Chapter 44
(Diputar ya musiknya pas masuk bagian Larissa sama Levin, semoga feelnya dapet:))
Happy reading guys!
*"*"*"*
Verra My Future Wife
(terakhir dilihat kemarin pukul 20.17)
Panggilan suara tak terjawab pukul 18.26
Panggilan suara tak terjawab pukul 18.28
Panggilan suara tak terjawab pukul 18.28
Panggilan suara tak terjawab pukul 18.30
Panggilan suara tak terjawab pukul 18.31
Panggilan suara tak terjawab pukul 18.33
[Vin, gue butuh lo]
Panggilan suara tak terjawab pukul 18.35
Levin menatap datar pesan singkat dari Larissa.
"Lo-gue lagi."
"Apa dia lupa kalau gue ini masih pacarnya dia?"
"Oh iya, kan gue cuma selingkuhannya." Levin tertawa miris.
[Ada apa?]
[Vin?]
[Apa?]
[Kok lo gitu sih?]
[Gitu kenapa?]
[Ck, luapin!]
[Oh iya, bukannya kemaren lo bilang mau
nunjukin sesuatu sama gue?]
[Sorry, enggak jadi]
[Kenapa?]
[Udah dibatalin, gak jadi aja]
[Oh iya, kamu manggilnya udah lo-gue
lagi ya sekarang]
[Sorry]
[Hari ini kita ketemu?]
[Kamu enggak sibuk?]
[Enggak ah takutnya nanti, aku udah
siap-siap terus kamu tiba-tiba ada urusan
lagi yang enggak bisa kamu tinggalin:)]
[Maaf Vin, itu emang urusan yang enggak
bisa gue tinggalin...]
[Iya, iya aku ngerti kok]
[Mau ku jemput?]
[Atau ketemu di taman komplek?]
[Sekarang aja, kebetulan gue lagi ada
di taman komplek]
[Oke]
Levin menghela napas panjang. Hatinya masih saja sakit ... wajar saja, baru saja kemarin di kecewakan sekarang ia harus bertemu dengan sumber kecewanya. Apa ia siap? Apa ia harus berpura seakan baik-baik saja?
"Ah, nyesek banget anjir!"
"Hufftt, oke. Levin ayok kita sandiwara seakan kemarin enggak terjadi apa-apa!" ujar Levin menyemangati dirinya sendiri.
*****
"Gimana?"
"Levin mau nemuin gue disini."
Samuel tersenyum tipis. "Oke, berarti nanti gue sembunyi jangan?"
"Enggak usah gapapa, Levin kan tau kalau lo itu sahabat gue."
'Sahabat,' batin Samuel sembari mengangguk.
"Iya, gue sahabat lo," ucap Samuel.
"Gimana sama Arga? Udah ada kabar dari dia?"
"Belum," jawab Larissa lesu.
"Setelah semuanya, mungkin Arga bakal pergi dari gue," lanjutnya lirih.
"Kenapa bisa seyakin itu?"
Larissa tertawa kecil, dan menjawab, "Gue bego ya, sudah tau kalau cowok minta tubuh sama ceweknya ... setelah itu si cowok bakalan pergi. Cowok kan gitu, kalau sudah dapetin apa yang dia mau, dia bakal pergi."
Samuel menatap bingung Larissa. "Sedangkal itu pikiran lo kalau lagi patah hati ya?"
"Kenapa sama gue?"
"Lo ngomong kayak tadi, seakan lo ngeraguin perasaan lo sama Arga, juga lo ngeraguin perasaan Arga sama lo. Lo yakin kalau Arga sebrengsek itu?"
Larissa menatap kosong ke arah anak-anak yang bermain di taman sana, cukup jauh dari posisi Larissa dan Arga.
"Arga, bakal tanggung jawab kalau gue kenapa-napa?" tanya Larissa lirih.
"Iya," jawab Samuel ragu.
"Semoga..."
"Sam," panggil Larissa.
"Apa?"
"Lo kan udah tau, semua yang gue perbuat sama Arga kemarin. Apa, lo enggak marah sama gue? Lo, enggak kecewa sama gue?" Larissa menatap Samuel dengan tatapan yang sulit di artikan.
Samuel tertawa, tertawa miris lebih tepatnya.
"Hanya karena dari kemarin gue terlihat biasa aja di depan lo, terus lo ngeklaim kalau gue enggak apa-apa sama apa yang lo perbuat dengan Arga?"
"Jelas Ca, jelas gue kecewa sama lo, jelas gue marah sama lo. Sahabat mana yang enggak bakal ngerasain itu kalau salah satu sahabatnya ngelakuin hal yang fatal sama cowoknya?" lanjut Samuel masih dengan tawanya.
Air mata Larissa meluruh. Apa ia sesalah itu, sampai membuat sahabatnya kecewa dengannya?
Larissa menghapus air matanya. "Lo marah sama gue? Sorry, maafin gue..."
"Sutt, udah gapapa kok." Samuel mengelus air mata Larissa yang kembali menetes.
"Terus kenapa lo enggak marah-marah sama gue? Kenapa lo malah kelihatan baik-baik aja dan masih bersikap baik sama gue?" ucap Larissa dengan suara parau.
"Gue enggak mungkin bisa lakuin itu sama lo, apa harus gue marah-marah sama orang yang lagi hancur kayak lo? Itu enggak bakal menyelesaikan masalah, lagian kalaupun gue lakuin itu, semua enggak akan berubah."
Tangis Larissa kembali pecah, ia akui ia salah, apa yang ia perbuat begitu fatal. Ingin rasanya menyesalinya, tapi ia ingat dengan perkataan Arga, bahwa itu akan baik-baik saja dan akan menjadi kenangan di antara mereka untuk tetap mengingatkan Larissa tentang Arga.
Samuel membawa Larissa ke dalam pelukannya. "Semua enggak akan berubah Ca, apa yang lo lakuin kemarin sama Arga enggak akan merubah fakta bahwa emang kalian udah lakuin itu."
"Lakuin apa?"
Larissa melepaskan pelukannya dari Samuel. Secara serentak mereka melihat ke arah sumber suara.
"Levin," gumam Larissa, ia bangkit dan berjalan ke arah lelaki yang ia jadikan selingkuhannya itu.
"Lakuin apa?" Levin mengulangi pertanyaannya.
"Sorry, bang. Sebelumnya, apa lo denger semuanya?" Samuel ikut bangkit dan berdiri di samping Larissa.
Levin menggeleng, bukan itu jawaban yang ia inginkan. Ia kembali bertanya, "Apa maksud lo tentang Arga sama cewek gue udah lakuin? Mereka udah lakuin apa?"
Samuel dan Larissa memilih bungkam, mereka bingung harus menjawab apa. Mereka takut akan melukai Levin, apalagi Samuel, ia begitu takut orang yang selalu ada buat Larissa-nya... Levin menjauh dari Larissa. Kalau begitu, siapa yang akan berperan sebagai penghibur Larissa-nya jika Levin memilih pergi setelah mengetahui semuanya?
Levin tertawa miris saat tak mendengar seucap katapun sebagai jawaban dari pertanyaannya.
"Vin, gue bisa jelasin semuanya..." Larissa memegang tangan kanan Levin.
Levin menggeleng pelan. "Hal fatal bukan? Kalau pikiran dewasa gue yang berpikir kalau hal fatal yang di lakukan cewek sama cowok itu hal yang berupa berhubungan badan gimana?"
Deg.
Jantung Larissa dan Samuel seakan berhenti berdetak untuk beberapa saat lalu berdetak lagi dengan cepat.
Samuel mengepalkan tangannya dengan rahang yang mengeras. Kenapa ia punya mulut yang tak bisa menjaga ucapan? Andai saja ia tadi tak berbicara banyak hal dengan Larissa mungkin Levin tak akan mendengar apa yang seharusnya tak Levin dengar.
"Kenapa diam? Dugaan gue benar?" desis Levin menggertakan giginya menahan perasaan membuncah berupa marah.
"Vin, maafin gue..." Air mata Larissa meluruh.
Levin menatap sakit pada Larissa. "Maaf? Berarti benar. Lo lakuin itu sama Arga? Kemarin kan?" tanya Levin sembari melepaskan genggaman tangan Larissa.
Larissa menatap tangannya yang di tepis, lalu menatap mata Levin yang juga menatap matanya.
Dada Larissa bergemuruh, hatinya sangat sakit melihat banyak luka yang tersirat di dalam netra coklat Levin.
"Maafin gue..."
Levin menggeleng dengan tatapan tak percaya.
"Lo..."
Sungguh, ingin rasanya mengucapkan semua keluh di hatinya, semua rasa sesak yang ia rasa pada Larissa, perempuan asing pertama yang ia cinta, perempuan pertama yang ia percaya, dan perempuan pertama yang memberinya luka.
Larissa rasa, mungkin ini saatnya ia jujur pada Levin. Ia ingin berucap, tapi suaranya tertahan dalam diam.
"Lo hebat, kamu hebat sayang," suara Levin bergetar, dengan air mata yang ikut meluruh menunjukkan betapa hancurnya ia kini di hadapan Larissa.
"Maafin gue..." Hanya itu yang mampu Larissa ucapkan, ia tak mampu. Yang membuatnya sakit hingga merasa hatinya teremat itu keadaan Levin yang menangis dalam diam di hadapannya.
Levin menggeleng. "Mau jelasin semuanya sama aku, atau aku yang gamblangin semuanya sama kamu?"
"Gue, gue jahat sama lo..."
"Aku tau, aku tau itu." Levin mengangguk.
"Gue udah berbuat jahat sama lo Vin..."
"Iya, jahat banget sayang." Levin tersenyum pedih.
"Kamu jadiin aku selingkuhan kamu, kamu nerima cinta aku karena rasa bersalah kamu, kamu pura-pura cinta sama aku karena kamu iba sama aku, dan kamu berbuat hal indah sama Arga. Itu kan?" beber Levin seraya terkekeh.
Deg!
Larissa menatap Levin terkejut, jantungnya berdetak hebat dengan hati yang begitu teremat.
"Lo, tau itu? Gue bisa jelasin semuanya, enggak kayak gitu... gue punya alasannya Vin," kilah Larissa cepat.
"Coba jelasin, gimana hem?"
Larissa bungkam, ia sendiri juga bingung harus bagaimana, sebab yang Levin ucapkan itu benar. Tapi tetap saja sudut hati kecilnya tak terima dengan apa yang Levin ucapkan.
"Kenapa kamu lakuin itu sama aku?"
Levin menatap Larissa dengan sorot mata terluka, "Apa perasaan aku sama kamu, kamu anggap bercanda? Apa kamu juga menganggap perasaan aku cuma bayangan semata? Apa kamu enggak ngerasain apa yang aku punya buat kamu? Apa kamu buta sayang? Apa semua yang udah aku lakuin, kasih ke kamu itu masih kurang buat buktiin kalau perasaan aku tulus sama kamu? Apa kamu gak bisa lihat itu? Apa kamu gak bisa ngerasin itu? Atau apa? ATAU HATI KAMU UDAH BEKU BUAT NGERASAIN ITU SEMUA?! HATI KAMU UDAH STUCK HANYA BUAT ARGA SAMPAI KAMU GAK BISA NGASIH SEDIKITPUN HATI KAMU BUAT AKU!"
Larissa reflex menutup matanya dengan tubuh bergetar mendengar bentakan Levin. Ini terlalu menyakitkan baginya, ini teramat sakit tapi ia tau, bahwa Levin lebih hancur dari dirinya.
"Kenapa? Kenapa kamu ngelakuin hal sehebat itu sama aku? Ha... kenapa? Kenapa sayang?" ucap Levin dengan suara bergetar.
Tangis yang Larissa bendung sedari tadi pecah seketika. Ucapan Levin begitu mengandung luka yang teramat dalam. Ini salahnya, ini karenanya.
'Kenapa gue bisa ngelukain malaikat baik kayak lo,' batin Larissa.
Gadis itu dengan tubuh bergetarnya memeluk Levin dengan erat. "Maafin gue, maafin gue, gue tau gue salah... gue jahat sama lo."
Pertahanan Levin runtuh. Ia memeluk Verra-nya dengan sangat erat, menelusupkan wajahnya di ceruk leher Verra-nya dan menangis disana.
Samuel memalingkan pandangannya, ia mengepalkan tangannya erat. Cemburu, sakit, kecewa dan marah berkumpul dalam hatinya. Tapi ia tak bisa egois, Levin lebih hancur daripada dirinya yang tak pernah mendapat pengakuan dari Larissa.
"Harusnya, kamu jujur dari awal sayang..."
Larissa tak menjawab dan hanya mengeratkan lagi pelukannya dengan isak yang semakin terdengar pilu.
Tubuh Levin bergetar dalam pelukan Larissa. Lelaki yang lemah perihal rasa itu menjatuhkan harga dirinya di depan gadis pujaannya.
"Hati gue sakit, hati gue sakit Ver... ini, hati gue sakit... gue enggak tahan..."
Larissa mengusap rambut belakang Levin, laki-laki yang selalu ceria, laki-lali yang selalu ada untuknya, laki-laki yang begitu tulus kepadanya, kini tengah menangis dalam pelukannya, kini telah hancur karena ulahnya.
Ingin rasanya Larissa berucap pada Levin, bahwa ia juga punya sedikit perasaan kepada Levin. Tapi mulutnya terasa terkunci untuk mengucapkan itu.
"Vin..." Suara bergetar Larissa membuat Levin semakin menelusupkan wajahnya di ceruk leher gadis-nya itu.
"Gue sayang sama lo tanpa alasan, gue cinta sama lo tanpa alasan, tapi kenapa gue harus mendapat luka karena banyak alasan? Apa ini adil?"
Pasokan oksigen di sekitar Larissa terasa hampa, nafasnya tercekat, hatinya seakan di tancapi banyak pisau. Begitu menyakitkan, mendengar Levin berbicara lirih seperti itu, dengan panggilan gue-lo. Panggilan yang belum pernah Larissa dengar dari Levin kepadanya.
"Jangan terus diam sayang, bantah kalau semua ucapan gue itu salah ... bantah kalau apa yang jadi kenyataan ini salah..." bisik Levin.
Larissa menggeleng lemah. "Kenyataan ini benar, apa yang sudah terjadi ini benar. Gue, sama Arga. Gue, sama lo ... semua ini benar, dan lo tau, Vin? Gue takut kehilangan lo berdua," sanggah Larissa.
Levin mengepalkan kedua tangannya di belakang tubuh Larissa. Ini bohong, ini kebohongan! Ini hanya mimpi, tapi kenapa bisa sesakit ini?!
Bisa Larissa dengar dengan jelas gemelutuk gigi Levin yang tengah menahan sesuatu yang besar dalam hatinya.
"Lebih tepatnya lo takut kehilangan Arga seorang, dan itu benar..." lirih Levin.
Ia mengendurkan pelukannya dan menatap mata Larissa yang sama dengannya, sama-sama di genangi air mata.
"Jawab pertanyaan gue secara jujur," tekan Levin.
"Apa lo sayang sama Arga?"
Larissa mengangguk.
Levin menelan salivanya dengan sakit.
"Apa lo cinta sama Arga?"
Larissa mengangguk.
Air mata Levin meluruh deras tak tau malu, menunjukkan titik hancurnya lagi di depan gadis yang begitu di cintainya.
"Apa lo takut banget kehilangan Arga?"
Air mata Larissa ikut meluruh, dan ia kembali mengangguk.
Levin terkekeh, 'Takut banget kehilangan ya?' batinnya.
"Apa lo sayang sama gue?"
Tanpa sadar Larissa mengangguk.
Levin tersenyum tipis diantara lukanya.
"Apa lo cinta sama gue?"
Larissa hanya diam, menatap Levin dengan mata yang semakin banyak digenangi airnya.
Levin tertawa diantara tangisnya. Sudah ia duga, Larissa hanya berpura-pura cinta kepadanya.
Larissa memalingkan wajahnya, memggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan. Seketika itu pula, air mata lagi-lagi meluruh semakin deras.
Inginnya ia mengangguk, bahwa ia juga mencintai Levin walau cinta itu tak sebesar cintanya pada Arga. Tapi seakan takdir telah merencanakan kebungkamannya.
Sepenuhnya Levin melepaskan pelukannya pada Larissa. Ia menekan kedua matanya dan menyeka kasar air mata yang terus saja mengalir tak tau malu.
"Oke, gue ... aku, aku kesini cuma mau bilang maaf, maaf karena dua minggu kemarin aku hilang kabar dari kamu, dan menghindar dari kamu. Aku hanya lagi nenangin hati aku, dari semua ke overthinking-annnya. Ingatan aku kembali saat itu, dan ketakutan aku selama ini, takut kalau di hati kamu bukan cuma ada aku aja, ternyata sekarang sudah terjawab semuanya. Bahwa di hati kamu, aku hanya salah satunya bukan satu-satunya."
Larissa meremat tangannya, ia tak ingin mendengar itu lagi, itu memang salahnya, tapi ia tak mampu mendengarnya.
Levin mengelus kedua pipi Larissa.
"Satu lagi, kemarin aku sama Mama, Papa, sahabat-sahabat aku sudah nyiapin sebuah pesta kecil. Aku mau ngelamar kamu kemarin. Tapi kamu bilang kamu sibuk sama urusan yang enggak bisa kamu tinggalin."
"Maafin gue." Larissa memejamkan matanya menikmati usapan Lembut Levin.
Levin terkekeh, "Satu lagi, kamu ingat orang kamu sama Arga cegat waktu di bukit?"
Larissa menatap Levin.
"Itu aku."
"Jadi--?" Suara Larissa tercekat.
"Iya, itu alasan paling kuat kenapa aku percaya kalau aku bukan satu-satunya buat kamu."
Levin kembali terkekeh, "Yang berarti, kemarin itu urusan yang enggak bisa kamu tinggalkan yaitu Arga, dan aktivitas kalian."
Larissa menggigit bibir bawahnya, isaknya lolos begitu saja, sudah ia bilangkan? Kalau ia tak mau mendengar kesalahannya yang kemarin itu, walaupun itu benar. Tidak, hanya saja itu terdengar begitu menyakitkan baginya.
Levin mengusap bibir bawah Larissa. "Gak boleh, nanti terluka..."
Lagi, tangis Larissa pecah bersamaan ia kembali memeluk Levin.
"I love you Verra..." bisik Levin, melepaskan pelukan Larissa.
Walaupun tak terima, Larissa tetap melepaskan pelukannya.
"Kita putus?"
*****
BERSAMBUNG
Huwaaaaa 😭 Akhirnya part ini jadi juga! ngetiknya sambil nangis juga, walaupun ku perempuan, tapi tetep ngerasain sakit kalau ada di posisi Levin 😭
Udah mah jadi selingkuhan, di terima karena iba, terus Larissanya melakukan aktivitas yang begitu ngancurin hati Levin!
Ah 💔
Jangan lupa tinggalkan jejak yaa.. :)
See u next chapter :3
-2275 kata-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro