Chapter 3✍
Lanjut, semoga masih penasaran sama ceritanyaa.
Banyak sekali typo nya,,,.maafkan yaa, proses belajar hihi.
*
*
*
"Aw, sialan! siapa sih!" bentak Levin menoleh ke arah yang menabraknya, dan seketika ia mematung.
"Sorry," ucap datar Larissa tanpa menoleh dan kembali melanjutkan larinya, tapi baru beberapa langkah, sudah dihentikan dengan teriakan Levin.
"Eh! Woy! Jangan lari dulu."
"Tunggu besok gue disini, gue bakal ganti rugi." Tanpa menunggu jawaban Levin, Larissa kembali berlari namun berubah dari ekspresi datarnya menjadi ekspresi yang penuh tekanan dan rasa takut.
"O-oh oke," jawab lirih Levin yang hanya dia sendiri yang bisa mendengar.
"Kenapa Vin?" tanya Erik bingung saat Levin masuk ke dalam mobil dengan ekspresi berpikir.
"Ah, itu tadi gue ketemu cewek yang mukanya mirip kayak dimimpi gue," ucap Levin masih dengan ekspresi berpikir nya.
"Kok pemeran dimimpi bisa muncul ke kenya--"
"APA?!" teriak Jordan memotong perkataan Erik.
"Bangsat! Kuping gue!" Jordi mengelus telinganya, sedangkan Levin dan Erik menatap tajam Jordan yang seenaknya teriak di dalam mobil dengan suara menggelegar.
"Eh. Hehe ... sorry," ucap Jordan dengan tatapan melas yang tidak ada imut-imutnya.
"Jadi itu cewek beneran mirip sama yang ada dimimpi lo?" tanya Jordan berusaha mengalihkan atensi mereka dari hal tadi.
"Iya, itu! Seriusan. Wajahnya mirip banget sama yang ada dimimpi gue. Tapi kok ekspresi nya datar ya?" tanyanya sendiri pada diri sendiri.
Jordi yang sempat melihat sekilas wajah Larissa bergumam jelas, sehingga dapat didengar oleh mereka. "Gue liat dia cantik, uhmm apa gue jadiin pacar aja kali ya?" jiwa playboy nya bergejolak.
"Iya cantik." Levin mengangkat sudut bibir kiri ke atas membentuk senyum sinis.
"Mau mati tanpa kepala sekarang, atau mau gue sengsarain dulu keluarga lo baru lo mati hem?" Levin merendahkan suaranya..
Jordi yang mendengar itu jadi merinding apalagi saat membayangkan ia mati tanpa kepala, setelah sengsara. Tidak, ia tak mau itu terjadi, enggak-enggak. "Enggak! Enggak mau Vin! Gue enggak mau mati sekarang hwaa gue belum nikah!"
Mereka bertiga tertawa saat Jordi menggeram frustasi.
*****
[Mengandung unsur kekerasan, bijaklah dalam membaca]
*
*
*
Suara tamparan tangan besar menampar pipi mulus Larissa.
"Saya tidak pernah mengajarkan mu berbuat hal yang tidak senonoh! Memalukan bodoh!" bentak tn. Tio dengan ayunan tangan yang siap kembali menampar, namun terhenti saat Larissa berkata dengan lirih.
"Mengajarkanku?" Larissa terkekeh miris.
"Mengajarkan seperti apa Ayah? Dari kecil Ica hanya mendapatkan bentakan, dan kekerasan dari Ayah. Apa itu mengajarkan yang Ayah maksud?" lanjut Larissa penuh penekanan. Tn. Tio yang sudah kalut mengabaikan ucapan Larissa dan kembali melayangkan tamparan.
"Sudah berani menjawab kamu ya?!"
Pria paruh baya itu menarik rambut Larissa. Sehingga membuat sang empu mendongak, memejamkan matanya meresapi rasa sakit yang mendera dikulit kepala.
"Setelah membuat istri dan putra Saya meninggal, Kamu masih berani menjawab perkataan Saya, dan membantah kesalahanmu dengan memojokan Saya! Dasar jalang tidak tahu diri!"
"ENYAHLAH! DASAR PEMBAWA SIAL!" teriaknya mendorong tubuh kecil Larissa.
Larissa meringis, memegangi kepalanya yang berdarah akibat terbentur sudut meja.
"Bangun kamu!" bentak tn. Tio menarik kembali rambut Larissa dan menyeretnya ke halaman depan mansion.
"Maafin Ica Ayah," lirih Larissa saat di seret, tapi seakan tak mendengar, dengan teganya tn. Tio mengikatkan rantai anjing yang terdapat disebuah tiang pada leher Larissa.
_____
Saat melihat Ayahnya telah memasuki mansion, air mata Larissa meluncur tanpa bantahan. Wajar saja, ia telah menahannya sedari tadi. Ia tidak mau terlihat lemah di hadapan Ayahnya.
Di tengah mendungnya langit senja,
Larissa meremas rok sekolah yang masih ia kenakan, berharap segukan tangis tak mengeluarkan isakannya.
Jalang.
Kata laknat yang terucap dari bibir sang Agah yang ditujukan kepadanya.
Miris.
Miris sekali, begitu menyakitkannya panggilan itu bagi Larissa. Jika boleh memilih, Larissa lebih baik dicaci maki, dianggap tidak berguna dan dianggap pembawa sial. Mungkin ia akan menerimanya dengan senyum tipis dan hati ikhlas, tapi tidak dengan tuduhan jalang itu. Ia bukan jalang, ia tak serendah itu, ia tak mungkin mengkhianati Ayahnya, ia tak mungkin mempermalukan sahabatnya, ia tak mungkin menjatuhkan nama baik keluarganya, ia bukan jalang, ia bukan jalang, 'aku bukan jalang, aku tak serendah itu Ayah, aku bukan jalang."
"Aku bukan jalang! Aku bukan jalang Ayah, aku pembawa sial bagi Ayah, aku tak berguna bagi Ayah, aku, aku--" Suaranya tercekat, teriakan dan gumaman lirih Larissa yang di iringi Isak tangis pilu itu terdengar samar, bercampur dengan suara derasnya air hujan.
Larissa memeluk dirinya sendiri untuk menahan lapar dan dingin, ia menatap kosong ke depan.
Empat puluh menit yang lalu-
Larissa membuka pintu mansion secara tergesa-gesa. Setelah masuk dua langkah, cambukan langsung melayang kebetis kirinya.
"Bodoh!" umpat tn. Tio mencambuk betis kiri Larissa, hingga membuatnya terjatuh duduk dilantai.
"Tak tahu diri!"
Cambukan kembali Larissa dapatkan dipunggungnya.
"Anak yang tidak tahu berterima kasih!" bentaknya dan terus mencambuki Larissa yang masih terduduk diam, menerima cambukan yang diiringi dengan bentakan dan hinaan.
"Bangun kamu!" Tn. Tio melayangkan tendangan ditubuh kecil Larissa, yang tadi sempat mencoba untuk berdiri.
"Sudah melayani berapa lelaki kamu ha?!" ucapnya melemparkan beberapa foto ke wajah Larissa.
Foto itu berisi, Larissa yang terbaring diranjang di bawah kungkungan Dira yang menindih di atasnya, kejadian itu dua minggu yang lalu waktu mereka belajar bersama di kamar Dira. Yang mana, Dira tersadung karpet dan tanpa sengaja menindih Larissa yang kebetulan tengah duduk diranjangnya sambil bermain ponsel.
Fery dan Samuel bahkan Ibu Dira yang sedang mengantarkan cemilan pun ada di sana. Namun entah siapa, dan bagaimana seseorang itu bisa mengabadikan kejadian beberapa detik itu.
"Kenapa diam?! Masih terasa kah nikmat bercintanya ha?!"
"Ayah salah paham, Yah ... itu enggak sengaja, temen Ica enggak sengaja kesandung Yah, ica enggk mungkin lakuin hal it--"
"Diam! Setelah ada bukti, kamu masih mau mengelak? Apa masih kurang uang yang saya kasih sama kamu, sampai kamu ngejalang kayak gitu?!"
"Ayah," lirih Larissa.
"Saya malu di panggil Ayah dari anak menjijikan seperti kamu!" bentak tn. Tio menampar pipi kiri Larissa, lagi.
Sakit, semenjijikan itukah ia?
"Sudah tidur dengan berapa lelaki kamu?! Dibayar berapa hem? Apa lebih besar dari uang saya kasih sama kamu?!"
Miris.
Serendah itukah ia?
"Ayah dengerin dulu, itu salah paham Ayah, Ica bukan jalang Yah, Ica enggak seperti yang Ayah bil--"
"Diam!" bentak tn. Tio. Lagi, ia menampar pipi Larissa.
"Saya tidak pernah mengajarkanmu berbuat hal yang tidak senonoh! Memalukan bodoh!"
____
Tn. Tio seakan tak mengindahkan setiap penjelasan Larissa dan lebih percaya dengan foto yang entah dari siapa itu.
*****
Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda.
Di ruang makan yang terlihat hangat dengan canda tawa, sudah seperti kebiasaan makan malam tanpa dibatasi aturan. Bagi mereka, waktu makan malam adalah quality time yang semakin mengeratkan hubungan.
"Oh ya Ma, tadikan Levin ke Sma Alaska--"
"Terus-terus? Ketemu enggak sama gadis itu? Apa dia bakalan jadi menantu Mama? Apa dia cantik kayak Mama? Apa kamu menyukainya?" tanya ny. Lisia memberondong.
"Ishh Mama. Main potong-potong aja, orang belum beres juga ngomongnya," gerutu Levin.
"Ya maaf, ya sudah sekarang kamu ceritain!" pinta ny. Lisia.
"Nanti aja setelah makan," usul tn. Mahendra.
"Ishh Papa! Sekarang aja sayang ayo ceritain sama Mama sambil makan," rengek ny. Lisia.
"Iya." Levin pun menceritakannya. Mulai dari ia yang menunggu, sampai punggungnya ditabrak seseorang yang ternyata itu wanita dalam mimpinya, serta ia yang disuruh untuk menunggu Larissa, besok di gerbang sekolah. Termasuk ekspresi datar dan tatapan takut dari mata Larissa, ia ceritakan kepada kedua orang tuanya.
"Kenapa kelihatan takut begitu?'' tanya tn. Mahendra yang diangguki ny. Lisia.
"Entahlah Pa, Levin juga gak tau. Orang pertemuannya aja singkat gitu,"
dengus Levin.
"Ahh kita punya misi baru!" Ny. Lisia terlihat bersemangat.
Dua lelaki itu hanya menatap kearah ny. Lisia dengan aneh. Mereka saling tatap. Tak lama, mereka menelan makanan secara paksa saat mengerti tatapan semangat dari wanita yang mereka cintai itu.
"Mi-misi baru apa ma?" tanya tn. Mahendra ragu-ragu. Tersenyum, siap mendengarkan jawaban yang sepertinya harus mereka maklumi.
"Iya! Misi, tadikan Levin bilang kalau calon menantu Mama kayaknya lagi ketakutan. Nah, ntar Papa harus nemenin Mama memata-matai dia dan cari tau, kenapa dia ketakutan kayak gitu, gimana? Ide Mama oke badai bukan?" Saking semangatnya, ny. Lisia bahkan berbicara sambil mengetukan sendok ke meja makan, dengan tatapan berbinar.
Ia membayangkan, betapa kerennya ia jika menjadi seorang detektif yang memakai mantel khusus, membawa kaca pembesar dan teropong mata yang menggantung dilehernya.
Tn. Mahendra dan Levin yang melihat wanitanya tersenyum-senyum sendiri jadi merinding, dan mereka tau apa yang sedang wanita itu pikirkan.
Dengan cepat, Levin menghabiskan makanannya. Karna ia tak mau jika ia meladeni Mama-nya pasti ia juga akan terkena semprotnya juga Jika membantah.
"Levin sudah selesai makannya. Mau pamit ke kamar langsung. Night Mama." Levin berjalan cepat menuju lantai dua setelah mencium pipi sang Mama.
"Iya sayang." Ny. Lisia menanggapi.
"Eumm jadi gimana Pa? Kalau kita jadi couple detekt--"
Uhuk-uhuk.
"Ekhem. Sayang maaf ya, Papa ke toilet dulu." alibi tn. Mahendra lari terbirit-birit ke kamar mereka yang ada di lantai satu.
"Ish Papa apa-apaan sih! Mau bicara serius juga malah ke toilet, apa sih yang spesial dari toilet itu, kesel deh!" gerutu ny. Lisia
"Kan keren kalau Suami-Istri jadi detektif," gumamnya menopang dagu dengan tangan kanan, sepertinya ia sedang melanjutkan khayalan yang sempat terjeda.
Para pelayan yang menyaksikan kelakuan majikan mereka hanya tersenyum geli, sambil menggelengkan kepalanya pelan. Dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
*****
Taman yang indah dipenuhi tanaman bunga mawar berbagai warna.
Larissa, Bundanya dan Abangnya sedang duduk di kursi panjang. Disana, Larissa mengadukan semua yang sudah ia alami dan semua yang dia rasakan selama ini kepada Bunda dan Abangnya.
''Bunda, Ica rindu Bunda, Ica juga rindu Abang, Ayah jahat bun, sekarang Ayah sering mukul Ica, bentak Ica ... Bunda juga jahat, kenapa Bunda lebih sayang sama Abang dan membawa Abang pergi sedangkan Ica di tinggal sendirian, Bunda gak adil. Disana Bunda bahagia sama Abang tanpa adanya Ica.
Bunda tau? Sejak saat itu Ayah selalu marahin Ica, siksa Ica, padahal Ica enggak tau apa salah Ica, Ayah selalu salahin Ica. Bunda, Bunda tau? Ica udah cape Bun, Ica lelah, Ica pengen sama Bunda sama Abang aja di sana," keluh Larissa dengan tangis tersedu-sedu.
''Enggak sayang, kamu harus kuat ya, kalau kamu ikut Bunda sama Abang, nanti Ayah akan kesepian, kasian dia sayang. Kamu yang kuat ya," ucap lembut Bunda Larissa, mencium rambut putrinya itu.
''Tapi Ica udah enggak kuat Bun," lirih Larissa tersedu, Abangnya segera membawa Larissa ke dalam pelukan.
''Adek Abang yang cantik, maafin Abang ya, Abang gak bisa nemenin kamu disana. Abang cuma bisa berdo'a, semoga kamu kuat dan di berikan kebahagiaan seperti yang kamu impikan," ucapnya mengelus rambut Larissa.
''Yasudah sayang kami harus pergi, kamu jaga diri baik-baik ya sayang, bunda dan Abang sayang sama kamu," ucap Bunda Larissa, sebelum mereka berubah menjadi partikel-partikel cahaya kecil.
''Enggak Bun, Bunda jangan tinggalin Ica, Ica mau ikut sama kalian!'' teriak Larissa berusaha menggapai partikel cahaya yang memudar dan tertiup angin.
_____
"Non, bangun non," ucap Mang Ujang kepala pelayan di mansion tn. Tio.
"Enggak Bunda, Ica mau ikut Bunda, BUNDA...!"
*****
BERSAMBUNG✍
Terimakasih yang sudah mampir ke sini hehe
Ditunggu saran dan kritik nyaaa, votenya juga hehe...
See you next chapter
(Revisi 30-Juni-2021, maybe bakal ada revisi lagi nanti)
-0818 kata-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro