Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 22✍

Sehebat-hebatnya gue bermain topeng, emosi batin gue kadang gak bisa selamanya terkendali. Dan tanpa sadar, saat itu topeng yang selama ini gue mainkan juga ikut terlepas dan menampakkan diri gue yang selama ini selalu gue tutupin.

'Samuel Emilio'

_____

Samuel mendudukkan bokongnya di kursi belakang Fery. Ya, untuk kelas XII sekarang mereka sepakat untuk mengubah posisi duduk. Fery bersama Dira sedangkan Samuel dengan Larissa. Di Sma Alaska memang memperbolehkan lelaki dan perempuan duduk satu bangku, yang tidak diperbolehkan itu satu bangku diisi tiga atau lebih siswa.

Fery membalikkan badannya. "Dari mana aja lo Sam? Lama banget."

Tanpa mengalihkan tatapan dari ponsel, Samuel menjawab dengan asal. "Neraka."

Fery berdecak kesal. "Ngapain lo ke neraka? Kunjungan industri lo?!" ucap kesal Fery.

Samuel hanya berdehem untuk menanggapi. Dalam benak lelaki blasteran Amerika itu masih terbayang akan senyum dan binar bahagia Larissa saat bersama Levin, itu membuat hatinya berdenyut sakit saja. Dan ditambah lagi saat ini ia harus melihat tatapan cinta dari Larissa untuk si murid baru.

Menghela nafas kasar, Samuel membenturkan dahinya ke meja. Terasa sakit sih, tapi ia tak peduli.

"Kenapa lo?" tanya Dira menjitak kepala Samuel sehingga membuat sang empu meringis dan menatap kesal Dira.

Lelaki blasteran Amerika itu termenung sejenak. Ingin sekali ia membagi apa yang dirinya rasakan kepada kedua sahabat lelakinya ini. Berharap sesak dan lukanya bisa sedikit berkurang. Tapi, apakah mereka bisa di percaya? Maksudnya, apa mereka tak akan mengejeknya karena telah mencintai sahabat sendiri?

Menghela nafas kasar, Samuel menatap Dira dan Fery bergantian. "Kalian pernah jatuh cinta gak sih?"

Fery dan Dira menatap Samuel aneh. Tak lama, mereka menggeleng tanda bahwa mereka belum pernah jatuh cinta. "Lo, lagi jatuh cinta?" tanya Fery ragu.

Samuel mengalihkan tatapan ke sembarang arah. "Ng, nggak. Gue, gue cuma tanya aja."

"Lo kenapa sih Sam?" tanya ulang Fery menukikan kedua alis.

Samuel berdehem. "Gue..." ucap nya ngegantung.

"Apa?!" tanya Fery tak sabar.

"Gue pengen minum!" ucap cepat Samuel menegak air minum milik nya yang tadi sempat ia beli.

Fery dan Dira tambah menukikan alisnya. Kenapa Samuel bersikap aneh seperti ini? Tak biasanya...

"Lo nyembunyiin sesuatu dari kita Sam?" tanya Dira menatap selidik pada Samuel.

Mengusap bibir yang basah dengan tangan, Samuel berdehem untuk menenangkan gejolak hatinya yang bimbang. "Gue, apa ... Kalau gue--"

Ucapan Samuel berhenti saat melihat Arga mengelus pucuk kepala Larissa di depan pintu masuk.

Semua mata terfokus pada Larissa dan Arga. Fery dan Dira menatap Samuel yang mengeraskan rahang sembari menatap kedua orang yang menjadi pusat perhatian.

Saat ini, tanpa sadar Samuel kehilangan kontrol emosinya. Ia tengah melakukan kesalahan sekarang. Seharusnya ia bersikap biasa seperti biasanya.

Dira menatap Fery dengan alis terangkat. Kedua mata mereka membola, seakan tahu dan mengerti apa yang terjadi dengan Samuel.

Fery menyikut lengan Samuel yang di atas meja. "Sam," lirih Fery menyadarkan Samuel.

Berdehem dengan tatapan tak tentu arah, Samuel menatap Fery dengan senyum khasnya. Menggaruk pipi kiri, lalu menyugar rambut lebatnya kebelakang.

Samuel melirik Fery sekilas. "Kenapa?" tanya nya menghidupkan ponsel dan bersikap seperti sedang sibuk.

"Sam, jangan bilang kalau lo jatuh cinta sama--"

"Woah, Sam lo lagi jatuh cinta?" potong Larissa duduk di sebelah Samuel, dan menatap Samuel lekat.

Samuel balas menatap Larissa lekat. Tanpa sadar, ia mengangguk dengan senyum tipis.

"Sama siapa?" tanya Larissa.

Mengalihkan tatapan pada ponsel, Samuel menjawab. "Seseorang."

Dira dari tadi hanya menyimak dan memperhatikan setiap ekspresi dari Samuel.

Larissa mengangguk kecil. "Lo, gak mau nyebutin namanya gitu?" tanya Larissa. Ayolah, ia kepo akan orang yang telah merebut hati sahabatnya itu. Apakah dia begitu cantik, hingga berhasil meluluhkan sahabatnya yang tak pernah jatuh cinta ini?

"Nanti kalian juga tahu."

"Cewek itu sekolah di mana?" desak Larissa.

"Disini, satu kelas sama gue malah." Samuel tersenyum menatap Larissa.

Dugaan Fery dan Dira semakin diperkuat dengan pernyataan singkat dari Samuel barusan.

Larissa mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas, menilik satu-persatu siswi yang menurutnya bisa memikat Samuel. Tapi ia tak menemukan siapapun yang masuk dalam kriteria salah satu sahabatnya ini, semuanya biasa saja. Menaikkan kedua bahu, Larissa menatap Samuel. "Siapa?"

'Kamu!'

Sial! Ingin sekali Samuel berteriak seperti itu di depan Larissa.

"Ada'lah. Cewek pokonya," gusar Samuel mengalihkan tatapannya.

"Dia udah tahu kalau lo punya perasaan sama dia?" tanya kepo Larissa.

"Belum."

"Trus kapan lo bakal nyatain perasaan lo sama dia?"

"Bentar-bentar! Kok lo jadi bawel plus banyak tanya sih? Kejedot apa lo?" tanya Fery menatap selidik Larissa.

"Eh, lo ... Tadi sama Arga, kenapa..." tanya gugup Samuel. Sial! Kenapa untuk mengembalikan suasana seperti biasa harus gugup seperti ini! Samuel terus merutuk dalam hati.

Dira dan Fery terpancing kepo dengan adegan elus pucuk kepala barusan.

Pipi Larissa bersemu merah samar. Ia memiringkan kepalanya menatap n*#&lSamuel. "Lo tau namanya Arga? Darimana?"

Pertanyaan Larissa membuat jantung Samuel berdetak lebih cepat.

"Bukannya tadi si murid baru itu udah ngenalin namanya pas upacara berlangsung?" tanya Dira. Ia sudah faham dengan kondisi perasaan Samuel. Setidaknya, ia mengetahui sedikit walaupun belum pasti.

Larissa mengangguk kepala kecil. Dengan senyum manis yang tak pernah diperlihatkan didepan sahabatnya, Larissa berucap. "O iya gue lupa." Larissa tertawa canggung. "Dan tadi, pertanyaan Samuel. Gue bakal jujur sama kalian. Mungkin mulai saat ini gue bakal lebih terbuka sama kalian," ucap Larissa diiringi senyum cantiknya. Ia ingat dua hari yang lalu, saat ia dan Levin jalan-jalan berdua, Levin bilang,

"Kamu jangan terus menerus bilang bahwa kamu gak punya siapa-siapa, jangan merasa sendiri. Disekitarmu ada aku, sahabat kamu dan orang-orang yang sayang sama kamu. Kamu gak sendirian disini. Yang membuatmu merasa sendiri itu karena pikiranmu yang menolak untuk percaya akan adanya kita semua. Kamu menganggap semua orang tak peduli padamu, padahal hatimu sendirilah yang mengunci untuk semua orang peduli padamu. Kamu terlalu menganggap bahwa kamu tak penting di mata mereka. Padahal di mata mereka kamu penting. Termasuk aku, aku menganggap kamu sebagai dunia baruku. Aku harap, setelah ini kamu akan lebih membuka hatimu untuk lebih terbuka kepada orang-orang disekitarmu."

Saat itu, Larissa memutuskan untuk menuruti perkataan Levin yang menurutnya ada benarnya juga.

"Oke. Jadi, apa yang mau lo bilang sama kita?" tanya Dira membuyarkan lamunan Larissa.

Larissa menatap ketiga sahabatnya. "Sebenarnya, Arga itu temen kecil gue. Waktu itu dia tiba-tiba pergi ninggalin gue, dan sekarang kita baru ketemu lagi, disini."

Samuel berdehem. "Oke. Gue rasa, dari sikap kalian tadi sepertinya kalian punya rasa yang lebih dari sekedar teman."

Fery dan Dira menatap Samuel dengan kernyitan dahi.

Larissa mengangguk dengan senyum. "Gue rasa begitu, gue gak bakal menampik kalau emang gue sama dia mungkin punya perasaan yang sama. Dan, gue rasa kita sama-sama sudah memendamnya dari lama," ucap Larissa, yang Samuel rasa perkataan itu telah menyiram luka basahnya dengan cuka. Sangat menyakitkan.

Dira menatap Larissa lekat. "Kalau sama cowok yang waktu itu gimana?" tanya Dira.

Larissa menaikkan sebelah alisnya.

"Levin maksud lo Dir?" tanya Samuel tersenyum miring.

"Oh ya. Levin maksud gue."

Mengedikan bahunya, Larissa menjawab, "Entahlah, gue rasa ... Gue gak punya perasaan lebih dari sekedar orang asing sama dia."

Samuel terkekeh kecil. Membuat ketiga orang disekitarnya menatap aneh dirinya. Setelah Larissa jalan bareng dua minggu bersama Levin, setelah Levin mengubah banyak Larissa, tapi Larissa masih menganggap bahwa Levin hanya sekedar orang asing untuk dirinya?!

Hell! Apa kabar dengan Samuel yang berstatus sahabat yang mencintai sahabatnya sendiri. Apakah ia juga tak akan pernah mendapat pengakuan dari Larissa? Samuel mengapresiasi otaknya yang selalu berfikir negatif. Yang selalu membuat dirinya menjadi seorang pengecut. Ternyata berfikir negatif juga ada untungnya, jika dulu ia mengikuti pikiran positif untuk mengakui perasaannya pada Larissa, mungkin ia akan sangat hancur sekarang. Larissa akan berkata sama hanya sekedar! Hanya sekedar sahabat, mungkin itu jawaban yang akan Larissa berikan.

"Kenapa lo Sam?" tanya Fery.

Samuel berdehem. "Nggak. Gue tadi tiba-tiba keinget sama kucing gue yang maling dirumah tetangga. Terus kucing gue dimarahin habis-habisan," ucap Samuel terkekeh dengan gelengan kepala.

*****

"Gue duluan ya!" pamit Larissa kepada tiga sahabatnya.

"Yo! Hati-hati ya. Eh, anak baru! Lo jaga Ica, jangan sampe lecet. Kalau lecet, gue bakar kampung lo!" ancam Fery menatap tajam Arga. Tatapan itu, tidak terlalu cocok untuk wajah imut seorang Feryaldi Alarik.

Arga tertawa kecil. "Ya. Santai bro, ngejagain dia udah jadi kewajiban gue sekarang," ucap Arga.

Samuel memalingkan wajahnya, ucapan Arga terasa seperti garam yang bertabur di lukanya setelah tersiram cuka.

"Kalau gitu, kita berangkat ya," pamit Ica memasuki mobil Arga. Yang diangguki ketiganya.

Setelah mobil Arga hilang dari pandangan, Dira dan Fery menyeret Samuel ke pinggir parkiran yang sepi.

"Apaan sih lo pada! Jangan tarik-tarik bego!"

"Diem deh Sam!" semprot Fery.

Setelah cekalan tangan dilepaskan, Samuel menatap kesal pada Dira dan Fery.

"Kita mau ngomong," ucap Fery.

"Itu lo ngomong bego!" kesal Samuel.

"Kita mau tanya," ralat Dira.

Samuel berdehem.

"Maksud lo jatuh cinta saat dikelas itu, Larissa yang lo maksud?" tanya Dira to the point.

Jantung Samuel berdetak lebih cepat. Ia menatap Dira lekat dan melirik pada Fery.

"Jawab Sam!" titah Fery.

"Hem, gue gak ngerti maksud kalian," ucap Samuel.

Menggertakkan gigi kesal, Fery berucap geram. "Jangan pura-pura bego deh lo!"

Mengalihkan pandangannya, Samuel menghela nafas pelan. "Kalian ngomongin apa sih? Aneh-aneh deh. Udah lah gak ngerti gue." Samuel melayangkan tangannya di udara. Bukan tidak mengerti, Samuel hanya... Merasa belum siap untuk memberitahu mereka. Entahlah, saat di kelas Samuel begitu ingin memberi tahu tapi sekarang, ia kembali belum siap.

"Jujur aja lah Sam! Kita udah curiga sama lo, dan kita yakin lo punya rasa yang lebih dari sekedar sahabat kan sama Larissa?" tanya Dira. Hei ayolah! Dira tak suka jika harus bertele-tele, itu bukan tipe-nya.

Sebelum Samuel menjawab, seseorang dari gerbang memanggil mereka bertiga.

"Eh, sorry bro. Kalian sahabatnya Larissa bukan?" tanya Levin setelah dihadapan mereka.

Serentak mereka mengangguk.

"Eum, Larissa nya mana ya?" tanya Levin lagi mengedarkan pandangannya.

"Lo Levin bukan? Cowok yang nganterin Ica waktu mau kemping?" tanya Fery.

Levin menoleh dan mengangguk. "Ya, Kalian tahu nama gue?" tanya Levin.

Mereka mengangguki ucapan Levin.

"Kenalin gue Fery,"

"Gue Dira dan sebelah gue ini, Samuel."

"Salken bro!" Levin berhigh five dengan ketiganya.

"Sorry tadi gue gak sopan, gak ngenalin diri gue dulu."

Samuel tertawa kecil. Ia akan mencoba mengakrabkan diri dengan Levin untuk lebih mengenal Levin, supaya ia bisa tahu karakter orang-orang yang dekat dengan Rissa-nya. "Gak apa-apa bang, santai aja kali," ucap ramah Samuel.

Levin tertawa kecil untuk meladeni tawa kecil Samuel.

"Lo tadi nyari Larissa kan?" tanya Dira.

Levin mengangguk. "Ah, ya dimana dia?"

"Emang mau apa bang?" tanya Fery.

"Gue mau jemput dia, soalnya kemaren dia udah janji untuk jalan sama gue setelah pulang sekolah," ucap Levin semangat. Ia memang selalu bersemangat jika menyangkut tentang Larissa.

Dira mengalihkan pandangannya kesembarang arah.

Fery menggaruk pelipis yang tidak terasa gatal.

Samuel tersenyum miring.

Levin mengerut bingung dengan tingkat mereka. "Jadi, dimana dia?"

"Udah pulang duluan sama--" ucapan Fery terpotong karena mulutnya dibekap oleh Samuel.

"Tadi dia udah pulang duluan katanya ada urusan penting," jawab Samuel yang tak ingin membuat Levin merasa sakit hati atau merasa terhianati. Ia ingin orang yang telah membuat Rissa-nya tertawa, tidak merasakan rasanya sakit hati atau semacamnya.

"Oh, gitu ya. Tapi, kenapa ponselnya gak aktif ya?" tanya Levin.

"Tadi sih bilangnya, ponselnya abis baterai," bohong Samuel, yang sebenarnya ia tak tahu kenapa ponsel Larissa tak bisa dihubungi.

"Yaudah thanks ya. Kalau gitu, gue pergi dulu," pamit Levin.

"Yo, bang sans. Hati-hati!" ucap Samuel.

Setelah kepergian Levin, Samuel melepaskan bekapan tangannya dari bibir Fery.

"Sialan! Tangan lo bau banget bangsat!" umpat Fery menggosok bibirnya dengan dasi.

Samuel mengendus tangan kanan. "Wangi gini juga, hidung lo aja yang butut!" gerutu Samuel.

"Lo ngapain bekap gue sih?" tanya Fery kesal.

"Lo gak liat, kalau tuh cowok bilang dengan semangatnya kalau dia ada janji sama Ica? Kalau lo bilang Ica jalan sama Arga, menurut lo gimana sama perasaan tuh cowok ha?!" kesal Samuel.

"Kadang otak si petakilan sedangkal itu Sam." sahut Dira menepuk pundak Samuel.

Fery berfikir sejenak dan berdecak. "Gue gak mikir sampe situ sialan!"

"Kenapa lo jadi peduli sama perasaan orang lain?" Dira menaikkan sebelah alisnya menatap Samuel.

"Ya, peduli aja. Itu tandanya gue masih punya hati, gue bisa merasakan apa yang orang lain rasakan meskipun gue gak pengalaman." 'Gak pengalaman apa lo Sam?! Tiap hari yang lo rasain kan itu!' rutuk Samuel dalam hati. Alasan lain mengapa Samuel menjaga perasaan Levin, karena Levin akan sangat dibutuhkan oleh Larissa. Jika Levin merasa terhianati sekarang, bagaimana jika nanti Levin menjauhi Larissa dan Larissa bersedih karena menjauhnya Levin. Nggak. Samuel gak mau itu terjadi. Rissa-nya harus tetap bahagia apapun caranya.

"Punya hati untuk merasakan perasaan orang lain, sedangkan lo? Gue lihat, tadi pagi lo cemburu saat Arga mengelus pucuk kepala Ica dan mencium kening Ica di parkiran tadi. Udah lah gak usah ditutupin lagi Sam," ujar Dira panjang lebar.

*****

BERSAMBUNG✍

gimana part ini? Biasa aja ya? Hehe maaf, mau langsung ke konflik besar percintaan tapi bakal aneh kalo tanpa alur yang jelas. Jadi, biarkan semua mengalir begitu saja.

Kalau ada Typo atau mau kritik dan saran, tulis saja di kolom komentar ya😍

Kalau suka sama chapter ini Vote ya⭐😁

Terimakasih udah baca part ini♥

See you next chapter♥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro