Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24. Aura: Exchap

Lagi-lagi saya mau bilang, Maaf yaaa
Ini lama banget lewatnya dari waktu yang saya janjikan😞
***
Ngomong-ngomong saya punya sesuatu yang istimewa dibagian akhirnya. Pastikan scrool sampai bawah yaaa (ノ`⌒')ノ┫:・┻┻

*
Welcome to ending, happy reading ^3^
***

Aku sadar, jika aku memang bukan orang baik. Bahkan mendekati baik pun tidak. Namun, kali ini aku mencoba melakukan yang terbaik yang aku bisa. Sebagai anak, sebagai teman, sebagai murid, dan sebagai atlet.

Aku duduk di sudut lapangan di bawah kanopi, sibuk berkutat dengan buku dan pena. Tugas sekolahku tentu tidak akan selesai secara instan. Jadi, karena aku tidak ingin melewatkan sesi latihanku, tapi juga tidak ingin kehilangan waktu menyelesaikan tugas, aku membawa bukunya ke klub karate. Saat jam istirahat diberikan, bukannya sibuk mengisi perut atau mengobrol dengan anak karate lainnya yang sudah lama tidak kujumpai, aku malah sibuk menyalin tugas dari buku Lanya.

Yang penting selesai.

"Oy bocah rajin, godain kita dong!"

Aku mendengkus ketika mendapati siapa yang berbicara. Gito dengan baju putih dan sabuk hitamnya memasang cengiran ke arahku, membiarkan keringat yang menganak sungai itu membanjiri pelipisnya. Di belakangnya, Juli mengekor dengan lengan seragam yang tergulung ke atas sementara rambut selehernya dibiarkan berantakan, sebagian menyerak di wajahnya.

"Ngilang setahun balik-balik jadi hama buku." Juli duduk di sebelah Gito yang duduk di sebelahku.

"Bacot banget ya sayang-sayangnya aku." Aku pun menggeser dudukku agak menjauh dari Gito dengan senyuman yang dibuat-buat. "Lo-lo pada bau dosa."

"Yeee! Mulutnya kalau ngomong suka jeplak aja. Gue cakep juga. Cool begini. Kalau dilihatin anak-anak cewek lain udah pada teriak-teriak mereka. Lo bedua aja yang gak normal sampe bisa biasa aja berada sedekat ini dalam radar pesona gue yang mematikan."

"Pede amat lo Kutu Beras. Itu mah lo doang yang caper ke junior." Juli memukul pundak Gito agak keras, membuat cowok itu merengut.

Aku tertawa di tempatku, kemudian kembali menulis.

"Eh, tapi gue waktu itu denger Sensei ngomong di telepon, katanya bakal ada Senpai¹ baru." Juli berbicara dengan antusias.

------

[1. Senpai: asisten pelatih/pelatih biasa dengan kualifikasi Kyu III - DAN III.]

------


"Ribet amat lo, kenapa gak bilang, Gue nguping bapak gue ngomong," celetuk Gito mencibir ke arah Juli.

Juli menatap Gito tajam, kemudian beralih menatap ke arahku "Katanya Senpai-nya cakep."

Aku mendengkus kemudian geleng-geleng kepala. Hanya ada dua hal yang bisa membuat Juli semangat bicara; pertama liburan, kedua cowok tampan.

Lalu, tanpa menanggapi pancingan gibah Juli, kukemasi buku-bukuku, memasukkannya ke dalam tas lagi kemudian berdiri. "Ayo Kakak Senpai lama, kita kerja lagi!" teriakku, kemudian tertawa.

Gito dan Juli kemudian ikut berdiri, sebelum akhirnya terdiam di tempat ketika seorang anak laki-laki dengan sabuk kuning meliliti pinggangnya menghampiri mereka. "Kak, dipanggil Sensei ke ruangannya," ujarnya kemudian pamit.

"Kan, kan. Apa gue bilang. Ini pasti Senpai Ganteng, nih." Juli histeris, kemudian melompat-lompat kecil kemudian berlari duluan ke ruangan Sensei. Gito dan Aura tertawa kemudian menatap kepergian Juli.

"Padahal gue juga cakep, loh," ujar Gito masih menggeleng-gelengkan kepala kemudian mengikuti arah kepergian Juli.

Seperti yang dikatakan Juli, memang ada orang yang wajahnya baru di ruangan Sensei. Duduk di kursi seberang mejanya dengan seragam karate lengkap dengan sabuk hitamnya.

Sensei Jo tersenyum ketika mendapati tiga anak didiknya memasuki ruangan. "Nah, anak-anak, saya rasa kalian sudah dapat bocoran infonya," lalu Sensei melirik ke arah Juli yang memasang cengiran tak berdosa, "kenalkan. Ini Senpai baru kita, Senpai Ramada." Sensei Jo mengenalkan pria itu yang kini sudah berbalik, menatap tiga orang yang baru datang. Dia tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala.

"Senpai Ramada ini dulunya juga murid saya. Hanya saja dia pindah tempat tinggal ke pulau lain, jadi tidak bisa melanjutkan perguruannya di sini. Siapa sangka, kan, dia ternyata tetap melanjutkan bakatnya di sana. Saya benar-benar kaget waktu bertemu Ramada di turnamen Thailand waktu itu. Ingat, kan, Aura?" Sensei Jo menatapku sambil mengangkat alis.

"Hah?" Aku melongo sebentar, kemudian segera mengangguk-angguk. Walau sebenarnya aku tidak yakin pernah bertemu pria ini dalam turnamen, tapi aku ingat-sangat ingat-jika aku pernah bertemu dengan Ramada di dunia yang lain.

"Salam kenal. Saya Ramada." Ramada mendekati kami bertiga, kemudian mulai menyalami Gito dengan hangat, kemudian Juli yang tak henti menatapnya dengan mata berbinar, lalu aku. Gadis yang tiba-tiba termenung seperti orang tolol.

Begitulah sesi perkenalanku berakhir, dan aku tiba-tiba merasa bodoh karena sejak tadi aku hanya diam tanpa sepatah kata. Harusnya, aku mulai bergerak untuk membuat Gajah Mada, tidak, Ramada untuk mengingatku lagi, kan? Bukannya diam bahkan sampai akhir latihan, dan melatih junior-juniorku seperti orang bisu kehilangan akal.

Aku mendengkus keras-keras terduduk di depan lokerku setelah mengganti seragam dengan baju kaus dan celana training biasa, juga menguncir rambut, dan setelahnya meraih tas yang menggembung dipenuhi buku dan seragam kotorku.

Lalu, ketika keluar dari Dojo, tidak sengaja mataku menangkap sosok Ramada juga berjalan keluar sana, menyandang tasnya di sebelah bahu mungkin juga bersiap pulang.

------

[2. Dojo: tempat latihan.]

------

Aku mengerang. Lihatlah, namanya saja bahkan menggunakan nama "Mada" seperti Gajah Mada. Lantas, kenapa dia tidak mengingat aku?

Aku lalu berlari sekencangnya, mengerem mendadak, kemudian merentangkan tangan di hadapan Gajah Mada. "Tungguuuu!" lalu lekas-lekas menahan tangan cowok itu ketika dia berbelok ke sisi lain untuk melanjutkan kembali jalannya.

Ramada berhenti, kemudian menatapku masih dengan wajah kebingungan yang sama seperti saat di Dunkins tempo hari, lalu mengerutkan keningnya, seperti menungguku untuk memberi penjelasan kenapa dia sampai dicekal dan ditahan saat ini.

"Kau ... masih belum ingat aku?" tanyaku ragu-ragu sembari menatap mata pria itu menyelidik. "Ini aku, tahu. Aura."

Ramada mengulum bibirnya, lalu dengan wajah yang tiba-tiba merasa bersalah, menggelengkan kepala. "Mungkin kamu salah orang, ya, Aura. Saya mirip atau bagaimana dengan kenalan kamu itu. Jadi ... bisa-"

Ah, shit.

"Tidak. Aku tidak salah. Aku tahu ini kau. Hanya saja ... kau melupakanku."

Ramada menghela napas, kemudian tersenyum kecil. "Saya belum setua itu lho buat jadi pelupa. Saya masih inget siapa aja orang yang saya kenal. Tapi ... saya memang tidak kenal kamu."

Aku menatap Ramada dengan mata berkaca-kaca. Rasanya, masih sulit dipercaya jika dia sama sekali tidak mengingatku. Kemudian aku memilih mengulum bibir erat dan mengangguk-ngangguk. "Oke, mungkin manusia yang ketemu di dunia ini aja bisa saling lupa, apalagi kita yang bertemu di dunia masa lalu. Aku tidak peduli dengan janji yang kau ucapkan di masa lalu untuk kembali menemukanku di dunia yang mana pun itu, tapi karena aku berhasil menemukanmu lebih dulu-tadinya aku berharap kau akan mengingatku, tapi siapa sangka kau lupa semuanya." Aura menurunkan tas punggungnya, menaruhnya ke tepi, kemudian mencari ranting-ranting kayu. "Dulu, kau sering melihatku berlatih pedang. Coba lihat dulu siapa tahu kau mengingatku lagi."

Ramada yang agaknya merasa iba pada gadis yang putus asa di hadapannya ini, akhirnya mengangguk setuju dengan mengangkat bahu, membiarkan aku bergeser sedikit jauh darinya dan segera memasang kuda-kuda.

Ramada tampak melongo ketika aku itu mulai bergerak dengan lincah bersama sebilah ranting yang diayunkan ke sana ke mari. Mungkin dia merasa kagum akan keterampilan pedangku, atau mungkin dia sedikit mengingat sesuatu tentang aku atau Majapahapit-semoga. Namun, terlalu banyak kemungkinan di sini.

Aku terengah-engah di tempatku setelah memeragakan teknik pedang yang biasa kugunakan berlatih di depan Gajah Mada, sembari menatap ke arah Ramada. "Sudah ingat?" tanyaku penuh harap.

Pada akhirnya, jawaban Ramada membuatku mendesah lelah ketika cowok itu menggeleng dengan mimik kasihan. Aku melempar kayunya, kemudian duduk di tanah sambil meluruskan kaki. "Mungkin ... ini takdir kita berikutnya. Untuk tidak bertemu dan saling mengingat lagi. Atau ... ini hukumanku dari Tuhan karena sudah menghilangkan banyak nyawa?" Aku mendesah, kemudian mengangkat bahu pasrah, dan merebahkan tubuhku yang kelelahan di tanah sana tanpa peduli jika bajuku bisa saja kotor.

"Jangan!"

Aku menoleh ketika Ramada menjerit kencang, lalu berlari ke arahku dan menarik tanganku cepat, membuatku berdiri. "Jangan tiduran di tanah seperti itu," cicitnya.

"Lah, kenapa?" suka-suka gue dong mau tidur di mana.

Ramada menggeleng cemas. "Tidak. Hanya ... saya tiba-tiba merasa takut dan cemas. Kamu berbaring persis seperti sosok yang meninggal dengan lumuran darah dalam pangkuan saya di mimpi yang datang berulang-ulang seperti sengaja menghantui saya. Jadi ... saya agak takut."

Aku mengerutkan kening. "Bisa ceritakan lagi?" pintaku, "oke, saya tahu ini lancang, tapi bisa ceritakan lagi?" tambahku agar Ramada tidak merasa tersinggung dan salah paham.

Ramada mengulum bibirnya tampak berpikir sebelum akhirnya mengangguk kecil. "Saya tidak ingat wajahnya, tetapi tubuhnya penuh darah, entah tergores pedang atau apa, tetapi dia menggunakan baju zirah. Di sana, saya memeluknya erat-erat, berteriak, ketakutan, khawatir, cemas. Namun, dia akhirnya tetap pergi, menyisakan rasa sakit yang mendalam. Sampai saat terbangun pun, saya masih merasakan sakitnya. Awalnya saya kira hanya mimpi, tetapi mimpinya kemudian datang berulang-ulang. Masih dengan adegan yang sama dan rasa sakit yang sama. Saya ... hanya jadi takut kamu jadi seperti wanita di mimpi saya yang meninggal. Tapi gak mungkin juga, sih. Di sini gak ada perang. Haha. Agaknya saya merasa sedikit trauma." Ramada terkekeh kecil kemudian menggaruk kepalanya. Namun, beberapa saat kemudian cowok itu memasang raut kebingungan. Mungkin dia sadar bahwa bukannya kembali seperti semula, wajahku malah semakin murung

"Hey. Au-ra? Kenapa?" Ramada bertanya dengan gestur kebingungan.

Aku menarik napas, kemudian menggelengkan kepala kuat. "Tidak apa-apa," jawabku lemah. Lalu berjalan mengambil tas yang kugeletakkan begitu saja di tanah, menyandangkannya ke bahu kanan. "Mungkin ... memang bukan takdir kita di dunia ini. Bahkan, yang kau ingat hanya bagaimana pertemuan kita berakhir. Yah, meski pun itu di mimpi, tapi itu memang pernah terjadi. Meski bukan akhir yang indah, sih. Kita ... mungkin memang tidak diizinkan saling mengingat di dunia yang ini oleh Tuhan. Lebih tepatnya kau, Gajah Mada." Aku berbalik, kembali berjalan, dan bersiap kembali ke rumah. Tidak apa-apa jika Gajah Mada tidak mengingatku, yang penting aku selalu mengingat pria itu. Hidup harus terus berjalan, kan? Aku baik-baik saja meski di hidupku yang ini tidak ada Gajah Mada-nya. Mungkin ....

Aku terhenti mendadak ketika seseorang memelukku dari belakang dengan tiba-tiba. Ada erangan seperti orang sedang sakit kepala dan ringisan kesakitan di belakangku. Aku ingin menoleh atau paling tidak memukulnya karena lancang, tetapi tidak jadi karena lengan bajunya familiar, juga ... kalimat yang menyertainya membuatku terdiam dan merasa haru ketika dia berkata, "Tunggu, Dewi."

Gajahku kembali. [ FIN ]

Thanks for reading.
Secuil jejak Anda means a lot
\(*°-°*)/

Yeay. Finish lagi~

Udah happy ending, kan?

Udah doong.

Chiayooo. Lihat fanart lucu ini ಥ‿ಥ
Siapa yang nyangka kalau cerita ini bakal dapet kiriman gambar keren begini. Makasih buat KagayakiMiHa saya terharu sangat (っ˘̩╭╮˘̩)っ
Gambarnya keren padahal cuma dicoret2

Ini dia

Dyah Aura dan pedangnya

Debakಥ‿ಥ

Ini pertama kali ada yang ngirimin ilustrasi art yang begini ke cerita saya. Ueueueue

Kamsahamnida, Miha-ssi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro