Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 30

Setelah pertemuan Levin dan Larissa dua minggu yang lalu di sekolah, Levin tak pernah lagi bertemu gadisnya itu. Entahlah, Levin tak tau alasan Larissa sangat susah untuk ditemuinya akhir-akhir ini.

Dalam dua minggu pula, Levin tak pernah absen barang seharipun untuk tidak mengunjungi kediaman Larissa, berharap gadisnya itu ada dirumah dan mau menemuinya mungkin hanya untuk beberapa menitpun tak apa.

Dengan kantung mata yang menghitam karena kekurangan tidur disaat lelahnya, Levin menatap benda pipih yang yang ada di genggamannya. Benda itu menampilkan room chat bersama kontak yang bernama Vera My Future Wife, room chat yang menampilkan deretan kata yang telah ia kirim untuk Larissa. Seribu pesan, atau mungkin lebih telah ia kirimkan. Berharap dengan spam itu, gadisnya akan membalas pesan darinya.

Mungkin bodoh, Levin tau bahwa ponsel Larissa telah dua minggu tak aktif. Namun ia tak mau menyerah, ia terus dan terus menanti pesannya centang dua abu, lalu membiru dan mendapat balasan.

Dengan ekor matanya, Levin melihat pintu kamar terbuka sedikit hingga melebar dan disana, ny. Lisia berdiri dengan senyum keibuan yang lembut dan menenangkan.

"Sudah ada balasan dari Larissa belum?" tanyanya mendekati Levin yang terduduk di atas karpet sembari menyenderkan punggungnya di sisi ranjang.

Tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel, levin menggeleng.

Ny. Lisia mengangguk mengerti. "Eum, Om Fauzan udah ngasih kabar baru soal Larissa?"

Lagi-lagi Levin menggeleng lemah. Hilangnya Larissa bagai tertelan bumi. Semua orang telah mencarinya namun tak ada yang dapat menemukannya. Bahkan, Larissa dikabarkan tidak masuk sekolah selama dua minggu ini. Tentu saja, para sahabatnya dan sahabat Larissa ikut mencari namun tetap saja Larissa tak kunjung dapat ditemui. Mungkin hanya seseorang yang mengetahui keadaan dan keberadaan Larissa saat ini.

Mencoba memecahkan keheningan, Ny. Lisia kembali bertanya, "Kamu udah dapat informasi dari para pelayan di rumah Larissa? Atau mereka masih bungkam?"

Levin menatap Mamanya sejenak, lalu menatap ponselnya lagi seraya menjawab lirih, "Mereka masih bungkam."

Menghela nafas berat, Ny. Lisia mengalihkan pembicaraan dari topik yang cukup sensitif tadi.

"Eum, kalau gitu ... Kamu makan dulu ya sayang, ini sudah larut dan kamu belum makan sama sekali dari pagi," ajaknya sembari mengelus bahu Levin.

Pemuda itu mendesah pelan, "Levin gak laper Ma."

"Tapi kamu belum makan apa-apa sayang, emang kamu gak kasian sama cacing diperut kamu yang pada kelaparan hem?"

"Apa sih Ma, udah deh Levin gak laper."

Ny. Lisia menghela nafas lelah. Memang, setelah Larissa tak dapat ditemui Levin, putranya itu jadi sering nenghabiskan waktu dikamar sembari menatap ponselnya dengan tatapan penuh harap. Lebih parahnya, Levin sudah absen kuliah selama sepuluh hari hanya karena down tak bisa bertemu Larissa. Ny. Lisia sudah berusaha membujuk putranya untuk tidak melakukan hal yang dapat merugikan dirinya. Ia ikut tersakiti melihat putranya lemah seperti ini.

Ny. Lisia mengelus rambut putranya. Berucap dengan sabar, diiringi rasa sesak dihatinya, "Walaupun kamu gak laper, kamu harus tetap makan ... Kamu belum makan sama sekali, kalau kamu gak makan, gimana kalau nanti kamu sakit? Terus kalau kamu sakit, kamu gak bisa lagi pergi ke rumah Larissa buat nyari gadis kamu itu. Kamu mau? Pas kamu sakit dan gak ngunjungin rumahnya, dia malah ada di rumah terus pas kamu sembuh dan kerumahnya lagi, dianya malah gak ada."

Levin menatap netra coklat sang Mama. Ia memikirkan kembali ucapan Mamanya tadi. Benar juga, kalau ia sakit ... Bagaimana caranya mencari tau keadaan dan keberadaan Veranya?

Melihat putranya berpikir, Ny. Lisia tersenyum tipis. "Gimana? Mau ya, makan malam?"

Levin mengangguk pelan. "Iya Ma, tapi Mama pegangin ponsel Levin ya ... Takutnya nanti Vera bales chat dari Levin pas Levin lagi makan," pintanya seraya menyodorkan ponsel.

Ny. Lisia terkekeh, dalam hati ia merintih ngilu. Ia merasa sangat tersakiti melihat putra tercintanya bersikap menyedihkan seperti ini.

"Gimana kalau Mama yang ambilin makan malam buat kamu, dan Mama anter ke sini?"

"Emang, gak apa-apa Ma kalau Levin kesannya nyuruh dan nyusahin Mama kayak gini?" tanya Levin ragu. Jujur saja, ia merasa sudah membuat Mamanya repot seminggu ini.

Lagi-lagi wanita paruh baya itu terkekeh. "Nggak lah sayang, tunggu bentar ya Mama ambilin dulu makanannya."

Levin mengangguk pelan.

Kehingan dalam kamar kembali melingkupi, tatapan mata Levin tak pernah teralih dari room chat bersama gadisnya.

Tak lama, ponsel yang ia pegang bergetar. Buru-buru ia memfokuskan tatapannya pada layar ponsel. Naas, ternyata yang menelfon bukan Veranya tapi sahabatnya Erik.

Menghela nafas berat, Levin mengangkat telfon tersebut.

'Hallo Vin,' sapa Erik seberang.

"Hem, apa?" jawab malas Levin.

'Gue bawa berita cukup bagus buat lo.'

Mata sayu Levin memberikan sinar binarnya sedikit. Ia harap, berita yang Erik maksud itu berhubungan dengan gadisnya.

"Apa?"

'Kita tadi berhasil desak pelayan di rumah Larissa buat buka mulut tentang kemana perginya cewek itu.'

"O ya?! Apa kata mereka? Dimana Vera? Apa dia baik-baik aja? Apa dia terluka? Apa di--"

'Lo kesini cepet!' Disana, Erik memotong perkataan Levin yang membuatnya pusing. Tanpa menunggu jawaban dari Levin, ia memutuskan telfonnya secara sepihak.

Levin berdecak mendengar titahan dari Erik. Tapi tak urung, senyumnya yang beberapa hari menghilang kini muncul kembali.

"Semoga Vera ada di rumahnya. Ah Tuhan ... Gue bener-bener kangen sama dia," gumam Levin, beranjak dan menyambar jaket yang tergeletak di meja belajarnya bekas pakai tadi siang saat ia kerumah Larissa.

"Loh sayang, mau kemana? Ini makan malamnya udah Mama siapin." Ny. Lisia berhenti melangkah di tengah tangga saat Levin juga tengah berjalan di tangga hendak ke lantai bawah.

Senyum Levin mengembang hingga kekehan kecil keluar dari mulutnya. "Levin mau nemuin Vera Ma."

Ny. Lisia membelakkan matanya. "Serius? Dia udah ada dirumahnya? Gimana kabarnya? Dia tadi udah balas chat dari kamu?"

Levin menggeleng. "Erik ngasih tau Levin kalau dia udah berhasil ngebuat pelayan disana buka mulut tentang keberadaan Vera Ma."

Senyum dari ny. Lisia yang tadi mengembang, seketika tersurut kembali. "Kirain Mama beneran dari Larissanya langsung. Kalau gitu kan bukan berarti Larissa ada di rumah."

Senyum Levin ikut menghilang. Tapi itu hanya sekejap sebelum ia semakin mengembangkan senyum tampannya kembali. "Gak apa-apa Ma, yang penting Levin udah tau dia dimana dan gimana kabarnya," kekeh Levin dengan polosnya.

Ny. Lisia ikut mengembangkan senyumannya.

"Yaudah, sekarang kamu makan dulu ya," ajaknya sembari melangkah meburuni tangga.

"Levin buru-buru Ma, kalau makan dulu nanti Levin ketinggalan berita dari mereka," tolak Levin ikut menuruni tangga.

"Tapi kan kamu belum makan sayang, Mama takut kamu kenapa-kenapa dijalan. Ayo, makan dulu ya ... sedikit aja," bujuk ny. Lisia menatap Levin penuh harap.

Levin tersenyum tipis seraya menggeleng. Ia memberi pengertian pada Mamanya yang sangat over protektif pada dirinya, "Mama gak perlu khawatirin Levin ya Ma, Levin baik-baik aja kok. Levin kesana cuman sebentar, nanti kalau Levin laper, Levin bisa makan di luar."

Ny. Lisia berdecak, ia menatap sendu putranya. "Jelas Mama khawatirin kamu, kamu belum makan dari pagi. Mama takut kamu kenapa-kenapa sayang, dan juga kesehatan kamu sangat penting. Jadi Mama mohon, kamu mau ya makan dulu disini sedikit aja."

Levin meletakan nampan yang Mamanya pegang ke atas meja, dan menggenggam lengan halus yang telah membesarkannya. "Vera lebih penting bagi Levin Ma, Mama ngerti ya sama posisi Levin sekarang."

"Tapi bagi Mama, kesehatan kamu lebih penting sayang. Inget, kamu sekarang punya magh."

"Levin bakalan baik-baik aja kok Ma, percaya sama Levin ya?"

Wanita paruh baya itu menghela nafas berat. Jika sudah begini, ia akan kalah dengan sifat keras kepala anaknya ini.

Dengan tak rela, ny. Lisia mengangguk.

"Tapi kamu harus segera makan, di jalan nanti kamu pokoknya harus cari makan dulu. Jangan sampai gak makan!"

Senyum Levin mengembang sempurna. "Levin janji, kalau Levin bakalan makan. Mama tenang ya," ucapnya mengelus kedua tangan dalam genggaman.

Rasa khawatir ny. Lisia sedikit menguap kala melihat senyum sumringah putra semata wayangnya.

"kalau gitu, Levin berangkat ya Ma. Kalau Papa pulang, jawab aja Levin pergi buat jemput calon mantu kalian."

Ny. Lisia lagi-lagi mengangguki ucapan semangat dari putranya.

"Hati-hati di jalan sayang," gumamnya yang tersirat nada khawatir

*****

Levin Pov.

Telfon dari Erik yang mengatakan tentang informasi yang menyangkut Vera, membuat hatiku yang semula diliputi kecemasan dan rasa takut seketika berubah menjadi kebahagiaan serta kelegaan yang aku rasakan.

Memang benar, setelah pertemuan terakhir aku dan Vera dua minggu lalu, kita tak lagi bertemu. Ia telah membuka blokirannya yang katanya tak sengaja kepencet. Ya, walaupun terdengar tak masuk akal, aku tetap mempercayai ucapannya. Aku begitu percaya padanya, sampai hatiku tak bisa untuk meragukan semua ucapan yang keluar dari mulut cantiknya. Dan aku tak tau, dia membuka blokir itu untuk apa jika dirinya saja tak mengaktifkan ponselnya dan membatasi orang lain untuk menghubungi dirinya.

Beberapa hari lalu, ketiga sahabatku membicarakan seorang siswa baru di Sma Alaska yang juga menghilang seperti Vera. Katanya, lelaki itu tak masuk sekolah berbarengan dengan Vera. Aku sih tak peduli dengan lelaki itu. Yang aku pedulikan adalah Vera, keadaan Vera, dan bagaimana kondisinya sekarang.

Aku memacu ducati panigale merah ku membelah jalanan ibu kota.

Menaikkan tangan kiriku untuk melihat jam, dan ternyata sudah pukul 21.56. Menghela napas berat, aku menambah kecepatan kuda besiku. Aku tak mau terlambat ke rumah Vera. Ah, aku sangat berharap gadisku itu ada di rumahnya ketika aku tiba. Tuhan... Aku begitu merindukannya.

Dalam khayalku, aku melihat Vera menyambutku dirumahnya dengan senyum manis seraya merentangkan tangannya menungguku memeluknya. Aku balas tersenyum tak kalah manis, berlari kecil dan merengkuh tubuhnya dalam pelukanku.

Aku tersenyum-senyum sendiri sepanjang perjalanan, mengangan-angankan dirinya yang juga merindukanku.

Hingga desisan lirih keluar dari mulutku. Aku merasakan perutku seperti dililit sesuatu yang membuatnya semakin terasa nyeri. Ah, sial! Aku baru ingat, aku belum mengisi perutku yang sekarang punya penyakit sialan yang merepotkan.

Semakin ku tahan, sakit itu semakin menjadi. Aku meremas perutku dengan tangan kiri sedangkan tangan kananku menahan keseimbangan kendaraanku yang mulai oleng. Sial! Aku tak bisa menahannya lagi, ini terlalu menyakitiku.

Aku mencoba menyeimbangkan kendaraanku. Aku tak boleh berhenti disini, aku harus ke rumah gadisku. Aku harus memastikannya sendiri. Jika gadisku tak ada, setidaknya pencarianku tak akan terasa berat karena aku akan mengantongi informasi tentang keberadaannya.

Disaat kalutku menyeimbangkan laju dan menahan sakitku, di depan sana, di depan sebuah kafe ... Aku melihat samar sosok Veraku tengah berada dipelukan seorang lelaki yang tak kukenali karena temaramnya pencahayaan disana.

Mencoba memfokuskan mataku, mempertajam penglihatanku.

Dengan jelas aku melihat, jika itu memang Veraku. Gadis yang aku tunggu kehadirannya, gadis yang telah memporak porandakan keadaanku di dua minggu ini, gadis yang selalu muncul diingatanku, gadis yang membuatku khawatir dengan keadaannya.

Ia tengah berpelukan dengan lelaki lain, disaat aku kalut mencari keberadaannya. Tiba-tiba hatiku merasakan denyutan yang menyesakkan, perutku memang sakit namun sakit dihatiku lebih mendominasi. Aku menggelengkan kepalaku menyangkal semua yang kulihat.

Fokus mataku kearah mereka yang masih berpelukan. Kendaraan yang ku kendalikan semakin tak stabil, selain sakit di perut, hatiku juga memberikan rasa sakit yang tiba-tiba mendominasi.

Ekor mataku melirik cahaya terang dari depan, aku menoleh dan ku lihat mobil sedan hitam melaju sama kencang ke arahku.

Jantungku berdegup cepat, tubuhku mendingin, aku tak bisa lagi mengendalikan semuanya.

Aku menoleh ke kanan, disana ... Sosok yang begitu mirip dengan Vera telah melepaskan pelukannya. Parasnya yang begitu mirip hingga tak ada celah, membuat hatiku semakin sakit. Pasokan oksigen di sekitarku ikut menghilang, dadaku sesak dan tenggorokanku menyekat.

Aku mengalihkan tatapanku dan mobil itu telah begitu dekat denganku.

Memejamkan mataku erat, berharap saat membuka mata, aku terbangun di atas ranjang dan sakit ini, kejadian ini, hanya sebatas mimpi.

*****

BERSAMBUNG

Sider? Gpp lah, aku kuat kok:)

Berharap kejadian ini hanya sebatas mimpi:)

See you next chapter❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro