5. Bermimpi Kembali
1357 M, Majapahit | 1343 Words
Aura tersihir oleh keramaian itu. Dia seolah-olah terhisap melihat bagaimana prajurit-prajurit berlatih. Jiwa petarungnya yang selama dua bulan terakhir ini selalu dilatih berkobar-kobar penuh gairah. Aura langsung saja tertarik untuk mempelajari latihan yang sedang prajurit Majapahit itu lakukan.
"Kau sepertinya sangat tertarik dengan Bhayangkara. Dari tadi, baru kali ini wajahmu terlihat sangat antusias."
——————
[Bhayangkara : pengawal raja.]
——————
Aura menoleh, mendapati Nertaja menatapnya sambil tertawa kecil. Aura baru ingat jika dia melupakan keberadaan Nertaja karena terlalu fokus mendengar suara kayu beradu dari tongkat yang digunakan pasukan-pasukan itu berlatih. "Maafkan saya, Tuan Putri. Saya lupa jika sedang bersama Tuan Putri karena———seperti yang Tuan Putri bilang, saya tiba-tiba antusias pada———Bhayangkara? Apa itu?"
Nertaja menggelengkan kepala. "Tidak apa, Aura. Aku malahan senang melihatmu antusias begini," ucapnya lalu melambaikan tangan di depan dada pelan. "Bhayangkara adalah pasukan-pasukan Majapahit. Pasukan yang menjaga keamanan dan kedamaian Wilwatikta. Mereka yang membuat Wilwatikta bisa sebesar ini. Tanpa pengorbanan mereka yang gagah berani membela bangsa, tidak akan ada Negara sekuat dan sebesar Majapahit. Naah, di tempat inilah orang-orang hebat itu dibentuk dan dilatih, Aura."
Aura mendengarkan Antusias. Setelahnya mengangguk dengan semangat.
"Paman Mada yang biasanya mengawasi latihan mereka."
Aura berhenti beberapa saat ketika mendengar kalimat terakhir. Apa Paman Mada yang dimaksud Nertaja adalah Gajah Mada? Sosok yang bahkan namanya masih dikenal hingga abad ke-20. Sosok hebat yang mempersatukan hampir seluruh Nusantara dengan ikrar Sumpah Palapanya yang terkenal.
"Paman Mada?" beo Aura.
Nertaja mengangguk semangat. "Iya. Beliau adalah Patih Hamankubhumi, Sang Mahamantri Mukya Rakryan Mapati. Beliau adalah tangan kanan setia Kanda. Mengabdikan dirinya demi kemajuan dan kemakmuran Majapahit. Intinya .... Beliau orang hebat."
Wah.
Hanya itu yang terlintas di kepala Aura. Sungguh menarik. Aura jadi penasaran bagaimana sosoknya? Seperti ucapan Nertaja, apa Paman Mada ini seperti paman-paman di film kolosal yang sering ditonton Rafi? Wajahnya sangar, galak, dan ada kumis tebal melengkung ke atas di bibir atasnya.
"Naah. Itu dia! Kebetulan kita bisa bertemu dia di sini. Biasanya beliau jarang di istana dan sering patroli ke desa-desa," sorak Nertaja setelah berbisik pelan Pada Aura. "Paman," sapanya, kemudian dia menunduk sambil tersenyum.
Aura yang saat itu posisinya sedang menghadap Nertaja, secara otomatis langsung membalikkan diri. Aura tercengang sesaat mendapati visual kokoh di belakangnya. Bukan paman-paman seperti dalam bayangan Aura. Melainkan sosok figur dengan wajah tegas, tubuh tegap atletis, kulitnya sawo matang, membuat kesan wibawa dan kegagahannya begitu kental terasa. Aura sempat merasa terintimidasi. Namun, tatapan lembutnya pada Nertaja membuat Aura kembali mendapatkan rasa percaya diri.
Aura bukan orang yang mudah terintimidasi, tapi berdiri di dekat laki-laki ini benar-benar menciutkan nyali.
Aura menundukkan kepalanya juga memberi hormat.
"Ada apa gerangan Tuan Putri kemari? Apa Tuan Putri butuh sesuatu? Dan———siapa ini?"
Oke, satu catatan kecil. Gajah Mada bukan orang yang suka basa-basi.
Lihat, dia mulai mengamati Aura seksama.
"Ini Dyah Aura. Dia temanku, Paman. Ah, tidak. Sekarang sahabatku." Nertaja merangkul bahu Aura, mengenalkan Aura dengan semangat, seolah-olah menyombongkan diri jika dia sekarang punya teman.
Gajah Mada mengangguk-angguk namun tidak ada ekspresi tertentu yang muncul di wajahnya. Setelahnya, pria itu beralih menatap Aura.
Aura tiba-tiba kembali merasa terintimidasi.
"Aku tidak pernah melihat, Nyisanak. Nyisanak putri dari kerajaan mana? Atau anak siapa? Aku sering menyinggahi kerajaan lain dan juga kenal dengan seluruh Rakryan serta pejabat lainnya di sini tapi belum pernah sekali pun melihat dan mendengar nama Nyisanak."
Aura tiba-tiba merasa harus menelan saliva. Menurut cerita, Gajah Mada adalah sosok yang cerdas dan kritis. Jika alasan Aura terdengar tidak logis lalu dia berakhir diinterogasi bagaimana?
"Sejujurnya———eum, saya tidak ingat apa-apa. Saya hanya ingat nama saya dan beberapa hal kecil tentang hal yang biasa saya lakukan. Saya tidak bisa mengingat dari mana saya berasal, siapa keluarga saya, dan bagaimana saya bisa berakhir terdampar kemari. Saya———lupa ingatan." Aura berusaha terlihat meyakinkan. Lalu, agar terlihat semakin meyakinkan Aura mendesah berat dengan mimik sedih.
Gajah Mada tampak berpikir sambil mengerutkan kening. Setelahnya mengangguk-angguk kecil. "Ah, ya. Aku pernah mendengar tentang hal serupa yang terjadi pada putri kerajaan seberang. Katanya sang putri terjatuh lalu kepalanya membentur batu, dan setelah bangun dia jadi tidak ingat apa-apa. Apa hal serupa juga terjadi pada Nyisanak, ya," katanya, membuat Aura mengangguk-angguk dan diam-diam menyeringai kecil.
Setelahnya Gajah Mada tersenyum ramah pada Aura. "Terima kasih sudah mau berteman dengan Tuan Putri Nertaja, Putri Aura. Tolong maklumi jika Putri ini berbuat jahil, ya."
"Paman! Jangan menjelek-jelekkan aku di depan Aura dong. Aku tidak jahil, kok." Nertaja langsung protes tidak setuju dengan ucapan Gajah Mada yang kemudian ditanggapi dengan tawa oleh pria tersebut yang mau tidak mau membuat Aura tertawa pelan.
Diam-diam, Aura memperhatikan lagi sosok Gajah Mada di depannya. Sosok yang ternyata kalau tertawa sangat mempesona. Kesan kerasnya agak memudar. Sepertinya, Gajah Mada yang ini masih sangat muda. Aura tebak usianya sekitar 20-an akhir.
"Tapi———sepertinya saya bukan putri, deh. Jika saya putri pastilah kerajaan saya sudah gaduh sekarang dan berusaha mencari saya," cicit Aura pelan ketika mengingat Gajah Mada memanggilnya Putri Aura. "Jangan-jangan saya ini Sudra rendahan yang dengan lancang masuk dan bergaul dengan Tuan Putri Nertaja."
Nertaja membelalak. "Tidak mungkin kamu seorang Sudra, Aura. Dari namamu saja semua orang juga tahu kau bangsawan. Dyah itu adalah nama yang hanya dipakai oleh bangsawan."
Oh. Aura tiba-tiba terkesiap. Terkejut mengetahui jika berkat namanya dia dianggap berkasta bangsawan di dunia ini. Aura harus berterima kasih kepada almarhum mamanya karena sudah memberi nama ini. Nama yang awalnya Aura pikir kampungan dan kuno, namun di zaman ini nama itu ternyata bukan milik sembarang orang. Aura jadi merasa beruntung, untung dia tidak diberi nama Suminah Aura Ramawirajaya. Jika iya, apa Aura akan dianggap rakyat jelata? Hahaha. Tiba-tiba semuanya mulai terasa lucu dan Aura ingin tertawa keras, tetapi ia urungkan mengingat dengan siapa dia sedang berbicara sekarang.
"Benarkah begitu, Tuan Putri?" Aura bertanya antusias, membuat Nertaja mengangguk tak kalah antusias.
"Iya. Benar, kan, Paman?"
Gajah Mada, pria itu tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Setelahnya kembali mengangguk-angguk takzim. Seolah-olah masih memikirkan beberapa hal yang mengganggu kepalanya.
"Ya, begitulah seharusnya. Dan ngomong-ngomong, apa yang bisa saya bantu?"
"Tidak ada Paman. Kami hanya sedang jalan-jalan dan aku sedang menjelaskan banyak hal tentang Wilwatikta pada Aura yang lupa ingatan," jawab Nertaja dengan cengiran.
"Ada! Saya butuh bantuan!" Aura tiba-tiba menyela. "Bantu saya untuk jadi pasukan Bhayangkara juga," ucap Aura cepat. Entah datang dari mana keberaniannya, tiba-tiba saja berseru begitu. Pada Gajah Mada pula.
Tapi, walau bagaimana pun, menurut Aura ini adalah kesempatan emas. Jika dia memang terlempar ke masa lalu dan tidak akan kembali ke masa depan (setidaknya Aura belum menemukan caranya) tidak ada salahnya jika ia menekuni bela diri juga dan mengabdikan diri di medan pertempuran. Aura selalu ingin jadi petarung lapangan, seperti pendekar-pendekar, merasakan langsung berkelahi di medan tempur, mengangkat senjata, dan menikmati pacuan adrenalinnya. Aura selalu ingin melakukan hal keren itu dengan tangannya. Hal yang membuatnya merasa hidup dan memiliki tujuan.
Hari ini, di tempat ini, Majapahit, 1357 Masehi, Aura kembali mendapatkan mimpinya. Menjadi pejuang yang gagah berani dan terjun langsung ke medan perang menghadapi lawan. [ ]
Thanks for reading.
Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/
Lalu, dalam sistem pemerintahan Majapahit itu ada dua macam pejabat. Pejabat Kerabat sama Pejabat di luar kerabat. Nah, yang akan May bahas adalah salah satu pejabat di luar kerabat.
Yaitu Rakryan Mantri Ri Pakirakiran, di mana jabatan ini adalah Jabatan tertinggi ketiga setelah Raja dan Rakryan Mahamantri Katrini.
Istilahnya kalau zaman sekarang Rakryan Mantri Ri Pakirakiran ini tuh kayak kabinet atau dewan menteri.
Rakryan ini terdiri dari lima tingkatan:
1. Rakryan Mahapatih (Patih Amankubhumi). Atau istilah sekarangnya sama kayak Perdana Menteri. Ini adalah jabatan tertinggi, kepalanya dari semua Rakryan Mantri Ri Pakirakiran yang dijabat oleh Gajah Mada yang mendapat gelar Sang Mahamantri Mukya Rakryan Mapati. (Gelarnya panjang, sepanjang cintaku padamu. Wkakak)
2. Rakryan Tumenggung (Panglima Tertinggi)
3. Rakryan Demung (Kepala Rumah Tangga Kerajaan). Kayaknya ini tuh kalau di drakor saeguk kayak kepala kasim sama kepala dayang. Wkakak //plak (CMIIW)
4. Rakryan Rangga (Pembantu Panglima)
5. Rakryan Kanuruhan (Penghubung Tugas Upacara)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro