Bab 24
Buat yang udah komen banyak. Terima kasih.
Udah aku follback yaww..
Semoga sukses menulisnya....
Semangat buat komen selanjutnya...
-------------------------------------------
Aku tahu tubuhku tidak besar, namun berkat luka ini semangatku untuk bangkit semakin berkobar.
Setelah meminta bantuan kepada Ina dan juga Arip untuk menolong pekerjaannya pagi ini, Dara mengendap-ngendap keluar dari dExpress mencari keberadaan laki-laki itu di tempat kemarin mereka bertemu. Sebenarnya ada rasa khawatir dalam hati Dara karena telah merendahkan Dante dalam beberapa waktu terakhir. Tentunya karena dia tidak tahu siapa Dante yang sebenarnya. Akan tetapi akankah dia dihukum karena ketidak tahuannya itu?
Beberapa langkah lagi Dara sampai di tempat kemarin, gerak gerik dirinya sudah terpantau oleh Dante yang berada di dalam mobil metallic hitam milik laki-laki itu. Sekalipun Dara berusaha untuk tersenyum, ekspresi dingin yang malah Dara terima dari Dante.
"Sekarang kok gue jadi takut, ya."
Dara bergumam pelan, sebelum akhirnya dia masuk ke dalam mobil itu sambil menundukkan kepala. Kebawelan yang sebelumnya bisa dia utarakan, tidak lagi terdengar. Dara benar-benar bisu kali ini.
"Bagaimana?" tanya Dante tanpa basa basi. Dia meminta bertemu Dara pagi ini karena penasaran. Apalagi beberapa gosip yang simpang siur sudah sampai di telinganya. Sekalipun nama-nama pastinya belum Dante terima, dia benar-benar tidak yakin dengan gosip tersebut.
"Saya belum dapatkan info apa-apa, Pak."
Baku. Satu kata itu yang langsung tercetus dipikiran Dante. Jika sebelumnya Dara bisa santai berbicara dengannya, kini kondisinya sungguh berbeda.
Ada apa sebenarnya?
"Belum dapat info?"
"Iya, Pak. Maafkan saya. Mungkin saya harus bekerja lebih giat lagi agar ...."
"Kamu kenapa? Kayak orang salah makan?"
Tidak berani melirik Dante, tangan Dara jelas terlihat gemetar. Hingga tanda tanya itu semakin besar dipikiran Dante.
"Ada yang jahatin kamu lagi di kantor? Saya lihat tadi kamu bicara dengan beberapa karyawan perempuan."
"Bapak mata-matain saya?"
Berbicara dengan nada suara normal seperti sebelumnya, Dante menarik sudut bibirnya. Seperti ini terasa lebih santai.
"Iya. Kenapa? Salah?"
"Ah ... enggak sih."
Menunduk kembali, Dante sengaja bergerak, menarik seatbelt agar tubuh Dara bersandar ke kursi mobil yang sedang dia duduki.
"Pak!!" Dara berteriak histeris. Jelas dia kaget melihat Dante yang tiba-tiba saja sudah bergerak di depan tubuhnya.
"Ada apa sih? Saya di sampingmu, Dara! Bukan di karpet bawah!!"
Memainkan jarinya, Dara mengeluarkan keringat panik di kening hanya karena takut bila Dante akan membahas perlakuan bodohnya dalam beberapa waktu terakhir.
"Dara ...."
"Maafkan saya, pak Dante. Serius saya sama sekali tidak tahu kalau bapak pemilik dari dExpress. Saya sadar sikap saya beberapa waktu kemarin sangat ...."
"AAHH ...." Dante memotongnya sambil tertawa geli. Dia mengalihkan tatapannya ke arah lain karena tidak tahan melihat ekspresi ketakutan di wajah Dara.
"Maafkan saya, Pak."
Menyatukan kedua telapak tangannya, Dara berharap mendapatkan pengampunan dari Dante. Dia sadar kadang manusia memang suka menganggap sepele apapun yang ternilai oleh kedua mata. Padahal nilai sesungguhnya tidak hanya disimpulkan dari apa yang terlihat saja.
"Sekali lagi maafkan saya."
"Apa yang perlu dimaafkan? Saya memang enggak niat kasih tahu kamu siapa saya sebenarnya." Dante masih sibuk tertawa. Namun kali ini dia menatap Dara sampai gadis itu mengerutkan kening, bingung.
"Kamu bekerja untuk saya selama sebulan. Setelah itu saya enggak peduli apapun yang kamu lakukan. Bukannya memang seperti ini deal kita? Jadi saya rasa kamu enggak perlu tahu siapa saya sebenarnya."
"Tapi saya udah tahu siapa Bapak."
"Ya, karena sudah tahu, ya sudah. Saya enggak peduli."
Dara mengatupkan bibirnya. Dia menatap Dante yang masih tersenyum. Ada pemikiran aneh yang seketika tersirat di otaknya. Apa memang seperti ini gaya berbisnis orang kaya? Hingga rasanya Dara tidak bisa memahami apa yang Dante sedang pikirkan kini.
Andai Dara boleh menjabarkan pekerjaan yang sedang dia jalani, sungguh dirinya tidak hanya ingin sebagai mata-mata Dante saja, melainkan ada hal yang ingin dia perbaiki. Dan ada harapan yang pelan-pelan dia bangun. Harapan untuk bekerja normal kembali misalnya.
"Terus kapan kamu bisa kasih info ke saya?"
"Dalam minggu ini. Saya sedang berusaha mengumpulkan semua bukti."
"Baik. Tolong hubungi saya untuk hal yang penting saja. Jangan hubungi saya untuk membantu teman-temanmu."
"Ba ... baik, Pak."
Hening sejenak, Dara bergerak untuk turun dari mobil ini.
"Hati-hati dalam bertindak. Karena saya selalu memata-matai." Dante menunjukkan ponselnya dimana sambungan cctv perusahaan ini terlihat jelas di layar tersebut.
Tidak menjawab apapun, Dara hanya mengangguk. Dia keluar dari mobil mewah ini dengan ekspresi yang berbeda jika dibandingkan dengan sebelumnya.
Melangkah perlahan, menjauhi mobil Dante, tak lama suara mobil yang terdengar menjauhi, membuat Dara menggelengkan kepala. Bibirnya tersenyum pahit, sepahit kehidupan yang sedang dia jalani.
"Gini amat ya mau bertahan di Ibukota."
***
"Tumben." Kata itu yang Dante ucapkan disaat dia bertemu dengan Gusti. Kondisi hari yang masih begitu siang, menandakan sahabatnya itu tidak berangkat kerja hari ini. Apalagi ditambah ekspresi kusut diwajah Gusti, dengan rambut yang acak-acakan, bisa Dante artikan bila sedang ada masalah besar yang tengah laki-laki itu hadapi.
"Gimana? Udah lo cari tahu belum apa yang terjadi di dExpress?"
Dante memesan segelas minuman, lalu menggeleng ke arah Gusti sebagai jawaban.
"Katanya lo mau terjun langsung?"
"Buat apa? Gue banyak yang diurus?"
Mencibir sebal, Gusti melirik ke arah selangkangan Dante. "Burung lo jangan dimanjain terus!!"
"Enggak papa lah, selama belum masuk ke dalam sangkar emas, dia bebas berkeliaran."
"Ya ... ya, terserah lo."
"Ada apaan sih sama orang-orang hari ini?" tanya Dante merasa tidak nyaman dengan ekspresi yang ia lihat diwajah orang-orang sekitarnya.
"Orang-orang?"
"Hm ... tadi gue ketemu cewek, ekspresinya kayak lo juga. Bikin enggak nyaman."
"Mungkin dia juga lagi mikir beratnya jalani hidup."
"Berat? Lo? Gue tanya apa yang buat hidup lo berat? Rumah? Lo punya. Apartemen? Lo ada. Deket lagi dari kantor lo si orange itu. Terus mobil baru yang gue belum lihat di jalanan Jakarta, lo udah pakai. Apalagi yang lo pikirin?"
"Pikiran gue enggak sesederhana lo."
"Justru pikiran lo yang bikin semuanya berat. Dibawa santai aja. Lo lupa 10 tahun lalu gue juga kayak lo. Tapi semenjak gue balik ke Jakarta, gue bebas."
Kembali mencibir apa yang dikatakan Dante, Gusti meneguk kopi yang tadi dia pesan. Dia berusaha mengabaikan kelakuan gila sahabatnya ini.
"Kayaknya lo butuh cewek, Gus."
"Mungkin. Tapi cewek butuhnya duit, bukan butuh gue."
"Hahaha ... ya lo tunjukin rekening lo. Geblek banget."
"Begitu kah?"
"Hm. Gue jamin cewek bakalan nempel."
"Cewek, ya? Bukan pelacur macem teman ONS lo!!"
"Va 'a farti fottere!!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro