8. Dia Paduka
1357 M, Majapahit | 1261 Words
Kehidupan di Majapahit ternyata tidak berjalan sedatar yang Aura kira. Semenjak dia bergabung dengan Bhayangkara, Aura mencurahkan waktunya untuk terus berlatih dengan giat, mengikuti peraturan dan tata cara yang sudah ditentukan, dan sekali-kali ikut Gajah Mada berpatroli keliling desa di dekat Trowulan. Terhitung, sudah nyaris dua minggu Aura menghabiskan waktunya di sini. Kadang, memang Aura merindukan rumah, merindukan Papa-nya, merindukan teman-teman sekolahnya yang sudah dua bulan tidak dia temui, merindukan orang-orang dari klub karate, tetapi Aura tidak tahu bagaimana caranya kembali. Setidaknya, meski begitu, di sini Aura tidak terlalu kesepian. Nertaja sering mengajaknya ngobrol jika sedang istirahat atau libur bertugas. Menemaninya dan mengenalkannya pada apa saja yang ada di Majapahit. Membuat mereka semakin dekat dan hubungan persahabatannya terjalin erat. Gajah Mada juga mulai ramah dan menerimanya, tidak mencurigai Aura sama sekali, malahan memperlakukan Aura seperti adiknya. Ternyata Gajah Mada bukan sosok yang sekeras wajahnya, dia ramah dan humoris juga. Ya—kecuali saat dia sedang bertugas. Jangan cari-cari di mana Gajah Mada yang easy going, sudah pasti tidak akan bertemu. Demi apa pria itu akan berubah jadi sekeras wajahnya; sangat tegas dan serius.
Selain menghabiskan waktu di tempat berlatih Pasukan Bhayangkara, tempat lain yang juga dijadikannya sebagai tempat favorit adalah Taman Bulan. Entah kapan dimulainya, Taman Bulan menjadi tempat di mana Aura bisa me-refresh otak, mengistirahatkan tubuh, dan menenangkan pikiran. Dan kadang, menjadi tempat Aura menangis karena teringat kehidupannya sebelum terlempar ke sini.
Matahari sudah nyaris terbenam melihat dari semburat-semburat jingga yang sudah bermunculan dan mulai memudar. Sebentar lagi malam. Namun, Aura masih dengan tenangnya berdiri di sana, di pinggir kolam, menatap kecipak air dari pancuran kecil untuk mengisi kolam beserta ikan-ikan kecil yang mulai tidak terlihat berenang di dalamnya.
"Kenapa Dinda termenung sendirian di sini?"
Aura tersentak, kemudian membalikkan tubuhnya. Setelah mendapati sosok pria yang tersenyum lembut ke arahnya itu, Aura segera menundukkan kepala, memberi hormat. "Hormat hamba, Paduka. Saya tidak sedang termenung, Paduka. Hanya saja, saya terlalu hanyut dengan suara kecipak air dan harum bunga yang menenangkan."
"Ah, ya." Hayam Wuruk mengangguk-ngangguk kecil kemudian berjalan menghampiri Aura. "Taman Bulan memang punya daya magis seperti itu. Tapi—ngomong-ngomong kudengar dari Dinda Nertaja, katanya kalian berteman akrab. Apa kau tidak bisa berteman akrab denganku juga?"
"Mohon maaf, Paduka Yang Mulia. Tapi siapa hamba yang berani berteman akrab dengan Paduka Raja." Aura tidak berani mengangkat kepalanya terang-terangan dan menatap pria yang sangat diagung-agungkan seluruh negeri di hadapannya itu. Dia takut dicap lancang dan tidak sopan. Selama di istana, baru kali ini Aura bertemu dengan Hayam Wuruk lagi sejak pertemuan pertama mereka. Entah pergi ke mana saja dia, tapi Aura yakin pria ini pastilah sibuk mengurus urusan negara.
"Tidak apa-apa. Kau tidak perlu takut. Dan lagi—jangan memanggilku dengan panggilan yang terlalu formal begitu, dong. Berbicaralah seperti kau sedang berbicara dengan pria biasa, dengan temanmu."
Aura tiba-tiba ingin bengek di tempat (tapi tidak jadi karena dia ingat tidak punya riwayat penyakit asma). Mana bisa begitu! Ya—meskipun pria ini menyuruhnya berbicara seperti kepada teman dan tidak mempermasalahkannya, tapi tetap saja dia adalah raja negeri ini. Memangnya siapa Aura yang berani bersikap lancang begitu?
"Ampun, Paduka. Hamba tidak berani. Hamba takut dicela oleh seluruh rakyat Majapahit karena berlaku tidak sopan pada raja negeri ini."
Hayam Wuruk tiba-tiba tertawa. "Kau tidak perlu khawatir tentang itu, Dinda. Di sini aku rajanya, jadi aku bebas ingin melakukan apa saja. Ini perintah Sri Rajasanegara."
Aura tiba-tiba mengangkat kepalanya, menatap pria yang ternyata sedang menatapnya itu dengan bibir terkatup rapat. Jika saja yang berbicara barusan adalah Rafi atau anak kelasnya, pasti sudah Aura maki-maki. Bisa-bisanya dia memberikan perintah untuk hal kecil begitu. Ini penyelewengan wewenang namanya, hey! Agaknya, Hayam Wuruk ini adalah raja yang suka pamer dan berlaku seenaknya saja, ya.
"Tapi, Paduka-"
"Sudah kubilang jangan panggil aku Paduka, itu membuat kita terlihat jauh. Eum—karena sepertinya kau seusia Dinda Nertaja, maka bagaimana jika panggil aku Kanda Hayam Wuruk," katanya sambil memegang dagu dan memicingkan sebelah mata.
"Tapi-"
"Ini perintah, Dinda Aura," ulang Hayam Wuruk lembut.
Bisa apa lagi Aura memangnya jika raja di hadapannya mengeluarkan ultimatum perintah? Dia, kan, hanya rakyat jelata alias kentang rendahan. Ya—itulah enaknya jadi raja. Jadi bisa berlaku sewenang-wenang. Ha ha ha. Kenapa juga waktu itu Aura tidak terbangun jadi penguasa alih-alih jadi gadis yang pura-pura hilang ingatan begini, ya? Biar Aura bisa sewenang-wenang juga, gitu.
Siapa saja, tampar Aura sekarang!
Aura berusaha keras untuk tidak mendengkus, kemudian mengangguk kecil. "Baiklah, Kanda—Hayam Wuruk?"
Oke, tolong carikan Aura plastik untuk muntah. Siapa saja tolong Aura!
Hayam Wuruk mengangguk-ngangguk sambil tersenyum senang, kemudian berdiri di samping Aura, menatap ke arah kolam.
"Kudengar dari Dinda Nertaja, katanya kau bergabung dengan Bhayangkara. Benarkah?" tanya Hayam Wuruk memulai pembicaraan lagi. "Kau tahu, Dinda Nertaja sangat antusias ketika menceritakan tentangmu. Baru saja aku sampai ke istana sehabis mengunjungi Ibunda dari Kahuripan, dia langsung memburuku untuk menceritakan seberapa hebatnya dirimu. Katanya Dinda membuat kesepakatan dengan Paman Mada agar bisa menjadi Bhayangkara, lalu Dinda bertarung dengan Lembu Jambon dan Dinda berhasil mengalahkannya dengan telak. Dinda hebat sekali. Sayang aku tidak bisa menyaksikannya secara langsung," puji Hayam Wuruk lalu menatap Aura yang sudah berdiri di sampingnya.
Aura mengulum bibir dan menggaruk kepala yang rambutnya dibiarkan tergerai. Aura jadi salah tingkah dipuji oleh orang nomor satu Majapahit, padahal sebelumnya Aura bukan orang yang mudah tersanjung. "Saya tidak sehebat itu, kok, Kanda. Tuan Putri Nertaja terlalu melebih-lebihkan ceritanya."
"Tapi jika kau berhasil mengalahkan Jambon, itu tandanya kau hebat, Dinda."
Aura memasang senyum kikuk yang memperlihatkan giginya. Kemudian menerawang ke atas sana. "Saya hanya melakukan sesuatu agar saya bisa meraih mimpi saya kembali. Sebelumnya, saya hanya seseorang yang kehilangan arah dan tujuan. Tapi berkat Majapahit, saya mendapatkan kembali apa yang orang-orang sebut sebagai cita-cita."
Aura menghirup udara dalam-dalam. Wangi bunga sedap malam seketika masuk menyerbu penciumannya. Tidak menoleh sama sekali ke arah Hayam Wuruk yang sedang menatapnya sambil tersenyum kecil.
Sudah mulai gelap, cahaya siang nyaris hilang seutuhnya ditelan gelap.
"Menurut Dinda apa itu cita-cita?" Hayam Wuruk ikut-ikutan menatap ke atas ketika Aura menatap ke arahnya dengan tangan menyatu di belakang punggung.
"Hm?" Aura berpikir sebentar kemudian mengangguk-ngangguk kecil. "Menurut saya, cita-cita adalah sebuah keingingan yang kuat yang menjadi tujuan hidup, pacuan semangat, dan arah untuk melangkah. Istilah mudahnya, cita-cita adalah sesuatu yang membuat saya semangat dan bergairah lagi untuk menjalani hidup."
Satu tawa kecil keluar dari mulut pria itu. Dia beralih menatap Aura kemudian mengangguk-ngangguk kecil juga. "Benarkah cita-cita seberharga itu, Dinda?" tanyanya.
Aura tanpa ragu mengangguk mantap. "Tentu. Semua orang pasti punya cita-citanya masing-masing yang membuatnya tetap terus melanjutkan hidup yang berat ini. Punya mimpi yang ingin mereka raih. Ah, jangankan mereka, saya juga yakin kalau Kanda sendiri punya mimpi."
Hayam Wuruk tersenyum, kemudian meletakkan tangannya ke atas kepala Aura dan mengusak rambutnya pelan. "Jawabanmu itu ... membuat hidup ini terkesan sulit saja."
Aura merengut. "Bukan begitu," cicitnya lalu mengulum bibir, berusaha keras untuk tidak menggaruk kepala. "Kanda Hayam Wuruk pasti punya cita-cita, kan? Boleh saya tahu apa cita-cita Kanda?"
"Oh, ya?" Hayam Wuruk tiba-tiba memasang wajah terkejut antusias. Lalu setelahnya memegang dagu, seolah-olah berpikir. "Cita-cita Kanda, ya? Eum—sangat sederhana, yaitu membantu meringankan hidup Dinda Aura yang katanya berat," setelahnya melirik ke arah gadis itu.
Aura tidak tahan untuk tidak mendengkus, kemudian merotasikan bola matanya.
Setelahnya mereka sama-sama tertawa.
Oke, Aura tiba-tiba mulai merasa nyaman di sekitar pria ini. Tidak secanggung tadi-tadi. Ternyata ... Hayam Wuruk itu sosok yang cukup asik juga, ya. [ ]
Thanks for reading.
Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro