Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 31

Hore ... sampai 500 komen.

Pokoknya setiap mau lanjut, minimal 500 komen dulu.

Dan yang sudah baca duluan, terima kasih banyak. Dikarya karsa sudah update 2 bab lebih dulu. Jadi kalian yang sudah beli seharga 2rebu perak enggak sama sekali rugi.

Yuk, sama-sama bantu komen dan votenya.

Kalian bahagia, aku juga bahagia.

----------------------------------------


Sebanyak apapun uangmu kini, tetap saja pada akhirnya harta yang paling berarti untukmu bukanlah uang, melainkan aku.

Natta menunduk hormat pada Dante, lalu memasang senyum ketika dia pertama kali menghampiri Dara dan yang lainnya. Ada lirikan penuh tanda tanya ketika dia melihat seorang perempuan lain yang berdiri di samping Dante. Namun tanda tanya itu langsung buyar seketika disaat Dara menyenggolnya, kemudian memasang senyum sebagai jawaban untuk Natta.

"Oh, ini yang namanya Natta." Fla menyapanya dengan senyum.

"Iya, Mbak. Saya Natta."

"Hei, gue Fla."

"Selamat pagi, mbak Fla."

Ingin membalas senyum dari Fla, Natta melirik Dante lebih dulu. Dante sama sekali tidak peduli dengan kedatangannya. Dia hanya sibuk dengan ponsel, lalu kemudian mengangkat telepon dari seseorang.

"Ayo," ajak Dante kepada yang lainnya.

Mengikuti di belakang Dante, Fla terlihat sangat sepadan dengan laki-laki itu. Tubuh mereka yang sama-sama proposional, sangat berbanding terbalik dengan Dara dan juga Natta. Sekalipun Natta tidak sekecil Dara, namun dia tetap tidak setinggi Dante untuk ukuran tinggi badan.

"Serasi banget, ya." Natta bergumam pelan. Mereka berdua melangkah agak sedikit ke belakang. Seperti dua orang pembantu yang mengikuti majikan.

"Makanya itu, ini alasan kenapa gue mau ajak lo."

Natta tertawa melihat Dara yang sedang meringis. Walau tubuh Dara terlihat semampai dengan gaya pakaiannya, namun tetap saja jika dibandingkan dengan Fla, Dara tidak ada apa-apanya.

"Udah lo jalan di samping gue aja. Biar enggak kebanting."

"Kok ngeselin ya, ANDA!"

Terus menertawakan Dara, tiba-tiba saja Dante menghentikan langkahnya. Dia melirik ke arah Natta, kemudian memanggilnya untuk mendekat. Beberapa hal ada yang ia katakan pada Natta sampai laki-laki itu mengangguk, kemudian melangkah ke arah yang berlawanan.

"Mau ke mana?" tanya Dara bingung.

"Bentar dulu. Ada perintah dikit," katanya sebelum menjauhi Dara dan lainnya.

Disaat Dara mengarahkan tatapannya lagi pada Dante, laki-laki itu ternyata sedang menatapnya tajam. Ada rasa bingung yang mendadak menyerang Dara. Mengapa Dante seperti tidak suka dengan keikutsertaan Natta dalam staycation kali ini.

"Dar ... ayo."

Karena terlalu lama mematung di tempat, Fla mengajaknya. Perempuan itu merangkul tubuh kecil Dara sambil terus mengungkapkan kekagumannya pada tubuh mungil milik Dara.

"Andai badan gue kayak lo, Dar. Pasti banyak yang naksir sama gue."

"Naksir? Kenapa harus punya badan kayak gue biar ditaksir orang?"

Fla tersenyum geli. Dia melirik ke sekitar mereka, jelas banyak orang yang ada di bandara pagi ini. Hampir keseluruhan dari mereka membawa banyak koper dengan ukuran besar, karena ingin liburan, atau sekedar staycation seperti mereka ini.

"Fla ..." tegur Dara sampai langkah mereka terhenti menuju lounge, tempat mereka menunggu pesawat terhenti.

"Ah ... iya?"

"Lo kenapa?"

"Enggak. Gue cuma mikir pertanyaan lo barusan. Kenapa harus punya badan kayak lo biar ditaksir orang, karena lo coba aja lirik sekitar? Semua perempuan-perempuan di sini, jarang banget ada yang setinggi gue. Yah, 173 untuk seorang perempuan, tinggi banget, Dar. Dan itu buat gue merasa minder."

"Lo minder? Fla, yang bener ah. Lo tuh cantik banget. Lo seksi. Bentuk tubuh lo tuh proposional banget. Enggak kayak gue. Yah, enggak perlu gue jabarkan ya tubuh gue kayak apa. Kenapa sih lo malah punya pikiran begitu? Heran banget."

"Tapi ... you see, Dar. Semua perempuan di sini, enggak ada yang setinggi dan segalah gue panjang kakinya."

"Terus? Lo mau punya badan pendek, bantet kayak gue? Idih, gila sih. Itu tandanya lo enggak bersyukur, Fla. Lo udah sangat-sangat sempurna. Tapi kenapa lo malah kayak enggak terima dengan kesempurnaan lo ini. Aneh. Dan dengar ya, Fla. Jangan merasa berbeda itu AIB. NO! Tapi apa yang lo miliki kini adalah sebuah anugerah. Jadi, please bersyukur."

Kembali mendapatkan vibes positif dari seorang Dara, perempuan biasa yang sesungguhnya sudah Fla kenal sejak lama, rasanya membuat Fla sangat terharu. Tanpa ragu dia merangkul tubuh mungil Dara yang hanya sebatas lehernya, lalu mereka kembali melanjutkan langkah menuju lounge.

"Terima kasih udah mengingatkan gue untuk bersyukur, Dar."

"Sama-sama. Lagian ngapain lo pusing cari orang yang suka sama lo, sih? Kan udah ada pak Dante."

Fla tidak bisa menyembunyikan tawanya ketika Dara lagi-lagi mengucapkan sesuatu dengan sangat polos.

"Lo harus dapat laki-laki terbaik, Dar. Karena gue ngerasa lo emang perempuan baik."

***

Menikmati kopinya di sebuah meja bundar, Dante melirik kedatangan Fla dan juga Dara ke dalam lounge maskapai yang mereka pakai kali ini. Dari lirikan sekilas yang Dante lihat, dia sadar betapa berbedanya antara Dara dan juga Fla ketika mereka jalan bersama seperti sekarang. Namun hebatnya baik Dara ataupun Fla, terlihat tidak mempermasalahkan perbedaan itu. Mereka tetap saling merangkul, menuju meja yang menyajikan banyak makanan di bagian tengah lounge ini.

Kedua sudut bibir Dante sekilas tertarik memikirkan kejahilannya tadi disaat meminta Natta membelikan sesuatu untuknya. Awalnya memang tidak ada niatan Dante memerintahkan semua ini. Namun karena telinganya terus menerus mendengar percakapan seru antara Dara dan juga Natta, muncul rasa jahil dalam diri Dante, hingga dengan kurang ajarnya Dante meminta Natta membeli beberapa barang untuk mereka ketika di Bali nanti.

Selain itu tidak alasan penting mengapa Dante melakukannya. Toh, bukannya mereka sedang bersenang-senang hari ini hingga esok?

Kedatangan Fla dan juga Dara dihadapannya kini, menghentikan senyuman tipis di bibir Dante. Sejenak dia berusaha menormalkan ekspresinya sambil berpura-pura menikmati kopi hitam dalam cangkir kecil yang tadi sudah ia ambil. Akan tetapi karena melihat Dara datang dengan banyak makanan dalam dua piring besar dikedua tangannya, ekspresi Dante benar-benar tidak bisa tertahan lagi. Dia sangat kaget melihat tubuh sekecil Dara bisa mengambil makanan dengan porsi yang luar biasa.

"Mau dimakan semua?"

"Hm," seru Dara sambil melirik Dante di depannya. "Belum sempat sarapan, Pak." Dia melirih tidak enak.

"Lagian bangunnya siang banget!" Fla menggerutu sebal.

"Duh, maaf deh, Fla. Semalam gue sibuk mikirin banyak hal."

Dante mulai tertarik mendengar percakapan ini. Dia menaikkan kedua alisnya, menunggu kalimat selanjutnya yang akan Dara katakan.

"Mikirin apa?"

"Mikirin duit. Kan enggak mungkin gue ikut pak Dante dan lo ke Bali, cuma enggak bawa duit sepeserpun. Setidaknya gue wajib bawa duit buat beli es teh gitu di jalan. Tapi masalahnya banyak pengeluaran yang udah terjadi, jadi bikin gue harus hemat-hemat dalam pengeluaran yang enggak penting."

"Lo mikirin hal itu?"

"Iyalah, Fla! Gue mikirin."

Fla kehabisan kata-kata. Dia melirik Dante yang masih diam di sampingnya.

"Tapi untung Natta ikut. Nanti gue bisa pinjem uang dia dulu kalau emang kepepet banget."

Meletakkan cangkirnya dengan cukup kencang, Dara berhenti bergerak karena merasa posisinya tidak aman.

"Lo mau pinjem uang Natta kalau kepepet? Ya ampun, Dar. Lo sama sekali enggak ngehargain ...."

"Semoga Natta bawa uang lebih, karena barusan saya minta dia beli beberapa barang yang cukup mahal."

"Ah ...." Dara merasa tidak terima. Kenapa Dante tidak memberikan uangnya ketika meminta tolong kepada Natta?

"Saya?" Fla mengulanginya. Dia bukan lagi fokus pada uang yang sedang menjadi topik utama dalam percakapan ini. Akan tetapi bagaimana Dante mengubah bahasanya menjadi jauh lebih sopan dan FORMAL.

Dante melirik Fla dengan sebal. Sepertinya Fla memahami perubahan gaya bicaranya setelah pertemuan pertama mereka dengan Dara.

"Wow. Kita lagi mau liburan kan, ya? Kok berasa lagi di kantor sih." Fla menggodanya. "Btw, Dar. Selama di Bali, enggak ada statusnya si Dante bos lo, ya. Pokoknya selama liburan, status kita semuanya sama. TEMAN. Oke. Jadi enggak perlu jaga sikap di depan dia."

"Fla ...." Dara memanggilnya dengan penuh penekanan suara.

"Kenapa? Ini yang mau gue lakuin, Dar. Kalaupun nanti lo mau jelasin ke dia soal beberapa hal yang mungkin udah lo kumpulin, tetap aja, di sana status kita semua sama. Enggak ada bos, atau karyawan. Gue enggak mau liburan kali ini diganggu karena kesenjangan status. Lagi pula, Dante masih suka makan nasi pakai tangan kok. Jadi dia enggak perlu dihormati. Karena dia bukan Tuhan."

Fla menikmati makanannya sambil tersenyum penuh kemenangan. Dia tahu Dante dan Dara sedang dalam posisi tidak nyaman setelah mendengar kata-katanya.

"Jujur gue sih heran ya sama orang yang gila hormat sampai enggak kenal tempat. Lagi juga, dalam usaha bisnis gue, sekalipun gue pemiliknya, enggak perlu tuh anak buah gue, atau tim gue sampai nunduk-nunduk ke gue, buat memberikan hormat. No! Gue ini leader, bukan bos. Jadi cukup saling memahami aja, enggak perlu mereka memberikan hormat patuh sekalipun gue atasan mereka. Enggak perlu."

"Dan rasanya lo juga harus kayak gitu ke Dante!"

"FLA!!"

"Fla. Please, stop."



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro