Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10✍

Happy Reading guys♥
*
*
*

______

Setelah sekian lama menangis pilu, akhirnya Larissa kembali tenang. Melepaskan pelukannya dari Levin dan menatap iris mata Levin dengan mata sembabnya.

"Merasa lebih baik?" tanya Levin mengusap pipi Larissa yang masih basah.

Larissa mengangguk kecil sebagai tanggapan. "Thanks," lirihnya tersenyum tipis.

"Luka kamu yang di punggung aku obati ya?" tanya Levin memancing kejujuran Larissa.

"Lo tau kalau punggung gue terluka?" tanya balik Larissa.

"Berarti bener ya? Kalau punggung kamu terluka." Levin menatap sendu Larissa.

"sialan! Gue kira lo tau," gerutu Larissa dengan mengalihkan tatapannya.

"Aku cuma nebak, dan ternyata emang bener." Levin meneteskan alkohol di kapas baru.

Larissa mendelik karena ia merasa tertipu oleh ucapan Levin.

"Sekarang, buka baju piyama kamu. Mau aku obati." Levin menatap Larissa dengan senyum meyakinkan.

"Lo! Pasti punya maksud tertentu kan? Lo mau macem-macem sama gue kan?" ucap Larissa menyipitkan matanya ke arah Levin dengan curiga.

"Apa, aku terlihat seperti maniak sex?" tanya Levin menaikan alis sebelah kanannya.

"Nggak sih, menurut gue, lo lebih ke yang ... seperti orang gila."

"Aku anggap, kata orang gila itu sebagai panggilan kesayangan kamu buat aku," ucap Levin tersenyum manis.

"Ya, ya, terserahlah." pasrah Larissa mengihkan pandangannya.

"Terimakasih sayang atas panggilan kesayangan nya, aku suka." Levin tersenyum manis.

"Sekarang, buka baju kamu ya, supaya bisa cepat istirahat. Ini udah larut soalnya," bujuk Levin menunjuk jam tangannya yang menunjukkan pukul 21.47.

"Ya udah, tapi jangan macem-macem!" ucap Larissa dengan nada galaknya.

"Kamu bisa bunuh aku, kalau aku ngelakuin hal yang seperti kamu bilang," ucap Levin yakin.

Larissa menatap mata indah Levin. Disana, ia melihat kesungguhan dan ketulusan. Larissa memunggungi Levin dan melepaskan piyama atasnya.

Levin melihat punggung Larissa yang hanya tertutup seutas tali bra. Namun bukan itu yang menjadi perhatiannya, melainkan guratan-guratan memanjang, yang berwarna merah luka baru, dan berwarna ungu luka lama, yang Levin duga, itu bekas cambukan.

Mengobati dengan hati-hati dan penuh kelembutan. Takut menyakiti dan menambah luka di punggung Larissa. Padahal Larissa sama sekali tak merasakan sakit atau perih, ia hanya diam dan menatap ke depan dengan pandangan kosongnya.

Jantung Levin berdetak cepat, hatinya berdenyut nyeri, nafas menyesak tercekat di tenggorokannya. Sakit, entah kenapa hatinya merasa sangat sakit melihat punggung kecil gadis yang mulai dicintainya itu terluka. Ia menengadahkan wajahnya, menghalau air mata yang siap meluncur.

'Seperti apa kehidupan yang Kamu jalani sayang? Semenderita apa? Sesering apa kamu terluka? Apakah Ayahmu yang memberikan luka itu padamu? Sebenarnya ada apa di antara kalian? Bolehkah setelah ini aku ikut campur dalam masalahmu? Aku hanya tak ingin kamu merasa sendirian menghadapi masalah itu.' Ingin sekali rasanya Levin mengatakan itu secara langsung, tapi apalah daya, ia sadar bahwa ini baru pertemuan kedua bersama Larissa. Ini akan terlalu dini, untuk menceburkan diri pada permasalahan Larissa. Yang bisa ia lakukan sekarang, hanya mengobati luka fisiknya saja.

"Kenapa diem? Udah selesai ngobatinnya?" tanya Larissa saat merasakan usapan dari tangan Levin hanya berhenti di satu titik.

"Eh, belum," ucap Levin saat tersadar dari lamunan nya.

"Lo gak perlu mengasihani gue, gue gak selemah yang lo kira!" ketus Larissa.

"Aku tahu itu," jawab Levin diiringi senyum tipis.

"Yaudah cepetan selesein! Gue ngantuk nih," ucap geram Larissa.

Levin melanjutkan kegiatannya yang sempat terjeda tadi.

"Aku tak yakin, jika lukamu ini akan menjadi luka terakhir yang Ayahmu berikan padamu. Aku tak mendoakanmu terluka lagi. Hanya saja, aku berharap disetiap kamu terluka, orang pertama yang kamu cari itu aku. Aku juga berharap, kamu mencari ku saat kamu membutuhkan tempat pelampiasan. Ah! Maksudku, aku akan selalu berada di sisimu, mengobati lukamu, dan menjadi pelampiasan dari emosi dan rasa sakitmu," racau Levin yang niatnya dalam hati, tanpa sadar malah terucap.

Hati Larissa bergetar dan terenyuh dengan semua kata yang Levin ucapkan. Dan Larissa membenarkan ucapan Levin yang memang lukanya ini bukan luka terakhir yang akan dialaminya. Selama ia hidup. Ya, mungkin akan selama itulah ia terlukai oleh Ayahnya.

Luka fisik yang baru sembuh dan baru dia terima, akan tertimpa lagi dengan luka yang baru. Dan untuk luka di hatinya, entahlah. Ia sudah lupa, bagaimana rasanya bahagia, ia lupa bagaimana rasanya kehangatan, ia tidak tahu cinta itu seperti apa, dan bagaimana, ia tak tahu.

Karena sedari kecil, yang ia terima hanya kekerasan dan bentakan. Hatinya terbiasa di latih dengan rasa sakit, dan seiring berjalannya waktu, hatinya semakin hancur dan apa yang ia rasakan sudah tak dapat lagi terjabarkan. Sehingga ia tumbuh menjadi gadis yang minim dengan emosi. Setiap ditanya, apa yang dia rasakan? Jawabannya tidak ada, ia tak tahu, ia tak mengerti akan apa yang hatinya rasakan. Haruskah ia berkata, 'Fisik ku terluka, aku sakit, aku lelah, aku kecewa, aku marah, aku merasa tenggelam, aku tak punya harapan, aku sendirian, aku ingin bahagia, apa itu bahagia, aku ingin cinta, aku tersakiti, aku ingin menangis.' Haruskah ia menjabarkan keadaan hatinya seperti itu? Lantas apa yang sebenarnya ia rasakan? Ia tak tahu.

"Lo sadar sama apa yang lo ucapin barusan?'' tanya Larissa kembali memakai bajunya.

"Ya aku menyadarinya, dan itu janjiku kepadamu," ucap Levin menutup kotak P3K.

"Gue pegang ucapan lo," ucap Larissa yang memang ia sangat membutuhkan sandaran dan tempat pelampiasan seperti yang Levin bilang. Larissa tahu, dengan ini ia telah tega dan jahat, memanfaatkan Levin untuk ketenangan hatinya. Namun mau bagaimana lagi, ia rindu dengan kata bahagia, ia harap, kedepannya ia bisa jatuh cinta pada Levin untuk mengurangi kadar dari busuknya kata pelampiasan.

"Hem, karena di rumah ini hanya ada satu kamar, jadi kamu yang akan tidur di sana!"

"Terus kalau cuma satu kamar, lo tidur dimana?" tanya Larissa menaikan satu alisnya.

"Disini," ucap Levin duduk diatas karpet beludru coklat.

"Tapi di sini dingin loh," ujar Larissa yang di balas Levin dengan senyum manis.

"Aku tak selemah itu." Levin mengambil bantal kursi dan meletakkannya di atas karpet.

"Percaya," ucap Larissa mengalihkan tatapannya. Beranjak dan berjalan tertatih menuju kamar.

"Aku bantu." Levin memapah Larissa.

"Gue bisa sendiri," tolak Larissa menepis tangan Levin, namun tak berhasil.

"Aku tahu itu, dalam hal apapun Kamu bisa melakukannya sendiri. Hanya saja Kamu harus ingat. Tubuhmu sekarang sedang lemah, Kamu butuh pegangan supaya tidak jatuh," tutur Levin membuka pintu kamar.

"Gue gak selemah itu." Larissa meniru ucapan Levin, yang membuat Levin menatap Larissa dengan tawa kecilnya.

"Percaya," jawab Levin yang juga meniru ucapan Larissa. Dan membuat sang empu tertawa dengan ringannya.

Levin tertegun dengan tawa ringan itu, Larissa tampak lebih cantik saat tertawa. Larissa juga tak menyangka bahwa ia akan tertawa seperti ini, hanya karena hal yang tak terlalu lucu.

"Sekarang masuk gih."

"Iya."

"Selamat malam."

"Pula," jawab Larissa menutup pintu kamar.

*****

Baik Larissa ataupun Levin, sama-sama tak ada yang menyadari akan seseorang yang sedari tadi mengikuti mereka.

"Semoga lelaki itu tulus pada Rissa," lirihnya, dan pergi meninggalkan rumah kayu minimalis itu.

Berjalan sekitar 150 meter. Ia membuka pintu mobil dan masuk, mulai melajukan mobilnya menjauhi kawasan bukit.

Pemuda itu menyalakan musik untuk menemani perjalanannya.

"Aku sayang kamu Rissa, aku benar-benar cinta sama kamu. Aku juga ingin memilikimu, namun aku terlalu takut, jika kamu tak akan bahagia bersamaku. Melihatmu bahagia bersama lelaki yang bisa membahagiakanmu, sudah membuat ku cukup bahagia juga. Sebenarnya, aku juga ingin kamu bahagia karena ku, tapi aku tidak akan seegois itu haha. Mencintaimu dari jauh dan melindungimu dari jauh, akan aku jadikan itu sebagai bukti tulus nya cinta yang aku punya. Aku mencintaimu Rissa," desahnya menambahkan kecepatan laju berkendara.

2 jam yang lalu*

"Tuan muda, Tn. Tio kembali melukai nona Rissa. Sepertinya ia menjadikan nona Rissa pelampiasan atas kekesalannya dengan kejadian tadi siang."

Tut

Setelah mendapat laporan itu, ia segera pergi dari ruang kerjanya.

Melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi supaya bisa cepat sampai di kediaman Lea.

Ia mengutuk dirinya sendiri yang selalu lalai dalam melindungi Larissa. Ia telah mengkhianati ucapannya sendiri yang akan selalu menjaga Larissa.

"Maafkan aku, aku lalai sayang," gumamnya memarkirkan mobilnya sedikit jauh dari gerbang 'Kediaman Lea'.

Keluar dari mobil, saat hendak melangkah, ia melihat seorang lelaki lebih dulu menghampiri gerbang.

Ia hendak kembali melangkah untuk membantu Larissa yang dibanting ke aspal oleh tn. Tio. Ia tak peduli jika identitas nya sebagai 'penggemarmu?' akan terbongkar.

Namun, lagi-lagi langkah yang baru tiga langkah itu terhenti saat lelaki digerbang membantu Larissa berdiri.

Ia memantau dan mengikuti semua pergerakan mereka dalam bayangan.

Saat arah mobil yang diikuti nya mengarah pada perbukitan yang jauh dari kehidupan, si 'penggemarmu?' itu mengepalkan tangannya erat.

*****

BERSAMBUNG✍

kritik dan sarannya tulis di komentar ya

Kalau suka sama chapternya Vote ya⭐

1386 kata-

See you next chapter♥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro