Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Perjuangan Bhayangkara

1357 M, Majapahit | 1190 Words

Gajah Mada memang terlihat terkejut, tapi dia bisa menguasai diri dan terlihat tenang atas pernyataan Aura barusan.

Namun, lain halnya dengan Nertaja. Gadis itu membelalak sambil menganga dan menutup mulutnya. Syok. "Aura, apa maksudmu?" tanyanya.

"Saya ingin jadi Pasukan Bhayangkara," ulang Aura. Kali ini dengan sorot yakin dan percaya diri. Menatap Gajah Mada penuh harap.

"Kenapa Diajeng ingin jadi Bhayangkara? Kenapa tidak bersolek dan mempercantik diri saja agar kelak mendapat suami bangsawan yang perkasa, yang bisa melindungi Diajeng? Bukankah perempuan seharusnya begitu?"

Wah. Pernyataan yang sangat-sangat salah. Salah besar! Ucapan Gajah Mada barusan membuat Aura tersulut dan tiba-tiba merasa marah. Pandangan Aura terhadap tokoh pahlawan ini seketika berubah. Sepertinya, pendapat yang mengatakan Gajah Mada adalah sosok yang cerdas dan kritis harus direvisi. Kalau perlu Aura sendiri yang harus merevisinya nanti. Laki-laki ini ternyata tidak sebijaksana itu. Dia sama saja dengan laki-laki kuno yang cara pikirnya awam dan kolot.

"Mohon maaf, Sang Mahamantri Mukya Rakryan Mapati Gajah Mada yang terhormat. Tetapi tidak semua perempuan selemah itu. Tidak semua perempuan butuh dilindungi lelaki perkasa apalah itu. Saya bisa melindungi diri saya sendiri jadi saya tidak butuh bersolek dan merendahkan harga diri saya hanya untuk menarik hati pria-pria berpikiran sempit yang memandang rendah wanita sebagai makhluk lemah," sinis Aura sembari menatap Gajah Mada tajam. Aura benar-benar tersulut. Harga dirinya seolah direndahkan. Dia lahir dan dibesarkan di lingkungan di mana perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama, diperlakukan sama, dan memiliki kebebasan yang sama. Rasanya benar-benar melukai harga diri ketika dia dipandang sebelah mata begitu. Seolah-olah para wanita hanya menjual kecantikannya untuk bertahan hidup, seolah-olah wanita adalah makhluk lemah yang mengemis untuk dilindungi, dan seolah-olah wanita itu tidak ada harganya.

Tidak seperti dugaannya, reaksi Gajah Mada yang Aura kira akan tersinggung dan akan memakinya, malah terlihat tersenyum kecil menatap Aura. "Agaknya ucapan saya sangat menyinggung, Diajeng. Saya mohon maaf jika Diajeng Aura merasa direndahkan. Bukan maksud saya begitu. Saya hanya ingin tahu kenapa Diajeng Aura ingin menjadi Bhayangkara."

Sorot sinis di wajah Aura sedikit memudar. Dia kembali mendapatkan kesadarannya dan mengendalikan diri. Memikirkan kalimat apa yang harus dia ucapkan agar terdengar meyakinkan dan bisa diterima. "Saya hanya ingin menjadi orang yang maju di baris paling depan untuk melindungi Wilwatikta beserta seluruh rakyatnya, Mahapatih." Oke, ini jawaban asal jeplak.

Sepertinya, selama berada di Majapahit Aura terlalu banyak mengarang padahal dia bukan pengarang cerita atau semacamnya.

Gajah Mada mengangguk-angguk sambil memegang dagu. "Tapi tidak ada perempuan dalam Pasukan Bhayangkara."

"Maka saya akan jadi yang pertama."

Setelahnya Gajah Mada menatap Aura ketika mendengar jawaban percaya diri dan tegas gadis itu. Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas dia hanya diam dan tidak bersuara.

"Aura-" Nertaja memegang bahu Aura dengan mimik yang entah gusar atau apa. Campur aduk. Lalu menatap Aura dan Gajah Mada bergantian. Agaknya, Nertaja merasakan perubahan suasana yang tiba-tiba serius. Lalu, dia tidak tahu harus melakukan apa dengan dua orang keras kepala yang teguh pada pendapatnya masing-masing di hadapannya ini. Berhadapan dengan Gajah Mada tentu bukan pilihan yang bagus dan Nertaja tidak tahu bagaimana caranya untuk menyadarkan Aura agar tidak memperpanjang perkara ini.

Apalagi Gajah Mada mulai terlihat serius, tertarik, dan antusias.

Aura menatap Nertaja di sampingnya, lalu tersenyum kecil. "Saya rasa, hingga ingatan saya kembali tidak ada salahnya saya bergabung dengan Bhayangkara, Tuan Putri."

"Tapi itu berbahaya," cicit Nertaja.

"Saya suka hal-hal berbahaya dan menantang. Jadi Tuan Putri tidak perlu khawatir."

Diam-diam, Gajah Mada menyeringai kecil. Gadis di hadapannya ini benar-benar menarik. Dia sering berkeliling ke pelosok negeri, menjelajahi Nusantara, dan bertemu dengan bermacam-macam orang, tapi belum pernah dia bertemu dengan seorang perempuan bangsawan yang mempunyai tekad dan keberanian seperti gadis di hadapannya. Tidak ada yang berani berbicara sinis dan menatapnya setajam itu sebelumnya, apalagi seorang perempuan. Namun, gadis ini dengan berani membela diri dan langsung menyindirnya terang-terangan.

"Bagaimana Diajeng akan membuktikan pada saya jika Diajeng layak bergabung dengan Bhayangkara?"

Gajah Mada berjengit seketika, sama sekali tidak menduga jika pertanyaannya akan ditanggapi dengan seringaian licik oleh gadis itu.

Aura bersorak dalam hatinya. Jika itu yang ditanyakan Gajah Mada, berarti dia hanya perlu menunjukkan kemampuannya, kan? Hahaha. Jangan remehkan karateka sabuk hitam yang selalu memenangkan medali emas O2SN se-Indonesia ini.

"Baik. Akan saya buktikan saya layak menjadi Bhayangkara." Aura berujar percaya diri, "Kalau begitu saya akan duel tanpa senjata satu lawan satu dengan salah satu Bhayangkara yang Mahapatih pilihkan. Jika saya menang, maka saya akan diizinkan bergabung dengan Bhayangkara."

"Tapi jika Diajeng kalah?"

"Saya akan jadi pesuruh Mahapatih seminggu. Jadi dayang? Jadi pembantu? Apalah itu. Mahapatih bebas menyuruh-nyuruh saya dan mengerjai saya." Aura sebenarnya agak ragu dengan yang satu ini. Jika dia kalah, terus dijadikan budak oleh Gajah Mada bagaimana? Dan ternyata Gajah Mada menyimpan dendam karena sikap lancangnya, akhirnya Aura dikerjai habis-habisan hingga kelelahan, kehilangan tenaga, setelahnya jatuh sakit, dan mati muda. Tidak!

Aura, jangan overthinking. Believe yourself. You deserve it and you will be the winner.

Gajah Mada tiba-tiba tertawa. "Benar, ya, Diajeng akan jadi pembantu saya jika kalah?"

Waduh. Tawa Gajah Mada membuat Aura agak gamang juga. Jangan-jangan benar Gajah Mada akan menyiksanya habis-habisan jika kalah.

"Kalau begitu saya harus menang," ujar Gajah Mada setelah tawanya reda. "Jambon, bisa kemari sebentar?" lalu melambai-lambaikan tangan, memanggil seseorang yang disebutnya sebagai Jambon.

Jambon, pria dengan perawakan kecil, kulitnya cokelat dengan jejak-jejak latihan yang mencetak tubuhnya jadi berisi dan keras itu berlari menghampiri Gajah Mada. "Hamba, Mahapatih," hormatnya.

"Berduellah dengan Dyah Aura. Tunjukkan seperti apa seorang Bhayangkara sejati itu." Gajah Mada menepuk-nepuk pundak Jambon.

Berbeda dengan Aura yang terlihat biasa saja, Nertaja tiba-tiba rusuh di samping Aura, menatap gusar ke arah Gajah Mada dan Jambon. "Yang benar saja, Aura. Aku sarankan kau mengurungkan niat sebelum terlambat. Lembu Jambon itu seorang Bekel. Kemampuannya meskipun tidak sehebat Paman Mada, tapi cukup mumpuni."

——————

[Bekel : kepala pasukan tentara kecil. Kalau saat ini, bekel itu setara dengan komandan kompi atau pangkat kapten.]

——————

Aura mengangkat dagunya, menyipitkan mata, kemudian tersenyum ke arah Nertaja di sampingnya. "Tenang saja, Tuan Putri. Saya pasti menang."


Tidak. Itu sama sekali bukan jawaban yang diinginkan Nertaja. Melihat Aura yang tidak gentar sedikit pun membuat Nertaja semakin panik. Ini gawat. Berbahaya. Dan sialnya berurusan dengan manusia-manusia keras kepala itu sama sekali tidak berguna.

"Maaf, Mahapatih. Saya tidak berani. Saya takut melukai Ndoro Aura." Jambon tentu saja langsung menolak ketika menatap ke arah Aura. Gadis mungil dengan kulit putih, bersih, dan terawat itu memangnya bisa apa? Memasak saja pasti tidak bisa.

Melihat bagaimana Jambon menatapnya, Aura langsung paham jika pria itu merendahkannya juga. "Saya tidak selemah kelihatannya, kok. Saya masih sanggup, lah, kalau untuk sekedar mematahkan tangan sampeyan."

Kening Jambon berkedut-kedut. Berani sekali perempuan lemah seperti Aura berkata begitu pada bekel sepertinya. Dasar bangsawan sombong, dipukul sekali pasti langsung ke-blenger, batinnya.

"Jambon, seperti yang aku bilang, tunjukkan seperti apa Bhayangkara sejati itu. Jangan segan-segan dan jangan sampai kalah. Ini perintah."

Jambon menatap atasannya itu bergantian dengan Aura. Terlihat ragu-ragu, namun akhirnya dia mengangguk patuh, "Baik, Mahapatih."

Aura menyeringai. Ini saatnya, Aura Bruce Lee. [ ]

Thanks for reading.
Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro