Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 35

Levin bangun dari tidurnya, mencengkram rambutnya kuat, saat kepalanya merasakan denyutan serta potongan kejadian yang samar terbayang dalam benaknya.

Bayangan ketika ia yang bulak-balik mengunjungi rumah Larissa.

Bayangan ketika ia down karena menghilangnya Larissa.

Bayangan ketika ia mengelilingi jalanan ibu kota dengan perasaan kalut.

Bayangan ketika ia menerima telepon dari Erik yang mengatakan perihal temannya yang sudah mengantongi informasi tentang Larissa.

Bayangan ketika ia melihat Larissanya tengah berpelukan dengan lelaki lain, hingga bayangan ketika motor yang dikendarainya bertabrakan dengan sebuah mobil sedan hitam.

"AAARGHH!" teriak Levin pada puncak rasa sakitnya, tubuhnya melemas dengan pandangan meredup. Ia pingsan.

"Sayang, kenapa? Hei, bangun. Levin, kamu denger Mama kan?" Ny. Lisia mengguncang tubuh Levin. Air matanya tak berhenti mengalir. Ia sangat tersiksa sedari tadi menyaksikan anak semata wayangnya mengerang kesakitan.

"Sayang, bangun..." lirihnya, bercampur dengan isakan. Ny. Lisia menyeka air matanya dengan punggung tangan. Tangan kanannya meraih ponsel dan mendial nomer kontak suaminya.

"Ayo Pa, angkat." Tangannya tak berhenti mengguncang tubuh Levin yang terbaring lemah di atas ranjang.

"Pa, Pa pulang Pa ... Levin," ucapnya tercekat.

'Ada apa? Kenapa Mama panik gitu?' tanya Tn. Mahendra ikut panik.

"Levin Pa, cepetan pulang..." lirih Ny. Lisia dengan isakan.

'Iya iya Papa pulang sekarang, Mama tunggu disana. Jangan panik, Papa segera pulang.'

"Cepetan Pa..."

Tut

Ny. Lisia menaruh ponselnya di atas nakas. Tangannya menyingkirkan anak rambut yang menghalangi kening putranya.

"Sayang, bangun hei ... Jangan buat Mama khawatir..."

"Kamu kenapa? Kamu tadi kesakitan, harusnya tadi kamu panggil Mam, biar Mama tampung sedikit rasa sakitnya..."

Wanita paruh baya itu tak hentinya bergumam, meracau tentang ketidakberdayaannya yang sakit dan tak tega menyaksikan putra tersayangnya seperti ini.

"Ma! Levin kenapa?!" tanya Tn. Mahendra panik, melihat istrinya yang tampak kacau serta anaknya yang terbaring lemah di atas ranjang.

"Pa, tadi Levin teriak-teriak kesakitan Pa." Tangisannya semakin terdengar pilu diiringi dengan isakan.

Tn. Mahendra merengkuh tubuh istrinya. "Sutt, Mama tenang dulu. Apa Mama udah panggil dokter kesini?"

Ny. Lisia menggeleng. Ia melepaskan pelukan dari suaminya dan kembali menggenggam tangan Levin, juga menatap putranya dengan pandangan sakit.

Tn. Mahendra menghela nafas kasar. Beginilah jika istrinya tengah panik, pasti hanya bisa meratapi dengan kesedihan, tak pernah bisa bersikap tenang dengan pikiran yang jernih untuk bisa keluar dari masalah dan memikirkan kemungkinan terbaiknya. Tapi ia mengerti. Ini semua karena kepanikan istrinya pada keadaan putra semata wayang mereka. Satu-satunya harta yang paling berharga untuk istrinya, dan tentu saja juga untuknya.

Dengan kuasa dan nama yang melejit di dunia bisnis, Tn. Mahendra dengan segera menelepon pihak rumah sakit tempat Levin mendapat penanganan, untuk segera mendatangkan dokter yang waktu itu menangani Levin.

Setelahnya, ia mendekati sang istri yang tak kunjung menghentikan tangisnya.

"Sebenarnya ada apa ini Ma?" tanyanya, sembari mengelus bahu sang istri.

"Mama gak tau Pa, tadi Mama lagi di ruang tv, terus Mama denger Levin teriak-teriak..." Suara Ny. Lisia menghilang, tercekat di tenggokan.

"Iyaa?"

Ny. Lisia menatap suaminya dengan mata berlinang. " Pas, pas Mama samperin, Levin ... Levin lagi teriak-teriak sambil neken kepalanya Pa," cicitnya menggeleng dengan telapak tangan menutupi mulutnya, manahan isakan.

Tn. Mahendra memeluk bahu istrinya. "Sutt, sudah ya..."

"Terus, pas, Mama panggil-panggil ... Levin gak nyahut, terus ... Levin pingsan Pa." Ny. Lisia menenggelamkan wajahnya di dada sang suami. Hati seorang ibu mana yang tak merasakan sakit, saat anaknya tengah mengerang kesakitan dihadapannya?

"Mama tenang dulu, sebentar lagi pihak rumah sakit bakalan dateng. Mama tenang ya, doain yang terbaik buat anak kita."

Ny. Lisia mengangguk samar.

Selang beberapa menit, pintu kamar Levin terbuka. Menampilkan lelaki muda cukup tampan dengan setelan seorang dokter. Lalu langkah dokter muda tersebut diikuti oleh dua orang wanita berbaju putih dengan celana bahan hitam. Dan juga seorang lelaki muda berpakaian sama seperti kedua wanita tersebut.

"Maaf kalau saya telat Tuan," ujar si dokter muda tersebut dengan ramah.

"Sudahlah, cepat periksa anak saya!" titah Tn. Mahendra. Yang langsung di laksanakan oleh dokter muda tersebut.

"Bagaiman?!" Ny. Lisia bertanya dengan terburu.

"Ini hanya efek biasa yang di alami oleh orang yang mendapat kembali ingatannya. Dan sepertinya, Levin terlalu memaksakan pikirannya untuk mengingat semuanya dengan singkat. Makannya efeknya sampai seperti ini." Jelas dokter muda itu dengan tenang.

Sepasang suami istri itu akhirnya dapat bernafas lega.

"Tapi dia akan baik-baik aja kan?"

Sang dokter tersenyum tipis. "Tentu Nyonya," jawabnya.

"Kira-kira, kapan anak saya akan sadar?" tanya Tn. Mahendra kali ini.

"Dalam beberapa jam pasti akan sadar Tuan."

"Ah baiklah," desah Tn. Mahendra tersenyum tipis ke arah istrinya.

"Karena tidak ada lagi yang perlu di cemaskan, saya pamit undur diri ... Tuan, Nyonya."

"Dan, berikan obat ini kepada Levin ketika ia terbangun nanti." Lanjut dokter muda tersebut.

"Baiklah, terimakasih." Tn. Mahendra mengulurkan tangan ke arah sang dokter.

"Tak apa, panggil pihak kami lagi dengan segera jika terjadi sesuatu lagi pada Levin." Sang dokter menyambut uluran tangan dengan senyum ramah terpatri di bibirnya.

"Tentu." Tn. Mahendra tersenyum seraya melepaskan jabatan tangannya.

Ny. Lisia menatap sendu putranya. Tanpa mengalihkan tatapannya, ia berujar, "Pa, Levin udah inget semuanya. Pasti dia bakalan sedih lagi kalau inget sama kejadian itu."

Tn. Mahendra merangkul dan mengelus bahu sang istri. "Ya. Kita tak tau apa yang akan terjadi. Jadi, berdoa saja apapun yang terbaik buat putra kita Ma."

*****

Matahari secara perlahan merangkak naik untuk lebih memancarkan cahaya juga panasnya di atas sana.

Setelah sadar dari pingsannya di dini hari, Levin tak dapat lagi memejamkan matanya barang sekejap. Ia tak dapat lagi menenangkan pikiran juga hatinya. Sudah berapa jam lamanya pemuda tampan itu termenung di atas ranjang.

Menenggelamkan kepalanya diantara lipatan lutut yang di peluk tangan.

Tak tau lagi, ia tak mengerti lagi, ia bingung dengan pikirannya yang melayang kemana-mana. Hati nya berkecamuk, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang sulit ia dapatkan jawabannya.

Hanya satu yang dapat menyimpulkan apa yang ia rasa saat ini.

Sakit

Ya, ia begitu sakit saat ingatannya diisi dengan adegan pelukan dari orang yang begitu ia cintai.

Sekali lagi ia menampik penglihatan dan persepsinya.

"Itu tak mungkin Veraku. Veraku hanya mencintaiku dan hanya aku. Ia tak mungkin melakukan itu disaat kalutku mencarinya. Ya, itu hanya orang yang kebetulan mirip sama dia," gumam Levin dengan tarikan sudut bibir membentuk senyum yang terlihat sakit.

Tidak, senyum itu hanya berpura. Nyatanya, air mata dari retina terjun bebas menuruni pipi tirusnya. Dan jatuh setelah mengenang banyak di bawah rahang.

Suara ketukan pintu, membuat Levin mendongakkan wajahnya ke arah pintu.

"Sayang, ada temen kamu nih!" seru Ny. Lisia menyembulkan kepalanya diantara calah pintu.

Levin hanya merespon dengan deheman.

"Masuk jangan?" tanya Ny. Lisia.

"Woy Vin, kita masuk ya?!" teriak Jordan di luar pintu.

"Masuk aja!" jawab Levin dengan suara serak teredam.

Mata ny. Lisia sedikit berkabut melihat keadaan putranya. Suara serak itu, ia sebagai ibu tentu tau bahwa perasaan putranya sedikit terguncang akan kenyataan yang baru saja di ingatnya. Ny. Lisia lantas membuka lebar pintu dan memberikan senyuman tipis pada ketiga pemuda di hadapannya sebagai kode bahwa mereka boleh masuk.

Wanita paruh baya itu lantas menutup pintu dari luar. Mendongakkan wajahnya ke atas, dan menyeka air mata yang nyatanya tak bisa ia redam. Ny. Lisia menoleh kembali pada pintu hitam, lalu melangkahkan kakinya menjauhi kamar tersebut.

Jordan, Jordi dan Erik terbelak melihat kondisi Levin yang sangat berbeda. Tampak seperti Levin yang waktu itu kehilangan kabar Larissa selama dua minggu. Kantung mata menghitam, sorot mata meredup dengan kabut, juga rambut dan penampilan yang jauh dari kata baik.

"Lo, kenapa Vin?" tanya Erik.

"Gue inget semuanya," lirih Levin terkekeh pedih.

Jordan merangkak naik ke atas ranjang, ia menepuk bahu sahabatnya yang tak lagi sekokoh waktu sebelum mengenal cinta.

"Gue tau apa yang lo rasain. Kita tau, kita faham..." ucapnya.

Lagi-lagi Levin terkekeh, dibarengi dengan air matanya yang kembali meluruh.

Biarlah. Ia tak peduli dengan harga dirinya sebagai lelaki di hadapan sahabatnya. Dadanya terlalu sesak dengan sakit dan ia hanya bisa meluapkannya dengan air mata saja.

"Itu bukan Vera gue kan Dan?" lirih Levin.

Mereka mengerti jika yang di bicarakan Levin adalah kejadian saat Larissa dan Arga berpelukan di depan cafe.

Disaat Levin menunduk, mereka saling tatap dalam sekejap. Mereka ragu untuk menjawab pertanyaan Levin, apakah mereka harus menjawab jujur atau tetap bungkam dengan mengelak ke jawaban yang lain?

"Vin, lo positif thinking aja. Jangan terus bebanin pikiran lo sama hal yang bisa buat lo sakit. Bukannya lo percaya sama cinta lo, juga sama cinta dari Vera lo?" Pertanyaan juga peryataan dari Erik membuat Levin menoleh.

Apa ia bisa mempercayainya?

Tapi bagaimana jika itu memang Veranya?

Jordan dan Jordi menatap Erik. Erik menggeleng samar.

Levin tampak termenung sesaat. Ia menatap ketiga sahabatnya, ia rasa ada yang kurang.

"Dimana Arga?" tanya Levin.

Sudahlah, ia hanya tak mampu untuk terus memikiran hal yang terasa menikamnya secara perlahan namun menyakitkan itu. Ia hanya tak tau kebenarannya.

"Dia lagi jalan sama ceweknya," Jawab Jordan.

Levin mengukir senyum tipis. "Kayaknya kisah Arga sama ceweknya berjalan mulus. Gue seneng dengernya."

Andai

Andai

Andai

Andai saja Levin tau kalau pacarnya Arga itu Larissa. Orang yang sama yang juga di cintainya.

Ingin rasanya mereka berteriak seperti itu di hadapan Levin. Tapi mereka tak tega melihat satu sahabat mereka semakin terperosok dalam luka. Apalagi mereka tak ada bukti untuk memperkuat ucapan mereka nanti.

Biarlah, biarkan saja Levin tau dengan sendirinya. Karena cepat atau lambat, semuanya akan terungkap.

Perkataan seseorang yang melekat erat di dalam otak tiga pemuda.

*****

Ruang makan yang di dominasi warna putih pastel, dengan furniture kayu yang nampak elegan juga antik.

Meja makan bulat yang terletak di tengah ruangan tampak penuh juga hangat dengan tawa, dan ramai dengan pertengkaran kecil antara Arka dan Arga.

"Nyesel gue jadi abang lo!" sungut Arka yang mendapat pelototan dari Arga.

"Heh! Ngapain juga lo lahir duluan dari gue ha?! Gue gak nyuruh lo lahir jadi abang gue juga!" balas Arga.

"Yang ada itu gue! Ngapain lo lahir ha?! Seneng deh kayaknya gue kalau lo gak lahir!"

Arga membulatkan matanya. "Jangan salahin gue, tanya aja sama Bunda sama Ayah kenapa gue bisa lahir. Lagian juga ngapain juga lo sirik sama kegantengan yang gue punya?! Harusnya lo bangga punya adek ganteng kayak gue, bukan sirik!"

Arka menjambak rambut Arga. "Gue gak sirik ya! Lagian gue yang lebih ganteng dari lo!"

"Aw sakit sialan!" Arga menepis tangan Arka hingga terlepas.

"Halah lemah!" cibir Arka. Padahal memang benar, Arka hanya menjambak pelan rambut adiknya.

Abyan Arkanda. Lelaki paruh baya itu hanya menggeleng kepala melihat kedua anak bujangnya saling melempar ejekan. Sudah tak heran, sebab mereka memang seperti itu. Tak pernah akur, kadang kala akur hanya pada situasi sendu saja.

"Sudah-sudah Arka, jangan lagi mengejek adikmu. Dan Arga, jangan lagi meladeni abangmu!" lerainya.

Arka mendengus, "Selalu saja Arga yang di bela!"

Abyan terkekeh. Ia menepuk bahu anak pertamanya. "Kau kan abang, jadi harus mengalah!"

Arka membuang wajahnya kesal. Tapi ia mengerti akan perlakuan kedua orang tuanya yang berlebihan kepada Arga. Dan ia juga akan melakukan yang sama, ketika ia akur dengan adiknya.

"Kau kan abang, kau kan abang, kau kan abang!" gerutu Arka mengulangi kata keramat yang setiap hari ia dengar.

Arga terkekeh. "Ya kan lo emang abang! Jadi harus banyak ngalah, apalagi sama adek lo yang lebih tampan dari lo!"

"Lo!--"

Ingin membalas ucapan Arga, namun Maria sang Bunda yang datang dari arah dapur dengan tangan membawa makanan terlebih dulu menyela.

"Sudah waktunya makan siang. Nanti aja di lanjut debatnya!" lerai Maria dengan mendudukkan bokongnya di kursi sebelah kiri Larissa.

"Ica." panggil Maria.

Larissa menoleh. Ia yang sedari tadi anteng menyaksikan perdebatan unfaedah kakak beradik itu, menjawab, "Iya Bun?"

Sembari menyendokkan nasi ke atas piring untuk sang suami, Maria berujar, "Bunda udah lama... banget pengen ketemu sama kamu. Bunda kangen tau, udah hampir tiga belas tahun kan, kita pisah?"

Larissa tersenyum tipis dan mengangguk. "Kirain Ica, Bunda udah lupain Ica," jawab Ica juga ikut membantu mengambilkan nasi untuk piring Arga yang sudah tersodor di depan wajahnya.

"Nggak lah, Bunda gak pernah lupa. Apalagi sama cinta pertama anak bungsu Bunda," ucapnya terkekeh.

"Bunda apaan sih!" gerutu Arga sembari menunjuk lauk, yang akan di ambilkan oleh Larissa.

"Hahaha tapi emang bener kan?"

Arga berdecak. Sedang yang lain hanya terkekeh.

"Sayang, biar Arga ambil sendiri makanannya ... kamu makan aja!" tegur Maria.

"Gak apa kok Bun." Larissa tersenyum tipis sembari mengambilkan lauk terakhir dan menyimpannya di piring Arga.

"Makasih honey!" ucap Arga setelah makanannya tersaji lengkap di atas piring di hadapannya.

Larissa tersenyum tipis mendengarnya.

Suasana makan tak juga hening. Arka yang gatal dengan lidahnya terus mengejek Arga tanpa alasan.

Larissa menyodokan daging sapi lada hitam ke mulutnya. Sesaat terhenti, ia mengingat jika Arga tak menyentuh makanan itu sama sekali.

"Arga," panggil Larissa.

"Iya sayang?" jawab Arga di sela-sela mengunyahnya.

"Makanan ini enak loh, kenapa gak makan ini? Mau aku ambilin?" tanya Larissa dengan tangan yang meraih sendok untuk mengambilkan lauk tersebut untuk Arga.

Ketiga orang disana terbelak.

Arga tersenyum gugup. "Aku--"

"Sayang, Arga gak bisa makan itu," tutur lembut Maria tanpa bisa menutupi ke gugupannya.

"Loh kenapa Bun?" tanya Larissa bingung nelihat semua orang di sana terkejut dengan penawaran sepelenya. Ya itu sepele untuknya, namun tidak untuk semua orang disana.

"Arga--"

"Yaudah sini." Arga menyodorkan piringnya kearah Larissa.

"Arga!" Maria menggeleng tegas.

Suasana di meja makan itu terasa sangat mencekam.

"Arga gak apa Bun," jawab Arga dan lagi, menanti Larissa mengambilkan lauk tersebut untuknya.

"Kata Bunda, kamu gak bisa makan ini Ga," jawab Larissa ragu.

"Aku bisa kok," jawab Arga terkekeh.

"Arga! Jangan!" sentak Abyan menepis tangan Arga yang hendak melahap masakan daru daging merah tersebut.

Tapi terlambat, Arga sudah mengunyahnya dengan santai. Ia hanya tak mau membuat keanehan yang membingungkan kekasihnya. Makannya ia dengan berani memakan daging tersebut.

"Gila lo Ga!" bentak Arka.

"Kalian apaan sih?! Diem aja lah kasian kan Ica bingung!"

"Arga," lirih Larissa ditengah kebingungan karena suasana yang berbalik suram.

Arga memberi tatapan isyarat pada Ayah, Bunda dan Arka untuk tetap diam dan bersikap biasa meskipun suasanya sudah tak dapat lagi mendukung.

Arga mengelus punggung tangan kanan Larissa menenagkan. "Udah ya, makannya abisin."

Larissa menatap Arga yang kembali memakan olahan dari daging merah tersebut. Lalu netranya beralih pada satu persatu orang disana. Tatapan mereka tampak, marah, takut, juga? Sedih? Entahlah.

Makan siang selesai dengan keheningan yang menemani. Kini, Arga berpamit untuk segera mengantarkan Larissa pulang. Karena ia tau, waktu yang dimiliki Arga tak lama.

Larissa bingung dengan semua yang terjadi secara mendadak ini. Ia dipaksa pulang denga alasan, bahwa keluarga Arga akan menghadiri acara dadakan.

Ia ragu, tapi ia takut untuk bertanya. Ia hanya mengiyakan semua perintah mereka.

"Arga, hati-hati di jalan!" seru Maria saat Arga baru saja melajukan mobilnya keluar dari pekarangan.

"Yah! Cepat suruh anak buahmu mengikuti Arga, Mama takut dia kenapa-napa dijalan!"

"Iya Bun, ini Ayah juga lagi memberi mereka perintah!" jawab Abyan sembari mengotak-atik ponselnya.

"Arka juga bakalan ikut Bun, Arka khawatir sama Arga. Arka duluan ya!" seru Arka sembari menaiki motor bebek yang terparkir di depan rumah. Lalu melajukan motor tersebut mengejar mobil Arga.

"Mereka bergerak mengikuti Arga!" ucap Abyan.

Maria menghembuskan nafasnya dengan cemas. "Ya Tuhan, lindungilah putra bungsuku."

"Dasar anak bodoh!" umpat Abyan merutuki Arga yang dengan seenaknya memakan makanan yang tak seharusnya ia makan. Karena itu sangatlah berbahaya untuk kesehatannya sendiri.

"Sudah lah ... Kita berdoa saja yang terbaik untuknya! Lagian juga Bunda yakin, Arga hanya tak ingin membuat Ica curiga."

"Tak curiga bagaimana? Sudah jelas tadi gara-gara kita Ica jadi sangat penasaran!" dengus Abyan. Maria mengelus bahu kokoh sang suami untuk menenangkan walaupun ia sendiripun tak tenang dengan rasa cemas yang berlebihan.

Disisi lain, sebisa mungkin Arga bersikap biasa saja. Walaupun keringat dingin telah nampak di pelipisnya.

"Arga, kamu gak papa kan?" tanya Larissa.

Arga tersenyum. "Nggak kok, gak papa."

Larissa mengangguk ragu, tak lagi menanggapi.

Sesaat setelah tiba di depan gerbang kediaman Larissa, Arga buru-buru pamit pergi. Larissa mengiyakan tanpa menaruh curiga apapun.

Baru saja menjauhi beberapa rumah dari kediaman Larissa, Arga menghentikan mobilnya di sembarang jalan.

Sungguh, ia sudah tak kuat. Melepas seat beltnya, Arga mencengram dadanya yang menyesak. Keringat dingin serta detak jantung yang menggila, membuat Arga semakin tak berdaya.

Tubuhnya lemas, nafasnya menyesak. Ia tak bisa apa-apa lagi. Lalu pendengarannya mendengar suara perintah, pertanyaan cemas dan berisik lainnya. Ia merasa dirinya dipindahkan ke kursi jok sebelah.

Sebelum pandangannya meredup, Arga melihat Arka mengemudikan mobilnya dengan cepat.

"Ga! Lo tahan sebentar ya!" ucap Arka khawatir.

Arga mengangguk lemah. Lalu pandangannya benar-benar meredup seiring kelopak mata yang tertutup sempurna.

Perasaan Arka semakin tak menentu. Ia takut, ia kalut. Tubuhnya bergetar melihat sang adik terkulai lemah.

"ARGAAA! PLIS BANGUN!" teriak Arka mengguncang bahu Arga dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mengendalikan kemudi mobil yang melaju kencang tak beraturan akibat kepanikannya.

"Arga sialan bangun!" lirih Arka semakin menambah kecepatan mengemudinya. Air mata menetes dari kedua kelopak mata tajamnya.

"Bangun Ga..."

*****

BERSAMBUNG

saya tau, semakin jauh.. cerita ini semakin tak jelas. semakin jelek dan semakin tak tertata. Tapi saya pastikan, saya akan merevisi nanti ketika selesai. Dan saya pastikan jika sudah mencapai ending, kalian akan mengerti dengan alurnya. Maaf membingungkan:)

Jangan lupa tinggalin jejak😉

See you next time.

2785 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro