Bab 35
Whakaka.. udah 500 yee?
Maap ... maap ...
Aku balik kerja malem hari ini. Jadi agak delay updatenya.
Btw, di karya karsa aku update 2 bab di sana. 36-37 plusplus...
Apa plusnya? Hahaha.. baca aja. ngeri panas dingin kalo dikasih tau...
-------------------------------------
Kadang terlalu banyak gengsi malah membuatmu tersakiti seorang diri.
Jadi GEMBEL! Itulah yang Dara rasakan kini. Dia hanya bisa duduk diemperan jalan, sambil melihat lalu lalang para turis atau bahkan orang-orang yang berlibur di pulau Dewata ini. Beberapa kali Dara menelan air ludahnya ketika harum makanan menusuk penciumannya. Semakian terus terulang dipikirannya, mengapa dia memilih kabur dari surga dan menjadi gembel seperti di neraka? Bahkan jika dia bisa sedikit saja lebih bersabar, mungkin kini dia sedang menikmati makanan enak yang disuguhkan spesial dari resort mewah itu. Namun sayangnya, hati Dara tidak sekuat itu. Dia bisa saja menangis ataupun mengamuk ketika ada orang yang melukainya. Akan tetapi tetap saja, gengsilah yang membawanya menderita seperti ini.
Sambil memeluk tasnya erat, dia tidak tahu harus pergi ke mana kini. Di dompetnya memang ada sedikit uang, tapi dia tidak yakin apakah harus menyewa hotel di Bali, atau memilih pulang menggunakan armada yang sesuai dengan uang miliknya.
Termenung memikirkan langkah selanjutnya, sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Dara. Dia tahu pasti Natta lagi yang melakukannya. Karena itu malas-malasan dia membuka pesan itu. Nyatanya pesan yang baru saja masuk ke dalam ponselnya adalah pesan dari nomor yang belum dia simpan.
Kedua matanya membaca secara detail isi pesan itu.
+62812 xxxx xxxx
Bagaimana liburannya? Maaf gue enggak bisa ikut. Ada masalah di kantor kemarin. Jadinya butuh lembur di hari sabtu ini. ☹
Dani
Tersenyum membacanya, amat sangat jarang Dara menemukan pesan dari laki-laki menggunakan emotikon dibagian akhirnya. Biasanya laki-laki lebih sering mengirimkan pesan singkat, padat dan jelas, tanpa ada embel-embel manis seperti yang Dani lakukan kini.
Merasa sepi di tengah keramaian, Dara langsung menghubungi Dani. Dia malas berbalas pesan, karena terkadang ibu jarinya suka keram jika melakukan kegiatan itu terus menerus.
Menunggu Dani mengangkat sambungannya, Dara mengigit kecil-kecil kuku ibu jarinya, dengan tatapan tertuju ke arah keramaian orang-orang. Kelihatan seperti anak kecil, terperangkap dalam usia yang sudah berumur.
"Halo ...."
"Hei, Dar. Ada apa?"
"Hm ... enggak ada apa-apa sih. Cuma gue males aja ngetik."
Terdengar Dani tertawa disambungan telepon itu.
"Kelihatan."
"Kelihatan apa?"
"Kelihatan malasnya, sampai kena PHK kemarin ini."
"Kok kurang ajar, ya. Tapi emang bener sih. Banyak banget sikap gue yang bisa dijadikan alasan sama dExpress untuk mecat gue."
"Tapi bukannya lo udah kerja lagi di sana?"
"Hm. Cuma sebulan paling."
"Sebulan?"
"Iya. Abis itu gue mau pulang kampung aja."
"Loh, kenapa?"
"Enggak papa. Cuma mau balik kampung aja. Kasihan orangtua gue, mereka udah sakit-sakitan. Jadinya gue mau habisin waktu gue buat rawat mereka."
"Wow. Anak yang sangat berbakti. Yah, setidaknya lo punya nilai jual juga. Walau enggak pernah diketahui orang-orang."
"Kok lo lama-lama ngeselin sih, Dan. Mirip bos gue."
"Bos lo?"
"Hm. Bos gue yang paling tinggi banget itu. Ah, susah deh kalau jelasin dia mah."
Sama-sama membisu, Dara pikir Dani sudah mematikan sambungannya.
"Dan ...."
"Iya. Maaf-maaf."
"Kenapa minta maaf coba? Aneh banget," ungkap Dara sambil tertawa. "Btw, gue enggak ganggu malam minggu lo, kan?"
"Enggak. Gue lagi di kos'an. Mau malam minggu ke mana?"
"Di kos?" ulang Dara curiga. Bukannya tadi pagi bibi yang membantu di rumah kost mereka mengatakan jika Dani sering menginap di apartemen miliknya?
"Hm. Capek gue. Mau tidur paling malam ini."
"Terus ngomong-ngomong lo dapat nomor gue dari mana, ya?"
"Ah ... itu, kayaknya dulu kita pernah tukeran nomor deh."
"Emangnya, iya? Kok gue lupa."
"Jadi gue enggak boleh tahu nomor lo?"
"Boleh sih, cuma belum gue save aja. Jadinya bingung ini nomor siapa. Tadinya gue pikir dari pinjol."
"Bisa ngeselin juga ya lo, Dar."
"Wow. Bisa, lah!!"
"Ngomong-ngomong lo lagi jalan-jalan, ya? Kedengaran rame banget."
Dara melirik ke sekitar. Dia tersenyum malu saat melihat lokasinya berada di pinggir jalan, sendirian.
"Iya. Lagi di jalan."
"Terus lo jadi obat nyamuk dong, di antara Fla sama pacarnya?"
Dara tertawa geli mendengar kalimat yang baru saja Dani katakan. Dia menggelengkan kepala, menghapus fakta memalukan yang tadi diinformasikan oleh petugas resort.
"Bahagia banget kayaknya? Ini benar bahagia apa kamuflase?"
"Gue malu, Dan. Jujur ini emang kebodohan gue banget."
"Bodoh? Kok banyak banget sih bagian kebodohan lo."
"Hm, begitulah."
"Emangnya bodoh kenapa?"
"Gue enggak paham, Dan. Gue pikir perjalanan ini sama aja kayak kerja. Secara gue pergi bareng bos gue, yang kebetulan pacarnya Fla. Awalnya gue pahamnya kayak gitu. Cuma pas di sini, gue dikasih tahu sama petugas resort. Ternyata bos gue itu bukan pacarnya Fla. Tapi kakaknya."
"Kakaknya Fla? Maksudnya kakak laki-laki Fla?"
Terdengar nada suara kaget dari kalimat yang Dani ucapkan.
"Iya. Lo kebayang enggak, betapa bodohnya pemikiran gue selama ini."
"Terus?"
"Terus ya malu lah. Dan sekarang gue ...."
"Kamu ngapain di pinggir jalan kayak gini?"
Dante yang muncul tiba-tiba di hadapan Dara, menghentikan kalimat yang akan dia ucapkan. Dia sama sekali tidak bergerak, bahkan ketika Dante terus saja menatapnya, berharap ada jawaban pasti yang Dara katakan, gadis itu benar-benar berubah seperti patung.
"Che stoltezza!"
Tanpa pikir panjang, Dante menarik ponsel yang masih menempel di telinga Dara, lalu menarik lengan gadis itu untuk berdiri, dan melangkah menuju mobil yang dia kemudikan hingga sampai ke tempat ini.
"Masuk!" Perintah seorang bos sudah mengontrol gerak gerik Dara.
Tanpa banyak penolakan, dia melakukan apa yang Dante perintahkan. Lalu terdiam dikursi penumpang dengan berbagai macam pemikiran.
Setelah memastikan Dara sudah duduk dengan aman di kursi penumpang, tentu saja tanpa Dara bisa bicara apa-apa, Dante menutup pintu mobilnya dan segera melangkah ke belakang kemudi mobil. Sebelum masuk ke dalam mobil, Dante sempat melihat dengan siapa Dara berbicara. Dan nyatanya hanya nomor telepon di sana. Nomor cantik yang masih terhubung itu, langsung Dante matikan.
"Orang penting kayaknya," gumam Dante karena tahu nomor cantik tidak semudah itu diperjual belikan. Biasanya ada harga mahal yang harus dibayar ketika menginginkan nomor-nomor cantik dari sebuah provider. Dan biasanya angka-angka yang membawa keberuntungan lah yang lebih banyak dipesan.
"Saya kembalikan," kata Dante disaat dia bersiap untuk menjalankan mobil.
Tangan Dara menerimanya dengan gemetar. Jelas ada rasa takut di sana, ketika Dante berubah menjadi sosok yang begitu dominan di matanya.
Selama 31 tahun ini, Dara belum pernah sekalipun bertemu laki-laki sedominan ini terhadap sesuatu. Karena biasanya, Dara lebih sering menemukan karakter laki-laki yang tersirat ketika mereka sedang menginginkan sesuatu. Bukan seperti Dante yang terlalu blak-blakkan.
"Pak ... kenapa saya ...."
"Saya enggak mau ribut dengan Fla."
Dara ingin rasanya menenggelamkan tubuhnya ke dalam perut bumi jika mengingat hubungan Dante dan Fla dalam keadaan yang sebenar-benarnya.
"Karena dia lebih berharga dari apapun. Dia dan ... my mom."
Tersirat rasa sedih yang begitu dalam, Dara melirik Dante yang menunjukkan emosi dengan genggaman kedua tangannya pada kemudi mobil. Urat-urat disekitar lehernya bahkan ikut menunjukkan emosinya ketika mengucapkan kata ibu sebagai sesuatu yang berharga.
Sebenarnya ada apa dengan kondisi Dante dan Fla?
"Tolong kembalilah. Jika kamu tidak nyaman saya berada di sana, saya akan memesan room lain untuk menghindarimu. Jadi tolong kembalilah, untuk kebahagiaan adikku, Fla."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro