Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 19✍

Kita lanjut ya
Kalau ada typo, kritik saran tulis aja dikolkom yaa.

Enjoy your Reading💣💥

____

"Nama kamu Larissa kan sayang?" tanya Ny. Lisia mendudukkan Larissa di sofa sebelahnya.

Larissa menatap Ny. Lisia dan mengangguk. "Iya Tante," ucapnya tersenyum tipis.

"Kenalin, nama Mama Lisia. Dan kamu jangan manggil Tante, tapi panggil aja Mama. Ya?" ucap Ny. Lisia memandang lembut Larissa.

Larissa berkedip dua kali. Kenapa Mama Levin dengan entengnya menyuruh ia memanggil beliau Mama? Padahal, bertemu saja mereka baru beberapa menit. Larissa menggeleng pelan, "Emang, gak apa-apa Tan?" tanya Larissa ragu dan menatap Ny. Lisia segan.

"Gak apa-apa lah nak. Dan kenalin, nama saya Jian Mahendra. Panggil saja Papa," Tn. Mahendra menjawab pertanyaan Larissa yang ditujukan untuk istrinya.

Larissa menatap papa Levin, yang dibalas dengan senyum lembut dari pria paru baya itu. Membuat Larissa tanpa segan lagi mengangguk diiringi senyum manis.

"Nah, bagus. Sekarang kamu jangan segan lagi panggil kami Mama sama Papa ya," ucap Ny. Lisia mengusap lembut lengan Larissa.

Larissa mengangguk, "Iya ta- eum, Mama," aneh sekali rasanya mengucapkan kata Mama.

"Ekhem. Harga kacang sekarang berapa sih?" sindir Levin yang merasa diacuhkan.

Serentak mereka menatap Levin bingung. Ny. Lisia memiringkan kepalanya dan bertanya, "Kacang apa Vin? Kacang merah? Kacang tanah? Kalau kacang merah di pasar empatbelas ribu sekilo dan kacang tanah harganya sepuluh ribu sekilo. Emang buat apa sih Vin?" cerocos Ny. Lisia yang membuat Larissa menatapnya dengan tatapan bingung dan bibir yang bergetar menahan tawa. Sedangkan Tn. Mahendra dan Levin menatap datar Ny. Lisia. Hufff, Levin menyesal telah mengatakan sindiran didepan Mamanya.

"Ah. Nggak Ma, Levin salah bicara." ucap Levin tersenyum kikuk.

"Emang harusnya bicara apa Vin?" tanya Tn. Mahendra tersenyum miring, yang dibalas dengan pelototan dari Levin.

"Maaf Nyonya, makan malam sudah siap." lapor salah satu pelayan.

Kedatangan pelayan itu membuat Levin menghela nafas lega.

"Yaudah, bahas masalah kacangnya nanti saja. Sekarang kita makan malam dulu ya." ucap Ny. Lisia.

"Ayo sayang," lanjutnya memegang tangan Larissa.

"Eh, aku juga diajak Ma," tanya Larissa ragu. Ny. Lisia tersenyum lembut dan mengangguk.

"Mama, udah dong. Bagian Levin yang gandeng tangan Vera Ma. Levin juga mau," ucap Levin melepaskan tautan tangan Ny. Lisia dan Larissa.

"Apasih," ketus Ny. Lisia menepis tangan Levin dan menggandeng Larissa berjalan kearah ruang makan.

Larissa terkekeh dengan perdebatan kecil ibu dan anak itu. Ia merasakan kehangatan keluarga dan kasih sayang dirumah Levin.

"Mama apasih!! Vera kan, Levin yang bawa kenapa malah Mama yang kuasai Vera. Gak adil." gerutu Levin yang diacuhkan Ny. Lisia.

Tn. Mahendra menepuk pundak Levin dua kali. "Gak usah lebay!" ucapnya melangkah meninggalkan Levin.

"Dari tadi lebay, lebay terus. Papa tuh gak tahu perasaan Levin." Tn. Mahendra mengedikan kedua bahunya acuh menanggapi gerutuan dari Levin.

Levin menatap ketiga orang yang telah berlalu dengan cengo. "Ini disini sebenarnya siapa sih yang anak kandung?" gumam Levin menggaruk pelipis.

"LEVIN!! KESINI CEPET! LELET DEH." teriak Ny. Lisia dari arah ruang makan.

Menghela nafas berat, Levin melangkah menghampiri mereka.

"Pa, geser dong. Levin pengen duduk disebelah Vera," ucap Levin menarik leher belakang bahu Tn. Mahendra.

Tn. Mahendra menepis tangan Levin, dan menatap kesal Levin. "Kamu ini, kalau ngusir tuh yang sopan dong. Gak usah jiwir-jiwir baju gitu, Papa bukan kucing ya!!" Tn. Mahendra bergeser ke kursi sebelah kiri didekat Tn. Lisia.

"Papa lupa makan obat ya kayaknya. Mana ada ngusir yang sopan Pa, dimana-mana ngusir tuh ya gitu. Yakan sayang?" Levin menoleh pada Larissa. Berharap Larissa mengangguk, setidaknya. Namun Larissa hanya menaikkan kedua bahu, Larissa memang tak mengerti apa yang dikatakan Levin.

"Haha. Sudahlah sayang, makan dulu. Ngobrolnya lanjut aja nanti ya," lerai Ny. Lisia menyodokkan nasi ke piring Larissa, ke piring suaminya dan ke piring miliknya sendiri. Saat hendak menyuap nasi ke mulutnya, tiba-tiba piring kosong tersodor kedepan wajah wanita paruh baya itu.

"Apa sih Vin. Mama mau makan ih," Ny. Lisia menatap Levin yang berdiri dibelakang.

"Mama gak ngambilin nasi ke piring Levin?" ucap Levin pelan. Menatap nanar piring kosong ditangannya.

"Gak usah lebay deh." ucap Larissa dan Tn. Mahendra serentak.

"Hahaha... Kirain Mama gak punya Levin. Makannya Mama lupa sama Levin. Yaudah siniin piringnya,"

Ucapan Ny. Lisia mengundang tawa kecil Larissa dan Tn. Mahendra. Levin melotot tak terima. Baru beberapa menit Larissa dirumahnya, tapi sang Mama sudah lupa akan kehadiran dirinya. Astaga. Levin hanya menggeleng kepala pelan dan mengelus dadanya sabar.

Makan malam yang tak pernah hening. Selalu ada topik obrolan yang mereka bahas. Hal sepele yang mengundang tawa. Larissa amat rindu dengan suasana hangat seperti ini. Selama tiga belas tahun Larissa tak lagi merasakan kehangatan keluarga. Bahkan Larissa sudah lupa akan rasanya kehangatan keluarga. Larissa bersyukur karena Levin telah mengenalkan lagi hal sederhana yang Larissa lupakan selama ini. Hati Larissa menghangat berada di antara keluarga Mahendra. Ia berasa punya keluarga.

_____

"Gimana? Mamaku baik kan?" Levin melirik pada Larissa.

Larissa memalingkan wajahnya dari kaca mobil dan melirik Levin. Dengan senyum tipis, ia menjawab. "Ya. Seru. Lo beruntung,"

"Ya, aku bersyukur akan hal itu," Levin menghentikan laju mobilnya setelah tiba didepan gerbang kediaman Lea.

"Mau kemana lo?" tanya Larissa.

Levin menoleh. "Mau bukain pintu mobil buat kamu,"

"Gak usah. Pakai lagi seat belt nya, gue bisa sendiri." Larissa membuka pintu mobil dan berjalan kearah gerbang. Ia menoleh kebelakang saat merasa ada yang mengikuti.

"Ngapain lo?" Larissa menaikkan sebelah alis.

"Nganterin kamu lah," ucap santai Levin.

"Ck! Cuma nyebrang aja. Lebay lo!!" sungut Larissa menatap kesal Levin.

Levin yang melihat Larissa kesal, tersenyum lebar. Ia suka saat Larissa menunjukkan ekspresi seperti itu. Manis. Menurut Levin.

"Semua nyata dalam cinta. Gak ada kata lebay. Gak ada kata alay. Gak ada kata bucin. Semua itu adalah salah satu bukti bahwa seseorang benar-benar mencintai mu. Cuma ia menunjukkannya dengan caranya sendiri. Contohnya aku, menurutmu aku lebay. Tapi itu juga salah satu bukti bahwa aku bener-bener sayang sama kamu." ucap Levin panjang lebar. Ia menatap Larissa dengan lembut.

Larissa mengedipkan mata dua kali. Ia tak mengerti ucapan Levin. "Lo ngomong apa sih?! Gue gak ngerti apa yang lo omongin. Udah sana, pulang." ucap Larissa menatap Levin aneh.

Sakit. Levin sudah menyiapkan kata-kata itu sedari tadi. Ia menghapal dalam otak hingga lancar. Dan apa balasan Larissa? Gadisnya itu malah mengusir dirinya. Apakah Larissa tidak bisa mengerti maksud perkataan Levin. Ah. Sudahlah! Ngomong sama cewek gak peka emang gini. Mau ngomong gamblang juga gak akan ngerti. Sabar Vin, masih ada hari selanjutnya.

"Ngapain bengong?! Sana pulang! Udah malem ntar diculik tuyul lagi." sungut Larissa mendorong punggung Levin untuk masuk mobil.

"Tuyul jaman sekarang nyulik orang ya," gumam Levin membuka pintu mobil.

"Iya. Makannya itu, tuyul jaman sekarang udah pensiun. Dari tukang copet jadi tukang culik."

"Hahaha... Kamu berbakat jadi pelawak sayang." Levin mengusap pucuk kepala Larissa.

Rasa kesal Larissa mendadak hilang. Ayolah, Larissa masihlah perempuan normal. Usapan kecil itu membuat jantung Larissa menggila. Bukan lebay. Memang seperti itu kenyataannya.

"KEMANA ANAK PEMBAWA SIAL ITU!!" teriakan Tn. Tio menggema dari dalam rumah. Dan itu membuat Larissa mendatarkan ekspresinya. Walaupun teriakan itu terdengar samar, namun ia tahu bahwa itu alarm bahaya baginya. Ayahnya tengah marah dan pasti membutuhkan tubuh Larissa untuk pelampiasan pria baya itu.

"Mau aku temani?" tanya Levin.

"Gak!!" Larissa berjalan cepat meninggalkan Levin.

"Aku temani." Levin mengikuti langkah Larissa.

"Pergi!!" desis Larissa menatap bengis pada Levin.

"Nggak." kekeh Levin berusaha memegang tangan Larissa.

"Sekarang!" Larissa menunjuk jalan yang dibelakang Levin. Isyarat untuk Levin segera pergi.

"Nggak. Aku mau nemenin kamu," Levin menurunkan telunjuk Larissa.

"GUE BILANG PERGI YA PERGI ANJING!!" bentak Larissa. Setelah sadar akan ucap kasarnya, Larissa memalingkan wajah tak berani menatap Levin.

Air mata Levin menggenang di pelupuk mata. Ia melangkah dan merengkuh tubuh Larissa. Gadis itu berontak namun Levin semakin mengeratkan pelukannya.

"Aku temani ya," ucap lembut Levin. Mengelus rambut bergelombang Larissa.

Amarah dan kekhawatiran di dada Larissa seketika menguap. Ia merasa aman dipelukan Levin. Ia mengangguk.

Baru saja mereka menginjak teras depan, cambukan sudah melayang ke tubuh Larissa. Namun salah, tubuh Levin lah yang menerima cambukan itu. Ia meringis, Sepertinya punggung ku akan bertato. Lirih Levin dalam hati.

"Kamu gak apa-apa sayang?" tanya Levin menatap khawatir Larissa. Sang empu menggeleng.

"Oh, ngejalang dimana lagi kamu?!" sindir Tn. Tio menatap jijik pada Larissa yang berada dalam rengkuhan Levin.

*****

BERSAMBUNG✍

Maaf upnya dikit.

Jan lupa Kritsar nya tulis di kolkom guys🙏

Tombol bintangnya juga pencet yaa😅😭⭐

See you next chapter♥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro