Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 41

Tak ada yang baik-baik saja setelah terluka hebat karena kegagalan menjalin cinta. Yang ada, mereka yang berpura tampak baik-baik saja untuk menyembunyikan keretakan hatinya.

_______

Verra My Future Wife

[Nanti aku jemput kamu ya?]

[Sorry Vin, kayaknya aku belum bisa nemuin
kamu sekarang. Aku ada urusan yang gak bisa
ditinggal. Next time ya, aku kabarin sama
kamu]

Panggilan suara tak terjawab pukul 13.33

[Angkat dulu teleponnya sayang, aku
pengen ngomong sebentar sama kamu]

[Gitu ya? Yaudah gapapa kalau kamu gak
bisa nemuin aku sekarang]

[Tapi please angkat dulu teleponnya, aku
kangen suara kamu. Please dear...]

Tubuh Levin lemas seketika saat membaca balasan dari Larissa. Lagi dan lagi rencana yang sudah ia susun matang harus gagal karena penolakan Larissa yang selalu bilang ada kesibukan yang gak bisa aku tinggal.

Levin mengangkat wajahnya. Ia menatap satu persatu sahabat dan keluarganya yang tengah sibuk menghias taman belakang rumahnya.

Jordi yang membawa tiga buket bunga mawar putih, tak sengaja melirik Levin yang tampak kacau. Padahal beberapa menit yang lalu, sahabatnya itu begitu antusias dan ceria.

Ia berjalan mendekat dan menepuk bahu Levin yang membuat sang empu terkejut menatap Jordi.

Jordi terkekeh melihat reaksi Levin. "Lo kenapa sih, malah bengong gitu? Lihat noh persiapannya baru 70% dan kita masih harus siap-siap yang lainnya lagi! Tuh bantuin bokap lo yang lagi nata kursi sama meja di tengah, kayaknya dia kesulit--"

"Acara ngelamarnya batal," potong Levin dengan pandangan kosong.

"APA?!" teriak Jordi dan Jordan yang kebetulan dekat dengan mereka dan mendengar percakapan mereka.

"ADA APA VIN?" teriak tn. Mahendra.

"Jangan bilang lo serius sama ucapan lo Vin! Gue gak mau denger Vin, plis!" Jordan mengangkat kedua tangannya ke pinggir kepala dan menatap melas Levin.

"Gue serius." Levin menatap Jordan serius.

"Lo gak becanda kan Vin? Ayolah lagi-lagi persiapan yang udah kita siapin buat cewek lo itu batal! Waktu itu pas lo mau nembak dia di bukit, persiapan udah beres terus cewek lo gak dateng dan acara nembaknya batal. Terus sekarang?" Jordi menghela nafas lelah.

"Sekarang acara lamaran yang bakal lo kasih buat cewek lo itu lagi-lagi batal setelah persiapan hampir beres kayak gini! Masa acara kayak gini gagal dua kali berturut-turut sih Vin?! Gue tau lo cuma bohongan--kan?"

Ucapan jordi sempat terputus saat Levin menunjukkan isi chat balasan dari Larissa yang menolak menemui Levin.

"Masih nganggap gue bercanda?" Levin memiringkan senyumnya tipis.

"Lagi-lagi cewek sialan itu nolak pakai alasan yang gak jelas kayak gitu!" geram Jordi.

"Coba lo ulang kalimat lo barusan!" tekan Levin menatap tajam Jordi.

Jordi membanting buket bunga yang ia peluk.

"Cewek sialan punya lo, yang lo cintai, yang lo sanjung-sanjung itu lebih brengsek dari gue! Gue benci siapapun yang nyakitin sahabat gue termasuk itu cewek sialan lo it--"

Bugh!

"TUTUP MULUT LO DI! LO GAK BERHAK MAKI-MAKI CEWEK GUE DI DEPAN GUE!" bentak Levin setelah memberi bogeman mentah pada Jordi.

Bugh!

Jordi membalas bogeman pada Levin.

"KARENA GUE BENCI SAMA CEWEK YANG MUNAFIK KAYAK LARISSA LO ITU! GUE BENCI DIA YANG KHIANATIN LO VIN!" teriak Jordi.

Perkelahian mereka membuat semua orang menghentikan aktivitasnya dan beralih mendekat untuk memisahkan keduanya.

Levin menepis darah yang mengalir dari sudut bibirnya. "Apa lo bilang? Cewek gue munafik? Tau dari mana lo?! Lo tau?! Cewek gue gak pernah khianatin gue, dan itu gak mungkin terjadi!" tekan Levin menatap tajam Jordi.

Jordi terkekeh sinis. "Biar gue kasih tau--"

"Jordi jangan!" seru Erik menarik bahu Jordi.

Jordi menepis tangan Erik. "Kenapa? Mau sampai kapan kita sembunyiin ini ha?! SAMPAI KAPAN RIK!"

"Ada apa ini?" tanya tn. Mahendra tak ada yang menggubrisnya.

"Lo cuma selingkuhan Larissa," ujar Jordan membuat suasana menjadi hening seketika.

Levin menatap tajam Jordan. "Jangan ngefitnah cewek gue!" desis Levin sembari mengepalkan tangannya.

*****

Sementara itu, di vila kayu. Arga merebahkan tubuhnya di samping Larissa yang tampak kelelahan setelah aktivitas mereka.

"Makasih sayang, dan maaf," bisik Arga.

Larissa menatap Arga sendu. Air matanya menetes membasahi lengan Arga yang dijadikan penopang kepala Larissa.

"Aku takut," lirihnya.

Arga mengusap air mata Larissa. "Sutt, semua bakal baik-baik aja sayang... kamu percaya kan sama aku?"

Larissa mengusap perutnya yang tak terhalangi selembar kain pun. "Kamu gak boleh ninggalin aku Ga."

Tatapan Larissa yang tampak putus asa dengan derai air mata sungguh membuat hati Arga berdenyut sakit. Ia tau perbuatan mereka barusan adalah salah, ia tau ia brengsek karena mengambil mahkota gadis yang paling ia sayang sebelum adanya ikatan pernikahan. Tapi, Arga tak punya pilihan lain. Ia ingin Larissa tetap merasakan kehadirannya dalam diri anak mereka walaupun ia tak ada lagi disisi Larissa.

Arga mendekap erat tubuh tanpa busana Larissa.

*****

Jordan menjadi samsak kemarahan Levin. Sungguh, Levin tak terima saat Jordan berkata bahwa ia adalah selingkuhan bagi Larissa setelah Arga.

Arga.

Nama sahabat barunya yang Jordan tuding sebagai pacar pertama Larissa. Levin tak mau menerima kenyataan ini. Lagipula ia belum tau kebenarannya secara nyata dan hanya baru dari ucapan ketiga sahabatnya ini saja.

Tapi tetap saja, ia tak terima dan marah dengan ucapan mereka.

Jordi menarik Levin yang membabi buta menonjok saudara kembarnya, Jordan.

"Sadar Vin! Lo emang beneran cuma di jadiin selingkuhan sama Larissa! Kita gak bohong atau ngefitnah Larissa. Tapi ini emang kenyataannya!" seru Jordi.

"Gue tanya sekali lagi, kalian tau dari mana ha?! Sebelum punya bukti kalian jangan pernah nuduh cewek gue yang nggak-nggak!" tekan Levin.

"Kita emang gak punya bukti saat ini, tapi kita pernah lihat langsung kalau Arga sama Larissa emang jadian sebelum Larissa jadian sama lo! Dan lo tau?! Kalau Larissa nerima lo jadi pacar dia, karena cuma rasa bersalah dia karena dia pikir kecelakaan lo waktu itu gara-gara ngelihat dia pelukan sama Arga di depan cafe!"

Deg

Tiba-tiba jantung Levin berdetak semakin cepat. Pasokan oksigen di sekitarnya terasa menipis, ia tak dapat lagi bernafas teratur. Semuanya menjadi jelas, menjadi gamblang dan terasa sangat menyakitkan.

'Jadi, yang waktu itu serius Verra? Dan, Arga?'

Levin menundukkan kepalanya. Suasana disana hening, hanya terdengar suara isakan ny. Lisia dalam pelukan tn. Mahendra. Sebagai seorang ibu, ny. Lisia tentu tau bagaimana perasaan hancur anaknya sekarang. Dan lagi, ia tak menyangka bahwa Larissa, gadis cantik yang paling ia percaya sebagai sumber dari kebahagiaan anaknya ternyata juga sumber luka bagi anaknya.

Levin meninggalkan halaman belakang rumahnya. Ia masuk ke kamar, dan memakai jaket serta mengambil kunci motor.

*****

Seperti orang yang kehilangan Arah, Levin memacu kencang motor sportnya tanpa menghiraukan klakson berbagai kendaraan dan teriakan geram pengendara lain yang kesal dengan tindakannya.

Genggaman Levin pada stang motor semakin erat hingga menampakkan urat-uratnya yang nampak dari kulit putihnya.

Ingatannya kembali pada beberapa momen indah namun ganjil yang ia alami dengan Larissa. Ungkapan perasaannya yang hanya di balas senyum tipis oleh Larissa.

Larissa yang kadang sibuk dengan ponselnya, dan saat ia tanya. Larissa langsung beralih ke topik lain.

Ungkapan sayang Larissa untuknya yang ia rasa tak setulus saat ia mengungkapkan perasaan pada Larissa.

Tak terasa, air mata yang sedari tadi mengenang kini meluruh juga.

Ingatannya kembali memutar pada ucapan Jordi yang mirisnya tak ia sadari makna yang aslinya.

Jordi mengacak rambutnya kasar. "Ya tapi kan dia udah keterlaluan bikin lo khawatir, dia bahkan jalan sama cow--"

Levin memotong ucapan Jordi, sebelum lelaki itu menyelesaikan kalimatnya.

"Udah deh Di, lo dengerin gue! Dia itu gadis dari keluarga yang kurang baik, dia anak broken home. Lo tau? Biasanya anak dari broken home itu pada setia sama pasangannya! Dia gak bakalan nyakitin atau bahkan ninggalin seseorang, karena dia tau rasanya disakiti itu kayak gimana. Dan untuk kenapa Vera abai atau bahkan menghilang dan jalan sama cowok lain, itu gue yakin kalau dia punya alasan yang kuat. Dia sayang sama gue, dan hanya gue yang ada di hatinya!"

Levin terkekeh miris, air matanya meluruh lebih deras. Ia tak ingin mengakuinya namun sisi kevil hatinya terus saja beranggapan bahwa ucapan sahabatnya saat di halaman belakang tentang Larissa itu ada benarnya.

Levin menggeleng. Ia tak boleh percaya sama apa yang belum ia lihat sendiri kebenarannya. Verra-nya, gadis dinginnya adalah miliknya seorang dan dia adalah gadis yang paling sempurna dan baik baginya.

Semburat senja mulai terlihat di depan sana dan Levin masih belum ada niatan untuk menghentikan kuda besinya.

Saat mengingat ucapan sahabatnya, perlakuan Larissa padanya, obrolannya dengan Arga yang ternyata sama-sama membahas perempuan yang sama. Lagi, dada Levin bergemuruh. Saat ini, Levin kembali merasa jadi lelaki paling cengeng di dunia.

Tanpa sengaja, perjalanannya menuju arah bukit. Levin juga tak tau, ia hanya mengikuti arah jalan dan perasaannya saja.

Ia mengurangi kecepatan laju motornya menikmati hembusan angin di sore hari. Jalanan lenggang yang di apit oleh rimbunnya pohon pinus menambah kesejukan disana. Ia membuka kaca helm, menatap ke depan dengan tatapan kosong.

Suasana di jalan ini, cukup menenangkan hatinya yang terasa panas juga sakit.

"I love you Ver," gumam Levin di barengi dengan tetesan air mata yang tanpa sengaja kembali meluruh.

Dari arah berlawanan, sebuah mobil sport kuning melaju tak terlalu lambat juga tak cepat. Saat posisi mereka bersebelahan, mobil kuning tersebut membuka kaca mobilnya dan merentangkan tangan meminta Levin berhenti.

Levin berhenti dan menoleh ke belakang. Matanya membelak saat ia kenal dengan nomer polisi mobil tersebut. Buru-buru ia menutup kembali kaca helm nya.

"Mas, arah ke bukit?" tanyanya.

Levin memundurkan motornya agar sejajar, dan ia juga ingin memastikan satu hal.

Jantungnya berdegup kencang, lagi-lagi dadanya bergemuruh, ada rasa sakit yang teramat sakit ia rasakan saat netranya bersinggungan dengan netra hitam Verranya yang tengah menyender di bahu Arga.

"Mas?" tanya Arga lagi.

Levin mengangguk.

"Saya saranin mending putar balik Mas, soalnya di puncak bukit sana kata warga sedang ada angin yang cukup kencang."

Levin tak menghiraukan itu. Fokus matanya hanya ke arah Larissa yang nyaman menyenderkan kepalanya di bahu Arga.

'Pemandangan yang indah,' batin Levin tertawa miris, tanpa sadar tangan kirinya mengepal.

"Mas, denger saya kan?"

"Udah lah sayang, ayo pulang, pasti Bunda udah nungguin. Aku gak mau buat Bunda khawatir," ucap Larissa.

Deg deg.

'Sialan! Kenapa sesakit ini?'

Tanpa menghiraukan mereka, Levin melajukan motornya kencang ke arah puncak bukit. Ia tak perduli apapun lagi, ia sungguh tak perduli.

Suasana senja dengan angin sejuk di jalan perbukitan tak lagi dapat menenangkan hati dan perasaan Levin.

"Ternyata bener." Levin tertawa kering.

Sesampainya di puncak bukit, angin berhembus cukup kencang. Namun itu Levin rasa tak akan berbahaya.

Ia memarkirkan motornya di dekat pohon pinus. Pemuda itu berjalan ke arah tebing, yang langsung di suguhkan dengan pemandangan kota dan semburat dari cahaya jingga.

Berharap rasa sakitnya hilang, namun saat mengingat kembali kejadian tadi dan runtutan kejadian sebelumnya membuatnya lagi-lagi merasakan sakit.

Levin menjambak rambutnya, berharap bayangan menyakitkan itu lenyap dari ingatannya.

"AAAARRGGHHHH!"

Di tempat sepi itu, Levin tak menahan dirinya lagi. Ia berteriak dan menangis, memberi taukan kelemahannya pada kehampaan yang ada di sana. Bahwa ia lemah urusan hati, ia lemah urusan perasaan.

"KENAPA BISA SESAKIT INI TUHAN!"

"KENAPA CINTA PERTAMA GUE SEMENYAKITKAN INI HA?!

"KENAPA ORANG YANG PALING GUE BELA, ORANG YANG PALING GUE CINTA MALAH NGASIH GUE LUKA SECARA SENGAJA!"

"GUE SERIUS SAMA PERASAAN GUE TAPI DIA SEAKAN PERMAININ PERASAAN GUE! KENAPA CINTA BISA SEBERCANDA INI HA?!"

levin bersimpuh di atas tanah. Badannya bergetar seirama dengan suara tangis yang terdengar pilu. Seorang lelaki dewasa, yang banyak di anggap adalah lelaki kuat yang tak mungkin menangis hanya karena cinta.

Namun berbeda, lelaki juga punya hati, punya perasaan layaknya wanita. Masalah hati, lelaki yang benar-benar mencintai secara tulus dengan segenap perasaannya. Juga akan lemah saat perasaannya, saat cintanya berakhir dengan kisah seperti ini.

Hanya saja, lelaki akan benar-benar menangis jika ia sudah merasa benar-benar hancur, lelah dan sakit.

"Gue udah, gu-gue udah ngasih seluruh perasaan gue buat lo, tapi lo malah permainin kayak gini."

Levin mencengkram tanah, ia menggertakan rahangnya erat. "Gu-gue, gue, GUE YANG DENGAN SENGAJA CINTAI LO, DAN LO YANG SENGAJA PURA-PURA CINTA SAMA GUE!"

"Lo, cuma pura-pura..."

"Kamu cuma pura-pura Verra..."

"Aku tau, kamu cuma pura-pura..."

"Lo, kamu... cewek dingin yang berubah jadi lembut. Aku sadar, itu hanya pura-pura. Kamu hebat sayang... kamu bisa nipu aku sebegitu mulusnya. Sampai aku gak bisa bedain mana tulus kamu yang asli, dan mana yang pura-pura."

Levin terus saja meracau seakan di hadapannya memang ada Larissa, padahal disana hanya ada dirinya dan rembulan yang baru saja muncul melengserkan sinar senja.

Levin menghapus air matanya kasar. Ia menatap hamparan kota yang di hiasi kerlap-kerlip lampu di bawah sana.

'Tapi sebegitu hebatpun lo ngasih gue luka, gue bakal tetep sayang sama lo. Lo cewek pertama, dan terakhir yang bakal dan selalu gue prioritasin. Lo segalanya buat gue Verra.'

'I love u, but... I hate u.'

"Lo, orang pertama yang buat gue ngerasain jatuh cinta dan terluka di waktu yang sama," gumam Levin diakhiri dengan kekehan sakit yang terdengar miris.

*****

BERSAMBUNG

Tak ada cinta pertama yang berakhir bahagia. Orang pertama yang membuat kita jatuh cinta, terkadang juga berpotensi menjadi orang pertama yang bakal ngenalin kita pada sakitnya luka akibat cinta.

Jangan lupa tinggalkan jejak :)

See u next chapter :3

-2138 kata-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro