Chapter 27
Semua manusia memiliki hati yang sama.
Entah perempuan ataupun laki-laki.
Yang berbeda itu cara menunjukannya.
Sakit dengan diam,
Atau
Sakit dengan sendu dan air mata.
'Feryaldi Alarik'
______
"Sayang, kenapa berangkat pagi banget, nggak biasanya," ucap ny. Lisia saat Levin menuruni tangga dengan pakaian rapi.
"Iya Ma, Levin mau ke rumah Vera dulu. Levin bener-bener kangen sama dia."
"Sebenarnya kalian tuh punya masalah apa sih? Perasaan kemarin lusa baik-baik aja deh," heran ny. Lisia sembari mendudukkan dirinya di sofa.
"Levin juga gak tau Ma, makanya Levin sekarang mau nanyain itu sama Vera."
Belum sempat ny. Lisia menjawab, Levin sudah keluar dari rumah lebih dulu tanpa pamit dan cium pipi seperti biasanya.
Menghela nafas pelan, ny. Lisia memaklumi prilaku anaknya sekarang. Ia tahu dan mengerti akan apa yang terjadi dengan anaknya kemarin.
*****
Setelah menekan bel beberapa kali, akhirnya gerbang kediaman Lea terbuka juga.
"Eh, den Levin. Ada apa ya?" tanya teh Dewi.
"Levin mau ketemu sekalian nganterin Larissa pergi ke sekolah. Larissanya ada kan?"
Menggaruk tangannya kikuk, teh Dewi menjawab, "Em, anu ... Non Larissa sudah berangkat den."
Raut wajah Levin tampak kecewa, namun itu sesaat sebelum ia kembali menarik sudut bibir untuk tersenyum.
"Kalau boleh tau, Larissa berangkatnya jam berapa ya? Soalnya ini baru jam setengah tujuh, masih terlalu pagi juga buat berangkat sekolah," ucap Levin yang tak bisa membendung rasa penasarannya.
"Baru juga berangkat den, kira-kira sepuluh menit yang lalu. Enam menit sebelum den Levin kesini."
Menghela nafas berat, Levin kembali tersenyum. "Yaudah teh, kalau gitu Levin ke sekolah Larissa aja. Permisi," pamitnya, berlalu pergi dari hadapan teh Dewi setelah mendapat anggukan dari sang empu.
Levin melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia kembali mengingat kejadian kemarin malam.
Setelah adu jatos kemarin dengan Jordi, Levin merasa jika yang diucapkan oleh sahabatnya itu ada benarnya juga. Ia juga tau, jika Larissa bersikap acuh padanya, ia juga tau jika Larissa tak punya perasaan seperti perasaannya pada Larissa. Namun apa salahnya jika ia berharap mendapat balasan cinta itu, apa salahnya jika ia ingin memperjuangkan cintanya pada Larissa. Bukankah banyak orang bilang bahwa, cinta hadir karena terbiasa? Maka dari itu, ia akan terus berada di samping Larissa bersama seluruh kekurangan yang dimiliki Larissa. Ia akan membiasakan larisaa dengan kehadirannya. Ia akan membuat larissa jatuh cinta sangat dalam padanya. Seperti ia yang telah sangat jatuh dalam pesona Larissa-nya.
Memarkirkan mobilnya di depan gerbang sekolah Sma Alaska yang masih terbuka, Levin keluar dari dalam mobil dan berjalan memasuki gerbang dengan tatapan yang mengarah kepenjuru arah, berharap sosok Larissa tertangkap retinanya.
"Woy bang?"
Levin berbalik pada orang yang memanggil dan menepuk pundaknya. Tersenyum lebar dan ber high five dengan orang tersbut.
"Eh, Fery ya?"
"Yoi bang, btw ada apa lo dateng kemari?"
"Biasalah, nyari cewek gue. Lo tau dia dimana?" tanya balik Levin.
Dahi Fery mengerut menampilkan dua garis dengan alis yang terangkat. "Cewek lo? Maksud lo, Larissa bang?"
Levin mengangguk dengan yakin, ia begitu percaya diri bahwa Larissa adalah miliknya. Karena ia yakin cintanya akan terbalas, cepat atau lambat.
'Kalau Ica pacarnya bang Levin, berarti yang kemarin Ica bilang kalau ia baru jadian sama Aega bohong dong. Atau jangan-jangan Ica selimgkuhin bang Levin lagi. Tapi masa sih?' batin Fery bertanya-tanya. "Lo yakin kalau Ica itu cewek lo bang?" tanya Fery ragu.
Levin berdehem. "Hem, gue serius. Emang kenapa?"
"Lo belum tau emangnya bang?"
Levin menaikkan sebelah alisnya. "Tau apa?"
"Lo, gak ngibul kan kalau Ica cewek lo?"
Levin berdecak, ia tak suka di buat penasaran dengan ucapan yang berbelit-belit seperti ini. "Apasih! Ngomong aja kali, Larissa kenapa?"
"Ica kan udah jadia-- mmmbbb."
"Mau ketemu sama Ica ya bang? Ica nya ada kok, mau gue panggilin?" sahut Samuel memotong perkataan Fery dengan cara membekap mulut sahabat berotak dangkalnya itu.
"Eh, Sam. Kenapa lo bekap mulut Fery?" tanya Levin yang bingung dengan kelakuan dua orang didepannya. Ia merasa ada sesuatu yang mereka sembunyikan darinya, sedari kemarin. Nggak. Levin menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran negatifnya. 'Mereka hanya bercanda layaknya sahabat,' batin Levin berpikir positif.
Samuel tertawa canggung dan menjawab, "Nggak bang, gue cuma mau jawab pertanyaan dari lo aja. Soalnya Fery gak tau apa-apa tentang Ica."
Levin mengangguk pelan. "Yaudah, tolong panggilin ya, soalnya gue ada perlu," pinta Levin.
"Ahsiapp bang, tunggu disini ya," ucap Samuel.
Levin mengangguk mengiyakan.
Samuel berlalu dengan menyeret Fery yang belum ia lepaskan bekapannya.
Saat memasuki koridor sepi, Samuel melepaskan tangannya dari mulut Fery.
"Anjing! Apaan sih lo!" sungut Fery.
Samuel berdecak, "Lo jangan pernah bilang sama bang Levin kalau Ica pacaran sama Arga. Lo tau, bang Levin cinta sama Ica. Jangan sampai bang Levin tau, atau dia bakal patah hati gara-gara kenyataan ini."
Fery terkekeh sinis. "Bang Levin bakal lebih sakit kalau dia tau hubungan Ica sama Arga udah lama. Emang lo tega kalau dia terus berharap cintanya terbalas dari Ica yang hatinya udah jadi milik Arga. Nggak kan?"
"Gue gak peduli, yang gue harap, lo gak ngasih tau tentang hubungan Arga dan Ica sama bang Levin! Gue gak mau bang Levin jauhin atau benci sama Ica. Dan gue harap, selamanya bang Levin gak akan pernah tau hubungan mereka."
"Dengan cara ngebiarin bang Levin terus-terusan berharap sama Ica yang udah gak bisa diarepin?" desis Fery.
Samuel mengangguk. "Ya!"
"Egois lo Sam!"
"Terserah!" balas Samuel sambil berlalu dari hadapan Fery.
"Ah ya ... Lo tadi bilang kalau lo gak mau bang Levin patah hati sama kenyataan hubungan mereka. Terus apa kabar sama lo yang juga mencintai Larissa yang juga dicintai bang Levin dan dimiliki Arga?"
Kalimat yang cukup sensitif untuk hati samuel, membuat ia harus menghentikan langkahnya dan menatap Fery yang tersenyum miring kearahnya.
"Itu bukan urusan lo!" desis Samuel.
Fery terkekeh pelan. "Jelas itu urusan gue, lo sahabat gue yang mengkhawatirkan perasaan orang lain sedangkan perasaan lo, hati lo, lo abaikan gitu aja. Lo biarin hati lo terus-terusan nerima rasa sakit. Meski lo selalu bisa nutupinnya pakai topeng senyum dan bersembunyi dibalik topeng menjijikan lo itu!"
Samuel memalingkan wajahnya. Ini yang membuatnya bungkam tak mau memberi tau tentang perasaannya. Sahabatnya ini terlalu protektif. Tapi apa boleh buat, kedua sahabatnya sudah mengetahui semuanya. Tapi tidak dengan ia yang seorang ceo muda dan psikopat.
"Gue bisa urus hati gue sendiri. Lo gak usah khawatirin perasaan gue, dan gue harap lo gak terlalu ikut campur sama hati gue. Thanks udah peduliin gue," ucapnya menepuk pundak kanan Fery dan berlalu pergi meninggalkan Fery yang mendengus karena ucapan Samuel.
'Semoga lo cepet-cepet sadar dan move on dari Ica, Sam...' batin Fery sebelum mengikuti langkah Samuel yang lumayan jauh darinya.
*****
Untuk yang ketiga kalinya Samuel menepuk pundak murid lain yang ia temui di sepanjang koridor.
"Lo lihat Larissa gak?" tanya Samuel pada lelaki berkaca mata tebal dan membawa satu buku tebal dan buku tipis.
"Eh, em ... Tadi dia ada di taman deket perpustakaan. Kalau gitu saya permisi dulu." Lelaki itu buru-buru pergi dengan langkah cepat.
Fery terkekeh melihat kelakuan lelaki tadi. "Kenapa ya, rata-rata kutu buku itu pemalu atau nggak penyendiri. Aneh gue."
Samuel mengedikkan bahunya. "Tau, udahlah ayo. Kasian bang Levin nunggu lama," ajaknya pada Fery.
"Sam," panggil Fery mensejajarkan langkah disamping kiri Samuel.
"Hem," dehem malas Samuel.
"Gue penasaran deh. Kenapa lo bisa jatuh cinta sama Ica? Udah gitu lo betah lagi nyimpen perasaan lo selama dua tahun. Emang lo gak nyesek apa nyimpen tuh perasaan?"
"Menurut lo?"
"Kalau menurut gue sih nyesek. Ya, walaupun gue gak pernah jatuh cinta, tapi feeling gue bilang gitu."
"Nah, tuh lo tau," sahut Samuel mempecepat langkahnya.
Fery ikut mempercepat langkah dan merangkul Samuel. "Lo bodoh Sam."
Samuel menaikkan kedua alisnya.
"Seandainya aja dulu lo nyatain perasaan lo sama Ica, mungkin Ica udah di dekapan lo sekarang. Mungkin Ica gak akan pacaran sama Arga. Mungkin sekarang lo gak akan terlalu sakit saat bang Levin bisa cinta dan bahagiain Ica, saat sekarang hati Ica sepenuhnya milik Arga," jeda Fery terkekeh. "Gue gak nyangka, ternyata sahabat gue sepengecut ini ya?" lanjutnya menepuk pundak Samuel yang mendelik kearahnya.
"Gue emang pengecut. Sorry, lo harus punya sahabat pengecut kayak gue." Samuel tersenyum miris.
"Ya, gue nyesel punya sahabat kayak lo," sahut Fery tersenyum miring.
"Thanks pujiannya bro!"
Fery tertawa pelan, menatap sendu Samuel. Hatinya terusik saat melihat Samuel yang mampu beraikap seolah semuanya baik-baik aja disaat ia mengetahui bahwa semua yang terjadi saat ini sangat menyakiti dirinya dan hatinya.
"Ca!" panggil Samuel setelah berdiri didepan Larissa dan Arga yang tengah duduk di kursi panjang.
"Ya?" tanya Larissa mengalihkan tatapannya dari Arga kepada Samuel.
"Gue ada perlu sebentar sama lo."
Larissa menoleh pada Arga.
"Cuma sama lo." lanjut Samuel melirik Arga.
"Ada apa emangnya?" tanya Larissa menatap Samuel.
"Lo bakal tau nanti. Ayo, gue gak punya waktu banyak nih," ajak Samuel menarik tangan kiri Larissa.
"Oy, bro. Santai, gak usah narik-narik cewek gue kayak gitu!" Arga menepis tangan Samuel.
"Ah, elah ribet lo Ga! Nariknya juga gue lembut kok. Posesif amat sih lo," gerutu Samuel menatap kesal Arga.
Arga tersenyum kikuk dan menggaruk kepalanya. 'Emang keliatan banget ya kalau gue posesif?' tanyanya dalam hati.
"Aku ikut Samuel dulu ya, kamu balik aja ke kelas. Bentar lagi mau bel masuk," ucap Larissa pada Arga.
"Emang gak bisa ya, kalau gue ikut?" Arga menatap Samuel dan Fery.
Fery menatap Samuel.
"Sorry bro, kali ini nggak bisa," tolak Samuel.
Menghela nafas berat, Arga menatap Larissa yang tersenyum lembut padanya. Arga mengangguk. "Yaudah, kalau gitu aku kekelas duluan ya sayang."
Larissa mengangguk. "Hati-hati."
Arga terasenyum dan mengecup lembut kening Larissa lama.
Samuel memejamkan matanya. Adegan tersebut bagai panah yang menusuk hatinya yang tiba-tiba bergemuruh.
Fery menepuk bahu Samuel.
"Cuma pisah bentar aja harus pake adegan kayak gitu, gak sadar apa kalau disini ada dua manusia yang belum punya pasangan," sindir Fery membuat Arga melepaskan kecupannya.
"Biasalah..." sahut Samuel.
Arga terkekeh pelan, sedangkan Larissa terlihat salah tingkah.
"Gue duluan bro," pamit Arga. Diangguki Fery dan Samuel.
"Ikut gue Ca, ayo!"
Tanpa bertanya lagi, Larissa mengikuti langkah Samuel dan Fery menuju parkiran.
"Ada apa Sam, apa ada masalah?" tanya Larissa.
"Nanti lo juga tau," jawab Samuel sekenanya.
"Eh, Ca. Gimana rasanya punya pacar?" tanya Fery merangkul Larissa.
"Lo mau tau?" tanya balik Larissa.
Fery mengangguk.
"Rasa, rasanya gimana ya? Ah! daripada lo nanya gue, mending lo cari pacar sendiri terus lo rasain gimana rasanya. Kalau pacar lo bener-bener orang yang lo cinta, hati lo akan merasa lega dan bahagia aja gitu," ucap Larissa bersemangat.
Samuel melirik Larissa sebentar. 'Kalau gitu, hati gue gak akan pernah merasa lega dan bahagia. Karena gue nggak akan pernah bisa jadi pacar lo Ca.'
Fery memajukan bibirnya dengan alis yang bertaut. "Hati gue ngerasa lega dan bahagia walaupun gue gak punya pacar. Jadi gue gak ngerti, gimana rasanya lega dan bahagia yang lo maksud."
Larissa berdecak kesal dan menepis tangan Fery dari pundaknya. "Makanya, pacaran kek biar lo ngerti sendiri. Ya gak Sam?"
Samuel mengangguk cepat, sorot matanya berubah seolah Samuel tengah bahagia dan ceria seperti biasanya. Sungguh, penipu yang ulung.
"Gue juga penasaran gimana rasanya punya pacar." Samuel menaikkan kedua alisnya.
Larissa terkekeh. "Makannya lo juga buruan tembak cewek yang lo maksud waktu itu. Gue gak sabar denger kabar kalau sahabat bule gue ini punya pacar."
"Serius, gue harus nembak secepatnya?"
Larissa mengangguk cepat.
Fery melotot pada Samuel. 'Jangan bilang kalau Sam serius sama ucapannya!'
Samuel berdiri dihadapan Larissa membuat mereka menghentikan langkahnya.
"Ca," panggil Samuel.
Larissa menaikkan alisnya, bingung dengan apa yang samuel lakukan.
"Lo tadi bilang kalau gue harus secepatnya nembak cewek yang gue maksud waktu itu kan?"
Larissa mengangguk.
Jantung Fery ikut berdetak kencang.
Samuel menatap serius pada Larissa dan menggenggam tangan Larissa.
"Sam," lirih Fery.
Samuel menggeleng pada Fery. Mengalihkan tatapan untuk kembali menatap iris mata Larissa. "Sesuai ucapan lo tadi, gue sekarang akan nembak cewek yang gue maksud waktu itu. Dan, Ca ... Lo mau gak jadi pacar gue? Gue sayang sama lo, gue cinta sama lo. Lo mau kan, jadi pacar gue?"
Jantung larissa berdegup kencang, ia menatap iris mata Samuel yang juga tengah menatapnya. Apakah Samuel serius dengan ucapannya? Mereka sudah bersahabat lama, nggak mungkin Samuel mencintai Larissa dan larissa sama sekali tak pernah berharap bahwa sahabatnya akan memiliki perasaan untuknya. Ia sama sekali tak mengharapkan itu, tapi dengan ini, Samuel telah mematahkan pikirannya. Larissa harap, semoga samuel hanya bercanda.
Mencoba untuk tenang, Larisaa tertawa kecil. "Bercanda lo gak lucu Sam."
"Gue serius!" tegas Samuel.
Jantung Larissa semakin menggila didalam sana.
Fery menulikan pendengarannya, berharap ia tak bisa mendengar apa-apa.
*****
Visual yang ada di haluan author
[Levin Dinan Mahendra]
[Arga Arkanda]
[Samuel Emilio]
[Larissa Leavera]
BERSAMBUNG✍️
Kritik dan sarannya ditunggu teman😚
Bagi yang udah baca, kalau suka Vote ya... Bantuin author, dukung author hehe😁
See you next chapter😍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro