dadanya bergemuruh sesak. Ia tak terima melihat keadaan Levin yang seperti ini.
Samuel mengeraskan rahangnya, darah segar mengalir dari pelipis kanan akibat berbenturan dengan aspal jalan tadi. Samuel bersimpuh di samping Larissa yang memeluk kepala Levin.
"Ca, gue sakit... jangan nangis..." lirih Samuel.
Larissa menggeleng, air matanya meluruh deras. "Levin, Sam..." ucapnya terisak.
"A-akh..." Larissa menekan perutnya.
"Ca, lo kenapa?" tanya khawatir Samuel, apalagi saat melihat darah yang mengenang dibokong Larissa yang tengah duduk bersimpuh.
"Sa-sakit..." lirih Larissa sebelum kegelapan merenggut kesadarannya, ia ambruk sambil memeluk kepala Levin.
"Ca? CA BANGUN!" Samuel melepaskan pelukan Larissa pada Levin.
"Rissa, dear... hei, bangun..." Samuel menepuk pelan pipi Larissa. Ia mengalihkan tatapannya pada kerumunan orang, rahangnya mengeras.
"PANGGIL AMBULANCE BODOH!" bentaknya.
"Ambulance dan polisi sedang dalam perjalanan Mas," ucap pria paruh baya menatap iba.
"Bagsat!" umpat Samuel.
"Ve-vera..."
Samuel menyeka darah yang bercampur air mata di pipinya.
"Bang? Lo-?"
Levin dengan sisa kesadarannya melirik Larissa yang pingsan dipelukan Samuel. Air matanya menetes diantara banjiran darah.
"Ve-veranya, jangan te-terluka..." lirih Levin susah payah.
"Bang lo harus baik-baik aja gue mohon, gue mohon, jangan sampai Rissa nangis gara-gara lo, atau gue bakal benci sepenuhnya sama lo," ucap cepat Samuel terlihat risau.
Levin terkekeh pedih, hampir tak terdengar. "Ja-jaga Vera bu-buat gue, gue mohon..." lirih Levin susah payah.
Tubuh Samuel bergetar, ia menggeleng tak percaya saat Levin kembali memejamkan matanya, tanpa ada tanda-tanda akan terbuka kembali.
"bang, bangun! BANG LEVIN BANGUN ANJING! ATAU GUE BUNUH LO! BANGUN SIALAN! BUKA MATA LO!" Mata Samuel berkaca-kaca.
"Ca, hei bangun dear ... lihat Levin, bang Levin nutup matanya. Ca..." Bibir Samuel meloloskan isakannya.
*****
Di waktu yang sama, tempat yang berbeda. Suara dari monitor hemodinamik yang menampilkan gelombang denyut jantung, menambah ketegangan yang ada di ruangan.
"Dokter, detak jantungnya semakin melemah."
"Denyut nadinya juga melemah."
"Tambah tegangannya!" Sang dokter menggesekan sepasang defibrillator.
"Tapi dok, ini sudah tegangan tinggi."
"Maksimakan!"
"Itu akan berbahaya bagi pasien."
"MAKSIMALKAN!" bentaknya dengan mata berkaca-kaca.
'Bertahanlah nak...' batinnya.
Asisten dokter itu, menambah tegangan tanpa berkata apa-apa lagi saat melihat kemarahan dokter paruh baya itu.
Dokter Albert--Seorang dokter yang merawat penyakit jantung Arga, dari semenjak Arga masih bayi dan Sampai sekarang ia tak lepas tangan untuk merawat Arga. Ia bahkan sudah menganggap Arga sebagai anaknya sendiri, anggaplah, ia yang menemani Arga menjalankan pengobatannya selama Arga hidup. Dari bayi, hingga sekarang.
Albert menekan defibrillator di dada Arga, hingga membuat tubuh Arga terangkat ke atas saking tingginya tegangan kejut alat tersebut.
Dada Albert berdegup kencang saat melirik monitor hemodinamik yang menampilkan garis gelombang tipis yang kian detik berubah menjadi garis.
Tit.
Tit.
Tiiiitttt.
Gelombang hemodinamik sepenuhnya menjadi garis lurus dimonitor, yang artinya; detak jantung Arga telah berhenti.
"Enggak, enggak. Maksimalkan lagi, ayo maksimalkan lagi!" racau Albert menggosok dan menempelkan kembali defibrillator di dada Arga, begitu seterusnya hingga layar monitor kembali menampilkan gelombang kecil.
"Hah, syukurlah..." desahnya lega saat jantung Arga kembali berdetak walau lemah.
*****
Ny. Lisia menangis tersedu-sedu dalam pelukan suaminya di depan ruang operasi Levin yang tengah berlangsung.
Disana juga ada ketiga sahabat Levin yang sama-sama merasa terpuruk, mereka menatap kosong ke depan. Sungguh, kejadian yang menimpa Levin diluar dugaan mereka.
Tak berselang lama, pintu ruang operasi terbuka bersamaan dengan beberapa dokter dan perawat yang mendorong tergesa brangkar Levin.
Ny. Lisia berdiri, menghentikan brangkar yang berisi Levin.
"Mau di bawa kemana putra saya?!"
"Maaf nyonya, kita akan membawa pasien ke ruangan ICU," jawab seorang dokter lelaki muda.
Tn. Mahendra berdiri disebelah isterinya. "Bukan kah itu berarti operasinya telah selesai dan berhasil?! Kenapa dibawa ke ruang ICU?!" tanyanya gusar.
"Begini tuan, pasien mengalami benturan keras dikepalanya, dan terdapat bocoran cukup lebar disana. Selain itu pasien juga kehilangan banyak darah dan cidera otak berat, tapi syukurnya; tak ada saraf yang terputus dikepalanya. Jika itu terjadi, mungkin nyawa pasien sudah menghilang ditempat kecelakaan tadi."
Tubuh ny. Lisia bergetar hebat mendengar kondisi yang dialami Levin. Tn. Mahendra membawa sang isteri ke dalam rangkulannya.
"Lalu--?" Suara tn. Mahendra tercekat.
"Sekarang pasien kritis. Maafkan kami, dengan kondisi pasien yang mengalami kerusakan cukup fatal didaerah kepala, kami hanya bisa memberikan jaminan keselamatan 15% untuk pasien kembali hidup. Berbanyaklah berdoa, meminta keajaiban kepada Tuhan untuk kesembuhan pasien."
"A-apa?" Suara ny. Lisia bergetar.
"Maafkan kami tuan, nyonya..." Sang dokter muda membungkukkan setengah badan, sebelum akhirnya melanjutkan tujuan mereka ke ruang ICU.
Ketiga sahabat Levin yang mendengar itu, merasakan nyeri di hati mereka. Tentu saja, ikatan persahabatan mereka sudah terjalin semenjak mereka smp, sampai kuliah semester 2 sekarang.
Erik menatap kosong pada wajah pucat Levin yang melewati posisinya.
Di dalam ruang ICU, tiga orang dokter disana dan beberapa perawat tengah sibuk memasangkan alat-alat medis ke tubuh Levin.
"Dokter, kalaupun nyawanya bisa terselamatkan, dia akan mengalami kecacatan otak dan kehilangan ingatan secara permanent."
Sang dokter lelaki paruh baya disana melirik pada dokter muda yang ia dampingi.
"Kita berdoa saja, semoga keajaiban menunggu pasien ini di depan sana," jawabnya.
"Tapi, kemungkinannya hanya 1 dari 100%." Dokter muda menunduk lesu, ini pengalaman pertamanya menangani secara langsung pasien kecelakaan hebat seperti ini.
*****
Di waktu yang sama, di salah satu ruang rawat, Bulu mata pendek dan cukup lentik bergetar kecil diantara kelopaknya. Tak lama, mata itu mengerjap menyesuaikan cahaya yang di terima retinanya.
"Syukurlah Sam, lo udah sadar."
Samuel menekan pelipisnya yang tertutup perban, sebelum melirik Faisal yang tak berbicara formal padanya.
"Air," lirih Samuel.
"Ini." Faisal memberikan segelas air dengan sedotan.
"Jam berapa ini?"
"Jam 2 malem."
"Selama itu ya, gue pingsan," gumam Samuel.
"Dimana Larissa?" tanya Samuel setelah tenggorokannya tersiram air.
Faisal menunjuk brangkar disebelah kiri Samuel dengan dagunya.
Samuel menoleh. Disana, Larissa terbaring lemah. Ia ingat ketika Larissa mengalami pendarahan tadi sore.
"Bagaimana dengan janinnya?" tanyanya khawatir.
"Jan--" ucap Faisal terhenti.
"Untuk janinnya baik-baik saja, hanya sedikit melemah dan diperlukan perawatan intensif sebagai penanganannya."
Samuel dan Faisal menoleh pada asal suara dipintu masuk
"Dr. Fuzi?" gumam Samuel.
"Iya, bagaimana keadaanmu?" Dr. Fuzi mendekat kebrangkar Larissa, dan mengecek keadaannya.
"Baik, cuma sedikit pusing doang," jawab Samuel.
"Salah satu petugas tadi bilang, bahwa kamu pingsan saat diperjalanan kemari."
Samuel mengangguki ucapan dr. Fuzi.
"Oh ya, sepertinya Larissa terlalu banyak pikiran dan juga terlihat sangat lelah. Kenapa bisa begitu?" Dr. Fuzi mendudukkan dirinya di kursi belakang meja kerja yang ada diruangan itu. Tangannya mulai sibuk mencatat keadaan Larissa tadi.
"Masalah yang dia alami cukup berat, jadi wajar aja lah. Dia kuat dan hebat untuk ukuran seorang remaja yang menanggung banyak luka di usia muda," jawab Samuel dengan senyum tipis.
Dr. Fuzi mengangguk. "Pasti masalah yang dia alami cukup berat, saya ikut bangga dan kasihan diwaktu yang sama untuknya."
"Hem," dehem Samuel.
"Oh ya, bukan kah lelaki yang mengalami luka parah itu datang bersamaan dengan kalian? Kalau saya boleh tau, siapa dia?" Dr. Fuzi melirik Samuel.
"Kenapa?" Samuel balik bertanya.
"Enggak, saya cuma mau tau aja. Rekan saya bilang, dia kritis dan koma sekarang. Dari keadaan yang menimpanya, pihak medis mengatakan, kemungkinan dia hidup kembali sangat tipis."
Samuel termangu sesaat. "Seserius itu lukanya?" Suara Samuel tercekat.
"Ya, dia kehilangan banyak darah dan kepalanya tentu saja terjadi kebocoran."
Mata Larissa yang tertutup, menteskan airnya. Ia sudah bangun sedari tadi, dan juga mendengar semua percakapan mereka.
'Ya Tuhan, apapun yang terjadi selamatkan Levin... Aku mohon...' batin Larissa bergumam pedih.
"Apa, kemungkinannya hanya setipis itu? Maksudnya, apa tak ada harapan lagi?" Samuel bertanya ragu.
"Hanya Tuhan yang tau, berdoa aja. Tapi sepertinya, pihak kami tak bisa menjamin keselamatannya."
****
Ny. Lisia, tn. Mahendra, serta sahabat Levin berjalan menuju ruang ICU tempat Levin di pindahkan.
Dari kejauhan, di depan ruang ICU, mereka melihat keluarga kecil yang tengah bersedih, suara tangis seorang wanita paruh baya terdengar dari sana.
Ny. Lisia yang juga tengah bersedih ikut meneteskan air matanya. Ia merasa jika kondisinya dan kondisi wanita itu sama-sama tengah berduka.
"Loh, Arka?" tanya Erik.
Arka mendongak, melihat sahabat Arga yang juga ada disana.
"Kalian? Ngapain kalian disini?" tanya balik Arka, sedikit cemas.
"Levin kecelakaan, dan dia ada di ruangan ini." Tunjuk Erik ke ruang ICU sebelah kanan mereka.
"Levin?" Arka terbata.
"Jadi, tadi yang baru aja masuk itu Levin?!" Arka menatap tak percaya.
"Jadi lo ngapain disini?" tanya Jordi.
Arka menatap ragu ketiga sahabat adiknya.
"Kenapa?" tanya Erik menimpali.
"Arga, kritis."
Jordi, Jordan dan Erik saling bertatapan tak percaya. "Arga kenapa?" tanya Erik, firasatnya jadi tak enak dan hatinya begitu resah.
"Penyakit jantung, stadium akhir ... sekarang, jantungnya mengalami pembengkakan, lagi..." terang Arka dengan suara tercekat. Terlihat di matanya berkaca-kaca.
Suara tangis Maria semakin terdengar pilu saat ucapan Arka, mengingatkannya kembali pada kondisi Arga.
"Arga, Arga pacar pertama Larissa bukan?"
Semua orang serempak menoleh pada ny. Lisia.
"Tante, siapa? Maksudnya pacar pertama, itu apa?" tanya Arka resah.
*****
BERSAMBUNG
yang mati, yang sembuh, siapa?
jangan lupa tinggalkan jejak..:)
See u next chapter :3
-1775 kata-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro