Bab 48
Punten ... masih ada yg baca?
Whakakaka..
udah tinggal dikit lagi kok.
Yang udah muak, maapkeun.
Btw, aku cuma mau info, after ini aku nulis religi nih.
Kira-kira ada yg mau request ceritanya macem apa?
Yuk dikomen...
Disebelah, ada yg lagi nginep bareng. Eh, gimana....
------------------------------
Perlahan-lahan aku paham apa yang salah dengan kondisi ini, karena nyatanya tanpa kita sadari keadaan yang membuat kondisi tidak nyaman. Baik untukmu ataupun untukku.
"Gimana?" seru Dani yang berjalan berdampingan dengan Dara keluar dari studio bioskop malam ini. Senyuman di bibirnya tidak ada jeda karena entah mengapa malam ini terasa sangat indah untuk ia nikmati berdua dengan Dara. Sekalipun hubungan mereka hanya sekedar teman biasa, akan tetapi Dani merasa bersyukur ada sosok Dara, perempuan yang mendekatinya tanpa memandang harta atau kedudukannya.
"Seru banget. Haha, apa karena udah lama enggak nonton bioskop, rasanya seru abis."
Dani setuju dengan apa yang Dara katakan. Memang film malam ini sangat seru untuk ditonton bersama. Apalagi ditonton berpasangan seperti yang ia lakukan dengan Dara.
"Mau makan dulu?"
"Makan di pinggir jalan aja gimana? Mall udah mau tutup. Nanti gue makannya buru-buru."
"Oke. Boleh."
"Kenapa sih senyum-senyum terus?" Dara sadar malam ini Dani sangat berbeda.
"Enggak papa. Udah lama rasanya enggak jalan sama cewek."
"Ah? Masa?"
Dara mendongak, menatap wajah Dani yang ternyata berdiri di belakangnya. Posisi mereka yang sedang mengantri lift untuk turun ke lantai bawah, entah mengapa terasa begitu intim. Tubuh besar Dani seolah sedang melindungi Dara dari belakang.
Apakah Dara berlebihan memikirkan hal ini?
Dengan cepat Dara menghapus pikiran itu dalam otaknya. Dia sangat sadar apa yang sedang dilakukannya kini. Semua murni untuk mencari tahu detail dari masalah yang terjadi. Sekalipun Dani belum mengakui apapun bila dirinya adalah Gusti, sahabat Dante, namun dari banyak hal Dara sudah bisa menyimpulkannya.
"Hm. Biasanya jalan sama cewek maunya makan di tempat mahal. Dijemput maunya pakai mobil. Enggak ada yang namanya nonton bioskop kayak gini."
"Masa sih?"
"Hm."
"Mungkin lo yang enggak ngajak kali."
"Sekalipun gue ajak, tujuan mereka dekat sama gue juga bukan karena itu."
"Wow. Gitu kah? Emang apa tujuan mereka dekat sama lo?"
Dani membalas tatapan penasaran Dara. "Partner sex."
"Dih alah."
"Serius, Dar. Zaman sekarang amat sangat langka punya teman dekat cewek, atau pacar cewek, yang enggak mandang segalanya dari harta. Apalagi kalau kencannya sama anak-anak kuliahan. Bisa-bisa minta diajak ke tempat mahal terus. Belum lagi apa-apa di foto dulu, terus diupload ke media sosial. Berasa artis banget gue kalau jalan sama anak kuliahan."
"Loh, emang pernah?"
"Pernah. Dulu. Dulu banget sih."
"Sekarang?"
Tepat pintu lift terbuka, Dani mendorong tubuh Dara perlahan agar gadis itu masuk ke dalam lift. Bahkan ketika mereka sudah berada di dalam lift, tangan Dani masih setia menempel di bagian pinggang Dara, yang untungnya masih ada tas ransel yang membatasi sentuhan mereka.
"Sekarang udah enggak."
"Udah mentok sama satu orang nih kayaknya."
Selesai Dara mengatakannya, Dani nampak kaget ketika Dara seolah bisa membaca pikiran dan kondisinya kini.
"Sebenarnya bukan karena mentok sih. Tapi lebih kepada enggak ada duit buat main-main lagi."
"Hm, gitu toh."
"Kenapa? Kok kayak enggak percaya."
"Percaya kok."
"Oke. Oke. Baguslah kalau percaya."
Keluar dari lift, Dara salah arah dalam langkahnya. Tujuan mereka yang seharusnya ke arah kanan, di mana parkir motor berada, Dara malah melangkah ke arah kiri. Sampai akhirnya Dani menggenggam tangan gadis itu agar tidak seperti anak kecil hilang dalam mall malam-malam, sendirian.
"Ya mana gue tahu kalau arahnya salah."
"Makanya dipegang kalau ada orang di sampingnya."
"Ish, apaan sih."
"Emang kenapa sih kalau pegangan sama gue?"
"Ya enggak papa juga."
"Ya udah, pegang terus."
Telapak tangan Dara yang kecil, ditambah jari-jarinya yang termasuk dalam kategori bantet, langsung tenggelam di dalam genggaman tangan Dani. "Jangan dilepas."
"Iya pak Dani."
***
"Dante?"
Semakin dekat jarak mereka, Dante semakin jelas melihat siapa yang memanggilnya tadi. Turun dari motor, yang ternyata sebuah ojek online, Fla tersenyum ketika tahu ada kakak laki-lakinya sedang berdiri di depan rumah kostnya, seolah sedang menunggu seseorang.
Walau ia tahu bukan dirinya yang ditunggu, akan tetapi Fla tetap merasa senang. Setidaknya Dante tersirat memikirkan gadis itu juga.
"Ngapain di sini?"
"Abis dari mana lo?"
"Dari kampus. Terus cari-cari buku buat tugas. Pulang naik ojek karena cuma abang ojek yang bisa jemput, kapanpun, di mana pun."
"Nyindir gue?"
"Enggak biasa aja."
Fla semakin mendekati Dante. Dia bahkan sama-sama berdiri dengan sandaran motor besar Dante, yang sedang terparkirkan rapi di depan rumah kost besar ini.
"Tumben lo enggak hubungi dia?"
"Enggak."
"Kenapa? Enggak berani? Atau udah keduluan sama yang lain."
"Keduluan? Lo mau ngomong apa sebenarnya?"
"Lo pura-pura enggak tahu apa emang sengaja?"
"Sengaja?"
"Ayolah, lo pura-pura bodoh atau gimana. Gue tahu kok apa yang lo pikirin?"
"Sok tahu."
Sama-sama saling diam, Fla sengaja melirik Dante di sampingnya, sebelum akhirnya dia tertawa.
"Lo kangen nyokap enggak?"
Dante membalas tatapannya. "Apaan sih lo?"
"Gue kangen nyokap."
"Gue enggak."
"Dih bohong banget lo."
"Kapan gue pernah jujur sama lo?"
Fla memukul bagian perut Dante dengan sebelah tangannya. "Gimana kalau kita balik?"
"Balik? Balik ke mana?"
"Italy."
"Lo aja sendiri."
"Lo enggak mau temani gue?"
"Fla lo bukan anak kecil lagi."
"Tapi nyokap akan selalu anggap kita anak kecil."
Dante tidak menanggapinya. Dia berpura-pura fokus pada layar ponselnya, hingga Fla menyadari jika Dante tidak mau membahas tentang keluarga mereka untuk saat ini.
"Oke kalau lo enggak mau bahas ini. Tapi gue cuma mau info. Akhir tahun ini gue bakalan balik ke Italy. Entah bareng lo atau enggak."
Mengucapkannya dengan sangat lirih, Fla berharap Dante mengerti usaha terakhir yang bisa dia lakukan adalah memohon pada kakak laki-lakinya itu.
Akan tetapi sayangnya Dante seperti tidak peduli. Dia membiarkan Fla masuk ke dalam rumah kost, tanpa ada ucapan satu kata pun.
"Bastardo!"
Mendengar umpatan kasar dari Fla, Dante hanya bisa mencibir kelakuan adik kecilnya itu. Dia tahu semuanya sudah dalam kondisi yang tidak baik, maka dari itu Dante berusaha menjaga emosinya. Memilih diam memang bukan hal yang baik. Tapi inilah satu-satunya cara yang dia bisa untuk saat ini.
***
Menikmati makan malam di pinggir jalan, ditemani dengan suara setengah merdu dari para pengamen jalanan, Dara tidak bisa menghentikan senyumnya ketika Dani mulai mengeluarkan jokes ala bapak-bapak zaman now. Memiliki usia yang sudah sangat layak menjadi seorang bapak, dimata Dara, Dani seharusnya sudah fokus terhadap kehidupan pribadinya. Namun masalahnya jika memang ada sangkut paut Dani dalam semua hal ini, Dara yakin ada alasan besar mengapa dia melakukannya.
"Jadi ...." Gantung Dani dalam pertanyaannya. Dia terus tersenyum-senyum menunggu jawaban Dara untuk status hubungan mereka lebih lanjut ke depannya.
"Prok ... prok ... prok, jadi apa?"
"Aku enggak bercanda, Dar."
"Ulululu ... aku juga enggak kok." Dara terus menggodanya.
Memiliki sedikit banyak perasaan pada gadis itu, entah mengapa Dani merespon senang dari semua cara Dara dalam menggodanya. Bahkan dia tidak mau buru-buru selesai menikmati menu makan malam saat ini. Karena mungkin saja, ketika mereka kembali ke kost, semuanya sudah kembali normal lagi.
"Dar ...."
"Loh, bukannya kita emang teman subsidi?"
Dani tertawa. "Yakin cuma mau jadi teman subsidi?"
"Iya. Karena apa ya, gue emang ...."
"Harus berapa lama lagi aku nunggu?"
"Jangan ditunggu. Ngeri kecewa."
"Gitu?"
"Iya."
"Oke. Let it flow berarti."
"Hm."
Mencuri-curi lirikan ke arah Dani, Dara mulai menggencarkan serangannya. Dia memulainya dengan satu pertanyaan, yang pastinya menjadi kunci dari semuanya.
"Atau mungkin, Dan. Kita bisa saling kenalan ulang, gimana? Soalnya jujur selama ini gue juga enggak terlalu kenal sama lo."
Dani tertawa lepas. Ternyata Dara memang baru menyadarinya jika hubungan mereka sangat tidak dekat sebelumnya.
"Oke. Walau kamu baru sadar, aku bisa terima. Karena selama ini yang kamu perhatiin cuma kerjaan, kan?"
"Hahaha, bisa dibilang gitu."
Dara mengulurkan tangannya. "Dara Fajara Hanes. Cukup panggil gue, Dara. Jangan tambah kata burung di depannya."
"Hahaha, bisa aja. Oke, aku Dani."
"Just Dani?"
Dani menyelami manik mata Dara. Sudut bibirnya tertarik melebar.
Walau Dani tidak bicara apapun saat ini, namun Dara bisa merasa jika Dani mengetahui caranya untuk menggali informasi.
"G. Dani Syakier."
Terpaku, membeku. Akhirnya Dara membuktikan memang Dani dan Gusti adalah orang yang sama. Gusti Dani Syakier.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro