Bab 20
Double update enggak nih????
Lagi ngopi bareng FLA....
Kalaupun aku terluka lagi, setidaknya aku tahu apa tujuanku melakukannya.
Hanya bisa diam sambil menikmati minuman yang sudah dia pesan, tatapan Fla tidak bergerak memerhatikan laki-laki yang sedang menumpahkan segala unek-uneknya. Mata laki-laki itu berapi-api, seolah menggambarkan betapa kesal dan marahnya dia pada sosok yang tengah ia ceritakan. Padahal sejak awal Fla tidak memaksa laki-laki ini untuk menerima rekomendasi pekerja darinya. Tapi entah mengapa semua yang Fla katakan seolah dilakukan oleh laki-laki ini, sampai akhirnya dia emosi sendiri.
"Terus lo mau gimana? Lo juga yang dari awal bilangnya jangan sampai Dara tahu siapa lo sebenarnya, ya udah, dia terus terusan mikir kalau lo itu calok. Terima aja sih, selagi enggak merugikan siapapun."
Dante mendelik marah. "Enggak merugikan gimana? Jelas merugikan gue. Sekarang dia nawarin temen-temennya buat disalurkan jadi pekerja di dExpress."
"Tapi kan dia enggak ngomong harus di dExpress. Jadi mungkin kalau lo butuh orang buat kerja, bisa tuh dipakai rekomendasi dari Dara. Enggak ada salahnya menurut gue."
Masih menanggapi dengan santai, Dante menggeleng tidak terima. Sudah dua hari ini, Dara menerornya melalui pesan, merekomendasikan orang-orang yang kemungkinan bisa Dante ajak untuk bekerja bersama dirinya. Padahal bukan itu tujuan utama Dante merekrut Dara.
"Sekarang gini, kalau lo masih mau dengerin kata-kata gue. Jelasin ke Dara siapa lo sebenarnya. Jadi enggak akan salah-salah lagi bersikap di depan lo. Gimana?"
"Enggak guna juga gue jelasin siapa gue. Dia cuma gue kontrak sebulan. Kalau dia berhasil nemuin bukti dalam sebulan, dia gue bayar 100juta. Plus gaji dia sebagai OB. Tapi kalau enggak, dia cukup terima gaji OB aja. Karena yang gue dengar, dia rajin anaknya. Datang selalu subuh. Bersih-bersih semua meja. Yah, sedikit bonus enggak rugi juga."
Fla menatap wajah kakak laki-lakinya sambil menopang dagu dengan kedua tangan. "Lo kenapa sih masukin dia jadi OB? Karena saran gue apa gimana? Dia itu cerdas loh, sayang banget lo taruh dia di OB. Setidaknya lo harus manfaatin kepinterannya itu bukan cuma buat bersih-bersih. Tapi buat kasih masukan strategi untuk dExpress."
"Cerdas dari mana? Kepala dia aja kecil, gimana bisa nampung otak yang besar. Jadi gue enggak yakin dia cerdas."
Mencibir sebal, Fla mengalihkan tatapannya ke arah lain. "Jangan menghina fisik orang lain, karena lo dimata orang lain juga enggak sempurna."
"Setidaknya gue punya uang. Walau enggak sempurna!"
"Ya ... ya."
Malas berdebat, Fla kembali menikmati minumannya.
"Gue taruh dia di posisi OB, karena cuma Ita yang gue percaya. Dari perusahaan berdiri, dia orang pertama yang gue sendiri rekrut. 10 tahun dia bareng gue. Walau 5 tahun belakangan ini gue enggak langsung berkomunikasi sama dia. Tapi gue tahu dia masih ingat balas jasa ke gue."
Merasa penasaran, Fla bersidekap, menatap Dante penuh pertanyaan yang mewakili perasaannya kini.
"Lo sampai sedetail itu mikirinnya?" tanya Fla hati-hati.
Dante hanya tertawa. Dari sudut matanya dia melirik wajah adiknya yang mirip sekali dengan ayahnya. Full bule.
"Lo tahu, keberhasilan seseorang dalam berbisnis bukan seberapa banyak dia membicarakan Teknik. Tapi bagaimana dia menempatkan dengan hati-hati pilar-pilar pendukungnya. Asal lo tahu, Fla. Selain Gusti, gue punya Ita. Dan lo tahu bagaimana bisa dExpress memiliki gedung di tempat strategis kayak sekarang, itu karena gue dengarkan saran dia. Dulu dExpress sewa gedung orang. Letaknya jauh. Tapi ... Ita tiba-tiba kasih saran. Dulu Kawasan gedung dExpress enggak seramai sekarang. Gedung tertinggi hanya dExpress pada masa itu. Tapi lo lihat sekarang, sekitar dExpress sudah ada 6 perusahaan baru berdiri. Lalu apartemen yang mengeliling area sekitar, menandakan jumlah penduduk yang tinggal di Kawasan sana meningkat."
"Lo enggak pernah cerita soal Ita?"
"Apa semua hal perlu gue ceritain ke lo?"
"Ya kan, buktinya Gusti lo ceritain semuanya. Tapi si Ita ini, enggak pernah sekalipun."
Dante tidak menjawabnya. Dia hanya tersenyum lalu meneguk kopi dalam cangkirnya.
"Terus kembali ke topik awal, lo jadi mau cerita ke Dara soal posisi lo sebenarnya?"
Seolah sedang mempertimbangkan, Dante menggelengkan kepala. "Enggak. Belum saatnya dia tahu."
"Katanya lo enggak mau disangka calok?"
"Emang. Cuma gue masih belum tahu, yang mana lawan dan yang mana kawan di perusahaan gue sendiri."
"Berasa kayak bukan lo yang lagi ngomong!" gerutu Fla.
Menanggapinya dengan tawa, Dante memberikan lirikan tajam ke Fla, sampai gadis itu mengutuk sebal mengapa dia bisa memiliki kakak sejahat DANTE!
"Termasuk lo, Fla. Gue juga enggak tahu apa modus lo balik ke Jakarta, dan kuliah di sini."
"Fratello mio, DANTE!"
"TACI!!"
"Kenapa? Bukannya memang benar lo kakak laki-laki gue?"
Fla lagi dan lagi berhasil membuat Dante naik darah jika berbicara dengannya.
"Affanculo!"
"Terima kasih."
Menanggapinya dengan senyuman, Fla berdiri dari posisi duduknya, lalu siap melangkah pergi meninggalkan Dante yang masih menatapnya kesal.
"Terima kasih atas makanannya. Kakakku sayang."
***
Dara sempat terdiam ketika melihat Dani sedang duduk santai di teras, rumah kost yang mereka sama-sama tempati. Setelah membuka pagar rumah, dan melangkah masuk, Dara mendekati laki-laki itu. Pakaiannya sangat santai, bahkan rambutnya acak-acakan, seperti orang baru bangun tidur. Berbeda sekali dengan dirinya yang telah capek seharian ini bekerja, dan ketakutan atas fakta yang baru saja dia ketahui.
Untung saja Dara gadis yang cerdas. Ketika pak Agus memanggilnya tadi di kantor, dengan posisi Dara masih shock atas fakta seorang Dante Chesario, gadis itu langsung bisa menormalkan ekspresi di wajahnya.
Bahkan beberapa pertanyaan yang sempat pak Agus ucapkan, berhasil Dara jawab dengan baik. Termasuk tentang pekerjaannya di dExpress.
"Dan ... ngapain?"
Sadar dari lamunannya, Dani melirik ke arah Dara. Seketika senyum diwajahnya terlihat begitu saja. Ada ekspresi senang karena ada seseorang yang bisa dia ajak bicara saat ini.
"Duduk, Dar."
"Lo ngapain duduk diluar sini?"
Tertawa sejenak, Dani menatap fokus ke arah Dara yang sudah duduk di sampingnya.
"Cari udara segar."
"Udara segar? Yang ada pengap karena banyak mobil. Gimana sih lo!!"
"Ya habis gimana, mau keluar rumah sendirian, males banget gue. Capek."
"Sama. Capek banget gue hari ini."
"Istirahat kalau capek, Dar. Jangan terlalu memaksa. Kadang hidup butuh diam sejenak, demi memulihkan kondisi tubuh dan hati."
"Hahaha, kayaknya ada yang lagi patah hati nih," sindir Dara.
Dani tidak bisa menahan tawanya kembali. Dia mengangguk-angguk seolah menyetujui statement yang Dara katakan.
"Serius, lo patah hati? Kenapa? Gile. Lo aja bisa patah hati."
"Emangnya orang kayak gue enggak boleh patah hati?"
"Ya boleh sih, cuma aneh aja. Kayak enggak bersyukur gitu tuh cewek. Padahal menurut gue lo ... lo ...."
"Gue kenapa?"
"Lo termasuk ke dalam kategori cowok sempurna. Mungkin cantik dan ganteng itu relatif ya, tapi yang gue rasa lo baik. Baik banget malah. Ramah juga. Suka negor orang-orang yang ngekost di sini. Terus orangnya pekerja keras banget. Yah, beberapa tahun kenal lo di sini, gue tahu banget lo berangkat kerja dan pulang kerja selalu over-over gitu, kayak loyalitas tanpa batas. Berarti kan lo orangnya tanggung jawab banget. Dan cewek yang berhasil dapatin lo, terus ninggalin lo gitu aja, kayaknya benar-benar buta atau mungkin enggak pernah tahu caranya bersyukur. Dia mau cari yang sesempurna apalagi coba?"
Tidak bisa menghentikan tawanya, Dani hanya terus menerus menggelengkan kepala disetiap kata yang Dara ucapkan.
"Gue enggak sesempurna itu, Dar. Dan gue enggak pernah bilang dia cewek gue."
"Mak ... maksud lo, cinta bertepuk sebelah tangan gitu?"
"Bukan. Ini lebih ke penggemar rahasia."
"Secret admirer? Are u kidding me?"
"No. Gue serius. Dia enggak pernah sadar gue ada. Dan mungkin akan seperti itu sampai kedepannya."
"WOW. Luar biasa banget sih."
"Yah, begitulah kehidupan gue. Yang kelihatan bagi orang lain enak, belum tentu enak ketika menjalaninya."
"Hm. Samalah kita. Gue juga baru melakukan hal bodoh akhir-akhir ini."
"Hal bodoh?" Dani melirik wajah lesu Dara.
"Iya. Karena terlalu serakah, gue sampai lupa pijakan dimana gue melangkah. Mungkin sebentar lagi gue akan jatuh, Dan."
"Kalau lo mau, gue siap tangkap lo sebelum lo benar-benar terjatuh. Setidaknya gue bisa membantu lo turun secara perlahan-lahan tanpa rasa sakit."
"No, Dan. Ini bukan perkara hati."
"I know. Still about money, kan?"
"Yeah ...."
"Nanti gue cariin deh pekerjaan di kantor gue. Biar lo bisa tenang kerja di sana."
Dara mengerutkan kedua alisnya. Ekspresinya jelas bingung. Sampai dia menyuarakan sebuah pertanyaan yang berhasil membungkam Dani.
"Lo tahu dari mana kalau sekarang gue udah kerja lagi?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro