Bab 44
Hola.. harusnya kemarin aku update, cuma ya Tuhan, aku bener-bener gak buka komputer, dan melihat hal-hal yang berbau tulis menulis.
Lalu hari ini, aku vaksin booster, niatnya gak update juga... cumaaa..
aku gak mau gantungin kalian lama-lama. xixixix
Krn naskah ramadhanku udah tak garap.
btw, di karya karsa aku update 2 cerita ya.
1. Cerita Dante bab 50
2. Cerita sekali habis. Judulnya bittersweet loving you.
Semoga suka yaa... lope-lope pokoknya..
---------
Kadang yang kutakutkan dari sebuah rasa percaya adalah luka. Luka yang tidak pernah ingin kuterima.
Dara kembali ke kost. Setelah seharian bekerja, dan memiliki banyak pemikiran curiga, Dara berusaha untuk mencari bukti-buktinya. Ia sengaja menunggu di teras rumah kostnya, berharap Dara bisa mendapatkan jawaban dari rasa curiganya itu. Akan tetapi bukan jawaban yang ia dapatkan, melainkan sebuah masalah baru. Sepertinya begitu. Tepat ketika ia melihat sebuah motor berhenti di depan rumah kostnya membuat Dara curiga. Karena yang mengendarai motor tersebut adalah Dante.
Setelah membuka helm full face nya, dan melangkah mendekati pagar rumah, Dante memanggil nama Dara, meminta waktunya untuk bicara sejenak.
"Bisa bicara?"
Walau sedikit ragu, Dara mengangguk patuh. Sempat beberapa kali ada kejadian buruk dalam kondisi hubungan ia dan Dante, namun sebagai seorang yang professional, Dara berusaha untuk mematuhinya. Selama yang Dante akan bahas seputar pekerjaan, maka akan dia dengarkan dengan baik.
"Ada apa, Pak?"
Berdiri di hadapan Dante dengan tubuh mungilnya, kepala Dara diharuskan mendongak agar tatapan mereka bertemu.
"Kamu bisa naik motor?" Dante terlihat meremehkan Dara.
"Pak Dante ngejek saya?"
"Kalau begitu, kamu ikut saya sekarang."
"Ikut? Ke mana, Pak?"
"Saya mau memperjelas pekerjaanmu."
"Kenapa?" respon Dante kembali karena Dara minim sekali ekspresi.
"Enggak papa, Pak."
"Kalau begitu kamu harus pegang yang erat. Karena saya tidak ingin kamu tertinggal di belakang."
Dante memberikan sebuah helm putih padanya, kemudian Dante naik lebih dulu ke atas motornya, lalu dia minta Dara untuk mengikutinya. Kondisi jok motor yang terlalu pendek, membuat keduanya duduk sangat berdekatan. Bahkan jika Dara tidak memeluk Dante dengan erat, mungkin dia bisa terjatuh ke belakang.
"Let's go."
Mengendarai motor dengan laki-laki di malam hari, mengungkit kisah masa lalu Dara. Dulu ketika dirinya masih kuliah, bersama teman satu kampusnya mereka sering melakukan touring bersama ke beberapa tempat indah. Akan tetapi setelah Dara kerja, terlebih bekerja di dExpress, tidak ada waktu lagi dia pergi-pergi seperti dulu. Kehidupannya hanya seputar dExpress dan rumah kostnya. Itupun jaraknya bisa Dara jangkau dengan berjalan kaki. Sehingga mengendarai motor seperti ini baru ia rasakan lagi setelah sekian tahun lamanya.
"Mau ke mana kita, Pak?"
"Kita?"
"Ya kan saya sama pak Dante!"
Terdengar Dante tertawa, Dara malah merasa sebal. "Enggak usah ketawa deh, mau ke mana sih?"
"Kita mampir makan malam dulu. Saya belum makan siang."
Mengatakannya dengan santai, Dante mengemudikan motornya menuju tempat makan yang ingin dia tuju.
Kembali membisu. Dara seperti menikmati perjalanan kali ini. Dia seolah tidak memikirkan siapa yang membocenginya kali ini. Hanya saja kembali menikmati memori masa lalu disela-sela kepenatan masalah yang terjadi, tidak ada salahnya.
Bahkan Dante menyadarinya jika Dara menikmati moment jalan mereka kali ini.
"Ternyata kamu lebih suka pergi menggunakan motor dibandingkan mobil," ungkapnya ketika lampu merah menghentikan laju motor yang ia kendarai.
"Memang, Pak. Karena saya punya kenangan berkendara dengan motor."
Dara mengakui kenangan indahnya. Mungkin sepanjang hidupnya, masa kuliah paling banyak memberikan kenangan indah untuk Dara. Dimulai dari ketika ia diterima menjadi seorang mahasiswi di sebuah universitas terkemuka di Jakarta dengan full beasiswa. Lalu bagaimana lingkungan kampusnya memberikan banyak dampak positif, Dara sangat merasa tidak pernah terjadi masalah besar ketika dirinya menjalankan aktifitas kuliah. Mungkin masalahnya hanya satu dulu ketika menjadi seorang mahasiswi, yakni bagaimana mempertahankan nilainya agar selalu menjadi yang terbaik. Agar beasiswanya tidak pernah dicabut hingga selesai. Dan faktanya Dara berhasil melakukannya.
Lalu kenapa kini ketika kehidupan Dara dihadapkan dalam sebuah masalah, ia merasa sangat terbebani?
Emosinya seolah tidak pernah padam jika sudah membicarakan dExpress yang sudah memecatnya secara sepihak?
"Hei ... masih mau memeluk saya?" tegur Dante ketika mereka sudah sampai di sebuah resto siap saji, dengan menu utama adalah pizza.
"Ah ... maaf, Pak."
Dara turun terburu-buru dan menyadari dirinya sudah terlalu lama melamun. Pandangannya langsung tertuju ke arah papan nama resto yang berada di depannya. Kemudian seketika senyuman di bibirnya pun muncul. Otak kecilnya entah kenapa malah memunculkan ide brilian untuk ia lakukan saat ini.
"Kenapa, kamu?" tegur Dante merasa curiga melihat senyuman Dara. Dia meminta Dara melepaskan helm yang gadis itu pakai.
"Bapak suka pizza, ya?"
"Hm. Suka. Kenapa? Kamu enggak suka?"
"Suka, Pak. Cuma sebelumnya jarang beli. Karena mahal."
Menggelengkan kepalanya, Dante menerima helm yang Dara pakai tadi. Lalu berjalan lebih dulu untuk masuk ke dalam resto tersebut.
Sedangkan posisi di belakangnya, Dara mulai menyusun siasat. Dia teramat yakin mengapa Dante mengajaknya makan di tempat ini sekarang. Karena mungkin saja laki-laki itu rindu dengan negara asalnya.
ITALIA.
"Kamu mau pesan apa?"
Dara menatap menu yang ada di tangannya, beberapa menu dia ketahui bagaimana rasanya karena pernah ditraktir ketika ada temannya ulang tahun, dulu. Namun untuk beberapa menu baru, Dara sama sekali tidak tahu bagaimana rasanya.
"Saya pesan beberapa menu baru yang belum pernah saya makan boleh, Pak?"
Dante meliriknya. "Silakan. Asal dihabiskan."
"Pasti habis. Kalau enggak habis bisa bawa pulang, untuk dibagi-bagi ke Fla dan Dani."
Mendengar nama Dani disebut, sejujurnya Dante penasaran seperti apa sosok Dani? Sampai Fla dan Dara mau mengajak laki-laki itu untuk berlibur bersama.
Mengucapkan beberapa menu kepada pelayan, akhirnya Dante memiliki waktu untuk berbicara empat mata dengan Dara. Sebenarnya dia juga mau memperjelas batas pekerjaan mereka. Agar Dara tidak salah paham. Terlebih pemikiran bodoh Fla kemarin ini membuat posisi Dante menjadi serba salah. Dia hanya ingin professional dengan semua hal yang sedang ia kerjakan.
"Begini, Dar. Saya boleh menjelaskan kembali bagaimana kesepakatan pekerjaan kita kemarin ini?"
"Owh. Boleh, Pak."
"Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya meminta bantuanmu untuk mencari tahu fakta yang sesungguhnya terjadi pada perusahaan saya, dExpress, karena memang terasa sekali kejanggalan di sana. Dan kemarin juga saya memberikan batas waktu selama sebulan untuk kamu mencari tahu. Dan kini sudah berjalan 2 minggu, maka kurang lebih ada sekitar 2 minggu lagi waktu yang dirimu punya. Jika sampai batas waktu yang ditentukan, kamu tidak memberikan hasil apapun, maka janji 100JT yang diawal sudah saya janjikan, akan batal untuk diberikan. Namun sebagai gantinya gajimu sebagai OB dan beberapa tambahan bonus dalam pekerjaanmu, akan saya bayarkan seluruhnya."
Menjeda sejenak, Dara tidak merespon apapun dari penjelasan panjang Dante. Hingga ia kembali mengungkit kebodohan yang Fla lakukan kemarin.
"Dan untuk diluar dari pada itu, saya tidak mau kamu ikut campur apapun itu. Entah itu mengenai hubungan saya dengan Fla. Atau hubungan saya dengan orang-orang di sekitar saya."
"Maksud pak Dante, orang-orang di sekitar pak Dante itu, perempuan-perempuan yang ...."
"Yah, apapun sebutannya, saya tidak ingin kamu ikut campur mengenai kehidupan pribadi saya. Apalagi ... setelah kamu melihat sesuatu hal yang sesungguhnya tidak pantas kamu lihat, saya merasa kamu sudah melangkah terlalu jauh."
Dante membentengi dirinya. Dia tidak mau hubungan pekerjaan tercampur dengan hubungan ranjang yang selama ini sudah dia lakukan dengan banyak wanita.
"Pak Dante benar. Saya sudah kelewat batas. Dan saya minta maaf atas hal itu. Tapi sejujurnya pada malam itu, saya tidak ingin ikut campur dalam kehidupan pribadi pak Dante. Saya hanya ingin cerita mengenai beberapa hal yang saya ketahui. Bahkan saya sampai lupa memberitahu hal penting kepada pak Dante, mengenai laporan akhir bulan kemarin ini yang masih sempat saya kerjakan."
Menyipitkan tatapannya, Dante menjadi penasaran dengan kata-kata yang Dara ucapkan.
"Laporan akhir bulan?"
"Hm. Sebenarnya saya juga enggak paham, kalau dari apa yang saya dengar, alasan pemecatan saya karena melakukan beberapa kecurangan data laporan. Namun anehnya jika memang saya terbukti bersalah, harusnya laporan yang saya buat sampai ke bagian audit untuk diperiksa lebih lanjut, barulah tindakan dilakukan berdasarkan hasil audit. Akan tetapi dari kondisi yang terjadi, laporan itu tidak pernah sampai di audit. Bahkan saya ragu, laporan yang saya buat sampai ke pak Dante atau tidak."
"Laporan bulan lalu?"
"Iya, Pak. Laporan bulan lalu."
"Mungkin untuk dalam rincian laporan, posisi saya tidak pernah mendapatkan hal seperti itu. Karena pertiga bulan biasanya rapat besar akan dilakukan. Dan laporan yang dipresentasikan ke saya hanya dalam bentuk summary. Tapi saya yakin rincian laporan harusnya sampai ke bagian direktur."
Dara menatap Dante dengan ekspresi yang sulit sekali laki-laki itu terjemahkan.
"Memang salah saya, mengapa bukti besar itu tidak saya simpan atau saya foto, minimal. Pagi itu keadaan memang benar-benar urgent. Karena disaat saya mencari bukti, tiba-tiba pada saat itu Natta hadir sampai membuat saya kaget."
"Tapi saya benar-benar yakin, Pak. Rekapan yang berada dalam laci meja pak Agus, dalam ruangan kacanya, adalah rekapan yang saya buat akhir bulan lalu. Namun nyatanya rekapan itu tidak pernah sampai ke direksi, karena approval tanda tangan, tidak ada satupun yang terisi. Mungkin ini bisa jadi salah satu bukti untuk pak Dante. Karena kondisi ini menjelaskan bila dari posisi direktur sampai posisi Tari, benar-benar sangat mencurigakan."
Dante bersidekap. Menatap Dara sambil menimbang isi dalam pikirannya.
"Kamu bilang Tari memiliki hubungan kasus dengan petinggi dExpress? Gusti?"
"Benar. Dan hari ini Tari mengakuinya sendiri. Tadi ketika di kantor kami sempat berbicara di tangga darurat. Dia mengatakan sendiri jika posisinya dengan saya sama. Sama-sama berada dalam lindungan petinggi dExpress. Padahal kalau didetailkan amat sangat berbeda. Tari adalah kekasih pak Gusti. Sedangkan saya bekerja untuk pak Dante."
Dante membenarkan apa yang dikatakan Dara. Tapi ekspresi yang Dara tunjukkan kepada Dante, membuat laki-laki itu merasa aneh.
"Besok akan saya tanyakan langsung pada Gusti."
Meresponnya dengan cepat, Dara sampai menyentuh lengan Dante agar tidak terburu-buru bertanya pada Gusti.
"Jangan buru-buru, Pak?"
"Kenapa?" Dante sempat melirik ke arah tangan Dara di lengannya.
Menyadari tindakannya yang berlebihan, Dara memindahkan lagi tangannya ke atas meja. "Karena saya tidak mau ada kesalah pahaman lagi. Jika tuduhan kita salah, maka bukan hanya hubungan persahabatan pak Dante yang jadi taruhannya. Tapi juga dExpress."
"Kalau begitu, apa rencanamu?"
"Saya akan cari tahu secara perlahan. Waktu saya masih dua minggu lagi. Saya yakin bisa melakukannya."
"Kamu bisa minta bantuan Natta jika dibutuhkan."
"Boleh, Pak. Besok saya akan coba tahu terlebih dahulu ke pak Agus."
"Baik. Saya tunggu update'anmu."
Gantian. Kini Dante menepuk bahu Dara seperti seorang sahabat pada umumnya. Namun respon tubuh Dara malah berbeda, dia tiba-tiba merinding takut. Terbayang kelakuan Dante dengan 'orang-orang di sekitarnya'.
-----
yihaaa....
bayangin apa nih neng?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro