3. Taman Bulan
1357 M, Majapahit | 1523 Words
Aura terus diam ketika Hayam Wuruk mengangkat tubuhnya, membawanya entah ke mana dengan tergesa. Aura jadi berpikir, apakah tubuhnya jadi seringan ini karena terlempar ke masa lalu atau memang Hayam Wuruk saja yang terlalu kuat?
"Hamba, Paduka." Seorang wanita paruh baya menghaturkan hormat kepada Hayam Wuruk.
"Segera rawat dia dan panggilkan tabib." Aura dapat merasakan Hayam Wuruk meletakkan tubuhnya ke atas tempat yang keras. "Bantu dia dan perlakukan sebagai tamuku."
"Nggih, Gusti Prabu."
Hayam Wuruk berdiri tegak, kemudian mengangguk. "Namanya Dyah Aura. Pastikan semua kebutuhannya tercukupi."
Dayang tersebut mengangguk patuh sekali lagi. Setelahnya Hayam Wuruk pergi.
Aura memastikan Hayam Wuruk sudah benar-benar pergi dan menunggu sekitar 15 menit barulah ia membuka mata agar tidak ketahuan jika tadi dia sedang berpura-pura.
"Ndoro, Ndoro Aura sudah bangun?" Sumi, dayang yang tadi ditugasi untuk merawat Aura datang kembali dengan setumpuk kain di tangannya.
Sumi meletakkan kain itu di atas meja, lalu membantu Aura untuk duduk. Aura pun membiarkannya dan bangun dengan perlahan.
"Terima kasih," ucap Aura pelan.
"Sudah tugas hamba, Ndoro," jawab Sumi rendah.
Aura mengernyit sesaat ketika mendengar dirinya dipanggil 'Ndoro'. Terasa sangat asing dan———lucu. Sekarang, dia benar-benar merasa jadi anak sultan. Hahaha.
Oke, tolong sadarkan Aura. Bukan saatnya menghayal.
"Bibi, kalau boleh saya tahu, sekarang ini tahun berapa?" tanya Aura kembali dengan sopan. Yang harus diketahuinya pertama adalah tahun berapa ini.
"Ampun, Ndoro. Jangan panggil saya Bibi, saya hanya Mleccha rendahan yang tidak setara dengan Ndoro. Cukup panggil saya Sumi." Sumi terlihat syok, setelahnya menundukkan kepala. "Ampun, Ndoro. Sekarang tahun 1279 Saka. Tahun ke-7 Yang Mulia Paduka Raja Sri Rajasanegara memerintah Wilwatikta."
——————
[Mleccha : orang asing, umumnya bekerja sebagai pelayan.]
——————
Oke. Sebentar. Otak Aura yang minim sejarah nge-blank untuk sesaat. Bukan tahun Masehi. Tapi Saka. Aura seperti pernah mendengarnya.
Gadis itu berpikir keras sambil menggigit bibir. Saka. Saka. Sekali lagi, Aura seperti pernah mendengarnya. Ah, ya, saka!
Saka Niro.
Bibinya yang dari Padang pernah membawa saka niro untuk papanya sebagai oleh-oleh. Tapi itu saka gula aren! Alias gula merah, bukan saka tahun.
Aura mengerang sesaat. Mencoba menggali-gali ingatannya.
...Tahun Saka berjarak 78 tahun dari tahun Masehi. Nah, jika Sejaranit menemukan tulisan Saka di ujung tahun, tinggal tambah 78 maka hasilnya adalah tahun Masehi. Oke, biar Mimin kasih contoh, ya. Misal, tahun 1127 Saka. Berati Sejaranit tinggal tambah 78, jadi hasilnya .... Jeng jeng! 1205 Masehi. Naah ....
Tiba-tiba ingatan tentang sebuah laman blog tertulis di bulan ini Aura hanya menghabiskan waktu di rumah, tidak dipungkiri Aura cukup bosan. Jadi, dia melakukan banyak kegiatan selain bela diri. Seperti membaca-baca blog atau berita melalui ponselnya.
"Berarti sekarang tahun ... 1357 Masehi?" monolog gadis itu pelan sibuk mengkalkulasi tahun berapa sekarang. "Buset. Astagfirullah. Ngapa jauh banget dah anying ke tahun 1357 Masehi! Ini mah moyang gue juga belum lahir." Aura tiba-tiba meremat kepalanya. Frustrasi mengetahui jika ia terdampar ke masa beratus-ratus tahun lalu.
"Ndoro kenapa? Apa ada yang bisa saya bantu?" Sumi menatap gusar ke arah Aura yang terus mengerang-ngerang dan memberantaki rambutnya yang———walaupun terikat———sudah berantakan.
"Enggak. Makasih, ya, Bibi," balas Aura di sela-sela erangannya.
"Nggih, Ndoro. Ampun sekali lagi Ndoro, panggil saya Sumi saja."
Aura berhenti, menatap Sumi sebentar. Ya, dia lupa jika tadi Sumi sempat membahas-bahas ini. Aura ingat jika sistem kasta masih sangat kental di tengah-tengah masyarakat zaman Hindu-Budha ini. Namun, walaupun begitu tetap saja rasanya aneh memanggil yang lebih tua hanya dengan nama mengingat dia selalu diajarkan untuk hormat terhadap yang lebih tua sejak kecil.
"Tidak apa. Kita sama-sama manusia biasa di mata Tuh———Sang Hyang Widhi. Hanya saja, sebagai manusia sudah kewajiban saya untuk hormat kepada yang lebih tua." Aura tersenyum meyakinkan menatap Sumi yang berkerut-kerut gusar. Sesaat, Aura menghela napas. Untunglah ada makhluk bernama Rafi di kelasnya yang selalu memperagakan gerakan ala-ala karakter yang ditontonnya dengan segala istilah-istilah anehnya yang dulu sering Aura cemooh.
"Tapi, Ndoro. Saya———"
"Tidak apa. Selain itu, saya tidak nyaman memanggil yang lebih tua hanya dengan namanya saja. Saya merasa kurang ajar."
"Ampun, Ndoro. Saya tidak bermaksud untuk membuat Ndoro merasa demikian. Baiklah, saya tidak apa dipanggil Bibi oleh Ndoro Ayu Aura."
Aura tersenyum lagi, setelahnya mengangguk. Sumi pun tampak tersenyum dan ada gurat haru di matanya. Baru kali ini ada yang berlaku sehangat ini padanya.
"Naah, That's it!" Aura bertepuk tangan senang.
"Iya, Ndoro, detsit!" Aura tertawa untuk sesaat mendengar Sumi meniru ucapannya tapi pronounce-nya terdengar lucu. "Oh, iya, sebelumnya Ndoro harus mengganti pakaian dengan yang lebih sopan menggunakan kemben dan jarik ini."
Sumi mengambil setumpuk kain yang tadi di letakkannya di atas meja, lalu memberikannya pada Aura. "Biar saya bantu, Ndoro," ucapnya.
Aura menggeleng cepat. "Tidak. Tidak perlu. Saya bisa sendiri. Terima kasih. Ehehe," tolaknya cepat. Gila saja di umur segini mengganti pakaian dibantu orang lain. "Bibi tunggu di luar saja sampai saya siap."
"Baik, Ndoro. Saya di luar, jika butuh apa-apa silahkan panggil saya." Sumi menunduk hormat, setelahnya berlalu keluar, membiarkan Aura yang masih dibungkus jubah rajanya itu untuk mengganti pakaian.
Aura membuka lipatan kemben dan jarik di tangannya, menatapnya nanar. "Apa iya gue kudu make beginian?!" cicitnya tercekat. Seingatnya terakhir kali dia menggunakan kemben dan jarik itu ketika SD. Waktu itu sekolahnya mengadakan festival untuk menyambut acara Tujuh Belas Agustus, dan Aura kebagian kostum Jawa Kuno. Seingatnya, jarik yang dipakainya berakhir copot berantakan karena terlalu sempit dan Aura merasa kesulitan melangkah. Dan ... itu adalah kali pertama dan terakhir dia menggunakan pakaian adat. Setelahnya Aura selalu menolak untuk mengenakannya, bahkan kebaya sekali pun.
Aura mau tidak mau pasrah. Mengganti sport bra-nya dengan kemben, membuat bagian bahunya semakin terekspos. Lalu memasang jarik bermotif bunga teratai itu dengan cara yang samar-samar masih diingatnya waktu SD dulu. Untuk sport legging-nya, tidak Aura lepas. Dia khawatir nanti jariknya berakhir sama seperti enam tahun lalu. Setidaknya kalau jariknya copot atau robek, Aura menggunakan celana di dalam.
"Anjir-anjir! Jadi putri keraton gue!" pekiknya ketika mendapati bayangan di dalam cermin. Tidak lupa sebuah selendang tipis berwarna kuning berkilauan seperti dilapisi emas (atau memang emas, ya?) tersampir melingkari bahunya.
"Apa yang harus gue lakuin di sini, hah?! Gue gak punya apa-apa lagi. Duuh, emang rakjel banget gue ini. Kasta Sudra kali, ya." Aura menggerutu mengingat dia tidak memiliki apa-apa di sini. Bahkan ponselnya saja tidak ada. Satu-satunya harta benda yang dia punya hanya sepasang baju olahraga, sebuah gelang karet hitam, dan ikat rambut karet yang mengikat rambutnya saat ini.
Aura beranjak keluar setelah beberapa saat menggerutu. Mendapati Sumi berdiri di samping pintu. Lalu beralih menatap langit yang mulai memiliki semburat cahaya biru. Agaknya sebentar lagi fajar.
"Tadi saya melihat taman bunga indah. Kalau boleh tahu itu di sebelah mana, ya, Bi?" tanya Aura pada Sumi yang kini menatapnya terkagum-kagum.
"Ndoro ayu tenan. Seperti bidadari yang baru turun dari kayangan," ucapnya terkesima.
Aura seketika mengulum bibir, mengayun-ngayunkan tangannya sambil tersipu. "Ah, Bibi bisa saja membuat saya terbang."
"Bibi berkata sungguhan, Ndoro. Cuma———boleh Bibi rapikan rambut Ndoro Ayu Aura?"
Aura meraba rambutnya yang terikat tinggi berantakan, sebagian sudah keluar jalur dan terjuntai-juntai. "Ah, tentu saja," jawab Aura akhirnya kembali masuk ke dalam bilik diikuti Sumi.
Aura duduk di depan cermin sementara Sumi berdiri di belakangnya, menyisir rambut gadis itu dan mulai menyanggul rambut sebahu Aura dengan lihai.
"Ndoro terlihat berkali-kali lipat lebih cantik," pujinya setelah selesai dan menatap pantulan Aura di dalam cermin.
Aura tertawa. "Jangan terus memuji Bibi, nanti Aura besar kepala," ujarnya masih tertawa. Diam-diam membenarkan ucapan Sumi saat menatap pantulan dirinya di cermin. "Jadi, bisa Bibi beri tahu di mana letak tamannya? Ada kolam ikan yang memantulkan cahaya bulan di sana. Wangi dan penuh bunga-bunga."
Sumi tampak berpikir sesaat. "Apa yang Ndoro maksud adalah Taman Bulan?"
"Taman Bulan?" Aura mengerutkan kening.
"Iya, Ndoro. Ndoro Aura tinggal keluar, belok ke kanan, lalu belok ke kiri. Ada dua pura kecil sebagai gerbang. Ndoro tinggal lewat sana dan nanti sampai."
Aura mencoba mencerna penjelasan Sumi, kemudian mengangguk-angguk pelan.
"Tapi kenapa Ndoro mau ke sana?"
Kening Aura berkerut. Sangat tidak mungkin Aura mengatakan jika dia ingin mencari tahu caranya pulang ke masa depan. Jadi, sebagai alasan Aura mengatakan, "Saya tidak bisa tidur. Jadi karena teringat taman yang indah itu, saya jadi ingin ke sana."
Sumi mengangguk-angguk paham. "Silahkan, Ndoro. Tapi, saya harap Ndoro menjaga sikap di sana."
Kening Aura lagi-lagi berkerut.
"Taman itu memang bisa dikunjungi siapa saja yang ada di istana. Tapi, Paduka Raja Sri Rajasanegara dan Paduka Putri Nertaja sering ke sana. Nama Taman Bulan sendiri Paduka Putri yang memberikannya."
Mulut Aura membentuk huruf O panjang. Setelahnya mengangguk-angguk paham. Tahulah dia sekarang kenapa bisa bertemu Hayam Wuruk di sana. Dan tadi———siapa? Putri Nertaja? Siapa, tuh? Istri Hayam Wuruk? Seingat Aura istri Hayam Wuruk bernama Sudewi bukan Nertaja.
"Siapa Putri Nertaja?"
Sumi terlihat bingung. Heran. Kenapa bisa ada orang yang tidak mengenal putri adik dari penguasa bangsa ini?
"Beliau adik Paduka Raja, Ndoro." [ ]
Thanks for reading.
Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/
Jadi, era Majapahit itu ada 7 macam kasta yang berlaku:
1. Brahmana
2. Ksatria
3. Waisya
4. Sudra
5. Candala
6. Mleccha
7. Tuccha
Cr. RoserianBlue
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro