Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 38

Hayo... tumben lama capai targetnya.
Baguslah. Jadi kalian masih ada persiapan menuju bab2 genting selanjutnya.


Btw, di karya karsa sudah bab 42. Ada sesuatu yang terbongkar di sana. Apa itu?

Cek aja

Owh, iya. bab ini ada bagian anunya. Enggak terlalu panas emang, cuma mayan bikin shock. Jadi yang anu, aku skip di wattpad. Baca lengkap ke karya karsa aja.

------

Aku menghindari bukan karena aku takut, namun aku mencoba pahami bila kondisi ini bukanlah waktu terbaik untuk memperjuangkan ego diri.

"Pesen apa, Dar?"

Mendekati Dara yang tengah memesan makanan pada seorang chef, sebenarnya Natta ingin memberikan kode pada gadis itu bila setiap gerakan yang ia ciptakan dari tadi terus saja jadi pantauan oleh Dante. Apalagi ketika Dara melewati laki-laki itu tanpa meliriknya, Dante berhasil dibuat tak berdaya oleh Dara.

Hingga kini, sekalipun Dante memilih tempat duduknya sendiri, tidak bergabung dengan Natta, Fla, dan juga Dara, ia terus mengawasi semuanya. Sampai-sampai Natta dibuat tidak nyaman dengan kondisi malam ini.

"Pesen yang belum pernah gue makan." Kedua matanya benar-benar berbinar ketika melihat seorang chef tengah membuatkan menu seafood untuk Dara nikmati malam ini.

Menginap di resort mewah, dengan kondisi di pinggir pantai, Dara tidak mau menyia-nyiakan menu makanan enak yang bisa disajikan oleh chef-chef berkualitas. Karena itu, dengan kondisi perut begitu lapar, Dara memesan banyak makan fresh, lalu dibantu masak oleh para chef.

"Owh gitu. Makan lo banyak juga ya, Dar. Padahal lo lagi diintai sama pak Dante," bisik Natta semakin merinding bulu kuduknya.

"Gue enggak peduli." Dara melirik Natta. Senyum di bibirnya begitu tulus. Dia hanya berusaha memposisikan dirinya sebenar mungkin. "Selesai gue kerja sama dia, gue mau pulang kampung. Itu yang buat otak gue bisa sesantai ini."

"Gila sih."

"Kenapa harus gila? Toh gue enggak melanggar apapun. Gue udah berusaha kabur dari semua ini, tapi dia bawa gue kembali. Ya sudah, berarti dia mau gue nikmati semua itu. Yah, selama gue masih kerja dengan dia. Kalau udah enggak kerja bareng dia, ya mana mampu gue."

Natta kehabisan kata. Dia benar-benar salut dengan jalan pikiran Dara kini. Yang nyatanya tidak mau meributkan hal-hal tidak penting dalam hidupnya.

"Biar kami antarkan ke meja untuk makanannya, Bu."

"Enggak perlu chef. Saya bisa bawa sendiri," ucap Dara.

Dia menerima satu piring besar Grilled river lobster serta Gindara fish in Thai green curry, Dara langsung tersenyum sumringah. Dengan santai dia kembali ke tempat duduk mereka. Membawa dua piring makanan kesukaannya, Dara masih tidak peduli betapa kesalnya Dante melihat senyum bahagia dari perempuan itu.

"Makan apa?" tanya Fla melirik kedua piring yang Dara bawa.

"Hehehe, udang bakar sama ikan, sebenarnya. Cuma karena pakai bahasa Inggris kelihatan keren banget."

"Hahaha. Emang. Jadi mahal harganya karena biaya les bahasa Inggris tuh makanan."

Dara tertawa geli. Dia berusaha menyendokkan makanan itu ke mulutnya dengan tanpa sengaja tatapannya tertuju ke arah Dante.

Laki-laki itu terlihat sendirian saja, hanya secangkir kopi yang menemaninya. Mengenaskan memang. Namun Dara rasa Dante memang pantas mendapatkannya.

"Karena besok kita udah balik jadi kuli lagi, lo makan yang banyak, Nat. Anggap perbaikan gizi."

"Lo juga, Dar. Biar kita sama-sama bisa ...."

"Che cosa c'e'?

Terdengar dengan nada suara cukup keras, Dara melirik Dante yang tidak berada jauh dari mereka. Melihat kondisi Dante saat ini, sepertinya laki-laki itu sedang menerima panggilan masuk.

"Kenapa dia?" tanya Fla disaat ia kembali dengan membawa sepiring menu makan malam, yang dimata Dara terlihat sangat sedikit.

"Enggak tahu," jawab Dara tidak peduli. Ia lebih memikirkan bagaimana bisa Fla makan sedikit itu. "Lo serius, Fla? Cuma makan segitu?"

Fla meresponnya dengan tawa, dia merasa takjub dengan Dara yang teramat sangat tidak peduli dengan kondisi iblis di samping mereka.

"Gue jarang makan malam, Dar."

"Dih, gila. Gue enggak akan bisa tidur kalau enggak makan."

Kali ini Natta yang tertawa. Memang ajaib sahabatnya satu ini. Bisa terlihat santai walau Natta tahu Dara tidak baik-baik saja. Terlebih setelah ia kabur dari tempat ini.

"Tapi kok lo enggak gendut ya, Dar? Kalau gue mah, makan banyak tapi enggak workout, habis sudah bentuk tubuh. Bisa ada lemak di mana-mana."

"Gue workout kok, Fla. Workout dalam bentuk pup."

Bersama Natta menertawakan Dara, Fla sedikit banyak berusaha mencuri dengar atas kondisi Dante saat ini. Ekspresi Dante terlihat marah dengan seseorang yang sedang menghubunginya.

"Fai quello che vuoi!"

Langsung melangkah pergi dari tempat makan ini, Fla menjadi curiga bila Dante sedang ribut dengan seseorang yang mungkin saja membuat laki-laki itu merasa tidak nyaman atau mungkin tidak aman.

"Pak Dante ke mana?" Natta merespon kepergian Dante.

"Biarin aja, dia udah besar!" Fla berusaha untuk tidak peduli. Namun sebenarnya dia begitu penasaran.

"Dia sudah besar, dengan pikirannya yang sempit." Kini Dara menambahkannya.

***

"Belum tidur, Dar?"

Lamunan Dara, yang sedang duduk menghadap ke arah lautan lepas, tersadarkan karena Fla ikut gabung bersama dirinya saat ini. Senyum-senyum malu di bibir Fla membuat Dara curiga. Seolah Fla sedang menginginkan sesuatu saat ini.

"Belum. Sayang banget tidur cepat. Kita kan lagi liburan."

Fla tertawa lepas. Dia duduk di samping Dara dan ikut menikmati cantiknya pemandangan malam ini. "Iya sih, cuma itu Natta kayaknya udah ngorok. Capek banget kayaknya dia."

Tidak merasa heran, Dara menanggapi kata-kata Fla dengan santai. "Pastinya capek, Fla. Dia dalam seminggu terakhir bekerja mati-matian demi menghadapi rapat RUPS kemarin. Gue sih maklum aja kalau di sini dia jadi tidur mulu. Karena tipe-tipe manusia kayak Natta kalau lagi stress, bakalan tidur."

"Hm. Gitu. Jadi penyebabnya Dante." Fla menarik ke belakang kedua tangannya, menjadikan sandaran untuk tubuhnya yang terlihat begitu menikmati embusan angin pantai malam ini. Rambut pendek, dan pirang dari gadis itu melambai-lambai di wajahnya sampai Fla terkikik sendiri.

"Eh ... kenapa, lo?"

"Enggak papa. Geli aja inget tadi kita nangis-nangisan enggak jelas banget. Padahal cuma karena Dante."

"Tapi waktu itu lo juga nangis karena dia, kan? Yang enggak sengaja gue pergokin juga?"

"Enak aja nangis! Kagak nangis. Cuma yah kecewa aja."

"Gitu, kah?"

"Iya. Kecewa karena gue ajak dia balik ke Italia, enggak mau."

Melirik Dara yang tidak merespon atas ceritanya, Fla mencolek lengan Dara agar perhatian gadis itu tertuju padanya.

"Lo enggak tanya kenapa Dante enggak mau balik ke Italia?"

Kepala Dara menggeleng. "Buat apa? Itu kan urusan keluarga lo."

"Iya, sih. Cuma ya enggak gitu juga, Dar."

"Enggak gitu gimana? Bukannya bakalan aneh kalau gue ikut campur urusan keluarga lo."

"Emang sekedar basa basi tanya alasan bisa dibilang ikut campur?"

"Yah, enggak juga sih. Lebih kepeduli jatuhnya. Cuma saat ini gue lagi enggak pengen aja peduliin orang lain. Secara gue lagi butuh peduliin diri gue sendiri. Hari ini benar-benar bikin gue shock. Banyak hal yang baru gue ketahui, kayak hubungan lo sama pak Dante. Terus kata-kata nyelekit yang gue terima, ah ... susah banget gue pahami maksudnya. Sekalipun gue orang biasa, orang enggak mampu bisa dibilang. Cuma, gue yakin enggak ada satu orang pun mau disamain satu sama lainnya. Apalagi disamain dengan seorang pelacur. Jatuhnya penghinaan. Tapi balik lagi, karena gue masih terikat kerja sama pak Dante, gue masih berusaha professional. Profesional mengabaikan sakit hati gue."

"Gue paham, Dar. " Fla bergumam pelan. "Dan gue yakin sulit bagi posisi lo sekarang."

"Memang. Cuma ya mau gimana lagi. Gue sih pengen banget semua ini cepat selesai. Setidaknya gue enggak perlu ketemu abang lo lagi. Ya, kan?"

"Tapi lo kan belum dapat bukti valid apapun. Gimana mau selesai?"

Dara mengunci mulutnya rapat. Fla benar, dia belum mendapatkan bukti.

"Btw, kemarin gue dengar dari Dante, kontrak lo sama dia cuma sebulan, kan? Kalau lo enggak berhasil, 100 juta lo lenyap. Cuma dibayar gaji OB doang, gimana tuh?"

Kedua alis hitam Dara bertautan. Sekalipun angin pantai berembus sangat kencang, tapi mengapa otaknya seperti terbakar.

"Mau gimana lagi? Bukan rezeki."

Fla menertawakan kata-katanya. "Kok lo ketawa?"

"Abis lo pasrah banget. Hei, Dar. Lo hidup di Ibu kota, masa iya semudah itu lo pasrah dan menyerah."

"Gue sih enggak menyerah, Fla. Cuma kalau belum takdir dapat segitu, gimana?"

"Ya lo harus cari jalan lain lah. Kan lo tahu pepatah bilang gini, banyak jalan menuju Roma, dan banyak luka kalau mau bahagia. Tahu enggak lo?"

"Pepatah apaan tuh?"

"Dih, serius gue. Ada pepatah ngomong gitu. Mungkin kalau lo enggak tahu, lo kurang gaul sama dukun patah tulang."

Menggoda Dara sambil tertawa puas, Dara mendorong tubuh Fla dengan sebal. Bisa-bisanya Fla sama menyebalkan dengan Dante.

"Ampun ... ampun. Intinya gini, gue mau cerita sedikit nih. Berdasarkan pengalaman gue sebagai pebisnis. Gue pernah ada diposisi dimana kehabisan bahan baku, padahal permintaan sedang banyak. Dan lo tahu apa yang gue lakuin buat menutupi permintaan?"

"Apa?"

"Gue beli langsung barang jadi. Walau gue enggak untung, bahkan buntung, tapi konsumen gue puas. Itulah yang gue bilang, banyak jalan menuju Roma dan banyak luka kalau mau bahagia."

"Intinya aja deh, lo dari tadi ajakin otak gue jalan-jalan mulu. Capek, Fla."

Merasa menang karena Dara mulai tertarik dengan pembahasan mereka malam ini, Fla mulai melancarkan serangannya.

"Gue ada penawaran khusus buat lo."

"Apa?"

"Kalau lo berhasil bawa Dante balik ke Italia, lo gue kasih 100 juta. Gimana?"

Menatap tidak percaya, suara Dara terbata. "Ma ... maksud lo?"

"Gue mau Dante pulang. Gue mau Dante ketemu sama bokap nyokap gue lagi. Karena tujuan gue pengen satuin keluarga gue lagi. Entah itu di Italia, atau di Bali. Tapi ya setidaknya Dante harus balik dulu ke Italia. Buat selesaiin semua masalah lama dia di sana."

Masih mengangak bingung, mendengar penawaran yang Fla katakan. Dara menggeleng, merasa tidak percaya dengan kelakuan adik kakak ini.

"Gila ya kalian. 100 juta macem 100 perak. Gampang banget buat kasih ke orang lain. Dan lagian gue bingung deh, Fla. Si pak Dante itu udah gede. Bukan bayi lagi. Gimana caranya bawa dia ke Italia kalau bukan kemauan dia sendiri? Dia enggak mungkin gue gendong pakai kain jarik. Hello, badan dia aja segede babon gitu. Yang ada gue dibanting sama dia."

"Itulah kenapa gue berani bayar lo semahal itu, karena pastinya susah. Dan gue yakin lo punya cara sampai Dante sendiri yang mau melangkah pulang ke rumahnya, di Italia."

Memijat kepalanya karena terasa berputar, Fla gemas melihatnya.

"Sekarang gini, mumpung di Bali. Lo coba tes, semampu apa lo dekatin dia. Kalau lo berani gue kasih sejuta sebagai ongkosnya."

"Ongkos? Kan dia cuma beda kamar sama kita. Emang dia keluar dari lingkungan resort ini?"

Fla semakin terkikik geli. "Aduh, Dara. Lo polos banget sumpah. Maksud gue ongkos di sini, bukan berarti lo harus naik angkot. Tapi gue pengen bikin lo semangat. Semangat buat ngejalanin misi dari gue."

Menutup wajahnya dengan kedua tangan, Fla merangkul tubuh kecil Dara sambil berbisik.

"Kalau lo berhasil, total lo bakalan dapat 200 juta. 100 juta dari Dante, 100 juta dari gue. Nanti gue bantuin soal kerjaan Dante. Tapi lo harus bantuin gue juga. Kan lo juga yang enak kalau dapat 200 juta?"

Semakin tergiur dengan nominal besar itu, Dara memastikan bila Fla tidak berbohong atas reward yang akan ia berikan.

"Cuma sampai dia balik ke Italia, kan? Bukan berarti kalau dia balik ke Italia, masalah keluarga kalian akan selesai, kan? Kalau sampai harus masalah kalian selesai, gue nyerah. Tapi kalau cuma bikin dia balik ke Italia, gue rasa masih bisa sih."

"Iya. Sampai Dante balik ke Italia. Masalah keluarga, nanti biar gue yang urus."

"Siap. Gue mau."

"WOW! Kayaknya lo udah punya strategi?"

Menepuk-nepuk dadanya, merasa bangga atas diri sendiri, Dara menunjukkan siapa dirinya di depan Fla. "Walau tubuh gue kecil, otak gue tetap kapasitas maksimal."

"HAHAHAHA ... Maksimal dari mana? Lo aja salah nebak hubungan gue sama Dante. Gimana sih!"

"Yah, anggap aja itu khilaf."

"Ya ... ya. Oke. Kalau lo udah siap dari sekarang. Nomor rekening lo berapa? Biar gue transfer ongkosnya."

"BCA 00055571XX atas nama Dara Fajara Hanes."

Mencuri lirik ke arah ponsel Fla, gadis itu langsung mengetikkan nominal 1 juta untuk dikirimkan ke rekening Dara.

"Done." Fla menatapnya dengan senyuman palsu. "Sekarang lo langsung ke sana. Dia ada di kamar sebelah. Yang dekat tebing. Lo minta dianterin sama petugas aja. Bilang mau ke kamar Dante. Ada urusan pekerjaan. Nanti pasti di anterin."

Masih membuka rekeningnya melalui mbanking, Dara tersenyum bahagia karena ada asupan nutrisi sampai gajian nanti.

"Oke. Siap."

Melangkah dengan pasti, Fla meneriakkan sesuatu kepada Dara.

"Hati-hati, Dar. Tadi gue dengar dia lagi emosi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro