Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 29

Baiklah, krn gak sampe 500 komen, aku cuma update satu.
Dan kalau besok enggak sampe 500 bahkan gak sampe 300, aku gak update seminggu.

Liatin aja.. hahahahaa

Yang enggak komen masih Dara liatin...

-------------------------------------------------------

Dari dulu aku memilih diam dalam mencintaimu. Selain karena aku tidak ingin mendengar penolakanmu, disamping itu juga aku menjaga hatiku yang terlalu mudah rapuh.

Natta menyodorkan satu gelas es teh manis miliknya ketika melihat Dara tersedak disaat mulutnya penuh dengan makanan. Mungkin karena terlalu cepat mengunyah atau terlalu penuh mengisi mulutnya atau bisa jadi karena makan sembari bicara, Dara tersedak nasi pecel ayam siang ini. Gelas es teh miliknya sudah kosong dari 5 menit mereka makan, dan sedang menunggu diisi ulang oleh penjual, mengharuskan Dara meneguk es teh milik Natta. Jujur saja tersedak ketika makan bukanlah kondisi yang mengenakkan. Bahkan air mata Dara sampai keluar dari kedua matanya karena menahan pedih akibat sambal yang sedang dia makan.

"Pelan-pelan," ucap Natta.

"Gue udah pelan-pelan. Cuma karena napsu aja, jadinya begini."

Natta tersenyum melihat gadis di depannya. Berulang kali dia memberikan tisu baru untuk Dara menghapus air mata yang mengalir di kedua pipinya.

"Lo napsu sama makanannya, apa sama cerita gue?"

"22nya sih," kata Dara sambil tertawa. Kemudian dia meneguk habis air teh milik Natta sambil tersenyum tanpa rasa bersalah.

"Nanti gue ganti ya."

"Iya. Udah. Santai aja. Yang penting lo jangan keselek lagi."

Cengiran di bibir Dara menular pada Natta. Dia ikut tersenyum, sesekali suara tawanya malah terdengar. Jika boleh diartikan kondisi Natta saat ini seperti mimpi indah. Dia kembali mendapatkan pekerjaan, dia kembali diberikan kepercayaan, dan dia kembali memiliki sahabat. Ya, Dara sahabat lamanya akhirnya bertemu lagi. Dan tentu saja kebahagiaan itu tidak bisa Natta ukur dengan kata-kata.

"Jadi lo harus ke Bali buat jelasin ke pak Dante."

"Hm. Duh mana dia ajak ceweknya. Apa gue ajak lo aja ya?"

"Ah? Ajak gue?"

"Iya. Jadi tuh gini, gue diajak sama pacarnya pak Dante, yang kebetulan ngekost di tempat yang sama dengan gue, untuk staycation di Bali. Karena awalnya gue enggak mau kasih tahu ke dia beberapa hal yang gue curigai. Cuma ya masalahnya, kalau mereka ajak gue ke Bali, merekanya pacaranya lah gue ngapain dong? Jadinya gue ajak lo aja, ya. Mau enggak?"

"Ke Bali banget?"

"Iya."

"Yah, gue lagi enggak ada duit banget, Dar."

"Lah, sama. Lo pikir gue punya duit? FYI aja nih, duit gue sisa PHK sumpah tinggal res-res'an doang. Kalau sampai satu bulan ini gue enggak dapat informasi apa-apa, alamat enggak akan digaji gue. Bisa-bisa pulang kampung."

"Lo enggak digaji?" tanya Natta masih kebingungan.

"Pokoknya panjang ceritanya, Nat. Intinya gue kerja buat pak Dante bukan buat dExpress."

"Ah, jadi gitu. Terus gimana kalau lo enggak berhasil?"

"Pulang kampung."

"Jangan dong. Udah enak nih kita kerja. Kita bakalan jadi tim, gimana sih? Kayak ngulang masa lalu gitu."

"Tim dari mana? Lo asisten pak Dante? Lah gue, OB."

"Tapi tujuan kita sama."

Dara mengangguk-angguk. Dia menerima satu gelas baru es teh yang baru saja diantarkan, kemudian memesan kembali 1 lagi untuk minuman Natta yang tadi sudah dia habiskan.

"Btw, emang lo ke Bali cuma bertiga aja?"

"Hm ... enggak sih. Tadinya mau ajak satu cowok teman kost gue namanya Dani. Tapi kayaknya sampai sekarang ini belum ada informasi apa-apa. Dia soalnya kerja, bray. Sibuk banget. Orang penting dia di perusahaan orange."

"Perusahaan orange?"

"Hm. Bosnya kadang enggak tahu diri, sabtu masih aja di calling."

Natta tertawa geli. "Bukannya emang gitu perusahaan zaman sekarang. Kayak enggak kasih kita waktu buat keluarga."

"Hm."

Disaat Dara kembali menikmati makanannya, dia melihat sosok Tari juga datang dan makan di warung pecal ayam pinggir jalan seperti yang dia lakukan siang ini. Namun karena Tari tidak melihat Dara, buru-buru Dara mengalihkan tatapannya dan berusaha bersembunyi dari perempuan itu.

"Kenapa?" tanya Natta.

"Ada temen gue. Eh, bukan temen sih. Abis dia ngeselin. Gue lagi curigain dia nih. Karena pas gue di PHK dulu, dia yang paling nyebelin."

"Mana?"

"Ih, diem-diem Natta. Nanti gue kasih aba-aba kalau lo mau lihat dia."

Karena Tari tidak melihat Dara, dia memilih duduk selisih 3 meja dari tempat Dara. Meja yang terlalu pojok menurut Dara, membuat dia kesusahan untuk memata-matai Tari.

"Gue mau lihat, siapa sih?"

"Sabar."

"Anak dExpress juga?" bisik Natta.

"Hm."

"Anak buahnya pak Agus?"

"Hm. Kok lo ...."

Dara menatap Natta dengan ekspresi baru menyadari sesuatu. "Eh, kok gue bodoh ya. Kita kan dulu sama-sama tim pak Agus."

"Nah itu dia, gimana sih lo?"

"Tapi lo enggak kenal dia. Pas lo keluar dia masuk."

"Ah ...."

"Ya, sekarang kalau lo mau lihat!"

Tepat Natta berbalik, melihat ke posisi di mana Tari berada, dia malah dikagetkan karena melihat seseorang yang tadi dirinya temui di rapat RUPS.

"Itu si Tari yang dipojok."

"Hm. Eh, itu cowok siapa? Kok hoodie yang dia pakai kayak gue pernah lihat."

Natta menatap wajah bingung Dara, lalu dia bergumam pelan.

"Gue lihat dia tadi di rapat RUPS."

"Ah? Masa? Gile. Terus jadi itu beneran petinggi dExpress? Seriusan gue mau lihat mukanya. Enggak terlalu kelihatan tadi."

"Lo enggak lihat mukanya?"

"Enggak. Gue fokus lihatin muka si Tari tadi."

Natta menatap Dara gemas. "Jangan-jangan lo cemburu ya sama Tari. Karena perhatian pak Agus udah tertuju ke dia semua. Tapi gue akui, Tari cantik sih."

"Nat, lo temen gue bukan?"

Tawa puas Natta berhasil menarik perhatian Tari. Untung saja karena tubuh Dara kecil, dia berhasil menunduk, hingga diposisinya kini Tari tidak bisa melihat Dara karena tertutupi dengan tubuh Natta yang membelakangi.

"Berisik!" bisik Dara kesal.

"Kenapa sih? Itu cewek kalaupun lihat lo di sini, enggak ngaruh apapun. Kecuali lo juga lagi kencan sama pak Dante. Baru deh kalian saingan. Lah gue mah apaan."

"Tapi enggak gitu juga, Nat. Udah ah, cabut. Jadi enggak napsu makan gue."

Berbalik arah, dan berjalan melalui arah yang berbeda, Dara benar-benar menghindari pertemuannya dengan Tari. Padahal bisa saja dia memergoki Tari sedang bersama siapa siang ini.

"Kok kita lewat sini?"

"Biar enggak ketemu Tari?"

"Loh, kenapa? Lo kan langsung bisa mergokin dia lagi makan sama siapa. Tapi kalau gue enggak salah lihat sih, itu benar petinggi dExpress. Cuma pakaiannya udah ganti, tapi wajahnya enggak bisa diubah. Dingin gitu."

"Emang petinggi dExpress ada berapa sih, Nat? Seumur-umur gue kerja di sana, gue bahkan enggak tahu kalau pak Dante owner dExpress."

"Gila lo!"

"Serius."

"Hm, tapi gue juga baru tahu seminggu ini. Pak Dante sih yang ceritain ke gue. Katanya dExpress sebenarnya dimiliki oleh dua orang. Cuma ...."

"Cuma apa?"

"Gue juga kurang terlalu paham alasan dibaliknya. Cuma katanya pak Dante, owner yang satunya enggak mau go public. Jadi enggak ada yang tahu. Coba deh, lo sampling di kantor, tanya ke semua karyawan, lo pura-pura polos aja. Tanya ada berapa sih owner dExpress. Pasti pada jawab 1."

"Kok gitu, ya."

"Nah itu dia, gue jadi pengen selidiki. Jangan-jangan ...."

"Jangan bilang pikiran kita sama, Nat."

"Hm. Pasti ada sesuatu dengan owner yang satunya."

"Iya bener, Dar. Gue jadi makin curiga."

"Emang nama owner satunya siapa?"

"Gusti D Syakier. Orang keturunan Bali juga, katanya pak Dante."

"Gusti?"

"Hm."

"Orang Bali?"

"Iya. Kenapa?"

"AH ... pantes aja."

"Pantes kenapa?" Natta semakin penasaran ketika mendengar Dara memahami sesuatu.

"Pantes aja, di atas meja Tari banyak pernak pernik barang-barang Bali. Bahkan kain Bali yang ada di kursinya juga udah nunjukin banget kalau itu hadiah dari si Gusti. Gila banget. Boom. Gue kayak dapat jackpot baru."

"Iya kah? Wah, kita hebat nih kalau jadi detectif."

Detektif Natta


Gimana... udah pada engeh belum ada bukti apa aja yang aku lempar di bab2 sebelumnya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro