9. Dia Mahapatih
1357 M, Majapahit | 1534 Words
Aura baru saja hendak memasuki tempat latihan setelah tadinya menemani Nertaja pergi membeli entah apa itu ke pasar. Banyak sekali sampai Aura lupa. Ya, tugas lain Aura setelah menjadi Bhayangkara adalah menjaga dan mengawal Nertaja jika keluar istana. Oke, Aura baik-baik saja jika di kehidupannya yang ini ia menjadi bodyguard. Lagian, Nertaja sama sekali tidak memperlakukannya seperti pengawal. Mereka malah lebih seperti teman dekat. Mendiskusikan ini itu jika salah satunya ragu untuk memilih sesuatu, seperti motif gelang dan kalung misalnya.
Aura tertawa sendiri ketika mengingat saat mereka kebingungan harus memilih kalung persahabatan yang mana, seperti tadi. Dan akhirnya, pilihan mereka jatuh pada kalung dengan bandul rubi kecil berwarna merah berbentuk oval. Sederhana, namun terlihat indah.
"Patih! Patih mau ke mana?" Aura bersorak sambil melambaikan tangan ketika dia tak sengaja melihat Gajah Mada hendak melangkah keluar gerbang tempat latihan lalu menghampirinya.
Gajah Mada berhenti, menatap ke arah gadis yang tengah berlari ke arahnya itu sambil mengerutkan kening. "Ke rumah Empu Wereng untuk melihat tameng dan tombak yang dipesan dua minggu lalu."
Aura membelalak antusias ketika mendengar ucapan Gajah Mada. "Oh, benarkah? Kalau begitu boleh saya ikut? Apa pedang punya saya sudah selesai? Tolong izinkan saya ikut, ya. Ya, Mahapatih? Ya?"
Gajah Mada tidak menanggapi, kemudian berjalan meninggalkan Aura yang menangkupkan tangan di depan dada dengan wajah memelas.
Aura mendesah kecewa ketika Gajah Mada melewatinya begitu saja tanpa menanggapi permintaannya. Menyebalkan. Padahal, butuh usaha keras untuk memohon seperti ini.
"Kenapa masih diam di sana, Diajeng? Katanya mau ikut?"
Gajah Mada berhenti jauh di depan sana, berbalik, dan menggerakkan kepalanya ke kiri—memberi kode agar Aura segera mengikutinya.
"Yash!" Aura bersorak girang, kemudian berlari mengejar Gajah Mada yang sudah berjalan lagi dengan tangan tertaut di belakang punggung.
Ada senyum tipis yang terbit ketika Aura melewatinya sambil bersorak kegirangan dan melompat-lompat kecil. Sekali-kali gadis itu akan berbalik dan menyuruhnya untuk berjalan lebih cepat.
Aura terpana ketika Empu Wereng mengeluarkan sesuatu sepanjang nyaris satu meter dan menyodorkannya pada Aura. Itu pedang yang Aura pesan. Pedang seperti katana yang sedikit Aura modifikasi modelnya.
Aura meraihnya, kemudian menarik gagang pedang itu dari sarung yang terbuat dari kayu yang dipenuhi ukiran-ukiran indah berwarna cokelat. Mengangkatnya secara vertikal.
"Wah." Aura tak hentinya terpana ketika pedang itu telah dikeluarkan. Berkilat tertimpa cahaya. "Ini dia jagoan kita," monolognya sendiri tidak sadar sedang ditatap Empu Wereng dan Gajah Mada.
"Sebelumnya, boleh saya tahu kenapa Ndoro membuat pedang yang sangat panjang ini?" tanya Empu Wereng ketika melihat seberapa antusiasnya gadis itu dengan pedangnya.
Aura menatap Empu Wereng sambil tersenyum kecil, kemudian menaruh pedangnya kembali ke atas meja. "Karena keren," jawabnya cepat dan yakin.
Aura tidak peduli jika jawabannya terdengar seperti lelucon. Tapi memang itu alasannya. Sejak dulu, Aura selalu ingin menggunakan pedang seperti yang digunakan dalam film-film kerajaan Cina dan Korea. Aura suka gerakan ketika mereka mengayunkan pedang. Terlihat gemulai, indah, dan ... keren. Indah namun mematikan. Aura ingin jadi seperti itu. Cantik namun mematikan. Yeah!
Kebetulan, dua minggu lalu dia mengekori Gajah Mada ke tempat pandai besi ini persis seperti yang dia lakukan hari ini. Lalu, ketika melihat pedang-pedang pendek berukuran setengah meter, akhirnya terbersitlah di otaknya untuk menggabungkan dua pedang pendek itu dan menjadikannya satu.
Empu Wereng menggelengkan kepala. Alasan yang aneh. Tapi ... tidak. Sejak awal gadis ini memang sudah aneh. Alih-alih memilih perhiasan dan mempercantik diri, dia malah memilih membeli pedang dan berkelahi, bergabung dengan prajurit yang taruhannya nyawa, dan menceburkan dirinya ke dalam lubang yang sudah jelas bahaya tanpa ragu. Ya, Empu Wereng tahu tentang kegilaan gadis mungil di hadapannya itu. Memangnya... siapa yang tidak tahu cerita tentang seorang gadis yang bertarung melawan seorang bekel dan berhasil memenangkan pertarungan tersebut? Gosip segera menyebar luas segera setelah pertarungan selesai. Seperti angin.
Gajah Mada mendesis di tempat mendengar jawaban Aura yang kini sibuk memasukkan pedang ke dalam sarungnya kembali.
"Jadi, dua minggu lagi apa Empu bisa menyiapkan semua tameng, tombak, dan kerisnya?" tanya Gajah Mada akhirnya kembali pada tujuannya ke tempat ini.
Empu Wereng mengangguk-ngangguk kecil sambil mengusap janggutnya yang memutih. "Saya tidak yakin mengingat jumlahnya tidak sedikit. Tapi—akan saya usahakan."
Aura menjauh dari obrolan dua orang itu. Sama sekali tidak tertarik dengan tawar-menawar yang mereka lakukan. Aura lebih memilih mengelilingi ruangan yang cukup besar itu. Dipenuhi oleh berbagai senjata dan alat-alat dari besi. Bermacam-macam bentuk dan bermacam-macam ukuran. Empu Wereng adalah pandai besi terkenal yang namanya bahkan dikenal sampai negeri seberang. Menurut cerita Jala, Bhayangkara seusianya yang cukup akrab, semua alat-alat perlengkapan perang seperti pedang, keris, dan tombak yang dimiliki Majapahit nyaris semuanya dikerjakan oleh Empu Wereng.
Aura berdiri di luar pintu, dengan satu tangan memegang pedang dan tangan lainnya memeluk bahu. Mengais-ngais tanah dengan kaki. Oh, ya, semenjak tinggal di Majapahit, Aura terbiasa tidak menggunakan sendal. Tidak ada sendal di sini apalagi sepatu. Masyarakatnya biasa nyeker dan mau tidak mau Aura menyesuakan diri.
Tak lama, Gajah Mada keluar bersama dengan Empu Wereng. "Kalau begitu, kami pamit, Mpu," pamitnya pada Empu Wereng yang dibalas dengan anggukan oleh pria itu.
Mereka kembali melewati pasar. Ini kedua kalinya selama hari ini Aura melewati pasar yang ramai. Penuh hiruk-pikuk dan kebisingan. Namun, kali ini tidak dengan Nertaja, melainkan bersama Gajah Mada.
Diam. Tidak ada yang berbicara. Gajah Mada sibuk dengan pikirannya dan Aura mencoba pura-pura sibuk mengamati sekitar. Kaku sekali suasananya dan Aura sama sekali tidak tahu cara untuk mencairkannya. Akhirnya yang dilakukannya hanya mengulum bibir, melihat tanah, melihat pedagang, melihat langit, melihat orang-orang berjalan, melihat apa saja yang bisa dilihat selain Gajah Mada.
"Ada yang ingin Diajeng katakan atau tanyakan? Diajeng terlihat sangat gelisah sejak tadi."
"Hah?" Aura menoleh ke arah Gajah Mada sambil menaikkan alis. "Eum—tidak. Tidak ada apa-apa, kok," jawabnya cepat kemudian menggelengkan kepala.
Gajah Mada mengangguk-ngangguk kecil, "Ya sudah," katanya. "Kalau begitu biar saya yang bertanya."
Aura lagi-lagi menoleh pada pria yang sekarang sudah berjalan di sampingnya itu. "Apa?"
"Kenapa Diajeng memilih jadi Bhayangkara?"
Aura mengerutkan kening. Seingatnya, dia sudah pernah mendapat pertanyaan ini dari orang yang sama.
"Tidak. Jangan jawab seperti waktu itu. Jawab sejujurnya, Diajeng. Jawaban yang mendasari kenapa Diajeng memilih menempuh jalan yang sulit dan penuh bahaya dengan ilmu bela diri. Seperti yang Diajeng tahu, menjadi pendekar sama saja dengan menyiapkan diri untuk kehilangan nyawa setiap hari. Kenapa Diajeng malah memilih hal itu?"
Aura berpikir sebentar. Kemudian menerawang. Mengingat-ngingat kenapa dia memilih menggeluti bela diri. Kenapa ia memilih masuk klub karate. Dan kenapa ia memilih untuk menjadi Bhayangkara di sini. Aura berusaha menemukan alasan lain, selain jiwanya yang sudah menyatu dengan bela diri dan menjadikan karate sebagai dasar hidupnya.
"Karena ... saya tidak ingin bergantung pada orang lain. Saya tidak ingin terlihat lemah. Dan saya ingin tetap kuat ketika hanya sendirian dan orang-orang berpaling dari saya. Entah itu dulu atau sekarang, saya hanya sendirian di dunia ini. Semua orang menjauhi saya dan akhirnya meninggalkan banyak ruang kosong itu di hidup saya. Di titik itu, saya sadar jika saya akan terus sendirian di dunia ini. Tidak akan ada yang mengisi ruang-ruang kosong itu dan tidak akan ada yang melindungi saya, menjadi tempat saya bersandar jika saya rapuh.
Maka dari itu, saya memutuskan untuk menjadi orang yang kuat. Agar saya bisa melindungi dan menjadi tempat bersandar untuk diri saya sendiri. Agar saya bisa bertahan sendirian. Agar saya bisa membuktikan bahwa saya tidak lemah. Saya tidak rapuh. Dan saya adalah manusia kuat yang bisa bertahan di atas kakinya sendiri tanpa bantuan siapa pun. Saya ... ingin jadi tangguh dan terlihat kuat."
Aura mengangguk-ngangguk kecil, mengingat semua kenangan masa kecilnya. Ketika teman-temannya mengejeknya, mencemoohnya, dan meninggalkannya sendirian. Menjauhi Aura. Tidak ada yang mendengarkannya dan tidak ada yang menganggapnya ada. Semua orang ... berpaling darinya dan menyisihkan Aura. Dan pada akhirnya Aura menangis sendirian. Mengumpati hidupnya. Merutuki Tuhan. Dan akhirnya ia sampai pada titik jenuh. Titik di mana dia berjanji tidak akan menangis lagi atas apa yang orang-orang lakukan padanya. Tidak mengharapkan mereka menerima kehadirannya lagi seperti yang sudah-sudah. Dan tidak berharap apa pun lagi pada manusia. Aura ... hanya tidak ingin menggantungkan hidupnya pada siapa pun lagi. Dia ingin bertahan dengan kekuatan dan usahanya sendiri. Membuktikan bahwa dia tidak membutuhkan orang-orang itu untuk terus hidup. Membuktikan bahwa semua baik-baik saja tanpa mereka dan Aura tetap bahagia di tempatnya.
Gajah Mada tampak diam, menatap lurus ke depan, dan mendengarkan dengan serius. Tidak ada ekspresi dan hanya tatapan lurus. "Sekarang, Diajeng tidak akan sendirian lagi. Saya akan berusaha mengisi ruang-ruang kosong di hidup Diajeng, yang Diajeng sebutkan tadi. Bolehkah?"
Aura mengangkat kepalanya, menoleh ke arah Gajah Mada cepat dengan raut kebingungan. "Bagaimana?" tanyanya bingung. Lalu, setelah ia berhasil mencerna ucapan Gajah Mada, segera senyum lebar terbit di bibirnya. Aura menatap Gajah Mada berbinar seperti anak anjing merengek pada ibunya. "Kalau begitu, angkat saya jadi adik, Mahapatih!" serunya antusias.
Jika Gajah Mada mengangkatnya jadi adik, mereka akan jadi keluarga. Aura jadi bangsawan sungguhan. Dan yang terpenting, setelahnya Aura bisa mengikuti pria itu berkeliling Nusantara dan menemukan banyak pengalaman seru. Bertemu penjahat lalu bertarung mati-matian, misalnya. Wah!
Gajah Mada mendengkus, kemudian menghela napas berat. Setelahnya pria itu berjalan cepat meninggalkan Aura yang masih terkesiap antusias entah membayangkan apa. [ ]
Thanks for reading.
Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro