23. Aura: Exchap
Sebelumnya, saya mau bilang maaf. Maaf karena telat publis extra chapternya. Maaf yaaaa
Kemaren karena masih suasana lebaran jadi agak melenceng dari jadwal yang saya buat. Saya seharian nggak dirumah, dirumah pas malem itupun ada temen. Saya gak bisa ngetik kalau ditemenin, jadi susah nyari waktu sendirian.
Maaf ya lama.
Yang extra dua nya kalau gak ada halangan besok ya~
Tapi saya nggak janji.
Okey, Happy Reading Y'all
***
Katanya, langit yang cerah kelewat biru ditambah awan-awan tebal itu menandakan akan segera hujan. Di tambah lagi anginnya bergerak dari arah barat ke timur. Namun, kuharap tidak akan ada hujan hari ini.
Kalian pasti tahu, lah, ya, jika aku absen dari sekolah hampir dua bulan lamanya. Aku memang sudah dapat surat panggilan orang tua berkali-kali sebelumnya, hanya saja Papa yang datang, jadi aku tidak tahu apa yang Papa katakan sebagai alasan pada para guru, tetapi, saat aku datang ke sekolah ini, aku langsung dipanggil ke ruang kepala sekolah.
Katanya, surat peringatan saja sudah tidak cukup. Ditambah lagi kami sudah kelas dua belas, sebentar lagi akan ujian kelulusan dan melewati serangkaian ujian. Sementara, nilai-nilai dan tugasku banyak yang kosong. Belum lagi materi-materi yang kulewatkan. Katanya lagi, jika tetap begini maka hasil akhirnya adalah aku tidak bisa ikut lulus tahun ini. Aku? Tentu saja aku langsung memohon sekeras mungkin agar tidak tinggal kelas. Karena ... ey, siapa sih yang mau mengulang sekolah satu tahun lagi?
Untungnya, karena kepala sekolah juga mempertimbangkan bahwa aku sudah mendekati kelulusan, dia bersedia membantu, asalkan aku bisa menyelesaikan semua tugas-tugas dan nilai-nilai yang belum terpenuhi selama dua minggu juga memahami materi-materi yang kulewatkan selama dua bulan ini.
Jadi, ya di sinilah aku, di ruang kelas berkutat dengan buku-buku dan pensil, menulis (lebih tepatnya menyalin) tugas-tugas yang belum kubuat dari buku Lanya secepat mungkin. Aku bahkan sudah tidak dapat merasakan di mana jariku berada saat ini, karena sejak pagi, aku sudah mulai menulis dan menulis.
Ya ampun, aku bahkan tidak menyangka jika satu mata pelajaran bisa punya tugas sebanyak ini. Belum lagi ulangan-ulangan hariannya yang harus kuminta pada setiap guru mapel.
Bye. Besok-besok jangan cari Aura ke rumah, langsung saja ke pemakaman.
"Makan dulu lah, Ra. Dari pagi makan buku mulu. Sok rajin ya lo, gak suka gue ngeliatnya."
Sebungkus roti beserta sekotak susu pisang disodorkan dihadapanku, membuatku mau tidak mau mendongak. Rafi berdiri sambil mengernyit di depan sana bersama Rasga dan Narnia.
"Siap, nanti kamu bisa sakit," tambah Rasga kemudian.
"Tau lo. Hampir dua bulan ngeghosting kita-kita balik-balik malah keranjingan belajar," sungut Narnia.
Aku hanya tertawa pelan, kemudian mengambil rotinya dan mulai makan. Ya ampun, kapan terakhir kali aku makan? "Ya kalau gue nggak belajar sekarang, ntar gue gak bisa ikut ujian kelulusan. Harus ngulang satu tahun lagi. Mau lo-lo pada gue tinggal kelas?" jawabku, "BTW, kurang nih rotinya."
"Yee! Bilang makasih dulu dong lo udah dibeliin." Narnia memasang ancang-ancang ingin memukul kepalaku, lalu setelahnya dia tertawa dan melemparkan satu bungkus lagi dari sakunya.
Setelah rotinya habis, aku kembali menyalin tugas-tugas yang belum selesai itu. Agaknya, sampai beberapa hari ke depan aku akan begadang untuk menyelesaikan tugas-tugas ini.
Dang ngomong-ngomong, saat pertama kali menginjakkan kaki ke kelas, hal pertama yang kulakukan adalah menghampiri Rafi, memeluk cowok itu dengan hati kelewat girang sambil mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Terima kasih karena sudah jadi penggila sejarah, terima kasih sudah ada di Majapahit meski aku yakin dia tidak akan ingat karena jiwanya yang di sana pasti berbeda dengan yang di sini, dan terima kasih untuk tetap hidup di dunia ini. Cowok itu terkejut, tentu saja. Bahkan seisi kelas juga terkejut melihat keanehan tingkahku. Namun, secepat keterkejutan melanda, secepat itu pula suasana berubah. Penuh canda tawa dan ledekan sambutan. Jadilah, semuanya kembali seperti semula.
Hari sudah terlalu sore, sementara aku baru saja keluar dari sekolah sehabis meminta beberapa ulangan harian susulan pada beberapa guru mapel. Untunglah, hujan belum turun meski langitnya sudah mendung sejak tadi. Entah memang belum waktunya, atau langitnya menunggu aku pulang dulu baru kemudian hujan.
Aku berjalan melewati lorong-lorong kelas yang sudah kosong dan sepi, hanya ada beberapa kelas yang lampunya menyala juga ada suara orang di dalam. Itu anak-anak ekstrakurikuler yang kegiatannya diadakan sepulang sekolah dan memakai ruangan kelas untuk berkegiatan.
"Eh, eh. Rasga!" Aku berteriak melambai-lambaikan tangan ketika Rasga dan motornya melewatiku dari arah parkiran. Cowok itu pun berhenti, membuka helmnya.
"Siap, ada apa?"
"Lo mau pulang, kan? Nebeng dong."
"Siap, iya. Siap, tapi saya mau singgah ke Dunkins dulu."
"Ya udah, nggak apa-apa. Gue ngikut aja deh, dari pada tidur di sini." Aku pun berlari ke arah motor Rasga dan segera naik ke boncengannya.
Rumahku dan rumah Rasga satu arah hanya saja tidak berdekatan, tapi tidak terlalu jauh juga. Ya, tidak apa-apa, lah, nanti aku bisa jalan kaki. Dari pada di sini sendirian sampai malam, kan? Papa tidak mungkin bisa menjemput karena ... yah, dia sibuk. Sementara sopir yang biasanya mengantar-jemputku tadi pagi izin karena sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Untunglah aku bertemu Rasga di sini. Meskipun tahun ini anak kelas dua belas tidak diizinkan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apa pun, tapi para senior-senior tetap harus memberi bimbingan dan arahan pada juniornya yang baru bergabung, dan kurasa Rasga baru saja memberi bimbingan dan arahan pada juniornya dari ekskul paskibra.
Aku mengernyit ketika Rasga mencopot helmnya dan mengulurkannya padaku. "Kenapa, nih?" tanyaku kebingungan.
"Siap, untuk keselamatan diri," jawabnya.
Aku mendengkus. Kenapa, sih, Rasga dan "siap" itu tidak pernah terpisahkan? Bahkan sudah tiga tahun berlalu, dia tetap saja masih seformal ini. "Lah, terus lo gimana?"
"Siap, saya tidak apa-apa, Aura pakai saja."
Jadi, karena aku tidak ingin lebih lama lagi di sekolah ini, tanpa buang-buang waktu aku segera meraih helm dan memakainya.
Kami berhenti di depan halaman Dunkin Donuts. Aku tidak tahu Rasga ingin beli donat untuk siapa, tapi yang jelas aku tidak mau duduk sendirian di tempat parkir, aku juga tidak ingin masuk ke dalam. Jadi, aku memutuskan untuk berdiri di samping pintu masuk. Anggap saja sebagai patung selamat datang.
Aku sedang mematut-matut ujung sepatuku sembari menggerakkannya pelan ke kiri dan kanan ketika sebuah siluet yang terasa tak asing tertangkap sudut mata melewatiku. Aku secara refleks langsung menoleh dan mencari sosok yang melewatiku itu. Namun, aku tidak melihat wajahnya, hanya bagian punggungnya saja. Dia mengenakan jeans navy dan jaket parasut. Rambutnya dipotong mullet. Namun, sejauh apa pun perbedaannya aku yakin aku tidak akan pernah salah lihat. Jadi, karena aku tidak ingin kehilangan kesempatan, aku segera berlari menghampirinya. Mencekal bahunya, membuat dia berhenti dan menoleh ke arahku sambil memasang ekspresi, "Ada apa?"
Aku memasang cengiran lebar, kemudian menggaruk-garuk kepala.
Dia ... tidak mengenaliku, ya?
Aku tidak kehabisan akal. Bagaimanapun, aku sudah menemukannya, jadi tidak apa-apa kalau dia tidak ingat aku. Aku akan membuatnya mengingatku. Aku meraih tasku, mengeluarkan jepit rambutnya dari sana dan menyelipkannya di samping kepala.
Bukannya langsung histeris dan menutup mulut saat melihat jepit rambutnya, dia malah mengerutkan kening semakin keheranan.
Aku berdecak kesal. "Ini aku tahu. Aura. Apa kau tidak ingat?"
Dia semakin mengerutkan kening. Kemudian menggeleng patah-patah.
Astaga. Dia benar-benar tidak ingat apa-apa.
"Padahal kau yang bilang akan menemukanku dan tidak akan melupakakanku. Ini aku tahu."
"Maaf," ujarnya, kemudian mundur ke belakang, "saya harus pergi," setelahnya dia pergi begitu saja.
Membuatku mengerang. [ ]
Thanks for reading.
Secuil jejak Anda means a lot
\(*°-°*)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro