Bab 40
Maafin, kemarin aku sakit. Jadinya belum bisa update.
Tidur semalaman, alhamdulillah sekarang mendingan.
Makasih ya masih pada mau setia..
luplup....
Jangan lupa dikaryakarsa sudah bab 45... semangaattt
--------------------------------------
Mungkin lukaku kini terlalu dalam, namun kuyakin hanya waktu yang bisa menyembuhkan.
Langkah Dante terhenti tepat di depan room yang dia pesan sebelumnya untuk menjamu Dara dan juga Natta karena sudah berhasil menjalankan pekerjaan masing-masing dengan sangat baik. Bahkan bisa dengan mudah diajak bekerja sama sekalipun waktu mereka berkenalan sangatlah singkat.
Dalam satu hari mereka bersama, diluar konteks pekerjaan, Dante merasa baik Dara ataupun Natta, keduanya merupakan orang yang jujur. Ketulusan dari sikap mereka bisa dengan jelas Dante rasakan, sampai-sampai dia merasa malu mengapa orang-orang sebaik mereka berdua harus di PHK dari dExpress.
Itulah mengapa Dante sengaja mengumpulkan semuanya. Termasuk pak Amin. Yah, sekalipun pada masa itu salah satu kepala departemen mengaku bila ada barang pentingnya yang hilang setelah diantarkan oleh pak Amin, namun rasanya Dante kurang yakin bila pak Amin melakukannya.
Apalagi pak Amin ini adalah salah satu orang yang direkrut sendiri oleh Dante, sehingga rasanya tidak mungkin pak Amin mengecewakan apa yang sudah Dante berikan kepadanya.
Setidaknya pak Amin tahu bagaimana perjuangan dExpress dari awal.
Mungkin hal itu juga berlaku pada Dara dan juga Natta. Dua orang ini termasuk kategori orang lama di dExpress. Akan tetapi sayangnya keduanya sama-sama di PHK dengan alasan yang tidak jelas.
Setelah menarik napas dalam, Dante mulai melangkah masuk. Tidak ada suara-suara Dara ataupun Natta. Terasa sangat sunyi. Hanya suara deburan ombak yang menyambut kedatangan Dante.
Tahu ke arah mana dia harus mencari, Dante menuju pendopo di bagian belakang, dengan view lautan lepas di malam hari.
Ternyata di sini mereka, itulah yang Dante pikirkan ketika melihat siluet Dara dan juga Natta sedang duduk berdua di pendopo kayu tersebut, dengan pandangan sama-sama tertuju jauh ke depan.
"Kadang emang gitu, Dar. Uang terlihat seperti Tuhan. Termasuk orang yang punya banyak uang, bisa dibilang Tuhan."
"Ya ... itulah kenapa tadi gue mau keluar aja dari tempat ini, karena gue tahu di sini bukanlah tempat gue. Walau memang ada pekerjaan yang belum selesai di antara gue sama pak Dante, tapi tetap aja, rasanya gue enggak bisa terima semua ini. Sampai gue melakukan hal bodoh tadi, karena gue udah enggak tahu harus gimana."
"Hal bodoh?"
"Hm. Gue nampar pak Dante. Tapi abis itu gue menyesal. Selama perjalanan gue di luar tadi, melihat keramaian orang, gue sadar banget manusia tuh enggak bisa hidup sendirian. Seperti ada hubungan antara satu dengan yang lain, kayak sekarang ini, pak Dante butuh gue untuk membantu dia, dan gue juga butuh dia untuk uang. Lo tahu kan kenapa gue pengen banget pulang kampung, karena terakhir kasih kabar, ibu gue lagi sakit. Dia sampai pinjam uang budeh gue buat berobat. Hm ... untungnya gue masih ada sedikit simpanan dari sisa PHK kemarin. Tapi kalau lama-lama begini, gue juga bakalan kehabisan uang. Karena alasan itulah gue mau ngebantu pak Dante. Karena gue butuh uang dia."
"Kenapa lo enggak bilang sama gue?"
Dante mendengar suara Dara, entah meringis atau tertawa pedih, yang Dante rasa kondisi Dara sepertinya tidak sedang baik-baik saja.
"Itu kejadian sebelum gue ketemu lo interview, Nat. Dan siapa yang nyangka kita akan kerja dalam tim begini. Yah, begitulah jalan hidup. Enggak ada yang tahu. Lo masih kerasa kan, gimana kita enggak diterima karena enggak punya orang dalam. Lalu sekarang kita kerja di perusahaan dExpress, karena direkrut sama owner dExpress sendiri. Emang selucu itu hidup."
"Ya ... ya, gue paham gimana perasaan lo, Dar. Sama kayak yang gue ceritain kemarin ini, gue lebih milih resign dari perusahaan sebelumnya, karena mereka mau kirim gue ke luar kota. Dan gue enggak mau. Karena pikiran gue sama kayak lo, keluarga adalah yang utama."
"Jadi enggak sabar gue, selesaiin kerjaan ini, terus balik ke kampung."
Natta meresponnya sembari memberikan tepukan pada bahu Dara. "Gue bakalan bantu lo sampai semuanya selesai."
"Thank you, Nat."
"It's my pleasure."
"Ehm ...."
Memecahan percakapan yang terdengar manis, tapi membuat mual, Dante berdeham sembari mengikis jaraknya pada Dara dan juga Natta.
Dari setiap langkah yang tercipta, perasaan takut perlahan-lahan semakin menyelimuti hati Dara. Walau dia berusaha untuk tidak memikirkan kejadian tadi, namun tetap saja ketika Dara melihat sosok Dante berada tepat di depannya, ketakutan itu langsung menusuk hatinya.
Sengaja menundukkan kepalanya, Dara benar-benar ingin melarikan diri dari tatapan manik mata cokelat milik Dante.
Jujur dia belum siap berdamai dengan kondisi menyesatkan akal dan pikirannya itu.
"Kalian sedang membicarakan apa?"
"Pak Dante ...." Natta sengaja berdiri, mempersilakan Dante duduk di samping Dara. "Enggak, Pak. Hanya keinginan Dara untuk bertemu orangtuanya lagi."
Mencibir sembari mengangguk, Dante memainkan ekspresinya, menipu Natta seolah-olah dia tidak tahu apapun mengenai percakapan mereka tadi.
"Hm, begitu. Ngomong-ngomong, gimana? Sudah ada hasil?"
Menyadari lirikan Dante, tangan Dara semakin gemetar. Dia berusaha untuk tidak memikirkan hal buruk, karena posisinya kini sedang ditanya terkait pekerjaan. Bukan tentang bagaimana rasanya jadi wanita seksi itu.
"Itu, Pak. Anu, sebenarnya sedang mencurigai beberapa hal, cuma faktanya belum lengkap. Saya tidak mau ...."
"Ceritakan saja, atau saya merasa rugi sudah membawamu kemari!"
Saling tatap. Keduanya sama-sama melemparkan ekspresi merendahkan.
"Baik, jika pak Dante mau dengar."
Dara mulai menceritakan satu demi satu mengenai beberapa hal yang dia curigai. Hingga akhirnya nama Tari dia sebut, seorang karyawan perempuan yang diduga dekat dengan petinggi dExpress, ekspresi kaget tidak bisa Dante sembunyikan.
"Tari?" ulangnya berusaha mengingat nama tersebut.
Responnya terhadap nama itu, seperti terhubung dengan sesuatu hal yang pernah dia lupakan.
Maklum saja, sudah terlalu banyak wanita yang berhubungan dengan Dante. Sehingga terasa nama Tari termasuk ke salah satunya.
"Iya, Pak. Dan petinggi dExpress yang dimaksud adalah pak Gusti." Natta menambahkan informasi penting yang kemungkinan dibutuhkan oleh Dante.
"Gusti? Gusti yang itu? Gusti yang kamu lihat di rapat RUPS, kan?"
"Iya, Pak. Pak Gusti yang kemarin presentasi. Pak Gusti yang mengambil berkas kosong di tangan pak Dante."
"Kamu enggak asal nuduh, kan?"
"Saya yakin banget, Pak." Natta mengatakannya dengan lantang. Dia benar-benar yakin bila yang duduk di tempat makan bersama Tari adalah sosok Gusti.
"Sebenarnya sewaktu saya mau balik kantor, lewat tangga darurat karena harus menutup pintu-pintu itu, saya melihat Tari dengan seorang laki-laki memakai hoodie bersama Tari di ruangan tangga darurat itu. Kalau dilihat dari kondisinya, mereka sedang bertengkar, layaknya pasangan kekasih. Tapi sampai detik ini saya tidak yakin jika laki-laki itu adalah orang yang sama dengan pak Gusti, yang kemarin dilihat Natta di tempat makan."
"Kenapa kamu enggak kasih tahu saya?" tanya Dante merasa tertinggal untuk mengetahui info sepenting ini.
"Karena saya enggak tahu awalnya siapa laki-laki itu. Cuma ... ketika Natta melihatnya kemarin, dan menyebut nama pak Gusti, seorang petinggi dExpress, baru saya yakin menceritakannya."
"Pakai hoodie? Hm ... Gusti pakai hoodie?" Dante bergumam sendiri. Merasa tidak yakin jika itu benar-benar Gusti.
"Kenapa, Pak? Ada yang aneh, kah?"
Bersidekap, dan melirik Natta, Dara secara bergantian, Dante menggeleng pelan.
"Saya enggak yakin itu Gusti, sahabat saya, yang juga termasuk owner dExpress. Karena yang saya tahu, dia tidak pernah pakai hoodie. Bahkan saya yakin dia tidak punya."
Saling melemparkan tatapan, Dara dan Natta, keduanya kompak memberikan ekspresi bingung.
"Jadi intinya dari info yang kamu berikan, Tari, anak buah pak Agus, dan temanmu dulu, memiliki hubungan dekat dengan Gusti Dani Syakier, salah satu pemilik dExpress yang juga merupakan sahabat saya?"
"Iya, Pak." Keduanya kompak menjawab. Sekalipun keduanya sama-sama melemparkan ekspresi curiga.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro