Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 30

Hahahaa... Nungguin ya?

Pokoknya target masih sama. 500 komen untuk bab selanjutnya.
Kayak pengemis banget kan?

Yah... buat anak yang sedang kuperjuangkan, pasangan DADAR, jadi pengemis, hayuk lah.

Btw, buat 3 orang komen terbanyak, aku ada voucher baca duluan di karyakarsa bab 31.

Ini pilihan random ya. pinter2 kalian ngerayu aku.. xixixixi

Tapi terserah kalian sih, gak peduliin voucher gratisan, sok monggo. 

Aku cuma menawarkan.

Mau tetap baca disini, nungguin sampai target tercapa, monggo.

Mau baca duluan, dengan modal voucher, monggo

Mau baca duluan, dengan bayar 2rebu perak. monggo.

Semua terserah kalian...


----------------------------------------

Mereka yang sibuk merendahkan mimpi terbesar saya, ternyata tidak pernah memiliki mimpi yang indah untuk kehidupannya.

Dara menguap lebar ketika pintu kamarnya diketuk oleh seseorang di hari yang sepagi ini. Sambil mengusap matanya yang masih setengah terpejam, dia membuka pintu kamar itu dan melihat Fla dengan ekspresi setengah kaget.

"Fla?"

"Lo belum bangun?"

"Ah?"

"Ya ampun, hari ini kita ke Bali, gimana sih?"

"Ah? Jadi."

"Ya jadi lah."

"Ah?"

"Jangan kebanyakan Ah? Buruan mandi, terus siapin barang-barang yang mau lo bawa."

"Ah? Gue enggak ada duit, Fla."

"4 Tiket first class udah ada di gue. Cepet buruan!!"

Memasang ekspresi malas, Dara menurutinya. Dia hanya perlu mandi sejenak, menyiapkan tas ransel dengan membawa sepasang baju ganti. Pikirnya dia ke Bali benar-benar untuk bekerja, bukan liburan seperti yang Fla katakan. Karena pastinya akan ada pekerjaan tambahan yang harus dia lakukan ketika dia malah menganggap kepergian ini untuk bersenang-senang.

Hanya berselang 15 menit saja, kini Dara yang mengetuk pintu kamar Fla, dan memberikan kejutan baru untuk Fla dengan model pakaian yang Dara kenakan kini.

"Dar, kita mau ke Bali. Mau ke pantai. Kok lo kayak gitu pakaiannya?"


"Ah? Emang kenapa?"

Tidak bisa berkata-kata lagi, Fla kembali ke kamar, menarik koper kecilnya untuk keluar dari kamarnya. Dia membiarkan Dara tenggelam dalam kebingungan. Karena coba bayangkan saya, memangnya ada orang yang datang ke pantai dengan pakaian seperti musim hujan atau udara dingin? Dengan celana panjang, serta sweater.

"Yuk. Panggil Dani dulu."

"Emang dia ikut?"

Fla melirik Dara. Dia meletakkan kopernya diujung tangga, kemudian melangkah ke lantai atas. "Ya kita cek dulu."

Dara mengikutinya. Dia berada di belakang Fla, lalu coba mengetuk pintu kamar Dani.

"Dan ... jadi ikut enggak?"

"Dani ...."

Masih mencoba memanggil Dani, suara bibi yang mengurus rumah kost ini terdengar menyapa Dara dan Fla pagi ini.

"Pada mau ke mana toh? Wong mas Dani enggak pulang semalam."

"Ah? Enggak pulang?"

"Iya. Dia kan weekend nginep di apartemen sana."

Dara dan Fla sama-sama saling tatap. Ada sesuatu yang baru mereka ketahui ternyata.

"Oh, gitu ya, Bi. Makasih."

Tidak langsung melangkah turun, Fla melirik Dara yang sepertinya juga sedang memikirkan hal yang sama.

"Pasti lo baru tahu, kan?"

"Hm. Lo juga pasti."

"Iya, lah. Gila kali, dia punya apartemen tapi tinggal di rumah kost ini? Buat apa?"

"Entahlah. Karena yang gue tahu juga, dari sini ke kantornya Dani jauh banget. Tapi kok dia tetap ngekost di sini?"

"Dia kerja di mana sih?"

"Di perusahaan orange."

"Ah ... lah iya, jauh. Tapi kemarin dia berangkat kerja enggak bawa motornya. Gue lihat banget dia keluar dari rumah ini jalan kaki."

"Ah? Dia jalan kaki ke kantor?"

"Hm."

Sama-sama tenggelam dalam pikiran, Fla menyayangkan satu tiket yang tidak terpakai untuk mereka ke Bali. Apalagi Fla takut Dara tidak jadi pergi jika mereka hanya bertiga berangkat ke sana.

"Fla."

"Hm. Jangan bilang lo enggak jadi pergi?"

"Bukan. Bukan itu. Apa boleh, tiket yang tadinya buat Dani, dipakai sama Natta?"

Merasa beruntung, Fla tersenyum sembari mengangguk. "Ya, jelas boleh lah. Buruan hubungi Natta. Kita ketemu di bandara. Karena bentar lagi Dante datang."

"WHAT? Dia jemput?"

"Iyalah."

"Duh, gue ojek aja ke bandaranya."

"Dih, apaan sih lo. Udah enggak pakai ojek-ojekan. Dante udah fasilitasin semuanya."

Menggenggam tangan Dara erat layaknya seorang sahabat, Fla kembali bergumam. "Dar, lo jangan salah sangka ya sama genggaman gue."

"FLA!!"

***

Menarik napas dalam berulang kali, Fla memang sangat kurang ajar mengatur tempat duduk dirinya di dalam mobil kini. Bisa-bisanya gadis itu malah duduk di belakang Dante, sedangkan Dara diminta untuk duduk di depan, bersama Dante tentu saja. Padahal bukankah mereka sepasang kekasih? Apa Fla dan Dante terlibat keributan lagi?

"Fla ...." Dara memanggil Fla pelan. Sekalipun suaranya terdengar berbisik, Dante yang sudah duduk di belakang kemudi mobilnya bisa mendengar semua panggilan itu.

"Udah enggak papa, Dar. Lo duduk aja di depan sama PACAR GUE!"

Dante mendelik melalui kaca spion tengah mobilnya. Sejak kapan mereka menjadi sepasang kekasih.

"Duh, enggak enak gue."

"Yuk jalan."

"Bertiga doang? Katanya ada temen lo yang mau ikut? Siapa namanya? Dani?"

"Enggak ada orangnya. Enggak pulang semalam."

"Owh."

"Tapi nanti temennya Dara ada yang nyusul ke bandara. Benarkan, Dar?"

"Ah ... ya. Nanti Natta nyusul ke bandara," ucap Dara sembari melihat reaksi Dante yang duduk di sampingnya.

"Natta?"

"Hm. Natta Saif."

Melirik Dara penuh tanda tanya, Dante benar-benar bingung mengapa Dara mengajak Natta untuk ke Bali bersama mereka? Apa mungkin karena Dara merasa Natta ada dipihak mereka.

"Kenapa? Lo kenal sama Natta?" tanya Fla sambil memajukan posisi tubuhnya, mendekat ke arah Dante.

Entah kenapa, Dara melihat keduanya seolah mirip sekali, mulai dari bentuk hidung sampai rahang mereka. Apa memang jodoh bisa semirip ini?

"Asisten baru gue."

"Ah? Asisten lo? Kok bisa?"

"Dulu dia kerja di dExpress. Satu tim sama Dara."

"Loh ... loh. Serius, Dar?"

"Hm." Dara melirik Fla yang masih penasaran di sampingnya. "Tapi dia resign karena ya, perlakukan tidak enak."

"Diapain emang?"

"Biasalah, pak Agus agak alergi sama tim cowok. Takut kesaing kali. Padahal jelas cakepan Natta dari pada pak Agus."

"Dih, gitu sih. Enggak professional amat." Fla terdengar tidak suka. "Lo masih kasih kesempatan orang kayak gitu kerja di dExpress?" tanya Fla pada Dante. "Itu dExpress bener-bener sampah banget. Sama kayak pemiliknya."

Dengan sebelah tangannya, Dante mendorong mundur kepala Fla ke belakang. Dia malas berdebat kali ini.

"Owh, yang ini juga tanda-tanda enggak mau kesaing sama karyawan laki-lakinya."

"FLA!!" Dante kembali membentak. Padahal sejak awal dia sudah berusaha menghindari perdebatan. Namun dengan Fla, rasanya teramat sangat tidak mungkin semua itu bisa ia lakukan.

"Ok. Ok. Karena hari ini semua lo yang bayarin, gue bakalan bersikap manis."

Sedikit tenang, bahkan lebih ke arah hening, Dante merasa risih juga dengan kondisi seperti ini. Dengan tangannya dia sengaja menyalakan musik di dalam mobilnya, hingga mulai terdengar lagu-lagu menenangkan dalam kondisi hening ini.

"Dar, jangan lupa konfirmasi lagi ke Natta kalau kita udah mau sampai."

Dara mengeluarkan hapenya dari tas kecil yang ia bawa. Lalu mengetikkan beberapa pesan untuk Natta sampai Dante meliriknya. Sekalipun ekspresi Dante terlihat tenang, namun ada rasa penasaran yang mendadak muncul ketika Dara malah tersenyum-senyum mengetikkan beberapa pesan tersebut.

"Dia udah sampai. Karena katanya enggak mau bosnya nunggu."

"Mantap. Jadi penasaran, pengen kenal sama sosok Natta lebih dekat."

"Fla ...." Dara memberikan kode kepada Fla, karena merasa tidak enak. Jangan sampai pasangan kekasih ini ribut karena dia membawa Natta ke Bali bersama mereka.

"Kenal enggak papa, Dar. Kita sebagai manusia wajib bisa berkenalan dan bersosialiasi dengan semua orang. Bukan dengan itu-itu saja orang yang kita kenal. Karena suatu ketika lo dijahatin dengan satu orang, masih banyak orang lain yang mau membantu lo."

"Cih. Zaman sekarang mana ada orang kayak gitu. Temen mah teman. Tapi kalau susah, mana pernah ngakuin kalau kita teman."

"Curhat!!" sahut Fla gemas pada kakaknya sendiri.

"Udah-udah, kita udah sampai."

Menghentikan mobilnya, seseorang sudah menyambut Dante. Disaat Dara memerhatikannya, dia mengenal siapa orang itu.

"Loh, pak Amin."

"Eh, mbak Dara?"

Wajahnya terlihat bingung. Karena bisa-bisanya Dara pergi bersama si bos besar.

"Pak Amin kerja pak Dante."

"Ah, iya. Semenjak keluar dari dExpress, pak Dante malah jadikan saya supir pribadinya."

"Pak ... turunkan barang-barangnya."

"Baik, mbak Fla."

Dara hanya berdiri di dekat mereka. Dia terus mencermati bagaimana pak Amin, orang yang dulu dia kenal sebagai driver dExpress kini bekerja dengan Dante sepenuhnya. Apalagi dari kabar yang dulu Dara dengar, katanya pak Amin melakukan banyak kesalahan, sampai diPHK secara tidak hormat seperti dirinya kemarin ini. Tetapi mengapa? Mengapa Dante malah mempekerjakan pak Amin sebagai supir pribadinya jika memang benar pak Amin bersalah?

"Mana Natta?" tanya Dante pada Dara yang terus melamun memerhatikan pak Amin.

"Dara ...."

"Ah, iya Pak."

"Di mana Natta?"

"Sebentar ya, Pak. Saya hubungi dulu."

Tubuh mungil Dara menjauhi Dante dan juga Fla. Terlihat dari posisi Dante, dia berusaha menghubungi Natta untuk segera bertemu dengan mereka di sini.

"Kenapa?" Fla berdiri di samping Dante sambil ikut melihat ke arah Dara.

"Gue yakin dia menyadari sesuatu."

"Menyadari sesuatu? Maksudnya dia sadar kita saudaraan?"

"Bukan. Bukan hal itu. Tapi yang lainnya."

"Apa?"

"Dia sadar sesuatu hal tentang pak Amin."

"Begitu, kah?"

"Hm. Karena dulu gosipnya cukup besar sampai seluruh karyawan dExpress mengetahuinya. Tapi sekarang dia lihat, pak Amin masih bekerja buat gue. Tentunya dia sadar, posisi mereka sama."

"Ah ... benar juga."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro